Binary Logistic Regression Partisipasi versus Kelembagaan yang

202 menimbulkan kesan bahwa status kawasan berikut sumberdaya tambangnya berpeluang menjadi open access tanpa kontrol yang signifikan dari pemerintah yang berkewenangan dalam mengatur sumberdaya publik. Hal ini dimaknai sebagai kondisi ”kekosongan kelembagaan formal”. Kegagalan memerintah failur governace terhadap berlangsungnya situasi di atas akan menjadikan semakin besarnya peluang konflik yang berakibat pada tren negatif dalam dampak lingkungan, jika tidak segera dilakukan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan yang terencana dan terkendali. Hasil analisis fakta pada aspek sosial budaya menunjukkan adanya interaksi sosial antarpihak dalam masyarakat yang cenderung bersifat kompetisi. Para pihak merasa mempunyai dasar klaim pemanfaatan sebagai implikasi dari kekosongan kelembagaan yang antara lain berlandaskan pada legitimasi politik lokal, struktural birokrasi, pemerintah daerah, pemerintah, cukongpermodalan lokal, dan PT Gorontalo Minerals serta Taman Nasional sendiri. Kompleksitas situasi inilah yang membuat sulitnya mencapai solusi tuntas apabila hanya mendasarkan pada pendekatan generik berupa penegakan hukum law enforcement semata tanpa mengimbagi dengan pendekatan soial ekonomi. Konflik kelembagaan antar pihak terjadi secara horizontal antar para pelaku di tingkat lapangan, dan juga secara vertikal dalam struktur birokrasi kepemerintahan daerah – pusat. Konflik pada tataran regulasi juga terjadi, yang dipicu oleh distribusi ekonomi dan kewenangan pengambilan keputusan yang lebih mengedepankan distrubusi bagihasil yang merata dengan tidak diimbangi oleh distribusi resiko dan konsekuensi yang ditanggung oleh daerah penghasil. Berdasarkan fakta di atas, maka menjadi hal yang penting untuk mengembangkan upaya bersama untuk resolusi konflik yang mampu mengakomodasi kepentingan para pihak tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan model Dewan Tambang dengan azas keadilan dan keseimbangan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, dan 203 dilengkapi dengan struktur eksekutif yang digunakan adalah lembaga multi pihak di Kabupaten Bone Bolango. 7.4.2 Tujuan dan Kerangka Struktur Kelembagaan Dewan Tambang serta Lembaga Multi pihak di Kabupaten Bone Bolango Tujuan dari formulasi struktur kelembagaan dewan tambang dan lembaga multi pihak antara lain yaitu: Formulasi kelembagaan yang didukung oleh legalitas keabsahan formal dan legitimasi pengakuan para pihak diharapkan akan menghadirkan kelembagaan yang akan memberikan kejelasan tentang pemain, pembagian peran dan aturan main, serta penataan hak atas manfaat kawasan dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Konflik kepentingan pada dasarnya berada pada tataran regulasi juga, oleh karena itu dalam membangun resolusi konflik perlu memperkaya pandangan kelembangaan melalui spektrum lebih luas. Artinya batasan regulasi dan kewenangan yang menjadi bagian dari sumber konflik dalam tataran hukum harus bersenyawa dengan fakta hukum dilokasi penelitian ini. Kemudian multi pihak yang dimaksud diharap lebih mengedepankan komunikasidialog dalam membangun keputusan. Adapun resiko dan konsekuensi atas model kelembagaan ini, baik dalam aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya, menjadi dasar dalam pengembangan resolusi konflik yang bersifat win-win solusion. Artinya, multi pihak akan memahami bahwa dibalik manfaat yang menjadi hasrat dal model kelembagaan ini, tersimpan potensi resiko yang harus dihadapi dalam proses pencapaian tujuan. Apabila diperoleh solusi bersama berupa diperolehnya model kelembagaan tambang di Kabupaten Bone Bolango, maka permasalahan tidak berhenti disitu. Solusi harus menjawab persoalan bagaimana terbangunnya suatu koordinasi dan pengelolaan kelembagaan tambang yang baik. Hal ini sebagai bentuk respon balik yang kontruktif dan positif terhadap persoalan distribusi manfaat yang diperoleh masyarakat setempat, pemerintah daerah, pemerintah, menjadi hal yang perlu dipertimbangkan secara matang, khususnya dalam rasionalitasnya sebagai penerima resiko. Keberadaan PETI 204 yang eksis di wilayah konsesi kontrak karya juga merupakan komponen yang perlu disertakan dan dirumuskan transformasi legalitas model kelembagaan tambang dalam sistem pengelolaan yang akan dikembangkan.

7.4.3. Struktur Kelembagaan Dewan Tambang. A.

Pendekatan Konsideran Adapun pedoman yuridis dalam penyelenggaraan Model Kelembagaan Sumberdaya tambang ini yaitu: 1. Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat 1 huruf e yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat dimana kepemilikan saham dalam PT Gorontalo Minerals di kuasai oleh perusahaan BUMN yaitu PT Aneka Tambang sebanyak 20 persen. 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 10 ayat 1, 3 dan 4 berkaitan denga ketenagakerjaan, Pasal 17 berkaitan dengan kewajiban mengalokasikan dana untuk pemulihan lingkungan. 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas Pasal 74 ayat 1, 2, 3 dan 4 tentang pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yaitu Bab XX tentang penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan Pasal 146 dan pasal 148 yaitu pemerintah harus mendorong penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan pertambangan. 5. Undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Pasal menegaskan bahwa dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara harus mengacu pada empat asas yaitu: a. Manfaat, keadilan dan keseimbangan; b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas d. Keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.