168
7.1.2 Partisipasi Participation
Prinsip kekuasaan berada di tangan negara namun kedaulatan berada ditangan rakyat. Hal ini membutuhkan pelibatan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan baik secara langsung atau melalui model intermediasi atau lembaga yang mewakili kepentingan masing-masing secara konstruktif dan
dibangun diatas kejujuran. Oleh karena itu pada penelitian ini telah dieksplorasi tentang partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di
Kabupaten Bone Bolango. Mengetahui peran keterlibatan masyarakat dalam advokasi atau
penyuluhan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang. Dijumpai bahwa keinginan berpartisipasi masyarakat cukup tinggi dimana 83 responden yang
menjawab turut berpartisipasi yaitu 34 atau 41.0 persen. Sementara yang tidak berpartisipasi yaitu 16 responden atau 19.3 persen. Akan tetapi yang tidak
menjawab lebih banyak bila dibanding dengan yang tidak berpartisipasi yaitu 33 responden 39.8 persen. Keengganan masyarakat ini lebih dikarenakan oleh belum
optimalnya model materi advokasi yang disampaikan terutama kepada masyarakat yang bermukim di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya
PT Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 26. Meskipun pada model partisipasi advokasi masyarakat di wilayah konsesi
relatif tidak optimal. Namun dijumpai keikutsertaan masyarakat didalam kegiatan penyuluhan cukup baik yaitu 52 responden yang mengikuti penyuluhan atau 63
persen dan yang tidak mengikuti sebanyak 28 responden 34 persen. Sedangkan yang tidak jelas hanya 3 responden atau 4 persen. Meskipun mengikuti itu kurang
bermakna bila dibanding dengan makna partisipasi namun penting adanya suatu proses pencapaian hasil advokasi atau penyuluhan bukan dilihat dari aspek hasil.
Kapasitas atau tingkat pendidikan masyarakat yang relatif kurang baik merupakan satu aspek yang perlu dipertimbangkan. Terkait dengan intesitas mengikuti
penyuluhan dapat dilihat pada Lampiran 27. Kemampuan masyarakat tentang isi advokasi relatif cukup baik, hal ini
dapat dilihat pada Lampiran 28, dimana responden menjawab tahu dan mengerti isi advokasi yaitu 54 responden atau 65.1 persen dan responden yang tidak tahu
dan tidak mengerti sebanyak 26 atau 31.3persen. Sedangkan responden yang tidak
169 menjawab yaitu 3 orang atau 3,6 persen. Lampiran 28 mengenai kemampuan
menyerap materi advokasi menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat dalam menyerap informasi tentang penyuluhan atau arahan mengenai pertambangan
profesional sudah cukup baik. Hal ini tidak terlepas dengan adanya kemajuan teknologi, kepekaan masyarakat terhadap kemajuan dan kebaruan informasi cukup
cepat terutama mengenai informasi pertambangan yang sepertinya sudah tidak sulit lagi bagi mereka PETI untuk mendapatkannya.
Aspek penting yang dijumpai di masyarakat pemukim pada wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu sifat dukungan terhadap
pemanfaatan sumberdaya tambang. Terlihat bahwa responden yang menjawab sangat mendukung yaitu 43 responden atau 52 persen dan yang cukup mendukung
yaitu 28 responden atau 34 persen. Responden yang kurang mendukung sebanyak 8 responden atau 10 persen dari total 83 responden yang berhasil diwawancarai.
Variabel sangat mendukung dan cukup mendukung yang dijawab responden merupakan informasi yang baik dan menjadi harapan para pihak untuk mendesain
pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional tanpak mengabaikan aspek lingkungan terutama masyarakat yang bermukim diwilayah tumpang tindih.
Bobot ini cukup berkaitan dengan kapasitas masyarakat dalam mengikuti penyuluhan atau pengarahan dari para pihak. Semakin baik kualitas pemahaman
masyarakat maka semakin meningkat bobot pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Akan tetapi responden yang kurang
mendukung akan berkembang bila upaya advokasi tidak dilakukan secara baik terutama kepada penambang tanpa izin karena upaya untuk melegalkan PETI ini
cukup berkembang. Misalnya seperti dijumpai dibeberapa aktivis mahasiswa dan tokoh masyarakat menginginkan agar sebagian wilayah konsesi kontrak karya
tersebut diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat.
7.1.3 Kesepakatan Consensus Orientation
Orientasi membangun kesepakatan dalam mediasi antara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas
dan jangka panjang dalam penelitian ini dicoba dilihat dari aspek dukungan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang di wilayah kontrak karya
170 PT Gorontalo Minerals. Hal ini seperti digambarkan pada hasil wawancara dalam
angket. Mengenai sifat dukungan pemanfaatan sumberdya tambang dapat dilihat pada Lampiran 29.
Terkait dengan dukungan yang disampaikan oleh responden pada Lampiran 28, maka pada Lampiran 30 Tabel tentang bentuk dan dukungan
pemanfaatan sumberdaya tambang sasarannya yaitu mengetahui bagaimana dukungan masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya tambang secara
profesional. Total responden yang memberikan jawaban atau saran diterima yaitu 54 atau 65,1 persen. Responden yang menolak idea atau saran sebanyak16
responden atau 19.3 persen dan yang tidak menjawab yaitu 13 responden atau 15.7 persen.
Selanjutnya penting untuk mengetahui apakah masyarakat di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya mengikuti dan menyalurkan
aspirasinya lewat organisasi atau lembaga di tingkat lingkungan. Nampak bahwa masyarakat enggan atau kurang tertarik menyampaikan hal itu didalam organisasi
dimana terdapat 46 responden yang menjawab tidak mengikuti organisasi atau 55.4 persen. Selanjutnya responden yang mengikuti organisasi yaitu 32 responden
atau 39 persen, namun yang tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Umumnya masyarakat kurang tertarik masuk dalam organisasi karena lembaga
organisasi relatif menyusun kegiatan program yang bersifat ritual sedangkan organisasi yang menyusun program terkait dengan isu-isu konflik pemanfaatan
ruang relatif tidak ditemui. Indikator bahwa kelembagaan sosial ekonomi dan budaya memberikan
peran terhadap interaksi dan kohesivitas masyarakat dalam rangka menjadi salah satu penentu apabila pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional akan
diwujudkan. Meskipun bobot keterlibatan masyarakat masih harus didalami dalam kajian ilmiah selanjutnya agar nanti rekomondasi akan lebih berbobot pula.
Lampiran 31 lebih memperjelas mengenai keterlibatan dalam organisasi. Keengganan masyarakat mengikuti organisasi menjadi tolok ukur penting bagi
para pihak terutama pemerintah dan pemegang izin kontrak karya untuk membangun konsensus melalui penyadaran institutionl kepada para pihak agar
kesepakatan tersebut dapat dipahami secara melembaga dan dapat dipertanggung
171 jawabkan kepada publik untuk dinaungi bersama serta mengedepankan
kepentingan semua pihak diatas kepentingan sendiri maupun kelompok. Demikian pula masyarakat yang mengikuti organisasi dan memiliki
kedudukan dalam organisasi relatif sedikit. Masyarakat yang ikut berorganisasi dan memiliki kedudukan yaitu 27 responden atau 32.5 persen dan yang tidak
memiliki kedudukan dalam organisasi relatif lebih banyak yaitu 48 responden atau 58 persen. Sedangkan responden tidak menjawab sebanyak 8 responden atau 10
persen. Kedudukan dalam organisasi lebih disebabkan oleh kapasitas dan pengalaman berorganisasi yang relatif kurang. Aspek kehadiran dalam rapat
organisasi relatif baik dimana jumlah responden yang sering hadir yaitu 30 responden atau 36.1 persen dan selalu hadir yaitu 10 responden. Sementara
responden yang jarang hadir yaitu 16 reponden dan yang tidak ikut hadir yaitu 22 responden atau 26.5 persen.ada pula responden yang tidak mejawab yaitu 5
responden atau 6.0 persen. Bila ditotalkan antara jarang hadir, sering hadir dan selalu hadir yaitu 55 reponden atau 67.4 persen.
Animo masyarakat menghadiri rapat organisasi cukup besar dan peluang untuk membangun komunikasi yang baik dalam rangka mencari resolusi konflik
yang terbaik cukup terbuka. Hal ini dijumpai di lokasi penelitian bahwa frekuensi kehadiran merupakan bentuk partisipasi masyarakat di dalam membangun
interaksi yang berbobot cukup besar bahkan keinginan ini sering disampaikan lewat media massa lokal. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 32.
Frekuensi kehadiran dalam rapat organisasi cukup intensif karena obyek atau agenda yang sering muncul yaitu adanya informasi tentang potensi
pertambangan memiliki nilai ekonomi cukup baik. Dijumpai bahwa beberapa tokoh masyarakat dan organisasi kepemudaan, termasuk mahasiswa terkesan
menolak Konsesi kontrak karya karena alasan akan kehilangan pekerjaan di PETI namun sebagian juga mendukung karena mereka berharap akan menjadi bagian
karyawan diperusahaan tambang. Keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran disetiap pertemuan
dalam organisasi diindikasikan melalui jawaban responden. Sebanyak 27 responden tidak memiliki saran atau 32.5 persen. Responden yang jarang
memberikan saran yaitu 20 responden atau 24.1 persen dan responden yang sering
172 memberikan saran sebanyak 18 responden atau 22 persen. Ada pula responden
yang selalu memberi saran yaitu 13 responden atau 16 persen, kemudian tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6 persen. Umumnya masyarakat di wilayah
yang berhimpitan langsung dengan Konsesi Kontrak karya menginformasikan bahwa penduduk asli itu sebagian mengetahui tentang wilayah kontrak karya.
Pemahaman akan status kelembagaan hukum kontrak karya relatif sedikit. Misalnya masyarakat yang pernah menjadi tenaga kerja diperusahaan pemilik
konsesi sebelumnya. Faktor kurangnya penyampaian informasi dan adanya desakan kebutuhan ekonomi yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya
penduduk disekitar kawasan konsesi tersebut menyebabkan resolusi konflik sampai hari ini masih dalam proses untuk mencari formulasi yang dapat diterima
oleh semua pihak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun pemanfaatan lahan secara ekspansif baik untuk kebutuhan pemukiman, sarana dan prasarana
pemerintah. Aspek keterlibatan memberikan saran dapat dilihat pada Lampiran 33 Kapasitas pemahaman masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya tambang
terutama yang bermukim disekitar kawasan konsesi di ilustrasikan melalui jawaban responden pada Lampiran 34. Terdapat responden yang menjawab tidak
tahu dan tidak paham sebanyak 25 responden atau 30.1 persen, sedangkan responden tahu dan paham yaitu 53 responden atau 64 persen, namun yang tidak
menjawab sebanyak 5 responden atau 6.0 persen. Dijumpai di lokasi penelitian masyarakat ada yang pernah melakukan dan yang sedang melakukan
pertambangan tanpa izin memiliki pengalaman secara otodidak mereka mempelajari tentang jenis batuan yang mengandung logam mulia dan
memprosesnya dengan mesin yang sudah modern serta memisahkan logam-logam tersebut dengan MercuriCianida. Kemampuan masyarakat dalam menggunakan
zat kimia ini sangat sulit terdeteksi. Pada bagian ini responden lebih banyak memilih bungkam karena takut ketahuan menggunakan. Sehingga hal tersebut
menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat sedemikian mudah dapat menggunakan zat ini secara bebas atau karena ada aparat yang melakukan upaya
perlindungan.
173
7.1.4. Keterbukaan Transparence
Status kawasan telah beberapa kali mengalami perubahan. Sejak ditetapkannya wilayah ini manjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
TNWB ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1127Kpts- II1992 tanggal 12 Desember 1992. Kemudian ditinjau kembali statusnya menjadi
Hutan Produksi Terbatas melalui kajian Tim Terpadu dalam Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo oleh Menteri Kehutanan Repulik Indonesia kepada
Gubernur Gorontalo Nomor S.238Menhut-VII2010 tanggal 14 Mei 2010. Selanjutnya ditetapkan lagi dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi
Gorontalo tanggal 29 Desember 2011 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo. Item di atas menjadi bagian pertanyaan yang diajukan kepada
responden dengan jawaban yaitu 27 responden menjawab perubahan status kawasan tersebut tidak diketahui atau 32.5 persen. Responden yang menjawab
tahu yaitu 7 responden atau 8.4 persen dengan total yang menjawab yaitu 34 responden atau 41.0 persen dari total 83 responden. Indikasi ketidaktahuan
masyarakat terhadap perubahan status kawasan adalah suatu fakta bahwa sosialisasi tentang perubahan status kawasan kepada masyarakat masih sebatas
sosialisasi di forum-forum seminar saja. Sedangkan bagaimana sosialisasi tersebut untuk membangun pemahaman amsyarakat secara konsisten dengan model
komunikasi yang mudah dipahami adalah penting untuk menghindari eskalasi konflik yang sering terjadi diwilayah tumpang tindih tersebut. Hal ini dapat dilihat
pada Lampiran 35 Tabel perubahan status kawasan. Selanjutnya mengenai informasi adanya potensi tambang di wilayah
konsesi dapat dilihat pada Lampiran 36. Informasi ini sangat cepat sampai kepada masyarakat tentang status kontrak karya baik generesi pertama maupun generasi
ke tujuh. Saat ini telah ditelusuri bahwasanya informasi tersebut telah sampai kepada masyarakat terutama pada pemukim disekitar kawasan konsesi. Pada
analisis tabel frekuensi diketahui bahwa responden yang tidak tahu tentang status kontrak karya 21 responden atau 25.3 persen dan yang tahu hal itu 4 responden
atau 5 persen. Disimak dari persentase pengetahuan masyarakat tentang status kontrak karya lebih didominasi oleh ketidaktahuan masyarakat, bukti konkrit
174 seperti yang telah dijumpai di lokasi penelitian terdapat 21 responden mengatakan
bahwa kontrak karya ini mereka tidak tahu. Unsur ini lebih dilihat dari pandangan kemudahan mendapatkan informasi.
Dimana proses pemanfaatan sumberdaya tambang dapat langsung diakses oleh para pihak yang membutuhkan secara bertanggung jawab. Proses pemanfaatan ini
dapat dimonitor dan dipahami secara berkelanjutan dan konsisten untuk menyampaikan kepada publik agar nanti informasi ini menjadi bagian
peningkatan pemahaman masyarakat tentang pertambangan. Mengenai pemahaman terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang dapat dilihat pada
Lampiran 37. Terkait dengan permulaan memperoleh informasi tentang wilayah yang
memiliki cadangan emas dan tembaga yang telah diteliti atau dieksplorasi oleh perusahaan sebelumnya yaitu informasi dari Pemerintah, jawaban responden
sebanyak 11 responden atau 13.3 persen. Sedangkan yang menjawab informasi itu dari bekas staf pegawai perusahaan yang melakukan eksplorasi 15 responden atau
18.1 persen dengan jumlah yang menjawab yaitu 26 responden atau 31.3 persen. Berikut informasi dari salah seorang bekas staf di perusahaan pertambangan
pemegang kontrak karya sebelumnya PT Tropic Endeavour Indonesia pemegang kontrak karya generasi kedua tahun 1971:
Saya jadi pegawai diperusahaan PT Tropic dan saya tahu disini bekas eksplorasi perusahaan mulai dari titik bor 1 sampai titik kesekian itu saya tahu tempatnya,
mulai dari motomboto, sungai mak, cabang kiri dan cabang kanan sudah diekplorasi oleh Tropic. Tapi sayang perusahaan tidak melanjutkan izin kontrak
karyanya setelah berakhir tahun 1986 pedahal kami yang paling makmur di Gorntalo saat itu karena gaji kami lebih tinggi dari pegawai negeri: Pak Guru
Ridha
. Variabel ketidaktahuan ini cukup signifikan, oleh karena itu perlu ada
upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang status kawasan konsesi kontrak karya. Lebih diasumsikan kepada keengganan masyarakat penambang
untuk tidak menanggapi informasi. Pada lokasi penelitian beberapa penambang tanpa izin memiliki sifat antipati terhadap keberadaan perusahaan, karena akan
mengusik keberadaan mereka PETI. Namun ketidaktahuan masyarakat adalah
175 bentuk yang perlu dipertanyakan karena saat ini masing-masing melakukan
aktivitas di lokasi yang berhimpitan dan tidak saling mengenal. Artinya terdapat perasaan yang tidak ingin tahu tentang lahan kontrak karya yang telah dimulai
sejak tahun 1971 oleh beberapa perusahaan pertambangan ini meskipun isu yang masih menjadi perdebata. Lampiran 38 mengenai informasi status kontrak karya.
Peran informal leader atau tokoh masyarakat untuk menjembatani resolusi konflik terkait konsesi kontrak karya yang berhimpitan langsung dengan
pemukiman serta kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dapat dilihat pada
Lampiran 39. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak berperan aktif
sebanyak 36 responden atau 43.4 persen dan menjawab berperan aktif yaitu 39 responden atau 47.0 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu 8 responden
atau 10 persen. Nampak bahwa peran tokoh masyarakat relatif seimbang antara berperan dan tidak mengambil peran aktif, meskipun demikian responden yang
menjawab bahwa tokoh masyarakat tetap memberikan peranan aktif dalam penyelesaian konflik ini cukup baik.
Aktualiasi peran tokoh masyarakat telah didalami sampai sejauh mana penerimaannya terhadap keluhan masyarakat terkait dengan konflik kawasan ini,
nampak Lampiran 40. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak
menerima keluhan sebanyak 40 atau 48.2 persen dan selalu menerima keluhan sebanyak 27 responden atau 32.5 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu
16 responden atau 19.3 persen. Konotasi tokoh masyarakat lebih diarahkan pada tokoh politik, hal ini menjadi potret umum bahwa terkadang politisi itu akan lebih
melihat pada masyarakat yang mendukungnyakonstituennya, sehingga masyarakat yang bersebrangan dengan kepentingannya kurang dilayani. Mengenai
peran tokoh masyarakat menerima keluhan dan informasi dari masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 40.
7.1.5 Kepekaan Responsiveness
Unsur ini berpandangan bahwa setiap proses dan kelembagaan yang sedang dirancanakan dan diimplementasikan harus dapat memberikan pelayanan
kepada para pihak. Artinya aspek sosial budaya dalam membangun resolusi konflik merupakan model yang dapat diterima oleh semua pihak karena