Konsep Produksi Frontier Stokastik

teknologi madya. Indeks efisiensi harga dan ekonomi mempunyai kecenderungan lebih baik apabila digunakan teknologi madya. Kemajuan teknologi dapat bersumber dari peningkatan produktivitas manusianya dan dapat juga dari mesin yang lebih produktif dan efisien atau dapat juga dari perbaikan organisasi produksi. Jika dilihat dari adopsi teknologi baru seperti bibit unggul dan pupuk buatan, ditemukan bahwa ternyata petani kecil lebih ketinggalan dalam adopsi teknologi baru pada awalnya, namun kemudian dapat menyusul sampai keuntungannya meningkat karena bertambahnya produktivitas Grant and Posada, 1977. Lebih jauh Gunaratne dan Leung 1996 menganalisis efisiensi teknis menggunakan fungsi produksi stochastic frontier. Diantara faktor produksi seperti tenaga kerja, pakan, dan benur maka faktor yang lebih berpengaruh terhadap efisiensi adalah pakan. Pada tipe usaha ekstensif, negara Bangladesh, Philipina dan Indonesia lebih efisien dibandingkan Vietnam dan India. Thailand lebih superior dibandingkan dengan negara lainnya. Luas lahan berkorelasi negatif pada efisiensi untuk tipe ekstensif dan semi intensif, sedangkan untuk intensif berkorelasi positif. Helfand 2003 menentukan faktor-faktor efisiensi dan mengeksplorasi hubungan antara ukuran usahatani dan efisiensi usahatani di Barat Tengah Brazil. Pendekatan DEA digunakan untuk memperkirakan efisiensi teknis usahatani. Pendugaan dilakukan pada hubungan non-linear antara luas usahatani dan efisiensi teknis. Disimpulkan bahwa akses ke lembaga, kredit dan input modern merupakan determinan yang menyebabkan perbedaan efisiensi antar usahatani. Dan peningkatan aksesnya memperkuat efisiensi usahatani kecil dan menengah. Dari hasil penelitian Li and Liu 2009 diperoleh bahwa pupuk dan tenaga kerja mempengaruhi produksi secara signifikan dengan koefisien masing- masing 0.025 dan 0.06. Sedangkan meningkatnya umur, meningkatnya pendidikan, akses ke lembaga keuangan, dan irigasi yang baik, maka akan meningkatkan efisiensi teknis. Sedangkan penurunan jumlah anggota rumah tangga dan kedekatan terhadap pasar, tidak signifikan dalam meningkatkan efisiensi teknis. Vu Tung 2010 menggunakan dua-tahap pendekatan Data Envelopment Analysis DEA untuk mendapatkan skor Efisiensi teknis peningkatanudang ekstensif di provinsi Ca Mau, Vietnam.Hasil skor efisiensi teknis menjelaskan peningkatan budidaya udang ekstensif, berapa banyak input yang benar-benar digunakan dan berapa banyak yang harus digunakan, terutama dalam situasi sumber daya terbatas seperti luas tambak, biaya persiapan kolam, modal untuk bibit, pendidikan pemilik, pengalaman dan keterampilan tenaga kerja. selanjutnya hasil skor efisiensi teknis diregresikan dengan variabel kepadatan tebar udang dan tambak dan area kolam untuk menentukan faktor yang berdampak pada efisiensi teknis. Untuk Indonesia, Tajerin 2007 menggunakan fungsi produksi stochastic frontier memperoleh efisiensi teknis udang sekitar 56 persen. Kumar dan Kumar 2003 memperoleh efisiensi teknis budidaya udang di India rata-rata 69 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi. Pembudidaya berskala besar lebih efisien karena membutuhkan biaya investasi yang lebih besar. Pola penguasaan lahan tambak dengan sistem sewa kurang efisien dibandingkan dengan milik sendiri. Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan dan pengalaman pembudidaya udang. Damanhuri 1985 menggunakan model produksi dengan peubah tak bebas, yaitu : tingkat produksi udang dan peubah bebasnya adalah benur, pupuk TSP, pupuk urea, makanan tambahan, pestisida, tenaga kerja, lokasi tambak dan luas tambak. Dengan kesimpulan bahwa semua variabel sangat mempengaruhi keuntungan kecuali harga pestisida berpengaruh tidak nyata terhadap keuntungan. Peneliti lainnya Suyasa 1989 menggunakan model produksi yang dinamai tingkat produksi ditentukan oleh benur, luas tambak, pupuk, obat-obatan, pakan tambahan, potas, tenaga kerja. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa peranan benur dalam budidaya tambak menempati posisi teratas diikuti tenaga kerja dan modal. Selanjutnya tenaga kerja, benih, thiodan dan brestar berpengaruh nyata terhadap tingkat produksi sedangkan lahan, urea, TSP dan potas berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat produksi. Tajerin dkk 2009 mengembangkan model ekonomi udang Indonesia. Menurutnya produktivitas tambak berhubungan negatif dengan luas tambak, harga riil ekspor udang segar, nilai tukar rupiah terhadap dolar dan dummy kebijakan intensifikasi. tetapi produktivitas tambak berhubungan positif dengan harga riil udang segar di pasar domestik, jumlah benur, jumlah pakan, tenaga kerja, dan bedakala produktivitas. Berdasarkan elastisitas produktivitas tambak terhadap harga riil udang segar di pasar domestik, jumlah benur dan jumlah pakan lebih responsif dalam jangka panjang daripada jangka pendek tetapi sebaliknya pada variabel luas tambak, harga riil ekspor udang segar, nilai tukar rupiah terhadap dolar dan tenaga kerja lebih responsif dalam jangka pendek daripada jangka panjang. Kusumastanto 1998 membandingkan tambak budidaya udang di Indonesia dengan sistem ekstensif, semi intensif dan intensif untuk masyarakat lokal, dengan ukuran tambak berbeda-beda yaitu : skala kecil 2 ha, skala medium 5 ha, skala besar 10 ha dan ekstra besar 30 ha. Dia berpendapat bahwa skala kecil dan medium budidaya semi intensif umumnya lebih banyak memberi kesempatan kerja dan manfaat ekonomi untuk masyarakat pedesaan daripada budidaya skala besar. Sukadi 2000 menyatakan bahwa dampak budidaya udang tergantung pada kondisi sosio ekonomi dan ekologi masing- masing negara, wilayah, pelaku sosial dan intervensi pemerintah melalui program. Perbedaan produktivitas budidaya udang di tujuh negara Asia Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Philipina, Srilangka, dan Vietnam pada tingkat teknologitipe usaha budidaya yang berbeda yaitu ekstensif, semi intensif dan intensif. Menggunakan partial dan total factor productivity TFP menunjukkan bahwa Srilangka memiliki posisi lebih tinggi daripada negara lainnya, Philipina paling produktif pada tipe ekstensif diikuti Srilangka, Indonesia dan India. Indonesia pada posisi produktivitas rata-rata diantara negara-negara yang diteliti. Indonesia bersama Kamboja dan Philipina termasuk yang kurang produktif untuk tipe intensif. Kondisi Indonesia serupa dengan Philipina yaitu ekstensif lebih produktif dibandingkan dengan tipe intensif Leung dan Gunaratne. 1996. Berdasarkan referensi di atas, dapat diketahui bahwa produksi udang tambak dipengaruhi oleh benur benih, pupuk TSP, pupuk urea, makanan tambahan, pestisida, tenaga kerja, lokasi tambak dan luas tambak. Faktor-faktor karakteristik petambak dan fasilitas produksi yang berpengaruh terhadap produksi adalah umur, pendidikan, pengalaman, akses ke lembaga keuangan, dan irigasi. Peningkatan produktivitas dapat berasal dari efisiensi produksi, umumnya usaha tambak skala kecil memiliki efisiensi teknik yang tinggi namun efisiensi ekonominya rendah. Produktivitas faktor total TFP merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian. Kondisi Indonesia serupa dengan Philipina yaitu tambak ekstensif memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan India.

2.2.2 Limbah Organik dari Aktivitas Tambak

Undang-undang Republik Indonesia No 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pengaruh yang ditimbulkan adanya pencemaran umumnya merugikan seperti merusak sumberdaya hidup, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan kelautan dan perikanan, pengurangan keindahan dan kenyamanan. Mukhtasor 2007 menjelaskan bahwa bahan pencemar masuk ke lingkungan dapat dengan cara alami atau melalui kegiatan manusia diistilahkan sebagai anthropogenic. Sedangkan substansi pencemar diistilahkan sebagai polutan dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu polutan fisik, polutan kimia dan polutan biologis. Secara garis besar sumber pencemaran perairan pesisir dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu 1 industri, 2 limbah cair pemukiman sewage, 3 limbah cair perkotaan urban stormwater, 4 pertambangan mining, 5 pelayaran shipping, 6 pertanian dan 7 perikanan budidaya Sutamihardja dkk 1982 dan Dahuri 1998. Secara langsung dan tidak langsung dampaknya terhadap perikanan yaitu menurunnya jumlah populasi organisme, kerusakan habitat dan lingkungan perairan sebagai media hidupnya Clark, 1996. Kondisi yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan diantaranya adalah menurunnya kandungan oksigen dalam perairan yang menyebabkan pembatasan habitat ikan, khususnya ikan dasar bentik, eutrofikasi perairan yang menyebabkan pertumbuhan alga yang tidak terkendali blooming dan munculnya zat-zat yang beracun yang akan menimbulkan kematian ikan Rustam, 2005. Sistem terbuka tambak yang menerima air dari sumber lain pertanian, perkotaan, industri berdampak pada merosotnya kualitas air di tambak. Sedimen yang rusak juga menyebabkan kematian udang. Widiyanto 2006 melaporkan bahwa kerusakan sedimen menyebabkan jumlah polutan beracun tinggi amoniak, nitrit, H 2 S, karbon yang terakumulasi di tambak udang. Jumlah besar sedimentasi dalam tambak udang intensif menempatkan masalah pembuangan yang serius, 100-500 ton sedimen hektar tahun terakumulasi Barraciough Finger-Stich. 1996. Total beban limbah organik dalam bentuk Total Solid Suspendid TSS yang dibuang ke daerah pesisir dari hasil kegiatan budidaya udang secara intensif dengan luas areal 4000 m2 selama 120 hari, satu siklus pemeliharaan, adalah sebesar 924.86 kg TSS 0.4 ha, atau 2 312.15 kg TSSha dan 526.56 kg TSS 0.5 ha semi intensif atau 1 053 kg TSSha Rustam, 2005. Polite 2005 menjelaskan turunnya kualitas air tambak karena polusi air dari luar tambak, akumulasi pakan yang tidak dicerna, kotoran udang, pupuk di dasar tambak mengakibatkan turunnya daya dukung tambak dan membuat udang menjadi stres, kehilangan daya tahan tubuh terhadap virus dan mudah terinfeksi penyakit, bila bersifat akut menyebabkan kematian masal. Stres juga menyebabkan pertumbuhan udang melambat, yang menyebabkan kerugian. Sehingga menurut Devi dan Prasad 2006 yang tidak dapat diabaikan dalam budidaya udang dan merupakan salah satu kendala terbesar adalah serangan penyakit. Johnsen, et al 1993 menyatakan bahwa usaha budidaya udang terutama pola tambak intensif merupakan kegiatan ekonomi yang sangat produktif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara, namun legitimasi keberlanjutannya ditentukan oleh dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Budidaya intensif menghasilkan panen udangikan ukuran konsumsi dan juga menghasilkan limbah organik terutama berasal dari sisa pakan,