Latar Belakang Pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum studi kasus DAS Cisadane Hulu

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya air merupakan Common Pool Resources CPRs yang bersifat alami dan tradisional. CPRs tradisional lainnya adalah sumberdaya hutan dan udara. Orstrom 1990 menjelaskan dua karakteristik utama CPRs, yaitu: 1 memiliki sifat substractibility atau rivalness didalam pemanfaatannya, dalam arti setiap konsumsi seseorang atau pemanenan atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya; 2 adanya biaya cost yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya untuk pihak-pihak lain yang menjadi pemanfaat beneficiaries. Sumberdaya air di masa lalu terutama di daerah-daerah yang berlimpah, seakan tersedia secara tidak terbatas; sumberdaya air sebenarnya tersedia secara terbatas, hal ini dapat terjadi karena adanya penurunan kualitas lingkungan yang diindikasikan oleh perubahan debit sungai, berkurangnya debit dan kapasitas mata air, dan penurunan kualitas air akibat pencemaran. Namun, karena pada kondisi-kondisi tertentu air tersebut tersedia cukup banyak sehingga tidak begitu dirasakan adanya keterbatasan ketersediaannya. Menurut Rustiadi 2006, kecenderungan pemanfaatan berlebihan atau overuse merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya- sumberdaya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat menghindarinya. Hal ini sejalan dengan gagasan Orstrom 1990 menyatakan: 1 privatisasi sumberdaya alam bukanlah cara yang tepat termasuk untuk menghambat kerusakan lingkungan, 2 pemerintah tak selalu sebagai pengatur terbaik bagi alokasi sumberdaya milik publik, dan 3 masyarakat bisa diberdayakan bagi komunitasnya sendiri, untuk mengatur sumberdaya alam. Namun, mereka agar diberi 2 kepercayaan untuk memimpin sendiri pengelolaannya, sebagaimana dijumpai pada cara masyarakat tradisional mengelola lingkungannya, sebagai hak ulayat. Dalam pemahaman Sarosa 2002 bahwa pembangunan yang melibatkan masyarakat lokal dan memperhatikan ekosistem alami telah mencapai tahapan atau phase tiga yang didalamnya terdapat lima visi, meliputi produktivitas ekonomi economic productivity, keberlanjutan secara ekologi ecological sustainability, keadilan sosial social justice, partisipasi politik political participation dan adanya semangat atau getaran kultural cultural vibrancy yang ada pada masyarakat. Menurut Schlager dan Orstrom 1992 hak atas kepemilikan sumberdaya air dicirikan oleh: 1 Access, adalah hak untuk masuk ke suatu sumberdaya air, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya air berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya air berada akan memiliki hak ini. 2 Withdrawal, adalah hak untuk mengambil unit air dari sumberdaya air untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan masyarakat. 3 Management, adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana sumberdaya air itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan collective. Dalam hal demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya air yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. 4 Exclusion, adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya air tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya air berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna air. 5 Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumberdaya air kepada pihak lain yang memerlukannya. Otoritas ini juga biasanya dimiliki oleh masyarakat komunal lokal dan pemerintah. 3 Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional operational level, sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama collective-choice level. Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air yang ada. Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu: 1 pemilik owner, 2 penggarap propriator, 3 pengkalim claimant, 4 pengguna yang diberi otoritas authorized user. Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna user diberi otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus melalui pemerintah. Air merupakan sumberdaya alam yang berfungsi sebagai unsur paling esensial dan penentu terpenting dalam kehidupan setiap makhluk hidup serta pada beberapa keadaan dapat merupakan faktor yang menentukan terhadap tingkat kemakmuran suatu masyarakat bangsa. Dengan demikian air merupakan sumberdaya alam yang sangat strategis dan vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan serta keberadaannya tidak digantikan oleh materi lainnya. Dalam hal ini, air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan baik dalam lingkungan atmosfir, litosfir dan biosfir; sehingga pasokan air yang mendukung berjalannya 4 pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin kesinambungannya terutama kuantitas dan kualitasnya. Meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi maka ketersediaan dan pemanfaatan air bersih fresh water untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat manusia dan peningkatan kinerja ekonomi mengalami perubahan dan cenderung terdapat arah yang menimbulkan sifat kelangkaan akan air bersih. Terlebih karena air bersifat barang publik yang telah menjadi barang ekonomis yang semakin strategis, maka pemanfaatan sumberdaya air baku bersih menimbulkan tiga jenis persaingan competitions, yaitu: 1 persaingan antara individual atau kelompok pengguna antara pihak-pihak kelompok kaya dan miskin atau kelompok berdaya dan tidak berdaya dalam satu generasi, 2 kompetisi spasial seperti antara desa dan kota, antara hulu dan hilir, ataupun 3 persaingan temporal antara generasi saat ini dan generasi mendatang bagi keperluan kehidupan. Sehubungan dengan kompetisi tersebut maka dalam pengalokasian sumberdaya air haruslah ditangani dengan baik, kearah perbaikan efisiensi dan keadilan equity agar tidak terjadi kemubaziran dan tidak mengarah kepada ketidakberlanjutan atau kelangkaan. Pemanfaatan air baku dalam pengelolaan pengembangan sistem penyediaan air minum SPAM dan pengelolaan air bersih minum diharapkan dapat terintegrasi dalam tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu lingkungan atau ekologi atau ekosistem, ekonomi, dan sosial Munasinghe 1993. Pertama, memasukkan pertimbangan ekologi lingkungan dalam setiap kebijakan ekonomi dan sektoral, artinya menciptakan pembangunan berwawasan lingkungan. Kedua, menyarankan strategi preventif atau antisipasi dalam setiap proyek atau kegiatan pembangunan karena mencegah lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan memperbaiki yang telah terlanjur rusak. Ketiga, memperluas gerakan peduli lingkungan yang akan menghasilkan pembangunan ekonomi 5 yang baik dan berkelanjutan untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik di masa mendatang. Seragaldin 1994 menjelaskan dalam pembangunan berkelanjutan perlu adanya tiga tujuan pembangunan, yaitu: pertama, tujuan ekosistem dan tujuan ekonomi, bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk tujuan pembangunan ekonomi harus didahului oleh evaluasi dampak lingkungan sebagai langkah pencegahan terhadap resiko-resiko lingkungan yang dapat terjadi. Kecenderungan untuk mengabaikan nilai-nilai yang tidak memiliki harga instrinsic value ataupun atas beban sosial masyarakat sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya alam harus dihindari. Bila tidak, hal itu akan menimbulkan eksternalitas negatif yang akan merugikan masyarakat secara keseluruhan karena akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas kehidupan dan lingkungannya, sehingga upaya-upaya internalisasi atas eksternalitas negatif harus dilakukan, misalnya dengan program kompensasi kepada masyarakat. Kedua, tujuan ekosistem dan tujuan sosial, dalam upaya konservasi sumberdaya alam, seperti hutan, harus mempertimbangkan masyarakat yang berdomisili di sekitar sumberdaya tersebut. Kalau tidak maka akan berakibat pada terjadinya kemiskinan dan program perlindungan lingkungan menjadi suatu kegagalan. Selain itu karena tekanan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat maka program konservasi menjadi sangat penting dan berarti, sehingga diperlukan adanya pengukuhan atas hak-hak kepemilikan dan hak-hak ulayat masyarakat lokal. Konsultasi publik sebelum perumusan dan implementasi suatu program perlu dilakukan guna merangsang dan menggali potensi dan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat. Ketiga, tujuan sosial dan tujuan ekonomi, unsur-unsur yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan sosial dan tujuan ekonomi secara bersamaan, yaitu: distribusi pendapatan, lapangan kerja, dan bantuan sosial. Misalnya, pemberian kesempatan berusaha dan pengembangan usaha bagi masyarakat kecil perlu dibarengi dengan program pemberian fasilitas kredit, 6 insentif, kompensasi dan penyediaan berbagai fasilitas untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia seperti pedampingan dan pelatihan, pendidikan dan penyuluhan. Ketiga domain tersebut satu dengan yang lainnya saling berikatan, namun mempunyai kepentingan yang berbeda pada saat memanfaatkan sumberdaya air Sanim 2003. Pada domain ekosistem dimana masyarakat lokal inhibitant yang berdomisili di dalam dan di sekitar sumberdaya air dapat mempunyai dua pandangan filosofis. Jika masyarakat lokal berlandaskan pada filosofis atau paradigma antropocentrisme, maka air sebagai barang publik dan Common Pool Resources CPRs dapat dimanfaatkan secara boros tidak efisien dan tanpa dilandasi perlunya keberlanjutan. Sebaliknya bila ecocentrisme yang melandasi cara pandangnya, maka efisiensi dan keberlanjutan sumberdaya air menjadi satu hal yang sangat penting dalam kehidupannya. Gambaran integrasi antara pilar dan tujuan pembangunan berkelanjutan, kemudian digabungkan dengan kerangka pendekatan filosofis dalam kebijakan pemanfaatan sumberdaya air yang dibedakan dalam tiga domain ruang, meliputi: ecosystem atau ecological sector domain, private sector domain, dan public sector domain yang satu dengan lainnya mempunyai kepentingan berbeda namun terintegrasi dan komprehensif Gambar 1.1. Domain sektor publik, menyerahkan rekonstruksi atau perbaikan dalam pengelolaan air baku untuk air bersih minum diserahkan pada rekayasa kebijakan publik melalui desentralisasi kekuasaan dan manajemen dengan menyerahkan tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah atau Perusahaan Daerah Air Minum PDAM secara regionalisasi atau dikordinasikan oleh Pemerintah Propinsi seperti Perusahaan Jasa Tirta, hal ini sejalan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM dengan 7 tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kecenderungannya yang lebih dominan menganut paradigma ecocentrisme daripada antropocentrisme. Tujuan Ekosistem: Penguatan Ecocentrisme Daya Dukung, Isu Global, dan Integrasi lingkungan Partisipasi Evaluasi dan Internalisasi Konsultasi Paradigma Dampak, Penilaian Pluralisme Antropocentrisme Sumberdaya atau Ecocentrisme? Tujuan Sosial: Tujuan Ekonomi: Pemberdayaan, Pertumbuhan, Partisipasi, Efisiensi, Mobilitas, Pemerataan Kelembagaan Distribusi Pendapatan, Lapangan Kerja, Perbantuan Penguatan Paradigma Ecocentrisme domain ekosistem Gambar 1.1 Pemanfaatan Sumberdaya Air Berbasis Penguatan Ekologi Modifikasi dari: Munasinghe 1993; Seragaldin 1994; Putri 2003; Sanim 2003; Domain sektor privat dalam pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui mekanisme kebijakan di sektor privat, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan melalui privatisasi. Dalam UU No. 7 Domain Ekosistem Ekologi Ecosystem sector domain Domain Pasar Ekonomi Private sector domain Domain Publik sosial-umum Public sector domain Rekontruksi Pengelolaan Sumberdaya Air melalui Rekayasa Kebijakan Publik Regionalisasi dan Desentralisasi pada PemerintahDaerah Rekontruksi Pengelolaan Sumberdaya Air melalui Rekayasa Kebijakan Privat Privatisasi dan Desentralisasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan Lainnya 8 Tahun 2004 tentang Sumberdaya air peran privat atau swasta dimungkinkan untuk terlibat dalam pengelolaan air bersih minum, sehingga dimungkinkan adanya komersialisasi atas sumberdaya air dengan tetap mempertimbangkan kerangka filosofis antropocentrisme atau ecocentrisme. Namun, karena domainnya bersifat privat, kecenderungannya akan lebih dominan menganut paradigma antropocentrisme daripada ecocentrisme. Berdasarkan latar belakang pentingnya tiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan sumberdaya air selain perlu memliki ketiga tujuan pembangunan berkelanjutan, maka harus dilandasi pula oleh paradigma ecocentrisme sebagai umpan balik pembangunan untuk menjamin kelestarian sumberdaya air di masa depan untuk generasi mendatang. Oleh karenanya diperlukan adanya sistem insentif sebagai kompensasi atas jasa lingkungan air terutama bagi pengaturan perilaku antara masyarakat yang berada di hulu dengan masyarakat yang memanfaatkan air di hilir dalam kerangka untuk menstabilisasikan dan keberlanjutan kehidupan manusia di masa depan dengan tetap mendapatkan manfaat penting atas keberadaan sumberdaya air tersebut secara bijaksana dan ramah lingkungan green product pada saat sekarang. Kondisi demikian yang menghubungkan adanya peningkatan yang tinggi atas pengambilan dan pemanfaatan air dengan kompensasi dalam skema jasa lingkungan berupa Pembayaran Jasa Lingkungan PJL atau Payment for Environmental Services PES. Dalam kontek demikian, perlu adanya pemikiran tentang adanya insentif terhadap penyedia jasa lingkungan yang oleh para pemanfaat air minum benefeciaries disesuaikan dengan nilai pembayaran jasa lingkungannya sebagai biaya konservasi di hulu menjadi sesuatu yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat penyedia jasa lingkungan berupa PJL sebagai kompensasi atas penggunaan jasa lingkungan air bersih minum. Pembayaran jasa lingkungan memberikan arti penting dalam hal keberlanjutan pengelolaan air minum, mengapa? Pertama, karena masih 9 banyak orang yang belum mendapatkan jasa lingkungan yang layak atas pengusahaan air minum. Kedua, potensi perkembangan pemasaran jasa air pada saat sekarang cukup menjanjikan. Kertiga, pentingnya peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan yang bergerak dan terkait dalam usaha jasa air yang ramah lingkungan, antara lain: a pemerintah pusat dan daerah, lintas sektoral, regional danatau wilayah, b masyarakat, c swasta atau badan usaha, d lembaga swadaya masyarakat LSM, dan e lembaga donor. Penelitian ini mencoba menguraikan pentingnya analisis kebijakan atas pengelolaan sumberdaya air baku yang dimanfaatkan untuk air minum yang secara kompleksitas kebijakan diperlihatkan pada Lampiran Tabel 6.1; selain itu pentingnya analisis terhadap pembayaran jasa lingkungan PJL bagi kelestariaan lingkungan yang mampu menghasilkan: a nilai pembayaran jasa lingkungan dan prinsip-prinsip kebijakan yang berkaitan dengan mekanisme PJL; dan b faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan lingkungan atas pengelolaan air bersih minum.

1.2 Perumusan Masalah