Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inefisiensi Usaha Tambak Bandeng

bersumber dari perubahan intensitas faktor danatau perubahan harga relatif sehingga perubahannya tergantung atau dipengaruhi tingkat substitusi teknis marjinal marginal rate of technical substitution, atau dapat dikatakan efisiensi penggunaan input dapat dicapai pada saat nilai produk marjinal NPM input sama dengan harga inputnya. Nilai efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi dapat diukur dengan menggunakan dual cost frontier secara analitis yang diturunkan dari fungsi produksi stokastik frontier dengan 6 variabel input. Distribusi frekuensi efisiensi alokatif dan ekonomi pada usaha tambak monokultur bandeng tercantum pada Tabel 31 . Rata-rata efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis masing-masing adalah 0.841, 0.592 dan 0.489. Terdapat hubungan antara ketiga efisiensi bahwa rata- rata TE AE EE. Terlihat bahwa usaha tambak monokultur bandeng sudah mencapai tingkat efisiensi teknis 84.1 persen namun efisiensi secara ekonomis masih rendah sebesar 48.9 persen, yang disebabkan efisiensi alokatif yang masih rendah yaitu 59.2 persen. Ini menunjukkan bahwa dalam upaya petambak untuk mencapai laba atau keuntungan maksimumnya, alokasi biaya yang dikeluarkan untuk input belum mencapai tingkat biaya minimalnya. Hal ini terjadi karena petambak umumnya sebagai penerima harga baik pada harga input maupun harga jual produknya, dan tidak mempunyai kekuatan menawar dari harga yang diterimanya. Rendahnya efisiensi alokatif memungkinkan petambak untuk mengoptimalkan kombinasi input yang dipakainya pada tingkat teknologi yang ada dan pada tingkat harga yang tersedia. Tabel 31. Distribusi Efisiensi Teknis. Alokatif Dan Ekonomi Usaha Tambak Bandeng Monokultur Kabupaten Karawang 2011 Sebaran Efisiensi Efisiensi Teknis Persen Efisiensi Alokatif Persen Efisiensi Ekonomi Persen 0.20 ‐ 0.29 ‐ ‐ 9 16.36 11 20,00 0.30 ‐ 0.39 ‐ ‐ 5 9.09 13 23.64 0.40 ‐ 0.49 1 1.82 11 20.00 8 14.55 0.50 ‐ 0.59 1 1.82 6 10.91 7 12.73 0,60− 0,69 8 14.55 7 12.73 7 12.73 0.70‐ 0.79 3 5.45 5 9.09 4 7.27 0.80 ‐ 0.89 22 40.00 2 3.64 3 5.45 0.90 ‐ 0.99 20 36.36 5 9.09 1 1.82 1.00 ‐ 1.35 ‐ ‐ 5 9.09 1 1.82 Jumlah 55 100 55 100 55 100 Rata-rata 0.841 0.592 0.489 Maksimum 0.973 1.234 1.093 Minimum 0.486 0.222 0.211 Kisaran efisiensi teknis pada usaha tambak monokultur ikan bandeng adalah 40 – 99 persen dengan dominasi tingkat efisiensi secara teknis berada pada 80 - 99 persen sebanyak 76.4 persen usaha tambak. Angka ini menunjukkan bahwa duapertiga bagian usaha tambak responden telah menggunakan input dengan efisien secara teknis. Sementara Pada efisiensi alokatif sebaran kisaran efisiensi relatif merata pada tingkat 20 – 100 persen. Namun terdapat 9 persen berada di atas nilai satu dan dapat dianggap sebagai outlier. Efisiensi alokatif usaha tambak sebanyak 45.5 persen berada pada kisaran dibawah rata-rata 20-49 persen, ini menunjukkan bahwa ada setengah bagian usaha tambak memiliki rasio nilai produk marjinal input masih berada dibawah rasio harganya. Untuk meningkatkan efisiensi alokatif perlu dilakukan penghematan biaya input atau penambahan jumlah penggunaan input. Sedangkan pada efisiensi ekonomi sebaran usaha tambak sebanyak 43.6 persen merata pada tingkat efisiensi dibawah rata-rata 20 – 39 persen. Dapat dikatakan bahwa usaha tambak monokultur secara teknis telah mencapai efisien namun secara ekonomis belum efisien. Hanya ada 7.3 persen 4 unit usaha tambak yang telah mencapai efisien secara ekonomis. Gambar 12. Efisiensi penggunaan input fungsi produksi frontier Fenomena usaha tambak yang secara teknis telah efisiensi namun efisiensi alokatif yang rendah dapat dijelaskan melalui Gambar 12 diatas. Titik A,B dan C terletak pada produksi frontier yang sama sehingga ketiganya telah efisien secara C B A PxP FX 1 , β Y X X2 X1 X3 teknis. Titik A dan C belum mencapai efisiensi alokatif sementara titik B telah efisien secara alokatif karena titik ini terletak pada garis singgung kurva produksi frontier dengan garis rasio harga input-outputnya PxPy. Keuntungan maksimum akan tercapai pada saat produk marjinal PM sama dengan rasio harga input- outputnya PxPy. Jika titik A akan ditingkatkan efisiensi alokasinya, maka penggunaan input aktualnya sebanyak X1 harus ditambah sampai X2 sehingga akan tercapai keuntungan maksimum, demikian pula pada titik C penggunaan inputnya harus dikurangi dari X3 ke X2 sehingga efisiensi alokasi tercapai dan keuntungan maksimum akan diperoleh. Penggunaan input yang tepat dan sesuai dengan harga inputnya akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan efisiensi alokasi. Peningkatan efisiensi alokasi akan menurunkan biaya input pada tingkat output tetap sehingga akan meningkatkan keuntungan petambak. Penyebab rendahnya efisiensi alokasi pada usaha tambak karena beberapa hal yaitu data harga yang digunakan adalah harga pada tingkat petambak yang tidak mencerminkan harga pasar karena sudah termasuk di dalamnya biaya terkait dengan barang yang dibeli seperti biaya transportasi, atau sistem pembayaran tunda bila barang tersebut merupakan barang pinjaman selama proses produksi. Karena menjadi suatu kebiasaan dan diterima di masyarakat bahwa petambak mendapatkan jasa meminjam barang-barang input tambak seperti nener, obat- obatan, pakan, dan pupuk dari agen atau kios pertanian. Pinjaman akan dilunasi pada saat panen dengan harga yang berlaku saat panen. Sehingga data ini menjadi sumber kelemahan dalam analisis yang terkait dengan variabel harga seperti efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Hal lain yang menjadi sumber kelemahan adalah data yang berasal dari pengamatan satu waktu atau cross section, sehingga tidak dapat memperhitungkan perubahan antar waktu. Tidak berbeda jauh keadaannya dengan distribusi efisiensi alokatif dan ekonomi pada usaha tambak polikultur ikan bandeng - udang windu yang tercantum pada Tabel 32. Rata-rata efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis masing-masing adalah 0.889, 0.611 dan 0.536. Terdapat hubungan antara ketiga efisiensi bahwa rata-rata TE AE EE. Terlihat bahwa usaha tambak polikultur bandeng udang windu sudah mencapai tingkat efisiensi teknis 88.9 persen namun efisiensi secara ekonomis masih rendah sebesar 53.6 persen, yang disebabkan oleh efisiensi alokatif yang masih rendah yaitu 61.1 persen. Ini menunjukkan bahwa dalam upaya petambak untuk mencapai laba atau keuntungan maksimumnya. alokasi biaya yang dikeluarkan untuk input belum mencapai tingkat biaya minimalnya. Tabel 32. Distribusi Efisiensi Teknis, Alokatif, Dan Ekonomi Usaha Tambak Bandeng Polikultur Kabupaten Karawang 2011 Sebaran Efisiensi Efisiensi Teknis Persen Efisiensi Alokatif Persen Efisiensi Ekonomi Persen 0.20 - 0.29 ‐ ‐ 1 2.33 0.30 - 0.39 1 2.33 4 9.30 6 13.95 0.40 - 0.49 ‐ ‐ 4 9.30 9 20.93 0.50 - 0.59 ‐ ‐ 16 37.21 14 32.56 0.60 - 0.69 ‐ ‐ 7 16.28 9 20.93 0.70 - 0.79 4 9.30 7 16.28 3 6.98 0.80 - 0.89 12 27.91 3 6.98 1 2.33 0.90 – 0.99 26 60.47 1 2.33 ‐ ‐ 1.00 – 1.35 ‐ 1 2.33 ‐ ‐ Jumlah 43 100 43 100 43 100.00 Rata-rata 0.889 0.611 0.536 Maksimum 0.974 1.036 0.838 Minimum 0.380 0.319 0.286 Komposisi distribusi efisiensi pada polikultur bandeng udang windu lebih baik daripada monokultur bandeng. Kisaran efisiensi teknis antara30 – 99 persen dengan dominasi 60 persen usaha tambak berada di atas efisiensi 80 persen. Sementara kisaran efisiensi alokatif berada pada 30 – 100 persen dengan dominasi kisaran pada efisiensi 50 – 79 persen dengan pengecualian sebanyak 2.3 persen berada di atas 100 persen outlier. Usaha tambak yang masih berada dibawah rata-rata efisiensi alokatif adalah 55.8 persen. Sedangkan efisiensi ekonomi berada pada kisaran 20 - 89 persen dengan dominasi berada pada kisaran efisiensi 40 – 69 persen. Usaha tambak yang masih berada dibawah rata-rata efisiensi ekonomis adalah 37.2 persen. Hal ini terjadi karena variasi harga diantara petambak pada beberapa input relatif rendah, dan umumnya petambak polikultur membeli barang input secara tunai sehingga harga yang diterima relatif mendekati harga pasar. Walaupun demikian usaha tambak polikultur sudah efisien secara teknis namun belum secara ekonomis. Ini menunjukkan nilai produk marjinal input masih lebih kecil dari rasio harganya sehingga untuk meningkatkan efisiensi perlu dilakukan penambahan penggunaan input atau melakukan penghematan sehingga biaya minimum tercapai. Sebagaimana hasil penelitian Suyasa 1989 menemukan adanya kecenderungan indeks efisiensi teknis akan makin tinggi dengan semakin kecilnya skala usaha tambak. sedangkan untuk efisiensi ekonomi cenderung sebaliknya yaitu semakin kecil skala usaha semakin kecil juga efisiensi ekonominya. Jika dihubungkan dengan teknologi yang diterapkan. dengan teknologi sederhana telah memberikan tingkat persentase petani tambak yang lebih tinggi pada indeks efisiensi teknis dibandingkan dengan teknologi madya. Indeks efisiensi harga dan ekonomi mempunyai kecenderungan lebih baik apabila digunakan teknologi madya. Bila petambak rata-rata dalam sampel dapat mencapai efisiensi ekonomi maksimum maka petambak dapat merealisasikannya dengan penghematan biaya sebesar 36 persen 1-0.5360.838, sementara petambak yang tidak mencapai tingkat efisien, masih dapat dilakukan penghematan biaya sebesar 65.8 persen 1-0.2860.838. Dengan demikian efisiensi ekonomi dapat ditingkatkan melalui perbaikan faktor-faktor inefisiensi alokatif dan ekonomis. Tabel 33. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inefisiensi Alokatif Usaha Tambak Monokultur Dan Polikultur Monokultur Polikultur Variabel Coefficients P ‐value Coefficients P ‐value Konstanta 0.5527 0.0012 0.4044 0.0009 Polutan Nitrogen kg perunit 0.0002 0.6452 ‐0.0003 0.0003 Polutan Fosfor kg perunit ‐0.0002 0.7570 0.0006 0.0009 Polutan BOD kg perunit ‐0.0001 0.9278 0.0001 0.0548 Dummy Mangrove 0.1054 0.1519 0.0611 0.2295 Indeks Skill ‐0.0259 0.0577 ‐0.0107 0.1724 R Square 0.156 0.378 Tabel 33 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap inefisiensi alokatif pada usaha tambak monokultur adalah dummy mangrove dan indeks skill, sementara pada usaha polikultur hampir semua variabel berpengaruh terhadap inefisiensi alokatif yaitu polutan nitrogen,fosfor,BOD dan indeks skill, kecuali dummy mangrove. Nilai determinasi R 2 masing-masing sebesar 15.6 dan 37.8 persen, yang menunjukkan bahwa 84.4 dan 62.2 persen variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap efisiensi alokatif belum masuk dalam model. Usaha tambak monokultur dapat memperbaiki efisiensi alokatifnya melalui perbaikan kemampuan manajerial petambak yang digambarkan sebagai indeks skill. Variabel ini bertanda negatif dan signifikan pada taraf α = 10 persen, ini berarti bahwa peningkatan indeks skill sangat mempengaruhi penurunan inefisiensi atau meningkatakan efisiensi alokatifnya. Hal yang sama pada usaha tambak polikultur variabel indeks skill bertanda negatif dan signifikan pada taraf α = 20 persen. Dummy mangrove hanya mempengaruhi usaha tambak monokultur dengan tanda positif dan signifikan pada taraf α = 20 persen sementara pada usaha tambak polikultur tidak memberikan pengaruh dan bertanda positif. Ini berarti bahwa keberadaan mangrove akan meningkatkan inefisiensi alokatif atau menurunkan efisiensi alokatifnya. Ketiga variabel polutan nitrogen, fosfor dan BOD hanya mempengaruhi usaha tambak polikultur. Polutan nitrogen bertanda negatif dan signifikan pada taraf α = 1 persen, namun berlawanan tanda dengan polutan fosfor yang bertanda positif dan signifikan pada taraf α = 1 persen, dan polutan BOD yang juga bertanda positif dan signifikan pada taraf α = 10 persen. Tanda negatif menunjukkan bahwa penambahan polutan nitrogen akan mempengaruhi penurunan inefisiensi alokatif atau justru meningkatkan efisiensinya. Hal ini berlawanan dengan harapan yaitu adanya polutan akan menurunkan efisiensi. Berbeda halnya dengan polutan fosfor dan BOD yang bertanda positif yang berarti penambahan polutan fosfor dan BOD akan meningkatkan inefisiensi alokatifnya. Hal ini sesuai dengan harapan bahwa polutan akan menurunkan efisiensi. Ada kemungkinan bahwa jumlah polutan nitrogen pada polikultur masih ditoleransi, sehingga penambahan polutan juga dapat berarti penambahan pemberian pakan buatan. Sementara polutan fosfor yang bersumber dari TSP dan BOD sudah menunjukkan kelebihan muatan sehingga harus dikurangi untuk meningkatkan efisiensi alokatifnya. Tabel 34. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inefisiensi Ekonomis Usaha Tambak Monokultur Dan Polikultur Monokultur Polikultur Variabel Coefficients P ‐value Coefficients P ‐value Konstanta 0.6909 ‐0.0001 0.4374 0.0002 Polutan Nitrogen kg perunit 0.0002 0.3888 ‐0.0001 0.8321 Polutan Fosfor kg perunit ‐0.0004 0.4067 ‐0.0001 0.7281 Polutan BOD kg perunit ‐0.0001 0.5704 ‐0.0001 0.0381 Dummy Mangrove ‐0.0159 0.7948 0.0198 0.6777 Indeks Skill ‐0.0168 0.1397 ‐0.0033 0.6465 R Square 0.073 0.155 Sumber : data primer diolah Tabel 34 menunjukkan bahwa semua variabel inefisiensi tidak mempengaruhi efisiensi ekonomis usaha tambak kecuali polutan BOD mempengaruhi efisiensi ekonomi pada taraf α = 5 persen dan bertanda negatif. Ini berarti bahwa pengurangan polutan BOD akan meningkatkan inefisiensi atau justru akan menurunkan efisiensi ekonomisnya. Besaran uji determinansi R 2 masing masing 7.3 dan 15.5 persen, berarti sebanyak 92.7 dan 84.5 persen faktor- faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi ekonomis belum masuk dalam model. Diduga faktor yang mempengaruhinya adalah harga-harga input yakni harga nener, pakan, urea, tenaga kerja, BBM dan sewa lahan, serta harga output yakni harga bandeng. Tetapi data harga yang diperoleh merupakan harga yang diterima petani sehingga tidak mencerminkan harga pasar dan cenderung lebih tinggi dari harga pasar.

6.6 Tingkat Produktivitas Usaha Tambak

Keberhasilan petambak dalam mengelola usaha tambak tercermin dari tingkat output yang dicapainya produktivitas sehingga dengan perolehan output yang memuaskan akan menjadi pendorong dan motivasi bagi petambak untuk melakukan kegiatan usaha tambak selanjutnya yang lebih baik. Produksi bandeng dan udang windu yang dihasilkan Kabupaten Karawang pada tahun 2009, masing-masing sebesar 15 980 ton dan 5 578 ton Tabel 10. Berdasarkan produksi usaha tambak sebanyak 98 unit responden Tabel 18 dapat diketahui tingkat produktivitas bandeng sebesar 989.75 kg perhektar setelah udang windu disetarakan dengan bandeng. Bila dirinci lebih lanjut. usaha tambak monokultur bandeng memiliki tingkat produktivitas sebesar 885 kg perhektar dengan kisaran produksi 133 – 5036 kg perhektar. Sedangkan pada usaha tambak polikultur ikan bandeng-udang windu masing-masing produktivitasnya sebesar 498 kg perhektar dan 94 kg perhektar. Produktivtas bandeng di Kabupaten Karawang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Ratnawati dkk 2010 bahwa produksi ikan bandeng di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan berkisar antara 10 sampai dengan 2990 kg perhektar permusim tanam dengan rata-rata 292.2 kg perhektar permusim tanam. Umumnya pembudidaya melakukan polikultur ikan bandeng dan udang windu di tambak, tetapi karena serangan penyakit berdampak pada kegagalan atau produksi udang windu menjadi sangat rendah. Untuk mengurangi resiko kegagalan total di Asia dikembangkan pola budidaya polikultur ikan bandeng dan udang windu Ling et al. 2001. Kedua komoditas ini menuntut kondisi lingkungan yang relatif sama tetapi menempati relung ekologi yang berbeda dalam tambak dan perbedaan habitat makanan dari kedua komoditas tersebut menyebabkan tidak terjadi kompetisi diantara keduanya Eldani dan Primavera. 1981. Konsep dasar dari polikultur adalah jika dua atau lebih spesies ikan yang cocok dipelihara secara bersama-sama akan meningkatkan produksi dan keuntungan usaha. Penggunaan produktivitas umumnya merupakan rasio parsial seperti produksi perpekerja dan produksi perluas lahan, untuk membandingkan tingkat produktivitas usaha tambak dan sektor lainnya. Pengembangan produktivitas parsial adalah produktivitas faktor total TFP yang merupakan kombinasi penggunaan semua input sumberdaya dalam menghasilkan output. Arti angka indeks TFP ini secara individu lebih mencerminkan perbedaan produkstivitas yang dibandingkan dengan rata-rata TFP usaha tambak. Berdasarkan persamaan 4.12 dapat diketahui kisaran indeks produktivitas faktor total antara usaha tambak monokultur bandeng dan polikultur ikan bandeng-udang windu seperti tercantum pada Tabel 35 dan 36. Produktivitas usaha tambak sangat bervariasi yang dapat disebabkan oleh bervariasinya penggunaan input dalam menghasilkan bandeng dan udang windu dan bervariasinya kapasitas manajerial masing-masing petambak. Rata-rata indeks TFP monokultur bandeng sebesar 92.4 dengan kisaran TFP 59.7 – 138.7 berada dalam kisaran efisiensi teknis 40 – 100 persen. Ada kecenderungan semakin tinggi efisiensi teknis usaha tambak akan semakin tinggi produktivitas faktor totalnya. Sebaran usaha tambak monokultur pada Tabel 32 dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan rata-rata efisiensi teknis 84.1 persen dan rata-rata produktivitas faktor total 92.4 persen yaitu 1 kelompok TE tinggi dan TFP tinggi terdapat 26 unit usaha tambak monokultur 47.3 persen, 2 kelompok TE tinggi tetapi TFP dibawah rata-rata terdapat 17 unit usaha tambak 31 persen dan 3 sisanya kelompok TE dan TFP dibawah rata-rata terdapat 12 unit usaha tambak 21.8 persen. Tabel 35 . Distribusi Produktivitas Faktor Total Usaha Tambak Monokultur Berdasarkan distribusi Efisiensi Teknis di Kabupaten Karawang,2011 Sebaran TE rata‐rata 84.1 Persen Sebaran TFP 40 ‐ 49 50 ‐ 59 60 ‐ 69 70 ‐ 79 80 ‐ 89 90 ‐ 100 Jumlah UT Persen 50 ‐ 59 1 1 1.82 60 ‐ 69 1 2 3 5.45 70 ‐79 1 1 5 4 11 20 80 ‐ 89 1 4 7 1 12 21.82 90 ‐ 100 2 3 8 13 23.64 100 ‐109 4 2 6 10.91 110 ‐119 3 2 5 9.09 120 ‐129 2 2 3.64 130 ‐139 2 2 3.64 Jumlah UT 1 1 8 3 22 20 55 100 Persen 1.82 1.82 14.55 5.45 40 36.36 100 Rata ‐rata 92.4 Maksimum 138.7 Minimum 59.7 Terdapat pola yang hampir sama antara hubungan efisiensi teknis dan produktivitas faktor total dengan hubungan efisiensi teknis dan efisiensi alokatif ekonomis Tabel 35. Hal ini karena baik produktivitas faktor total dan efisiensi alokasi ekonomi dipengaruhi oleh faktor harga, yang menunjukkan total biaya input minimum untuk menghasilkan output tertentu pada tingkat teknologi tetap. Sehingga memungkinkan terjadi, bahwa usaha tambak yang telah efisien secara teknis tetapi memiliki indeks TFP yang rendah, menunjukkan bahwa usaha tambak tersebut belum mencapai titik minimisasi biaya atau maksimisasi keuntungan. Jumlah usaha tambak yang mencapai tingkat optimal dimana efisiensi teknis dan efisiensi alokatif, ekonomi dan TFP di atas rata-rata, terdapat hubungan bahwa TFP EE AE. Tabel 36 . Hubungan Efisiensi Teknis dengan Produktivitas Faktor Total, Efisiensi Alokatif dan Ekonomis, Usaha Tambak Monokultur Berdasarkan distribusi Efisiensi Teknis di Kabupaten Karawang,2011 Hubungan AE EE TFP TE, AE,EE,TFP 18 32.73 21 38.18 26 47.27 TE. AE,EE,TFP 22 40.00 20 36.36 17 30.91 TE, AE,EE,TFP 6 10.91 9 16.36 TE, AE,EE,TFP 4 7.27 4 7.27 12 21.82 jumlah 50 90.91 54 98.18 55 100 rata ‐rata AE, EE,TFP 59.2 48.9 92.4 Rata ‐rata TE 84.1 Efisiensi teknis menurut Battese dan Coelli 1993 sangat bervariasi diantara petani padi setiap waktu. Secara individu dapat meningkat atau menurun setiap waktu. Jadi bila waktu kini meningkat tetapi tahun sebelumnya menurun, ada fluktuasi tingkat efisiensi teknis. Dengan demikian Fluktuasi pada tingkat efisiensi teknis akan menyebabkan efisiensi alokatif, efisiensi ekonomi dan produktivitas faktor total akan berfluktuasi. Hal ini karena bervariasinya penggunaan input, ketersediaan kebutuhan input, harga barang input dan bervariasinya kapabilitas manajerial petambak. Usaha tambak polikultur bandeng pada Tabel 36 menunjukkan bahwa rata- rata indeks TFP sebesar 84.6 dengan kisaran TFP 60.9 – 118.2 berada dalam kisaran efisiensi teknis 70 – 100 persen, kecuali ada satu usaha tambak berada dalam efisiensi terendah 38 persen . Ada kecenderungan semakin tinggi efisiensi teknis usaha tambak polikultur akan semakin tinggi produktivitas faktor totalnya. Sebaran usaha tambak polikultur dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan rata-rata efisiensi teknis 88.9 persen dan rata-rata produktivitas faktor total 84.6 persen yaitu 1 kelompok usaha tambak yang memiliki TE tinggi dan TFP tinggi terdapat 24 unit usaha tambak 55.81 persen, 2 kelompok TE tinggi tetapi TFP dibawah rata-rata terdapat 14 unit 32.56 persen dan 3 sisanya kelompok TE dan TFP dibawah rata-rata terdapat 5 unit usaha tambak 11.63 persen. Tabel 37 . Distribusi Produktivitas Faktor Total Usaha Tambak Polikultur Berdasarkan distribusi Efisiensi Teknis di Kabupaten Karawang,2011 Sebaran TE Rata ‐rata 88.9 persen Sebaran TFP 30 ‐ 39 70 ‐79 80 ‐89 90 ‐ 100 Jumlah UT Persen 60 ‐ 69 2 1 4 7 16.28 70 ‐79 1 1 3 6 11 25.58 80 ‐ 89 1 3 7 11 25.58 90 ‐ 100 3 3 6 13.95 100 ‐109 2 3 5 11.63 110 ‐119 3 3 6.98 Jumlah UT 1 4 12 26 43 100 Persen 2.33 9.30 27.91 60.47 100 Rata ‐rata 84.6 Maksimum 118.2 Minimum 60.9 Pola hubungan efisiensi teknis dengan produktivitas faktor total, efisiensi alokatif, dan efisiensi ekonomi tercantum pada Tabel 37. Terdapat kesamaan pola antara hubungan TE – TFP dengan pola hubungan TE – EE. Hal ini dimungkinkan karena disparitas harga input antara para petambak sangat kecil karena petambak membeli barang input secara tunai, sehingga harga yang diterima relatif sama dengan harga pasarnya. Dengan demikian faktor harga memberikan pengaruh yang sama terhadap TFP dan efisiensi ekonominya. Sedangkan jumlah usaha tambak polikultur yang berada dalam TE di atas rata-rata dan AE dan EE di atas rata-rata terdapat pola AE EE. Tabel 38 . Hubungan Efisiensi Teknis dengan Produktivitas Faktor Total, Efisiensi Alokatif dan Ekonomis, Usaha Tambak Polikultur Berdasarkan distribusi Efisiensi Teknis di Kabupaten Karawang,2011 Hubungan AE EE TFP TE AE,EE,TFP 16 37.21 25 58.14 24 55.81 TE AE,EE,TFP 22 51.16 13 30.23 14 32.56 TE AE,EE,TFP 2 4.65 TEAE,EE,TFP 2 4.65 5 11.63 5 11.63 jumlah 42 43 100 43 rata ‐rata AE,EE,TFP 0.611 0.536 0,846 Rata ‐rata TE 0.889 Hubungan efisiensi teknis dan produktivitas terlihat pada Gambar 13, yang menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi teknis mempengaruhi peningkatan produktivitas faktor total. Gambar 13. Hubungan Efisiensi Teknis Dan Produktivitas Faktor Total rata-rata 0.889. maksimum 1.387 dan minimum 0.597 Pendekatan TFP dengan Tornqvist Theil index dalam mengukur produktivitas memperhitungkan berbagai input yang saling berinteraksi. Penggunaan berbagai input berkontribusi terhadap produksi yang dihasilkan, dan y = 0,300x + 0,638 R² = 0,076 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 TFP TE TFP TFP Linear TFP merefleksikan kapabilitas manajerial petambak seperti cara budidaya bandeng dan udang, teknologi yang diterapkan, kualitas input yang digunakan, pelatihan yang diikuti petambak, perubahan harga input, harga output, dan kondisi lingkungan. Dengan demikian, peningkatan angka indeks TFP akan terkait dengan dua hal yaitu berkaitan dengan penurunan biaya dan peningkatan harga jual. Menurut Juarno 2011 potensi penurunan biaya dapat diperoleh antara lain melalui upaya intensifikasi, penggunaan benih bersertifikat dan penggunaan varitas unggul. Berdasarkan arah dan besaran yang berpengaruh signifikan terhadap TFP adalah intensifikasi berpengaruh positif, dummy serangan penyakit menurunkan produksi, tingkat pendidikan dan sistem budidaya secara organik meningkatkan produktivitas. Hasil analisis pada Tabel 35 dan 36 memperlihatkan usaha tambak polikultur ikan bandeng – udang windu memberikan produktivitas faktor total yang lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur ikan bandeng. Hal ini menunjukkan bahwa usaha tambak polikultur di Kabupaten Karawang lebih efisien baik dari sisi teknis maupun ekonomis dibandingkan dengan usaha tambak monokultur ikan bandeng. Hal ini terlihat dari harga input yang diterima petambak yang menggunakan pola budidaya polikultur mendekati harga pasar dibandingkan dengan monokultur bandeng. Disisi lain, usaha tambak polikultur ikan bandeng-udang windu lebih rentan mengalami kegagalan panen udang yang ditebar, karena adanya serangan penyakit yang sulit dikendalikan. Tetapi karena masih ada harapan panen dari bandeng, sehingga tingkat kerugian usaha tambak polikultur dapat ditekan sekecil mungkin. Ini menunjukkan adanya tingkat resiko yang tinggi dalam usaha tambak polikultur dibandingkan dengan monokultur. Itu sebabnya pada komunitas petambak di Kabupaten Karawang, lebih berkembang budidaya bandeng yang sekarang cenderung diintensifkan dengan pemberian pakan buatan, padat penebaran benih lebih tinggi dan luas tambak yang lebih mudah di kelola dengan baik sekitar 1-2 hektar perunit tambak. Sehingga ukuran bandeng lebih besar dan dapat dipasarkan ke Jakarta dengan harga tinggi. Bandeng Karawang dikenal dengan Bandeng Dengklok yang tidak berbau lumpur sehingga disenangi konsumen. Analisis produktivitas faktor total juga memberikan informasi tentang kontribusi masing-masing input dalam menghasilkan output tertentu. Secara rinci kontribusi masing-masing input, dapat dilihat pada Tabel 39. Input yang memiliki kontribusi besar pada usaha tambak monokultur bandeng adalah nener, pakan dan tenaga kerja, masing-masing sebesar 23.7 persen, 31.6 persen dan 30 persen. Sementara kedua jenis pupuk yakni urea dan TSP semakin kecil kontribusinya dalam proses produksi. Kendala ini menunjukkan bahwa usaha tambak monokultur bandeng sudah menggunakan teknologi yang lebih tinggi yakni teknologi semi-intensif. Ciri teknologi semi-intensif adalah padat penebaran nener lebih tinggi, pemberian pakan yang lebih intensif Tabel 1 dan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Tabel 39. Kontribusi Faktor-Faktor Produksi Terhadap Produktivitas Faktor Total Pada Monokultur Bandeng Monokultur Bandeng, TFP Rata‐rata 92.4 persen Komponen Input Jumlah Rata‐rata unit Harga Rata‐rata Rp Pangsa 2 Nener ekorperha 33182 158 23.7 3 Pakan kg perha 5910 2774 31.6 4 Ureakg perha 1353 1813 7.8 5 Tspkg perha 628 1994 3.6 6 Saponinkg perha 56 4982 2.8 7 Tenaga kerja HOK 82 64188 30.0 8 Bbmliter perha 27 4500 0.5 Jumlah pangsa 100 Adapun kontribusi input terhadap pembentukan produktivitas faktor total pada usaha tambak polikultur bandeng windu tercantum pada Tabel 40. Usaha tambak polikultur ikan bandeng – udang windu, umumnya dikelola dengan menggunakan teknologi tradisional plus, sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Teknologi tradisional plus merupakan teknologi transisi yang menjembatani teknologi yang lebih tinggi. Input yang memiliki kontribusi besar adalah benih nener dan benur, pakan dan tenaga kerja. Penggunaan BBM pada polikultur bandeng windu lebih tinggi, ini dikarenakan letak tambak yang jauh dari pantai dan lebih condong dekat dengan perbatasan sawah yang tersedia saluran irigasi air tawar. Udang cenderung membutuhkan air tawar sebagai media pengenceran