Kajian Pustaka Penerapan Kriik Sastra Feminis ter hadap No vel-novel Indonesia

pendidikan dan peran perempuan di sektor publik dalam novel- novel Indonesia. Meskipun demikian, ditemukan sejumlah kajian yang memiliki keterkaitan dengan peneliian ini, antara lain: 1 In the­Shadow­of­Change Helwig, 2003;­2­“Hubungan­In­ter­­teks­tual­ Roman-roman­Balai­Pustaka­dan­Pujangga­Baru”­Pradopo,­1995,­ yang­mem fokuskan pada masalah emansipasi­wanita­dalam­Sii­ Nurbaya,­ Layar­ Terkem­bang,­ dan­ Belenggu;­ 3­ Feminisme dan De kon struk si terhadap Ideo logi Familialisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami Wiyatmi, 2003, dan “Pasca Kolonialitas dan Si Femi nin dalam Sastra Indonesia Modern” Hatley, 2006. Dalam­ In­ the­ Shadow­ of­ Change Hell wig, 2003 dikaji 25 novel dan iga cerita panjang dalam kurun waktu lima dekade 1937 sampai 1986 . Dengan menggunakan perspekif kriik sastra feminis, Hellwig mencoba memahami bagaimana penggam- baran tokoh perempuan dalam sastra Indo nesia dan sejauh mana gambaran tersebut membantu mencip takan citra umum perem- puan dalam masyarakat In do nesia. Hasil peneliian tersebut menunjukkan bah wa persoalan esensialisme idenitas telah lama men ja di persoalan pening bagi gagasan tentang eman sipasi perempuan di Indonesia. Peneliian terse but menunjukkan bahwa kebanyakan pengarang laki-laki masih meng anggap femininitas sebagai sesuatu yang ideal bagi perempuan, dan idak meng- herankan jika tokoh-tokoh yang keibuan, pandai mengatur rumah tangga, lembut, dan penyayang, menjadi igur yang sering ditam- pilkan. Sementara itu, pada karakter yang diciptakan penulis perempuan, femi ninitas se ring kali dianggap idak sesuai dengan konsep ke majuan perempuan. Para penulis perempuan umum - nya menggam barkan dile ma tentang persoalan esen sialisme ini, meng olahnya sebagai ini cerita, dan kemudian yang justru melanggengkan subordinasi perem puan. Peneliian ini lebih terfokus pada bagaimana tokoh perempuan dicitraan, tanpa melihat relasi an tara tokoh perempuan dengan laki-laki, dan pen- ing nya pendidikan dan peran perempuan di sektor publik sebagai salah satu bentuk dikonstruksi terha dap hegemoni patriarkat. Dengan memfokuskan pada masalah emansi pasi wanita dalam­ novel­ Sii­ Nurbaya,­ Layar­ Terkem­bang,­ dan­ Belenggu,­ ditemukan­ peneliian­ berjudul­ “Hubungan­ Intertekstual­ Roman- roman­Balai­Pusta­ka­dan­Pujangga­Baru”­Pradopo,­1995.­Dalam pene liian ter sebut dikemukakan bahwa masalah eman sipasi wanita pertama kali diangkat dalam sastra In do nesia modern oleh Marah Rusli dalam Sii­Nur­baya. Masalah tersebut berhubungan dengan masa lah adat kawin paksa dan poligami. Masalah emansi pasi wanita kemudian diangkat secara khusus oleh Takdir Alisyahbana dalam Layar­Terkembang dan Be­lenggu oleh Armijn Pane, dengan wujud dan inten sitas yang berbeda. Peneliian ini menggunakan pers pekif resepsi sastra, yang tampak pada adanya hu bungan inter tekstualitas antara Sii­ Nurbaya,­ Layar­ Terkembang,­dan­Belenggu.­Hasil peneliian menunjuk kan bahwa masalah emansipasi wanita dalam Sii­ Nurbaya dipercakapkan oleh Sii Nurbaya dengan Alimah, sepu punya. Masalah emansipasi wanita yang bersifat verbal tersebut, selanjutnya diserap dan ditransformasikan dalam cerita, dengan mengha dirkan tokoh Tui sebagai seorang tokoh organisasi wanita dan pejuang eman sipasi wanita. Dalam Be­lenggu, dike mukakan adanya ekses emansipasi wani ta. Belenggu mencoba meluruskan pengerian yang idak benar tentang emansipasi wanita yang berlebih-lebihan. Peneliian ini idak meng gunakan pende katan kriik sastra feminis, tetapi menggunakan pen dekatan interteks tualitas, dengan memandang per soalan eman sipasi perempuan yang diangkat dalam novel tertentu dianggap sebagai sesuatu yang dires pon oleh novel-novel berikutnya. Dalam arikel “Feminisme dan Dekon struksi terhadap Ideologi Familialisme dalam Novel Saman Karya Ayu Utami,” Wiyatmi, Diksi,­ 2003 dikemu kakan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam Saman meru pakan repre sentasi dari sosok perempuan yang me nun jukkan adanya gejala penging karan ter ha dap ideologi familialisme dalam masya rakat ber kul tur patriarkat dalam masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh perem puan dalam Saman, ber beda dengan gam baran perem puan pada novel Indonesia sebelumnya, seper i Sii Nurbaya, Mariamin, Sri Suma rah, Lasi, dan Srinil yang mer pakan beberapa contoh igur perem puan yang hidup dalam lingkungan ideologi fami- lialisme tanpa berusaha melawan ataupun mengingkarinya. Dengan ketakberdayaannya, mereka mene rima nasibnya begitu saja karena idak memiliki keberanian dan kekuasaan untuk melawan ideologi tersebut. Beberapa dari mereka, seperi Mariamin dan Lasi, bahkan mengalami penderitaan yang tragis sebagai akibat kuatnya ideologi tersebut. Dalam Saman digambarkan karier dan aki vitas Laila dan teman-temannya yang menun jukkan bahwa mereka merupakan sosok perempuan yang mencoba untuk keluar dari dan mengingkari ideologi familialisme, yang me nya kini bahwa peran utama perempuan adalah di rumah sebagai ibu dan istri, se men tara peran utama laki-laki adalah sebagai penguasa utama rumah tangga yang memiliki hak-hak isimewa dan otoritas terbesar dalam keluarga, sehingga anggota keluarga yang lain, termasuk istri harus tunduk ke- padanya. Mereka adalah contoh igur yang melaku kan pengingkaran terhadap ideologi familialisme de ngan berusaha merekonstruksi sejarah kehidup annya dengan membangun idenitas baru bagi dirinya, idak lagi hanya sebagai istri atau ibu, tetapi juga sebagai pekerja dan perempuan karier. Dari keempat tokoh itu, hanya Yasmin yang sudah menikah, tetapi dia pun idak lagi harus menjadi ibu rumah tangga semata. Peneliian tersebut menun jukkan bahwa bila dipahami dalam konteks feminisme keempat tokoh perempuan ter sebut dapat dikatakan sebagai para pe rempuan yang telah mendapatkan kemer de kaan nya. Mereka sadar akan posisi dan perannya yang harus seimbang dengan pria, walaupun masih hidup dalam lingkungan masyarakat yang mengagungkan keunggulan patriarkat dan ideologi fami lialisme. Si kap dan cara berpikir mereka seringkali menun jukkan perlawan annya terhadap ideologi tersebut, walaupun seringkali idak semuanya berha sil. Dalam peneliian “Pasca Kolonialitas dan Si Feminin dalam Sastra Indonesia Modern,” Hatley, 2006 dikaji sejumlah novel Indonesia 1920-an sampai novel Saman karya Ayu Utami, dengan fokus pada bagaimana perempuan dikonstruksi dalam karya- karya tersebut. Sejumlah novel yang dikaji adalah Belenggu,­Layar­ Terkembang,­ Kalau­ Tak­ Untung,­ Kehilangan­ Mesika,­ Manusia­ Bebas,­Harga­Perempuan,­Tarian­Bumi, dan Saman. Di sini Hatley meng gunakan analisis poskolonial feminisme postkolonial. Dari novel Layar­ Terkembang dan Belenggu ditemukan ada nya penggam baran kesulitan kaum muda elite ter didik Indonesia, berupa kontradiksi yang tak terlacak antara aspirasi-aspirasi kemerde kaan dengan peme nuhan diri yang didorong dalam diri para wanita sic, Hatley selalu memilih kata wanita, bukan perempuan oleh pendidikan dan pengaruh kultural Eropa serta hubungan ‘alami’ antara suami istri dalam perkawinan. Dari novel Kalau­Tak­Untung,­Kehilangan­Mesika,­dan­Manusia­Bebas­ ditemukan bahwa pada teks-teks tersebut yang ditulis oleh wa nita idak terjadi idealisasi atau problemaika tentang ‘wanita modern’, tetapi lebih mengisahkan kesadaran seorang protagonis wanita yang sentral dengan caranya sendiri merenungkan konse kuensi- konseku ensi dari peran-peran sosial baru bagi wanita dan tekanan- tekanan terhadap wanita. Hatley melihat kemunculan novel Saman sebagai kelanjutan dari Manusia­ Bebas karya Soewarsih Djojopuspito, teruta ma dalam upayanya menggabungkan tema- tema naf su seksual wanita, kekuatan wanita, dan hubung an dengan dunia supranatural. Dari kajiannya, Hatley menyimpulkan bahwa apa yang ditulis oleh penulis-penulis wanita pribumi mengenai pengalaman wani ta Indo nesia pada masa kolonial pascakolonial, yang dijajarkan dengan pelukisan oleh penulis- penulis pria, menunjukkan jawaban kreaif dan penuh semangat dari wanita terhadap kesempatan-kesem patan yang dibu ka oleh kontak kolonial untuk mem peroleh pendidikan dan pekerjaan gaya Eropa, ber parisipasi dalam proyek nasionalis, dan membangun rumah tangga modern. Namun, ada juga kesadaran tentang pengekangan dan pence kalan, pembatasan dan perim bangan- perimbangan dan harap an-ha rap an dari orang-orang lain, serta sikap-sikap sosial yang telah dihayai. Dari kajian terhadap peneliian sebe lumnya, tampak bahwa peneliian yang mengkaji citraan perlawanan simbolis ter- hadap hegemoni patriarkat dalam bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor publik dalam novel-novel Indonesia belum pernah dilakukan.

e. Kajian Teori

Untuk menjawab sejumlah masalah dalam peneliian ini digunakan beberapa kerangka teori yaitu novel sebagai sarana pencitraan perlawanan simbolis, hegemoni patriarkat dalam ranah privat dan publik, dan kriik sastra feminis. 1 Novel sebagai Sarana Pencitraan Perla wanan Simbolis Sebagai salah satu bagian dari kebu dayaan ma nusia, sebuah novel sastra diciptakan bukan un tuk tujuan esteis semata, seperi diyakini oleh teori struktural objekif atau sebagai releksi dari struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, seperi diyakini oleh teori Marxis. Sebagai bagian dari kebudayaan novel memiliki posisi yang cukup pening, yaitu mengemban fungsi sosial sebagai salah satu sarana untuk membantu meng kon s truksi ma syarakat yang diedealkan Gramsci, via Far , sering kali harus harus melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai mapan dan dominan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Perlawanan yang dilakukan melalui sebuah karya sastra novel merupakan perlawanan yang bersifat simbolis. Hal ini karena perlawanan tersebut dilakukan me lalui kata-kata dan gagasan yang diung kapkan dalam sebuah novel. Sebagai mana dike- mukakan oleh Damono dalam Kratz, ed., 2000: 650–653 bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masya- rakat. Dalam hal ini, kalau pengarang memiliki taraf kepekaan yang inggi, karya sastra yang dihasilkannya juga mencerminkan kriik sosial yang barangkali tersembunyi ada dalam masya rakat. Kepekaan semacam itu telah dimiliki oleh sejumlah sastrawan zaman lampau sampai sekarang. Dalam hal ini, Damono dalam Kratz, ed., 2000: 650–653 mencontoh kan bagaimana pu jangga Ronggo warsito, telah mengriik kebobrokan masya rakatnya pada abad kesembilanbelas. Fungsi novel dalam hal ini dianggap sebagai arena untuk menggambarkan keimpangan sosial dan untuk menyampaikan perlawanan ter hadap keimpangan tersebut. Dalam konteks peneliian ini, novel In donesia yang mengusung ideologi kese taraan gender diang gap sebagai sarana perlawanan simbolis terhadap berbagai keidakadilan gender yang ada dalam masya rakat akibat hegemoni patriarkat. 2 Hegemoni Patriarkat dalam Ranah Privat dan Publik Dalam konteks kajian gender dikemu kakan bahwa hubungan antara perempuan dengan laki-laki, serta pembagian peran sosial dan privat antara perempuan dengan laki-laki telah diatur oleh sebuah ideologi gender yang dikenal dengan isilah patriarkat. Patriarkat adalah sistem hubungan antara jenis ke lamin yang dilandasi hukum ke bapakan. Walby 1989: 213–220 menjelas kan bahwa patriarkat adalah sebuah sistem dari struktur sosial, prakik yang me nempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menin das, dan men eksploitasi perempuan. Walby mem buat sebuah teori tentang patriarkat. Menu rutnya, patriarkat itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu patriarkat privat dan patriarkat publik. Ini dari teorinya itu adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarkat, dari ruang- ruang pribadi dan privat seperi keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarkat terus menerus ber hasil mencengkeram dan mendominasi kehi- dupan laki-laki dan perem puan. Dari teori tersebut, dapat