28 berupa aplikasi dalam penegakan hukum, melakukan interpretasi, evaluasi,
legitimasi dan melakukan modifikasi atau penyesuaian guna peningkatan efektivitas kebijakan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Hogwood dan Gunn 1986 dalam Wahab 2008 bahwa analisis kebijakan itu sebagai proses kebijakan yang meliputi tahap-tahap: 1 penyusunan
agenda; 2 perumusan kebijakan; 3 implementasi kebijakan; 4 evaluasi kebijakan; 5 perubahan kebijakan; 6 pengakhiran kebijakan dan kembali
berulang. Menurut Djajadiningrat 1997 bahwa analisis kebijakan lingkungan
analysis of environmental policies harus mempunyai sasaran untuk menyelesaikan atau mengurangi masalah lingkungan karena suatu
kebijakan lingkungan itu hanya akan relevan jika kebijakan itu ditujukan pada penyebab masalahnya. Menurut Dunn 2000 bahwa dengan adanya analisis
kebijakan dapat diharapkan menghasilkan informasi dan argumen-argumen
yang masuk akal, yaitu: 1 nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, 2 fakta yang
keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai, dan
3 tindakan yang penerapannya untuk menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
2.4 Jasa Lingkungan dan Kelembagaan Jasa Lingkungan
Jasa lingkungan diartikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia
dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami. Misalnya hutan sebagai ekosistem alami selain menyediakan berbagai macam produk
kayu juga menyediakan produk non kayu sekaligus juga menjadi reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring air yang kemudian
melepasnya secara gradual, sehingga air tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun dengan adanya penebangan pohon yang tidak
terkendali pada sistem hutan alami dapat menimbulkan gangguan, terutama dalam siklus air dimana dengan adanya pembabatan hutan dapat
29 menyebabkan banjir pada saat musim hujan dan menurunnya kualitas air,
demikian pula saat musim kemarau terjadi kekurangan defisit air yang otomatis berpengaruh terhadap kuantitas dan kualias air yang dapat
menimbulkan kerentanan masyarakat hilir dalam kebutuhan dan
ketersediaan air bersih atau air minum yang berakibat kualitas hidup terancam dan kesejahteraan masyarakat menjadi menurun. Jasa hidrologis
hutan tersebut akan terancam seiring dengan meningkatnya laju degradasi; untuk itu diperlukan adanya hubungan hulu-hilir dalam bentuk penyediaan
biaya atau dana kompensasi dari pengguna jasa lingkungan di wilayah hilir. Menurut Opschoor dalam Alikodra 1998 kelembagaan didefinisikan
sebagai perilaku baik formal maupun informal termasuk konversi sosial dalam berbagai bentuk organisasi yang berpengaruh terhadap perilaku
manusia dan kehidupannya. Perilaku manusia itu sendiri menurut Freeman 1985 harus memperhatikan keadaan atas perilaku yang sebenarnya atau
perilaku yang dilihat, perilaku yang bersifat potensi kooperatif, dan adanya potensi perilaku bersifat ancaman persaingan. Dengan memaksimumkan
rencana potensi kooperatif dan meminimalkan ancaman persaingan dengan memperhatikan potensi perilaku yang dilihat, maka akan muncul potensi
organisasi pada tingkat kelembagaan yang handal dan bersifat strategis. Kelembagaan diartikan pula sebagai sistem organisasi dan kontrol
terhadap keberadaan sumberdaya alam yang didalamnya mengatur pula hubungan antara seseorang dengan yang lainnya, dimana dalam
implementasinya memiliki aturan-aturan rules dan kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat dan yang tertulis dalam peraturan perundangan
formal guna memudahkan hubungan kerjasama dalam memperoleh harapannya masing-masing sehingga mengurangi ketidakadilan dalam
distribusi sumberdaya. Menurut Egger 1990 kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam seharusnya tetap dipertahankan meskipun teknologi
dalam budidaya pertanian dan wanatani agroforestry berkembang pesat karena dapat memaksimalkan hasil secara bekelanjutan sejalan dengan
30 tetap mempertahankan fungsi biologi dasar dari tanah, air, unsur hara dan
humus dan mengupayakan adanya keanekaragaman jenis tanaman dan hewan untuk keseimbangan ekologi, stabilitas ekonomi dengan menciptakan
varietas dan spesies lokal yang secara sosial mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
Kelembagaan jasa lingkungan meliputi berbagai komponen, antara lain lembaga formal yang mempunyai fungsi dan peran di bidang lingkungan,
organisasi swasta, organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat LSM, maupun yang bersifat informal seperti modal sosial,
norma dan nilai-nilai sosial termasuk cara berpikir secara politis dan kepeduliannya terhadap lingkungan. Modal sosial social capital mencakup
dua aspek yaitu individu mikro dan kolektif atau kelompok makro. Pada tingkat komunitas, maka modal sosial direpresentasikan oleh noma norms,
kepercayaan trust dan ikatan sosial social cohesion. Kekuatan modal sosial pada level komunitas sangat membantu individu anggotanya untuk
memperoleh tujuan yang diinginkan Erickson 1996; Flap 1999; Lin 2001. Dudwick et al. 2006 menegaskan bahwa modal sosial mencakup
multi dimensi yaitu komunitas, jaringan, norma, kepercayaan; sementara itu Lin 2001 menegaskan bahwa modal sosial pada tingkat individu lebih kuat
sehingga mudah terukur dibandingkan dengan tingkat komunitas. Keberadaan modal sosial sangat menentukan nilai-nilai sosial yang berlaku
pada masyarakat dan mampu menjamin pengelolaan sumberdaya air secara arif, bijaksana dan berkelanjutan. Karena itu untuk meningkatkan
pemahaman antar stakeholders terhadap kompleksitas dan upaya menyelesaikan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air
diperlukan komunikasi intensif di setiap tingkatan pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Alikodra 2002 menyatakan untuk dapat mengelola
lingkungan secara benar perlu pengembangan kapasitas lingkungan capacity development in environment atau CDE yang menekankan tiga
elemen kunci yaitu organisasi atau institusi kelembagaan, regulasi dan
31 sumberdaya manusia SDM. Elemen-elemen kunci bagi pengembangan
kapasitas lingkungan hidup tersebut perlu ditingkatkan kemampuannya, sehingga dapat terbentuk kelembagaan jasa lingkungan capacity building
yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Kelembagaan yang fleksibel dan sederhana adalah sebuah
organisasi dengan ciri equality, diversity dan efektif; selain itu diperlukan adanya kemauan dari anggota dalam organisasi tersebut dimana orang-
orangnya harus mau belajar secara terus menerus pada semua tingkatan agar menghasilkan kelembagaan yang dapat tumbuh dan berkembang serta
maju di masa mendatang Senge 1995. Sedangkan menurut Alikodra 2002 terkait dengan organisasi atau kelembagaan Pemerintah atau semi
Pemerintah di bidang lingkungan harus mampu menerapkan konsep good environmental governance dicirikan dengan transparan, partisipatif,
akuntabilitas, mampu melakukan penegakan hukum, efektif, efisien dan berkeadilan. Untuk itu diperlukan penyamaan visi dan misi dari semua
stakehoders untuk membangun kelembagaan jasa lingkungan dalam konsep capacity development in payment of environmental services atau
pembangunan kapasitas kelembagaan pembayaran jasa lingkungan.
2.5 Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan