Implikasi Kebijakan Pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum studi kasus DAS Cisadane Hulu

209

6.4 Implikasi Kebijakan

Hasil studi tentang pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum di DAS Cisadane hulu menunjukkan bahwa pilihan kebijakan yang perlu dikembangkan adalah pilihan kebijakan tentang pentingnya kebijakan pemerintah dalam hal memberikan insentif yang adil dan lebih merata, mengingat beberapa hal yang secara faktual empiris sebagai temuan dari hasil penelitian berupa: 1. Terjadi ketimpangan alokasi dalam pemanfaat sumberdaya air minum antara pengusaha perseorangan, berbadan usaha swasta dan PDAM, yaitu: a usaha air curah perseorangan pada 4 kecamatan studi Ciawi, Cigombong, Tamansari dan Ciomas kapasitas air minum terjual telah melebihi kapasitas terpasang, sementara pada 2 kecamatan Caringin dan Cijeruk jumlah air terjual mendekati jumlah kapasitas terpasang; b usaha air berbadan usaha swasta terdapat di 3 kecamatan Caringin, Cigombong, dan Tamansari air terjual telah melebihi kapasitas terpasang; c pada PDAM secara umum jumlah air terjual belum melebihi kapasitas terpasang. 2. Perusahaan besar yang bergerak dalam pengelolaan air curah 18.70 dari alokasi badan usaha swasta; satu perusahaan mampu mengelola air curah per hari sekitar 2 160 m 3 atau 788 400 m 3 per tahun dibandingkan pengelolaan air curah perseorangan 4 642 m 3 per hari atau 1 649 330 m 3 per tahun ataupun berbadan hukum swasta sebesar 11 549 m 3 atau 4 215 385 m 3 per tahun dan PDAM 45 019 m 3 per hari atau 16 458 210 215 m 3 per tahun. Dengan demikian air curah terjual mencapai 708.45 ldet atau 61 210 m 3 per hari atau 22 341 650 m 3 3. Kapasitas terpasang sumber air baku berupa air curah yang bersumber dari mata air di DAS Cisadane Hulu sebesar 1 473.91 ldet atau 127 346 m per tahun yang terbagi dalam pengusahaan air minum atau air curah oleh perorangan 7.58, pengusahaan air minum oleh badan usaha swasta 18.87, dan pengusahaan air bersih oleh PDAM 73.55. 3 per hari atau setahun mencapai 46 481 290 m 3 ; sementara kapasitas terpakai adalah 708.45 ldet atau 61 210 m 3 per hari atau 22 341 650 m 3 per tahun, sehingga tampak masih dalam kondisi surplus. Besarnya surplus antara kapasitas terpasang dengan kapasitas terpakai adalah 765.46 ldet atau 66 138 m 3 per hari atau 24 139 547 m 3 4. Terjadi perbedaan nilai yang signifikan dalam nilai perolehan air berbasis penerapan pajak air permukaan dan pajak air tanah sehingga berkonsekuensi terhadap kontribusi dalam ekonomi air yang berbeda pula. Sementara itu, keterkaitannya dengan pengelolaan sumber daya air minum untuk pengembangan kebijakan pajak daerah agar menganut asas berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah dan memperhatikan asas keberlanjutan sumber air baku. per tahun. Pengelolaan sumberdaya air minum di DAS Cisadane yang memberikan nilai keekonomian sebesar Rp11 835 triliun per tahun menandakan bahwa pengusahaan air minum mendapat respon positif dari investor, untuk itu dalam pengembangan kebijakan diperlukan instrumen kebijakan dalam mengendalikan overuse of water yang melebihi daya dukung lingkungan dan daya kapasitas air terpasang. 211 Konsekuensi atas hal yang demikian ini, maka diperlukan beberapa langkah pengembangan kebijakan yang dapat diterapkan dan selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana yang teridentifikasi pada Instrumen Kebijakan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Air Minum Bersih Lampiran Tabel 6.1. Adapun implementasi pengembangan kebijakan atas pengelolaan air tanah dan kebijakan pajak air yang merupakan implikasi atas hasil studi atau penelitian ini, sebagaimana diuraikan dalam ilustrasi berikut. Pertama, Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disahkan Presiden RI di Jakarta pada tanggal 15 September 2009 dan berlaku sejak 1 Januari 2010, dinyatakan pada Pasal 180 Ketentuan Penutup bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dan jenis Pajak kabupatenkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 masih tetap berlaku untuk jangka waktu 2 dua tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2009. Pajak air permukaan dan pajak air bawah tanah pada Undang_Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang_Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang_Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah. Perubahannya adalah Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa Pajak air bawah tanah yang sebelumnya menjadi kewenangan Provinsi, maka menurut ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 nomenklatur dirubah menjadi pajak air tanah dan merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota yang dapat berlaku secepatnya pada tanggal 1 Januari 2011 dan selambat-lambatnya 2 tahun, 212 yaitu 1 Januari 2012 setelah diberlakukannya Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menurut ketentuan UU No. 28 Tahun 2009. Kedua, terkait dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan Presiden RI di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2009 mengatur Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup Paragraf 8, Pasal 43 ayat 1 Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 huruf a meliputi, antara lain : a mekanisme kompensasi atau imbal jasa lingkungan hidup antar daerah huruf c; dan b internalisasi biaya lingkungan hidup huruf d. Pasal 43 ayat 2 Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 huruf b meliputi, antara lain: a Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup huruf a, dan b Dana amanah atau bantuan untuk konservasi huruf c 3 Insentif danatau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk pengembangan pembayaran jasa lingkungan hidup huruf e. Relevansi kedua undang-undang tersebut terkait dengan studi ini adalah bahwa temuan bahwa telah terjadi ketimpangan alokasi dalam pemanfaatan sumber daya air minum dan juga ketimpangan nilai perolehan air antara stakeholders tentunya dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang penetapan Pajak Air Permukan oleh Pemerintah Provinsi dan Pajak AIr Tanah oleh Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota hendaknya menganut prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah, serta mempertimbangkan dan memperhatikan kedua undang-undang tersebut, sebagaimana pada UU No. 32 tahun 2009 bahwa diperlukan adanya dana jaminan pemulihan lingkungan hidup dan dana amanah atau bantuan konservasi, sehingga mampu untuk mempertahankan agar daerah hulu tetap menjadi daerah berhutan dengan tutupan lahan yang tinggi dan 213 tersebar luas guna menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber air baku di daerah hulu. Selain itu perlu pula dimasukan secara terpadu pada peraturan daerah tentang system insentip yang mengacu pada Pasal 43, ayat 3 hurup e tentang perlu diterapkannya bentuk pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup pada mekanisme pembayaran Pajak air permukaan maupun pajak air tanah. A. Kajian dalam penelitian Disertasi ini dapat dijadikan referensi sebagai suatu implikasi kebijakan, yaitu dalam penyusunan Peraturan Daerah atau terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota tentang Pengelolaan Air Tanah, misalnya dalam penyusunan klausul: Dalam Ketentuan Umum 1. Pada klausul yang terkait dengan Definisi Pengelolaan Air Tanah butir 14 dalam definisi tersebut perlu ditambahkan pada kalimat terakhir dengan pembayaran jasa lingkungan hidup atas penggunaan air tanah; sehingga bunyinya menjadi: ”Pengelolaan Air Tanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah dan pengendalian daya rusak air tanah dengan memperhatikan pembayaran jasa lingkungan atas pendayagunaan air tanah” 2. Konsekuensi ditambahkan klausul setelah butir 18 tentang Pengendalian Daya Rusak Air Tanah adalah pentingnya klausul baru tentang Pembayaran Jasa Lingkungan atas pendayagunaan air tanah butir baru 19 sehingga menambah definisi yaitu: Pembayaran Jasa Lingkungan atas pendayagunaan air tanah adalah pembayaran jasa lingkungan atas pendayagunaan air tanah untuk pemanfaatan jasa ekosistem alamiah dan sistem budidaya yang manfaatnya dapat digunakan dan dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam 214 rangka membantu memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan manusia. 3. Definisi tambahan lainnya adalah klasusul baru butir 20: Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah bentuk usaha untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dalam upaya keberlanjutan lingkungan yang baik dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok kelestarian hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air tanah. 4. Dalam BAB tentang PENGELOLAAN AIR TANAH pada Kebijakan Pasal 4 ayat 1 agar ditambahkan kalimat sistem pembayaran jasa lingkungan; sehingga ayat 1 menjadi: Kebijakan pengelolaan air tanah sebagai acuan dalam penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, pengendalian daya rusak air tanah, sistem informasi air tanah dan sistem pembayaran jasa lingkungan atas pendayagunaan air tanah. 5. Pada Pasal 4 dalam Rancangan Peraturan Daerah tersebut perlu ditambahkan dengan satu ayat, yaitu ayat 4 Kebijakan Pembayaran Jasa Lingkungan adalah Kebijakan Lingkungan dalam hal pembayaran jasa lingkungan atas pendayagunaan air tanah yang dipergunakan untuk pemanfaatan jasa ekosistem alamiah dan sistem budidaya yang manfaatnya untuk pelestarian sumber air baku dengan tetap memelihara daerah resapan air secara berkelanjutan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan manusia. 6. Dalam BAB tentang PERIZINAN Pasal 9 ayat 2 agar ditambahkan huruf d yaitu: d. Izin Pembayaran Jasa Lingkungan dan setelah ayat 5 pada Pasal 9, perlu ditambahkan ayat 6 yaitu: 1 Izin Pembayaran Jasa Lingkungan adalah sejumlah jasa ekosistem yang diberikan seseorang danatau badan atas pendayagunaan air tanah yang lebih 215 dari 173 m 3 7. Dalam penjelasan Ayat 6 diatas; penjelasannya: Izin Pembayaran Jasa Lingkungan merupakan dana Pembayaran Jasa Lingkungan yang dihimpun dari pengguna atau pemanfaat air tanah; yang kemudian oleh Pemerintah Daerah akan dikembalikan lagi untuk memperbaiki ekosistem lingkungan air tanah, agar produksi air tanah tetap baik dan berkelanjutan sebagai bentuk produk ramah lingkungan atau produk hijau green product per hari dengan nilai pembayaran jasa lingkungan sebesar 50 persen dari nilai tersebut untuk memperoleh suatu peningkatan kondisi ekosistem lingkungan air tanah agar lebih baik dari kondisi sebelumnya secara berkelanjutan. B. Kajian dalam penelitian Disertasi ini dapat dijadikan referensi sebagai suatu implikasi kebijakan, yaitu dalam penyusunan Peraturan Daerah atau terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota tentang Pajak Air Tanah, misalnya dalam penyusunan klausul: Dalam BAB III DASAR PENGENAAN, TARIF, DAN CARA PERHITUNGAN PAJAK pada Pasal 5 ayat 2 setelah huruf f. Agar ditambahkan g. Berupa Pembayaran Jasa Lingkungan; lengkapnya: g. Pembayaran Jasa Lingkungan adalah sejumlah jasa ekosistem yang diberikan seseorang atau badan atas pendayagunaan air tanah yang lebih dari 173 M3 per hari dengan nilai pembayaran jasa lingkungan sebesar 50 persen dari nilai tersebut untuk memperoleh suatu peningkatan kondisi ekosistem lingkungan air tanah agar lebih baik dari kondisi sebelumnya. Kajian atau studi atas pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan PJL dalam pengelolaan air minum di DAS Cisadane hulu merekomendasikan pula masukan dari responden atas pentingnya dibuat 216 mekanisme PJL melalui peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah Perda. Hal ini agar lebih jelas, aspiratif, transparan, akuntabel dan alokasi kompensasi atau imbal jasa lingkungannya lebih adil dan merata bagi masyarakat di hulu sebagai penyedia jasa lingkungan air baku dari para pemanfaat jasa air bersih atu air minum di hilir, secara rinci disajikan pada Gambar 6.8. PENGEMBANGAN PENGUATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR BERSIH ATAU AIR MINUM Pemohon SIPPA dan PJL: Perorangan, Badan , PDAM, Lembaga Lainnya Dinas ESDM KabKota Air Tanah; Balai PSDA Propinsi Air Permukaan Persyaratan Pemohonan: • Permohonan Tertulis • Identitas Pemohon : - KTP - Identitas Perusahaan - Lembaga, Dinas dll • Alamat Pemohon • Luas Tanah • Pemanfaatan Tanah • Lokasi yang di mohon • Peta Situasi Peraturan Perundangan UU No. 72004 - SDA; UU No. 282009 - Pajak Retribusi Daerah; UU No. 322009 - Perlindungan Pengelolaan LH Izin Selesai PERDA Pajak Aper, AT dan PJL Permohon- an Ditolak Dikemba- likan Permohonan Tertulis Lengkap Diproses Survai Lapangan: LokasiTempat; Luas Tanah; Peta Lokasi; Pemanfaatan; Debit Air Pemangku Kepentingan di Desa dan Kecamatan: LurahKepala DesaCamat; LSM; Tokoh Masyarakat; [Nilai Modal Sosial Norma, Trust, Ikatan Sosial; Kearifan Lokal Kesejahteraan] Rekomendasi Teknis Rektek Lembaga Terkait DESDM atau BPSDA dan BLH KabKota Bidang Bina Manfaat Bidang Bina Pengusahaan Staf Adm DESDM BPSDA Nilai Perolehan Air NPA Nilai Imbal Jasa Lingkungan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan dan Pajak Air PJL dan Pajak Air Bayar Pajak ke UPP Dinas Pendapatan Pemberitahuan Nilai Pajak PJL ke Pemohon Penyerahan SIPPA PJL Keterangan: : Alur Permohonan Izin; : Alur Tembusan Permohonan Izin : Alur Izin Diproses; SIPPA: Surat Izin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permo- honan Diperbaki dan Dileng- kapi Gambar 6.8 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan dalam Pengelolaan Air Bersih Minum Sharing Pajak PJL = Desa : Pemda = 40 : 60 217 Gambar 6.8 merupakan aliran mekanisme PJL dalam pengelolaan air minum, sebagai outcome implementasi kebijakan dalam pengembangan kapasitas kelembagaan tentang mekanisme PJL dalam pengelolaan air terpadu hulu-hilir yang mengintegrasikan tiga undang-undang, yaitu UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada hasil penerimaan pajak air dan PJL sebagai kompensasi dan imbal jasa lingkungan, maka mekanisme pengawasannya dilakukan oleh pemangku kepentingan di tingkat Desa dan Kecamatan melalui Perda, sehingga pembagian hasilnya 30 atau 40 untuk Desa dan Kecamatan dimana sumberdaya air berada, untuk biaya konservasi di wilayah hulu dan 60 atau 70 untuk Pemerintah Daerah dengan menerapkan nilai rataan WTP-WTA Rp1 563.97 per m3 air. Proporsi 30 - 40 dari pendapatan Pajak Air dan PJL yang diterima oleh Pemerintah Daerah KabupatenKota merupakan pandangan responden pada umumnya terhadap pentingnya PJL, agar dikembalikan kepada pemerintah desa dengan alasan responden bahwa air telah diusahakan secara komersial berupa air curah dan atau AMDK. Mekanisme penyaluran dana PJL agar diatur dalam Perda tentang alokasi yang adil dan merata dari pendapatan atas Pajak Air dan PJL dimaksud. Dana PJL tersebut untuk kepentingan masyarakat hulu sebagai dana konservasi agar masyarakat di hulu dapat mempertahankan kawasan resapan air secara berkelanjutan. Penerapan hasil studi pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan sebagai suatu keluaran outcome untuk suatu kebijakan Pemerintah Daerah dibandingkan kebijakan yang ada, sebagaimana disajikan pada Tabel 6.1. 218 Tabel 6.1 Matrik Kebijakan Pajak Air Permukaan dan Pajak AIr Tanah Kriteria Parameter Kondisi Kebijakan yang ada Exsisting Hasil Studi Pengembangan Kebijakan PJL Pajak Air Permu- kaan Pajak Air Tanah Pajak Air Permu- kaan Pajak Air Tanah Kompo- nen Faktor SDA FKSDA:

1. Jenis Sumber Air Jsa,

seperti: Mata Air; Waduk Buatan; Sungai, Situ, Danau dan Rawa; dan Air Laut yang dimanfaat- kan di Darat

2. Zona Pengambilan

Zpa: Kritis, Aman, dan Rawan √ √ √ √ Kualitas Air Ksa: Kelas 1 A, Kelas 2 B, dan Kelas 3 C √ √ √ √

1. Lokasi Sumber Air

Lsa: 500 km 2 ≥ 500 km dan

2. Sumber Alternatif

Saa 2 √ √ √ √

1. Kondisi DAS Kdas:

Baik, Sedang, Rusak

2. Jenis Sumber Jsa:

Air Tanah Dalam Mata Air dan Air Tanah Dangkal √ √ √ √ Konservasi Lahan dan Air Kla √ √ Faktor Kelompok Pemanfaat atau Pengguna Air FKPA: 1. Perusahaan Air non PDAM: a. Kawasan Industri Air b. Perumahan c. Perusahaan Air Lainnya

2. Perusahan Air PDAM 3. Komponen Pemu-

lihan Volume Air: a. 1 – 500 m b. 501 – 1500 m 3 c. 1501 – 3000 m 3 d. 3001 – 5000 m