feses, dan bahan-bahan terlarut, yang terbuang ke perairan dan secara signifikan mempengaruhi kualitas lingkungan pesisir. Selanjutnya Reddy, et al 2004
menambahkan bahwa pembuangan dalam bentuk kotoran dan endapan dari pakan yang tidak dikonsumsi, kotoran udangikan, bahan kimia dan antibiotik
akan mengkontaminasi badan air dan sekitarnya. Secara alami masalah ekologi yang dicapai budidaya udang menyebabkan biaya ekonomik dan sosial
masyarakat pada masalah kesehatan, pengeluaran waktu dan uang untuk memperoleh air bersih, kesehatan ternak, dsb.
Martinez-Cordero 2003 menggunakan pendekatan fungsi jarak input dengan Indeks Produktivitas Malmquist untuk mengukur produktivitas faktor total
industri udang dan menentukan harga bayangan polutan Nitrogen dan Phospor yang merupakan output sampingan. Pengeluaran teknologi pengurang polutan
memiliki dua keuntungan yaitu mengurangi dampak lingkungan akibat buangan nitrogen dan phospor, dan penggunaan input lebih efisien dalam menghasilkan
output target udang. Model multicriteria decision making MCDM yang dikembangkan telah menegaskan bahwa teknologi budidaya udang semi intensif
mendukung industri udang dengan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dua tahun berikutnya Martinez-Cordero dan Leung 2005 mengembangkan produktivitas
faktor total dan efisiensi teknis konvensional dengan menggabungkan evaluasi dampak lingkungan aktivitas budidaya udang menjadi environmentally-adjusted
TFP dan environmentally-adjusted TE. Dengan menambahkan faktor lingkungan, hasil perhitungan yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan
TFP secara tradisional. Keberhasilan yang diperoleh karena menerapkan teknologi ramah lingkungan yaitu : good management practices GMP, mengurangi
pergantian air, dan mengontrol strategi pakan. Abubakar 2008 menyatakan bahwa peningkatan efisiensi penggunaan
sarana produksi akan berdampak pada beban limbah perairan. Suatu kenyataan memperlihatkan bahwa penggunaan tambak secara terus menerus untuk budidaya
akan menyebabkan menurunnya produktivitas udang karena daya dukung lingkungan tidak mampu lagi menopang pertumbuhan. Dengan menggunakan
pendekatan fungsi produktivitas frontier stokastik diperoleh bahwa dummy
intensifikasi dan benur berpengaruh nyata dan positif terhadap produktivitas tambak di NTB.
Beberapa hasil penelitian efisiensi produksi yang terkait dengan limbah sebagai output yang tidak diinginkan dipaparkan sebagai berikut : Dalam
melakukan analisis efisiensi, sering diasumsikan bahwa semua output adalah baik. Namun, asumsi ini tidak selalu dibenarkan, karena output mungkin
buruk. Misalnya, jika ada inefisiensi dalam proses produksi di mana produk akhir yang diproduksi bersama dengan limbah polutan, maka output masing-
masing limbah polutan yang tidak diinginkan buruk harus dikurangi untuk meningkatkan kinerja Saen, 2010. Hal senada disampaikan oleh Pasupathy,
2002 bahwa pengukuran efisiensi produksi telah mengabaikan produk tambahan proses transformasi output tidak diinginkan .Tanpa dimasukkannya faktor-
faktor ini, evaluasi efisiensi teknis menjadi ukuran murni dari sistem itu sendiri, dan tidak memperhitungkan interaksi antara sistem dengan lingkungan sekitar dan
dampak dari keputusan kebijakan pada sistem. Selain itu, ada ketergantungan penerapan teknologi yang menghasilkan output yang diinginkan danyang tidak
diinginkan. Ketika tidak ada input atau output yang tidak diinginkan dalam proses produksi, maka kenaikan efisiensi didasarkan pada peningkatan output atau
penurunan input. Koopman 1951 dalam operasi reklamasi dibutuhkan input yg tidak diinginkan meningkat agar efisiensi meningkat, atau output yang tidak
diinginkan meningkat menyebabkan efisiensi menurun dan sebaliknya. Jadi diduga output yang tidak diinginkan dari buangan pabrik harus diturunkan agar
meningkatkan efisiensi Ardabili et al, 2007, Murty et al 2001. Sehingga output yang tidak diinginkan merupakan hasil yang tidak diharapkan dari proses produksi
yang hasilnya harus diminimalisir Gomes and Lins, 2007, Chiu and Wu 2010. Pembuangan output yang tidak diinginkan atau limbah ke dalam
lingkungan akan memberikan beban biaya dalam bentuk pengurangan output yang diinginkan. Atau dapat juga pengurang polutan dicapai melalui penggunaan
input tambahan dengan output yang diinginkan tetap dipertahankan konstan. Mengabaikan perubahan teknologi, output yang tidak diinginkan dapat dikurangi
melalui input tambahan untuk pengurang polutan jika tingkat output yang diinginkan dapat dipertahankan tetap. Ekstra input dan tambahan biaya produksi
untuk pengurang polutan mungkin dalam bentuk seperti tambahan tenaga kerja, energi atau input kapital, yang diperlukan untuk menyusun sistem perlakuan
aliran pembuangan polutan.
2.2.3 Daya Dukung Lingkungan, Baku Mutu Limbah dan Pengendalian Pencemaran Perairan
Kondisi air digambarkan dengan kualitas dan ketersediaannya volume. Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai
kebutuhan sedangkan ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak air yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya. Kualitas air juga
dipengaruhi oleh volumenya yang berpengaruh langsung pada daya pulih air self purification untuk menerima beban pencemaran dalam jumlah tertentu
Kementerian Lingkungan Hidup, 2009. Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan input
menjadi keluaran output. Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan
melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan
mengandung bahan beracun dan berbahaya. Bahan pencemar keluar bersamasama dengan bahan buangan limbah melalui media udara, air dan tanah yang
merupakan komponen ekosistem alam. Bahan buangan yang keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai sumber pencemaran,
dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya.
Menurut Mukhtasor 2007 bahwa secara umum pesisir dan laut dunia sudah tercemar, karena aktivitas manusia, sehingga pertambahan penduduk dunia
akan disertai pertambahan jenis dan jumlah limbah. Dengan demikian pengendalian limbah sudah menjadi keharusan. Pengelolaan pencemaran pesisir
dan laut merupakan upaya mengendalikan jenis dan besaran polutan yang boleh dan tidak boleh dibuang ke laut dengan memperhatikan sifat polutan, dampaknya
terhadap lingkungan, kesesuaian kondisi lokasi, cara pembuangannya, dan persyaratan lain yang relevan. Menghentikan produksi limbah secara total adalah
tidak mungkin karena itu berarti menghentikan kegiatan pembangunan atau bahkan kegiatan kehidupan manusia.
Pesisir dan laut dalam skala tertentu memiliki kapasitas asimilasi untuk memproses dan mendaur ulang bahan pencemar yang masuk kedalamnya dengan
sedikit atau tanpa kerusakan. Disamping itu laut juga memiliki daya dukung lingkungan yaitu, kemampuan untuk menyediakan sumberdaya alam yang
mendukung kehidupan dan aktivitas manusia. Jika kehidupan dan aktivitas manusia berkembang melebihi daya dukung lingkungannya, begitu juga limbah
yang dihasilkan, maka sumberdaya alam yang tersedia akan tidak mampu lagi mendukung seluruh aktivitas manusia yang berkembang, dan tidak mampu lagi
mengasimilasi limbah yang terakumulasi menyebabkan kerusakan lingkungan berat bahkan permanen.
Program pengendalian pencemaran laut merupakan program yang kompleks, lintas sektoral dan lintas wilayah, sehingga partisipasi antara para
pemangku kepentingan dan adanya produk kesepakatan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk itu program pengendalian memerlukan beberapa jenis
instrumen yaitu : instrumen ekologi, teknologi, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan, serta instrumen hukum. Instrumen ekologi lebih menekankan pada
pemahaman tentang hubungan timbal balik komponen hidup dan komponen tidak hidup di dalam satu kesatuan ekosistem. Pemahaman ini memunculkan istilah
assimilative capacitykapasitas asimilasi, carrying capacity kapasitas penyangga dan proses alami lingkungan seperti difusi, pengenceran, penyebaran,
penguraian, dan reaksi kimiawi untuk memelihara dampak lingkungan dalam skala yang masih dapat diterima. Standar ini dikenal sebagai baku mutu
lingkungan. Baku mutu air laut di Indonesia telah ditetapkan oleh Kepmen Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 Lampiran 2.
Siahaan 2004 menjelaskan baku mutu lingkungan environmental quality standard atau BML, berfungsi sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah telah
terjadi kerusakan atau pencemaran melalui penyimpangan dari batas yang telah ditetapkan. Batas daya dukung, daya tenggang, daya toleransi atau kemampuan
lingkungan disebut sebagai nilai ambang batas NAB. Berdasarkan ilmu lingkungan, batas bahaya ini tidak boleh dilanggar sebagai batas gangguan yang
terletak antara batas bahaya dan titik optimum baik secara teknologi dan ekonomis. Sejak tahun 1990 melalui PP no 20 tahun 1990 ditentukan baku mutu
air berdasarkan kriteria mutu air menurut golongan peruntukannya. Terdapat 4 golongan peruntukan air yaitu :
Golongan A : air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan lebih dahulu.
Golongan B : air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum Golongan C : air yang dapat digunakan untuk keperluan perikana dan peternakan
Golongan D : air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, dan pembangkit
listrik tenaga air. Menurut Bachtiar 1994parameter kualitas air penting yang dapat dijadikan
tolok ukur pencemaran perairan antara lain : pH, oksigen terlarut, BOD, COD, nitrogen, fosfat, dan beberapa jenis organisme renik yang dapat digunakan sebagai
indikator pencemaran. Hubungan parameter kualitas air dan indikator pencemaran sebagai berikut:
1. Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam
air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Ikan dan organisme pakan ikan dapat hidup dalam lingkungan perairan yang
mempunyai nilai pH antara 4.0 -11.0, sementara nilai pH yang produktif dan ideal untuk perikanan adalah perairan dengan pH 6.5-8.5.
2. Adanya senyawa organik dalam perairan akan dirombak oleh bakteri dengan
menggunakan oksigen terlarut, akibatnya dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen perairan sampai mencapai tingkat terendah, keadaan ini dapat
mengganggu keseimbangan ekologis perairan yang menerima limbah. Kandungan oksigen di perairan tambak dapat dijadikan petunjuk tentang
adanya pencemaran bahan organik. Kandungan oksigen terlarut dengan konsentrasi 0 – 2 ppm part per million menunjukkan perairan tercemar berat.
3. Kebutuhan oksigen biokimiawi BOD menunjukkan jumlah oksigen yang
digunakan dalam proses oksidasi biokimia bahan organik oleh organisme yang terdapat dalam perairan pada suhu 20
C selama 5 hari. Nilai BOD
5
dengan
kisaran konsentrasi 3 – 4.9 ppm menunjukkan tercemar ringan, dan bila mencapai nilai di atas 15 ppm menunjukkan perairan tersebut tercemar berat.
4. Nitrogen dalam perairan dapat berbentuk senyawa amonia, nitrit, nitrat dan
senyawa lain yang berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri. Kehadiran senyawa amonia menunjukkan pencemaran yang masih baru,
sementara bila yang ada senyawa nitrat menunjukkan pencemaran sudah lebih lama. Kadar amonia lebih besar dari 1.1 mgl pada suhu 25
C dan pH 7.5 dapat diduga adanya pemcemaran.
5. Fosfat merupakan unsur penting dalam pertumbuhan ganggang dalam perairan.
Sumber fosfor adalah pencemaran industri, hanyutan pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik dan mineral fosfat. Konsentrasi fosfat lebih dari 0.2
mgl menunjukkan tingkat kesuburan perairan sangat baik. 6.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai Indeks Mutu Lingkungan perairan pada lingkungan perairan PP TIR Karawang pada tahun 1994, diperoleh kisaran
53.49 – 66.44, yang berarti bahwa lingkungan perairan dalam kriteria tercemar sedang. Ini diduga selain akibat dari pemanfaatan Sungai Ciwadas pada bagian
hulu sebagai penerima limbah industri, rumah tangga dan pertanian, juga karena adanya buangan limbah kegiatan budidaya perikanan sendiri.
Kerugian yang ditanggung masyarakat sekitar tambak dari dampak buangan limbah tambak antara lain masyarakat kehilangan potensi keuntungan
total mencapai Rp 36.3 milyar pertahun atau ada potensi penurunan produktivitas total yang mencapai sekitar 14.44 persen dan beban pengangguran yang mencapai
56.22 persen dari seluruh tenaga kerja yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo.
Mukhtasor 2007 menjelaskan peranan teknologi berkaitan dengan insentif untuk menciptakan atau mengembangkan teknologi pengelola limbah
yang ramah lingkungan yaitu teknologi yang mampu menghasilkan jumlah minimal kuantitas dan toksisitas limbahnya. Perkembangan teknologi
memungkinkan pengolahan limbah di akhir produksi bergeser ke efisiensi pada seluruh rantai produksi sehingga dapat dicapai produk bersih, ini dikenal sebagai
eko-efisiensi. Penerapan eko-efisiensi secara serempak akan menurunkan biaya