primer dan hutan sekunder. Untuk nilai karbon digunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar internasional. Penentuan nilai karbon dihitung
dengan rumus sebagai berikut : NPc = {Lp x Kcp x} + {LS x Kcs} x Hc
dalam hal ini : Npc
= nilai penyerapan karbon Tahura Djuanda Rp Lp
= luas hutan primer Tahura Djuanda hektar Ls
= luas hutan sekunder Tahura Djuanda hektar Kcp
= kemampuan menyerap karbon hutan primer tonhektar Kcs
= kemampuan menyerap karbon hutan sekunder tonhektar Hc
= harga karbon Rp per ton
5. Nilai Pelestarian Npel
Nilai pelestarian flora, fauna, plasma nutfah, habitat, dan ekosistem ditentukan melalui pendekatan kesediaan membayar willingness to pay dari
masyarakat untuk membiayai upaya pelestarian Tahura Djuanda dengan formula sebagai berikut :
S kesediaan responden untuk membayar Rp Npel = ------------------------------------------------------------------ x JP
S responden dalam hal ini :
Npel = nilai pelestarian Tahura Djuanda JP
= jumlah penduduk yang tercakup dalam wilayah penelitian
6. Nilai Pilihan NP
il
Nilai pilihan diketahui dari kesediaan seseorang membayar untuk melindungi nilaimanfaat serta menjaga potensi sumberdaya alam yang terdapat
dalam Tahura Djuanda untuk kepentingan pemanfaatan di masa yang akan datang. Nilai potensial dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut :
S kesediaan responden untuk membayar Rp NP
il
= ---------------------------------------------------------------- x
P
S responden dalam hal ini :
NP
il
= nilai pilihan Tahura Djuanda P
= proporsi populasi yang bersedia membayar nilai pilihan kali
jumlah penduduk
7. Nilai Keberadaan NK
eb
Nilai keberadaan merupakan nilai yang dihitung berdasarkan kesediaan membayar untuk menjaga keberadaan Tahura Djuanda bagi kesenangannya.
Penentuan nilai keberadaan menggunakan formula sebagai berikut : S kesediaan responden untuk membayar Rp
NK
eb
= ---------------------------------------------------------------- x
P
S responden dalam hal ini :
NK
eb
= nilai keberadaan Tahura. Djuanda P
= proporsi populasi yang bersedia membayar kali jumlahpenduduk
8. Analisis Persepsi Masyarakat
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda, kepada responden diajukan pertanyaan yang secara normatif
merupakan kondisi paling ideal dari Tahura Djuanda meliputi : manfaat Tahura Djuanda bagi lingkungan dan masyarakat sekitar; keterlibatan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan Tahura Djuanda.
7.3. Hasil dan Pembahasan Nilai Ekonomi Total Tahura Djuanda 7.3.1. Nilai Ekowisata Tahura Djuanda
a. Karakteristik Pengunjung
Pengunjung Tahura Djunda umumnya berasal dari Kota Bandung 82, Jakarta 10 dan dari kota lainnya 8. Pengunjung yang datang
merupakan wisata keluarga yang sudah beberapa kali berkunjung ke wilayah ini. Pengunjung yang datang dengan lebih dari tiga kali kunjungan mencapai 74,
sedangkan yang baru berkunjung kurang dari tiga kali sekitar 26 yaitu sekitar 16 yang baru pertama kali dan sekitar 10 yang sudah dua kali kunjungan.
Para pengunjung yang datang ke Tahura Juanda merupakan tujuan utama untuk melakukan wisata. Distribusi pengunjung dapat dilihat pada Gambar 27.
Asal Pengunjung
82 10
8
Bandung Jakarta
Lainnya
Gambar 27. Distribusi Asal Pengunjung Tahura Djuanda Proporsi pengunjung Tahura Djuanda terbesar berasal dari Bandung,
sedangkan proporsi pengunjung dari kota lain seperti Jakarta dan lainnya relatif kecil. Besarnya pengunjung dari Kota Bandung disebabkan karena letaknya yang
strategis yaitu sekitar 7 km dari pusat Kota Bandung, aksesibilitas yang cukup tinggi, kawasan dapat ditempuh dari berbagai jalur jalan, baik melalui jalan Dago
maupun melalui Cikutra, biayanya murah, serta kondisi alami Tahura Djuanda yang menawarkan pemandangan alam yang masih asri dengan keragaman flora
dan fauna serta goa-goa peninggalan sejarah memberikan pengalaman dan petualangan yang sangat menarik dan jarang dijumpai. Tahura Djuanda bagi
masyarakat Kota Bandung merupakan ruang terbuka hijau yang masih lestari dan merupakan tempat untuk berolahraga, menghirup udara segar dan wisata
keluarga. Melihat besarnya potensi sumberdaya yang terkandung di kawasan
Tahura Ir. Djuanda, dibutuhkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah setempat dalam mengembangkan kawasan ini khususnya untuk tujuan wisata dalam
konsep ekowisata. Ceballos-Lascurain, 1987 mendefenisikan ekowisata sebagai perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif belum terganggu dan terpolusi,
dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan dan satwa liarnya serta budaya yang ada di tempat
tersebut. Sementara itu The International Ecotourism Society 2002, mendefenisikan ekowisata sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang
bertanggung jawab ke tempat-tempat yang alami yang mendukung upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat. Kondisi sosial ekonomi pengunjung sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan ekowisata utamanya dalam pelestarian lingkungan.
Tujuan konservasi lingkungan dalam ekowisata akan tercapai jika pengunjung memahami dan melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak menimbulkan kerusakan
dan mendukung tercapainya upaya konservasi. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa
umur pengunjung di Tahura Ir. Djuanda rata-rata berasal dari golongan muda dan tua. Pengunjung yang berumur antara 17 tahun sampai dengan 37 tahun
sekitar 36, 36, pengunjung berusia 37 tahun sampai dengan 57 sekitar 56, dan pengunjung yang berumur lebih dari 57 tahun sekitar 8, Hal ini
menunjukkan bahwa rata-rata pengunjung yang datang ke Tahura Djuanda sebagian besar merupakan usia pekerja dan sudah berkeluarga. Dilihat dari
tingkat pendidikan pengunjung, sekitar 74 berpendidikan Sarjana S1, S2 dan S3 dan 18 tingkat pendidikannya Sekolah Menengah Atas SMA, 6 tingkat
pendidikannya Sekolah Menengah Pertama SMP dan 2 tingkat pendidikannya hanya sampai Sekolah Dasar SD. Ini menggambarkan bahwa
pengunjung memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Tingkat pendapatan pengunjung bervariasi yaitu terdiri dari pengunjung
yang berpendapatan rendah berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 2.500.000 termasuk pada golongan pengunjung yang berpendapatan rendah,
sedang menengah berkisar antara Rp. 2.500.000 sampai dengan Rp. 4.500.000 dan lebih dari Rp. 4.500.000 per bulan termasuk pengunjung yang
berpendapatan tinggi. Tingkat pendapatan pengunjung Tahura Ir.H.Djuanda yang tergolong berpendapatan rendah sekitar 39,13, pengunjung dengan
pendapatan sedang sekitar 34,78 dan pengunjung dengan tingkat pendapatannya lebih tinggi sekitar 26,09. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar pengunjung yang datang ke Tahura Djuanda adalah mereka yang tergolong masyarakat yang berpenghasilan rendah sampai sedang menengah
dan mereka senang mengunjungi karena biaya yang harus dikeluarkan oleh pengunjung relatif lebih murah terutama untuk untuk tiket masuk kawasan yang
hanya berkisar Rp. 8.500 per orang.
Gambar 28. Distribusi pengunjung berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pendapatan
Melihat karakterisktik pengunjung di kawasan Tahura Djuanda, dapat disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap
peningkatan jumlah kunjungan yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, obyek yang ditawarkan serta kenyamanan pengunjung selama berada
di Tahura Djuanda. Adapun karakteristik pengunjung berdasarkan kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan.
Jika dilihat dari pekerjaan pengunjung dan tujuan kunjungannya, sebagian besar pengunjung berstatus sebagai wiraswasta 74, pegawai negeri
sipil 16, pelajar 6 dan pedagang makanan maupun cinderamata sebesar 4 dengan tujuan kunjungan menikmati pemandangan alam rekreasi alam
sebesar 53, jalan-jalan dan jogging 47 .
Tingkat Pekerjaan
16
74 4
6
PNS Swasta
Dagang Pelajar
Tingkat Pendapatan
39
35 26
Rp. 500000-1500000 Rp. 2500000-3500000
Rp. 4500000
Kisaran Umur Pengunjung
36
56 8
Umur 17-37 Umur 37-57
Umur 57
Tingkat Pendidikan Pengunjung
2 6
18
74 SD
SMP SMA
PT
Gambar 29 Distribusi pengunjung berdasarkan kepentingan dan jumlah kunjungan.
Wisatawan Tahura Djunda dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Jawa Barat, Wisatawan
kawasan wisata Tahura Djuanda pada tahun 2004 berjumlah 69.466 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 93.045 orang. Pertumbuhan jumlah Wisatawan
pertahun rata-rata-7 .
10000 20000
30000 40000
50000 60000
70000 80000
90000 100000
Tahun Kunjungan Jumlah Kunjungan Orgth
PengunjungTh 69466
66388 88737
93045 2004
2005 2006
2007
Gambar 30. Kunjungan ke Tahura Dari Th 2004-2007
Berdasarkan penyebaran jumlah wisatawan perbulan dari tahun 2004 sampai 2005, dapat diketahui bahwa pada umumnya bulan Oktober adalah bulan
terramai rata-rata
11443 orang
, diikuti oleh bulan Juni rata-rata
10097 orang
dan November rata-rata
8313.75
. Sedangkan bulan Februari dan September merupakan bulan tersepi. Ramainya kunjungan wisatawan kekawasan tersebut
Tujuan dan Aktivitas Pengunjung
53 47
Jala-jalan dan jogging Berkemah
Menikmati pemandangan alam lain-lain
Jumlah Kunjungan
16 10
74
Pertama Kali Dua Kali
Tiga Kali Lebih dari Tiga Kali
pada umumnya dipengaruhi oleh aktivitas, misalnya bulan Oktober dan Juni merupakan bulan libur sekolah sehingga sehingga pada umumnya peluang
masyarakat untuk berrekreasi atau berwisata lebih besar. Sedangkan pada bulan Februari rata-rata
3.601
orang dan September rata-rata
4.023
orang merupakan bulan kunjungan yang rendah.
2000 4000
6000 8000
10000 12000
14000 16000
18000 20000
Jumlah Pengunjung Orgbln
Jan Peb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Ags
Sep Okt
Nov Des
Bulan Kunjungan
2004 2005
2006 2007
Gambar 31. Kunjungan per Bulan Th 2004-2007
b. Perhitungan Nilai Ekowisata
Biaya perjalanan dari masing-masing pengunjung ke Tahura Djuanda berkisar antara Rp.12.750 sampai dengan Rp. 764.000 per orang tergantung dari
jarak kota asal pengunjung ke Tahura Djuanda dan rata-rata biaya perjalanan secara keseluruhan sebesar Rp.245.553 per orang. Jika dibandingkan dengan
kawasan wisata lainnya, maka biaya perjalanan ke kawasan wisata Tahura Ir. Djuanda tergolong masih rendah. Biaya perjalanan wisata yang dibutuhkan oleh
pengunjung yang berasal dari luar Bandung untuk satu kali kunjungan berkisar antara Rp.34.000 sampai Rp. 764.000 atau rata-rata sebesar Rp. 401.500 per
orang. Sedangkan biaya perjalanan wisata yang berasal dari dalam wilayah Bandung sendiri membutuhkan biaya yang lebih sedikit. Untuk satu kali
kunjungan, mereka membutuhkan biaya berkisar antara Rp.12.750 sampai Rp.118.250 atau rata-rata sebesar Rp. 48.522 per orang. Distribusi biaya
perjalanan menurut penggunaannya, mencakup biaya transportasi, konsumsi, penginapan, tiket dan lain-lain.
Dalam ekowisata, total biaya perjalanan mencerminkan harga atau korbanan yang harus dikeluarkan seorang ekowisatawan untuk dapat menikmati
kegiatan ekowisata di Tahura, sedangkan jumlah kunjungan mencerminkan
permintaan atau konsumsi. Tingkat kunjungan ke Tahura Djuanda masih didominasi oleh masyarakat Bandung disebabkan oleh masih kurangnya
kegiatan promosi yang dilakukan oleh pihak pengelola Tahura Ir.H.Djuanda. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan pengunjung pada umumnya
memperoleh informasi hanya dari temankeluarga sebesar 96 dan hanya 4 pengunjung memperoleh informasi dari media cetak dan organisasi tempat
mereka bekerja.
Penentuan nilai ekonomi ekowisata Tahura Djuanda didasarkan pada biaya perjalanan yang digunakan untuk satu kali kunjungan wisata dari semua
pengunjung yang datang di kawasan Tahura Djuanda dalam satu tahun. Dari
hasil perhitungan diperoleh nilai ekowisata adalah sebesar Rp. 22.847.478.885 per tahun.
Perolehan Nilai ekowisata sebesar Rp 22,85 milyar pertahun melalui pendugaan biaya perjalanan adalah berdasarkan premis bahwa kesediaan
seseorang untuk membayar bagi barang atau jasa lingkungan tergambarkan dalam tindakan mereka. Bagi barang yang tidak mempunyai nilai pasar seperti
kualitas lingkungan atau pemandangan tidak diperdagangkan secara langsung dipasar Kroeger dan Manalo, 2006. Penggunaan biaya perjalanan menganalisis
nilai yang diberikan oleh perorangan bagi sebuah jasa atau barang lingkungan tertentu dengan cara menghitung besarnya pengeluaran mereka pada barang
atau jasa tersebut, umumnya pada suatu situs wisata tertentu Englin dan Mendelson, 1991.
Dari tujuan kunjungan ke Tahura adalah untuk jalan-jalan dan jogging sebesar 53 dan menikmati pemandangan sebesar 47 menunjukkan bahwa
pengunjung datang karena kenyamanan dan keindahan kawasan Tahura. Dengan adanya peningkatan dan perbaikan fasilitas dan penataan serta ada
paket alternatif lainnya dapat meningkatkan kunjungan ke Tahura. Mengingat dengan dibukanya akses jalan tol baru dari Jakarta ke Bandung telah
meningkatkan jumlah kunjungan ke Kota Bandung terutama pada hari libur mingguan dan libur sekolah. Perlu dilakukan usaha promosi untuk menarik
luberan wisatawan lokal tersebut untuk datang ke Tahura mengingat jaraknya yang sangat dekat dengan pusat Kota Bandung, sehingga dapat menaikkan nilai
ekowisata bagi Tahura dan manfaat bagi penduduk desa sekitar. Sehingga perkembangan ekowisata Tahura dapat berkelanjutan. Dimana menurut Wright
1993 ekowisata berkelanjutan harus mampu mengintegrasikan dan
menselaraskan tiga tujuan, yaitu 1 tujan lingkungan, 2 tujuan ekonomi dan 3 tujuan sosial. Sehingga dalam perkembangan ekowisata Tahura Djuanda akan
memberikan manfaat perkonomian dan kesejahteraan sosia bagi penduduk sekitar.
7.3.2. Nilai Ekonomi Air Pertanian a. Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini, air pertanian dibatasi pada air yang digunakan untuk pengairan air sawah, kebun atau ladang yang diairi dari aliran mata air atau
sungai yang bersumber dari Tahura Djuanda. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kontinuitas sumber air tersebut terjadi karena keberadaan ekosistem
Tahura Djuanda. Pengairan sawah, kebun atau ladang dilakukan dengan membuat saluran
air dari sumber air dengan menggunakan pompa penyedot air bermesin diesel, memasang pipa dan melalui selokan atau saluran irigasi yang dibuat secara
bergotong royong bersifat semi permanen. Sumber air dapat berupa mata air atau bagian hulu dari sungai. Gambar 32 menunjukkan distribusi responden
berdasarkan cara memperoleh air.
Sumber Air
52 8
40
Mata AirSungai SumurPompa
Sumber Air Lainnya
Gambar 32. Distribusi responden berdasarkan cara memperoleh air Responden umumnya bermata pencaharian dalam bidang pertanian, baik
pertanian sawah irigasi maupun lahan kering. Air sawah bersumber dari mata air atau sungai 52 dari daerah hulu yang dialirkan melalui saluran air. Jenis
tanaman yang banyak ditanam masyarakat adalah cabe,kol, brokoli, kacang tanah, buncis, dan tomat.
Rata-rata luas lahan 0,37 Ha per Kepala Keluarga KK dengan pendapatan bervariasi antara Rp. 1.200.000 – Rp. 7.200.000 per musim dengan
rata-rata Rp. 3.156.000,- per musim per KK. Responden merupakan kepala atau
dianggap mewakili kepala rumah tangga. Usia mereka bervariasi yaitu antara 17 sampai dengan 76 tahun. Distribusi responden sebagian besar 60 responden
berada pada kelompok usia 17 sampai dengan 37 tahun yang merupakan kelompok usia produktif.
Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar Tahura umumnya masih rendah, sebagian besar hanya tamat SD 58. Rendahnya tingkat pendidikan
disebabkan antara lain oleh rendahnya pendapatan dan masih langkahnya sarana pendidikan, aksesibilitas tempat pendidikan dan daya jangkau
masyarakatnya rendah. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan mereka sulit mencari lapangan kerja, khususnya sektor formal yang umumnya menurut
pendidikan formal serta keterampilan tertentu. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan menyerap informasi tentang kesehatan dan
lingkungan. Pengetahuan ini akan berpengaruh terhadap persepsi mereka terhadap kualitas air dan perilakunya dalam memanfaatkan.
Sumber air yang ada di dalam kawasan Tahura Djuanda adalah Sungai Cikapundung yang membentang sepanjang 15 km dan lebar rata-rata 8 meter
dengan debit air sekitar 3.000 m
3
detik. Sungai Cikapundung merupakan anak Sungai Citarum yang berhulu di Gunung Bukit Tunggul. Selain itu terdapat juga
beberapa mata air yang bersumber dari kelompok Hutan Gunung Pulosari. Sebagian dari aliran sungai Cikapundung di dalam kawasan Tahura Djuanda
ditampung pada dua kolam penampungan yang berjarak 2,5 km. Kolam pertama terletak di blok Bantar Awi, seluas
± 200 m
2
dengan kedalaman 3,3 m, kolam kedua berada di Pakar dengan luas
± 8.935 m
2
dan kedalaman 3,5 m stilling pond, kolam pengendap sedimen yang mempunyai kapasitas tampung 31.272
m
3
. Kedua kolam tersebut diperuntukkan untuk memutar turbin pembangkit listrik tenaga air PLTA yang dibangun pada tahun 1923 oleh Pemerintah Kolonial
Belanda, yang dikenal dengan nama PLTA Bengkok, yang merupakan PLTA tertua di Bandung. Selain untuk keperluan PLTA Bengkok, aliran Sungai
Cikapundung juga digunakan sebagai sumber air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum PDAM Kota Bandung.
Sumber air yang dipergunakan oleh petani untuk mengairi sawah mereka berasal dari mata air atau sungai, sumur atau pompa dan sumber lainnya seperti
PAM desa yang dialirkan ke areal persawahan petani, namun dalam penghitungan nilai ekonomi air pertanian ini didasarkan terhadap biaya yang
dikeluarkan terhadap akumulasi seluruh air yang digunakan tanpa membedakan sumber airnya.
Tabel 10. Biaya untuk mengairi lahan pertanian di Tahura Djuanda
Jenis Pengeluaran
Rata-rata Biaya yang dikeluarkan per KK Rp
Masa Pakai Rata-rata Biaya yang di
keluarkan per tahun Rp Penggunaan
26.250 7,6
3.454 Pengadaan
949722 124.964
Perawatan 86.667
11.404 Operasional
641.667 84.430
Jumlah Total : 224.252
Tidak ada harga dasar air untuk setiap penggunaan satu-satuan air m
3
dalam mengairi areal pertanian, sehingga diasumsikan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan air adalah merupakan refleksi dari harga air yang
merupakan korbanan yang harus dikeluarkan untuk memperoleh air dalam mengairi lahan pertanian sehingga tanaman yang ditanam pada lahan pertanian
yang diairi dapat produksi. Berdasarkan Tabel 9, maka nilai ekonomi air pertanian di kawasan
Tahura Djuanda adalah : = Jumlah Kepala Keluarga Tani x Biaya pengadaan air Pertahun perKK
= 7.112 x Rp 224.252 = Rp. 1.594.960.963 Dengan demikian, nilai ekonomi air pertanian di sekitar kawasan Tahura
Djuanda adalah : Rp. 1.594.960.963,,- per tahun 7.3.3. Nilai Ekonomi Air Domestik
a. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil survel 100 orang responden di lokasi penelitian, diperoleh karakteristik responden seperti umur responden yang berada pada
skala 17– 37 tahun sebanyak 62, responden dengan skala umur 37 – 57 tahun sebanyak 31, dan responden dengan skala umur 57 tahun 7. Untuk tingkat
pendidikan, terlihat bahwa pendidikan responden bervariasi mulai dari Sekolah Dasar SD sampai kepada perguruan tinggi. Responden dengan tingkat
pendidikan SD sebanyak 52, SMP sebanyak 23, SMA sebanyak 23, dan perguruan tinggi hanya sekjitar 2 .
Dilihat dari tingkat pendidikan responden tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar Tahura Djuanda masih
tergolong rendah yaitu hanya dapat menempuh pendidikan SD sampai SMP 75. Untuk lapangan pekerjaan, umumnya responden bekerja di sektor swasta
dan hanya sebagian kecil yang menjadi pegawai negeri sipil. Hasil survey memperlihatkan bahwa yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil hanya sekitar
6 dan sisanya atau sekitar 94 bekerja di sektor swasta masing-masing sebagai petani sebanyak 29, tukang ojek sebanyak 5, buruh bangunan
sebanyak 17, dan sebagai karyawan swasta sebanyak 43. Meskipun lapangan pekerjaaan masyarakat di sekitar Tahura Ir. Djuanda bervariasi tetapi
tingkat pendapatan mereka tidak terlalu jauh berbeda antara lapangan pekerjaan yang satu dengan lapangan pekerjaan lainnya. Masyarakat yang bekerja sebagai
pegawai negeri sipil mendapatkan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.666.666. per bulan, petani sebesar Rp 2.003.125 per bulan, tukang ojek sebesar Rp
1.000.000 per bulan, buruh bangunan sebesar Rp 757.058 per bulan, dan karyawan swasta sebesar Rp. 1.046.250 per bulan. Dari sebaran pendapatan
setiap lapangan pekerjaan tersebut, terlihat bahwa bekerja sebagai petani memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan lapangan
pekerjaan lainnya. Ini menggambarkan bahwa bekerja sebagai petani cukup menjamin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sepanjang pekerjaan
tersebut digeluti dengan penuh kesungguhan dan kerja keras.
Gambar 33. Distribusi Umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan responden di sekitar Tahura Djuanda.
Umur Responden
62 31
7
Umur 17 - 37 tahun Umur 37 - 57 tahun
Umur 57 tahun
Tingkat Pendidikan
52 23
23 2
SD SMP
SMA PT
Jenis Pekerjaan
29
6 43
5 17
Petani PNS
Swasta Ojek
Buruh
Pendapatan Responden Rp
1,666,666.70 2,003,125
1,046,250 1,000,000
757,058.82
Petani PNS
Swasta Ojek
Buruh
Untuk pemanfaatan air, umumnnya masyarakat di sekitar Tahura Djuanda menggunakan mata airsungai, PAM desa dan sumur gali atau pompa sebagai
sumber air domestik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil survey, sekitar 58 menggunakan mata airsungai dan sekitar 37
menggunakan sumber air lainnya seperti penggunaan air yang diperoleh dari PAM desa dan sekitar 5 menggunakan sumur gali atau pompa. Distribusi
jumlah masyarakat berdasarkan sumber air yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 36.
Sumber Air Domestik
58 5
37
Mata AirSungai SumurPompa
Sumber Lainnya
Gambar 34. Distribusi Masyarakat Berdasarkan Sumber Air yang Digunakan
Masyarakat desa di sekitar Tahura Djuanda terbiasa menggunakan sungai untuk berbagai kebutuhan hidupnya seperti untuk keperluan mandi,
mencuci, buang air kakus sedangkan untuk minum menggunakan air yang bersumber dari mata air, PAM desa dan sumur gali atau pompa. Masyarakat di
beberapa desa sekitar Tahura Djuanda biasanya menyediakan air untuk kebutuhan rumah tangga dengan membuat suatu jaringan penyaluran air yang
bersumber dari mata air atau sungai baik secara individu maupun berkelompok. Pengambilan air dari sumbernya untuk kepentingan individu biasanya
menggunakan ember, selang, dan memasang rangkaian pipa yang langsung dialirkan ke rumah. Pemasangan selang dan pipa dilakukan jika jarak antara
rumah dengan sumber air tidak terlalu jauh dan jumlah orangnya tidak terlalu banyak.
Setelah sampai di bak, air dapat langsung dimanfaatkan untuk kebutuhan cuci, mandi, buang air, minum dan memasak. Air yang dialirkan melalui selang
atau pipa akan terus mengalir walaupun bakpenampungan air sudah penuh dan air banyak terbuang ke saluran pembuangan. Hal ini sudah menjadi hal yang
biasa karena mereka beranggapan bahwa air yang mereka peroleh tidak dibayar
dan jumlahnya tersedia sepanjang tahun walaupun pada musim kemarau debit air yang mengalir berkurang.
Pengambilan air secara berkelompok dilakukan dengan membangun instalasi penampungan air primer utama dan sekunder Gambar 9. Dengan
menggunakan pipa, air dari sumber air dialirkan melalui bak penampungan utama, dari bak penampungan utama dialirkan lagi ke bak penampungan
sekunder yang berfungsi juga sebagai tempat permandian umum. Dari bak sekunder orang mengambil langsung dengan menggunakan ember atau
mengalirkannya dengan selang. Mata air atau sungai menjadi penyedia air utama untuk memenuhi kebutuhan sarana mandi, mencuci dan kakus lebih dipengaruhi
oleh faktor sosial ekonomi. Masyarakat hanya mengeluarkan biaya pengadaan alat tanpa membayar rekening air setiap bulan. Jika terjadi kerusakan pada
saluran air, masyarakat akan bekerjasama dan biaya ditanggung bersama. Rata- rata biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan pipa hanya Rp. 49.000 tergantung
dari jarak sumber air dengan rumah penduduk.
Gambar 35. Sistem pengaliran air dari sumber air melalui bak primer dan bak sekunder sampai ke bak rumah tangga
Sumber air Bak Utama
Primer
Bak Kedua Sekunder
Bak Rumah Tangga
Saluran PembuanganSelokan
Sungai Pemanfaatan Langsung
• Mandi
• Mencuci
• Masak
Kendala yang dialami oleh masyarakat dalam memperoleh air terjadi pada musim kemarau, debit air berkurang dan jumlah air yang dapat
dimanfaatkan sangat kecil. Oleh karena itu penduduk sekitar berharap kelestarian vegetasi di tahura tetap dijaga.
Anggota masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi lebih memilih menggunakan air yang berasal dari perusahaan
air minum yang dikelola oleh desa. Rata-rata biaya penggunaan air yang dikeluarkan oleh masyarakat pengguna air yang dikelola oleh perusahaan air
minum adalah berkisar antara Rp. 15000 – Rp. 30.000 setiap bulan Air domestik yang dimanfaatkan masyarakat desa di sekitar Tahura Ir. H.
untuk berbagai kebutuhan hidupnya seperti untuk keperluan mandi, mencuci, buang air kakus dan minum. Air domestik tersebut bersumber dari mata
airsungai, PAM desa, dan sumurpompa Air yang diperoleh dari PAM desa umumnya digunakan untuk keperluan air minum yang dialirkan ke masing-
masing rumah penduduk. Pengaliran air ini tidak berlangsung setiap saat tetapi hanya dua jam atau lebih perhari. Sedangkan air untuk keperluan mandi,
mencuci, dan buang air umumnya menggunakan air yang bersumber dari mata air atau sungai dan sumur atau pompa.
Dari 7.112 kepala keluarga yang bermukim di sekitar Tahura Djuanda dengan jumlah anggota keluarga bekisar rata-rata 4 orang per KK, memerlukan
air untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari sekitar 383,94 liter per Kepala Keluarga KK perhari atau 95,99 liter perorang per hari. Dengan demikian jumlah
pemakaian air selama periode Januari–Desember 2008 sebesar 95,99 literorang dikali 365 hari hasilnya 35.034,53 literorangtahun
Jumlah penduduk yang bermukim di wilayah studi di sekitar Tahura Djuanda untuk tahun 2008 sebesar 35.562 jiwa. Dengan demikian kebutuhan air
domestik masyarakat di sekitar Tahura Djuanda sebesar 35.034,53 literorangtahun dikali 35.562 orang sama dengan 245.897.955,86 litertahun
atau 1.245.897,96 m
3
tahun. Untuk menilai penggunaan air domestik, dapat dihitung berdasarkan
biaya yang harus dikeluarkan Untuk menjadikan air baku. Dengan memberikan harga air sebesar Rp 1.000,-per meter kubik m
3
, total penerimaan air dapat dihitung dari 1.245.897,96 m
3
tahun dikalikan Rp 1.000,- sama dengan Rp 1.245.897.955,86,- per tahun.
Untuk memperoleh air domestik, diperlukan biaya yang meliputi biaya pengadaan sarana dan biaya perawatan. Adapun rincian biaya yang dikeluarkan
masyarakat untuk memperoleh air seperti pada Tabel 10 berikut: Tabel 11. Rincian Biaya yang di Keluarkan Untuk Pengadaan Air Domestik
No. Jenis Kegiatan
Biaya yang Dibutuhkan RpKK A
Biaya Pengadaan Sarana 1. Pompa dan motor
376.923,09 2. Pengadaan ember
34.722,22 3. Pipa
47.777,78 4. Lainnya
414.166,70 B
Biaya Perawatan 96.298,70
Biaya Total 969.883,49
Perlu diketahui bahwa batas waktu penyusutan alat adalah sepuluh 10 tahun. Dari 7.112,40 Kepala Keluarga di lokasi penelitian, maka berdasarkan
perhitungan biaya pengadaan air untuk setiap kepala keluarga seperti pada Tabel 1 di atas dapat dihitung total biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk
mengadaan air domestik sebagai berikut := 7.112,40 dikali Rp 969.883,49 dibagi 7,6 tahun sama dengan Rp. 689.819.933.43 per tahun. Dengan demikian, nilai
ekonomi air domestik di sekitar kawasan Tahura Djuanda adalah Penerimaan total air domestik dikurangi Biaya total pengadaan air domestik sama dengan Rp
1.245.897.955,86 dikurangi Rp 689.819.933,43 hasilnya Rp 556.078.022,43 per tahun
7.3.4. Nilai Ekonomi Serapan Karbon
Tahura Djuanda terletak di sebelah Utara kota Bandung berjarak ±
7 km dari pusat kota, secara geografis berada 107
° 30’ BT dan 6
° 52’ LS, dengan luas
526,98 ha. Bentuk kawasan Tahura Djuanda memanjang di sebelah kiri dan kanan Sungai Cikapundung. Tahura Djuanda merupakan hutan alam sekunder
dan hutan tanaman dengan jenis Pinus Pinus mekusii yang terletak di Sub Daerah Aliran Sungai DAS Cikapundung, DAS Citarum yang membentang
mulai dari Curug Dago, Dago Pakar sampai Maribaya yang merupakan bagian dari kelompok hutan Gunung Pulosari.
Nilai ekonomi penyerapan karbon dapat dihitung berdasarkan besarnya kandungan karbon yang tersimpan di dalam vegetasi hutan yang dikonversikan
dalam nilai finansial. Menurut Brown dan Peace 1994 dalam Widada 2004, hutan alam primer, hutan sekunder, dan hutan terbuka memiliki kemampuan
menyimpan masing-masing karbon sebesar 283 ton per hektar, 194 ton per hektar, dan 115 ton per hektar. Setiap 1 ton karbon dapat dihargai dengan nilai
finansial yang berkisar antara 1 US sampai 28 US Soemarwoto 2001. Nilai pendugaan penyimpanan karbon berdasarkan jenis tutupan lahan oleh
Scherr2002 adalah: -
Primary forest 300 tonha
- Logged forest
95-225 tonha -
Shifting cultivation 75 tonha
- Complex agroforests
40-55 tonha -
Simple agroforestry 10-60 tonha
- Crops, pastures, grasslands
10 tonha Untuk menentukan besarnya karbon yang terkandung dalam kawasan
hutan, dapat digunakan faktor koreksi yang ditetapkan oleh Brown dan Peace sebesar 93 untuk hutan primer, sedangkan untuk hutan sekunder digunakan
nilai dari nilai yang ditetapkan oleh Sherr 2002. Dengan pertimbangan kawasan Tahura Djuanda merupakan kawasan konservasi tetapi dalam
mempertahankan fungsinya juga memiliki kawasan terbuka yang telah digunakan untuk kepentingan lainnya seperti kawasan ekowisata yang di dalamnya terdapat
sarana jalan, bangunan, lapangan, dan sarana lainnya maka diasumsikan menggunakan nilai tengah dari hutan yang digunakan untuk logging sebesar 150
tonha. Berdasarkan asumsi ini, maka nilai ekonomi penyerapan karbon di kawasan tahura Djuanda dapat dihitung. Untuk menghindari penilaian yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka nilai finasial yang diambil adalah nilai tengah dari yang ditetapkan oleh Soemarwoto yaitu sebesar 19 US per ton.
Sehingga dari perhitungn didapatkan nilai ekonomi serapan karbon di kawasan
Tahura Djuanda adalah 1.501.950 USD ekivalen Rp 15,019,500,000,- Nilai
ekonomi karbon tahura Djuanda sebesar 15 milyar per tahun mencerminkan nilai manfaat yang diberikan kepada dunia dalam usaha mengurangi emisi rumah
kaca terutama CO2 dalam upaya mencegah pemanasan global. Kontribusi tersebut dipengaruhi oleh luas kawasan Tahura dan harga jual karbon dunia.
7.3.5 Nilai Hasil Oksigen
Dalam menilai oksigen yang diproduksi oleh tanaman, dilakukan penilaian mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Diah Ivoniarty dari Ikatan Arsitek
Lansekap Indonesia IALI dalam menilai Ruang Terbuka Hijau Babakan Siliwangi yang akan dirubah fungsinya oleh Pemkot Bandung menjadi bangunan
komersil. Ivoniarty menyatakan ,bahwa satu hektar area yang dipenuhi pohon, perdu, semak, dan rumput akan menghasilkan kanopi seluas 5 hektar dan dalam
tempo 12 jam, kanopi ini dapat menarik 1.800 kilogram carbon dioksida CO2 dan melepaskan 1.200 kilogram oksigen O2 yang setara dengan 1.560 liter O2,
Kompas, 2008 Dengan asumsi harga Oksigen mencapai Rp 25.000 per liter, maka nilai
ekonomi oksigen yang dihasilkan dari lahan seluas satu hektar adalah Rp 39 juta per hari. Luas Babakan Siliwangi mencapai 3,8 hektar dan lahan efektif
Babakan Siliwangi seluas 3 hektar, maka dalam sehari mampu menghasilkan oksigen senilai Rp 117 juta dan dalam setahun Babakan Siliwangi menghasilkan
oksigen senilai Rp 42,7 miliar. Untuk perhitungan nilai Oksigen yang dihasilkan Tahura dapat mengacu
pada nilai tersebut karena Babakan Siliwangi merupakan salah satu ruang terbuka hijau yang terdapat di dago utara. Fungsi lahan tersebut sebagai RTH
dan sebagai daerah resapan lokal untuk dialirkan ke sungai Cikapundung dan memiliki karakter hutan kota yang tidk jauh berbeda dengan kondidsi Tahura..
Dengan luas 526,92 ha dan lahan efektif sebesar 500 ha maka nilai hasil oksigen dari Tahura didapatkan Rp. 19.500.000.000 per hari dan dalam setahun
Tahura menghasilkan Rp. 7.117.500.000.000 ,- setara Rp 7,1 trilyun dari nilai
Oksigen yang dihasilkan.pertahun
7.3.6. Nilai Keberadaan Existence Values
Adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat, baik oleh penduduk sekitar maupun pengunjung terhadap Tahura atas manfaat yang diberikan seperti
keindahan pemandangan Tahura, udara yang sejuk berlimpah dengan oksigen memberikan kesegaran jasmani, ketenangan suasana, sebagai sumber air bagi
penduduk sekitar dan menjamin debit air Sungai Cikapundung bagi pembangkit listrik dan sumber air baku bagi PDAM koa Bandung dan adanya peninggalan
bersejarah seperti Goa Belanda dan Goa Jepang, curug dago, curug Omas dan adanya patahan Lembang lembang fault.
Mengingat lokasi Tahura Djuanda berada pada Lintas Wilayah Kabupaten
dan Kota, yaitu terletak di Kabupaten Bandung Kecamatan Cimenyan dan
Kecamatan Lembang dan Kota Bandung Kecamatan Coblong, Kecamatan Cidadap, maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000,
kewenangan pengelolaannya berada di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Dibawah Balai Pengelolaan
Taman Hutan Raya yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat setingkat eseon III. Keberadaan Tahura
sangant penting mengungat fungsinya sebagai daerah tangkapan air bagi kota Bandung.
Nilai keberadaan Tahura Djuanda dihitung dengan metode Contingent Valuation Method CVM. Karena nilai penggunaaan tidak langsung tidak
mempunyai nilai pasar, dikarenakan transaksi pasar dari komponen penilaian sumberdaya alam hanya menggambarkan nilai minimum yang diberikan
masyarakat pada penggunaan langsung Kroeger dan Manalo, 2006 Dalam metode ini, setiap responden ditanyai kesediaannya untuk
membayar untuk mempertahankan keberadaan Tahura Djuanda terutama mempertahankan keberadaannya karena keindahan yang dimiliki serta
menciptakan kenyamanan dan ketenangan. Pertanyaan disampaikan dalam bentuk kuisioner. Dari 150 kuisioner yang diedarkan, sekitar 128 responden yang
mengisi kuisioner. Dari 128 responden yang ditanyai mengenai perlunya Tahura Djuanda
untuk dipertahankan keindahan, kenyamanan dan ketenangan yang ada di kawasan Tahura, sekitar 96 menyatakan perlu dipertahankan, tidak ada yang
menyatakan tidak perlu, dan 4 yang menjawab ragu-ragu. Sedangkan kesediaan membayar untuk mempertahankan keberadaan Tahura Djuanda,
sebanyak 85,33 responden menyatakan bersedia membayar dan hanya 14,67 yang tidak bersedia membayar. Berkaitan dengan kesediaan membayar
dengan nilai minimal Rp. 10.000 per tahun dan nilai maksimal Rp. 1.000.000,- per tahun dengan rata-rata sebesar Rp. 134.922,- per tahun.
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai keberadaan Tahura Djuanda
sebesar Rp. 4.798.091.719 . per tahun. Nilai keberadaan sebesar Rp. 4,8 milyar
merupakan nilai manfaat yang mencerminkan kenginan masyarakat untuk mempertahankan keberadaan Tahura Djuanda sehingga manfaat lingkungan
dengan adanya Tahura seperti kenyamanan udara, keindahan pemandangan
dan fungsi lainnya tetap dapat dipertahankan. 7.3.7. Nilai Pilihan Option Values
Nilai pilihan adalah potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan keuntungan atau manfaat bagi masyarakat dimasa depan walaupun pada saat ini
belum mempunyai nilai ekonomi. Walaupun seseorang tidak terlibat dalam penggunaan ekosistem tertentu atau spesies pada saat ini, dia dapat
memberikan nilai untuk menjaga kemungkinan dari beberapa penggunaan dimasa datang Prato, 1998; Freeman, 2003. Nilai pilihan Tahura Djuanda
dihitung sama dengan dengan nilai keberadaan di atas yaitu menggunakan metode Contingent Valuation Method CVM. Nilai pilihan Tahura Djuanda
dihitung berdasarkan bagaimana manfaat sumberdaya alam yang terkandung dalam Tahura Djuanda dapat dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan untuk
masa yang akan datang. Untuk mengumpulkan data berkaitan dengan nilai pilihan ini, disebarkan sebanyak 150 kuisioner kepada responden.
Dari semua responden yang ditanyai, sekitar 95,33 menyatakan perlu dipertahankan manfaat yang terkandung di dalam kawasan Tahura Djuanda,
1,33 menyatakan tidak perlu, dan 3,34 menyatakan ragu-ragu. Berkaitan dengan kesediaan membayar agar manfaat SDA dalam Tahura Djuanda tetap
dipertahankan, sekitar 81,33 menyatakan bersedia membayar dan 18,67 menyatakan tidak bersedia membayar. Berkaitan dengan kesediaan membayar
dengan nilai minimal Rp. 10.000 per tahun dan nilai maksimal Rp. 1.000.000,- per tahun dengan rata-rata sebesar Rp. 114.016,- per tahun
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai pilihan Tahura Djuanda sebesar
Rp.3.826.618.197,- per tahun. Walaupun nilai pilihan biasanya berkurang
sejalan dengan tempat yang potensial digunakan dimasa datang dan mungkin porsinya kecil dalam level pendapatan perkapita, nilai ini dapat dimasukkan
dalam sebuah porsi yang tidak dapat diabaikan dalam nilai total ekonomi dari sebuah kawasan sumberdaya alam yang dilindungi protected natural resources
yang dikenal luas baik dalam level lokal, regional maupun secara internasional Kroeger dan Manalo, 2006. Sebagai contoh, Barrick dan Beazley 1990
mengestimasi total nilai pilihan untuk mencegah pembangunan Minyak dan Gas alam di daerah Washakie Wilderness di Shoshone National Forest, Wyoming
yang lokasinya bertetangga dengan bagian sebelah Selatan Yellowstone
National Park, kepada masyarakat di Amerika Serikat yang tidak tinggal di kawasan tersebut dengan total nilai pilihan sebesar 3,6 milyar . pada harga
tahun 1983 pada 1 sebesar Rp 2500,- nilai pilihan tersebut ekivalen Rp 9 trilliun pada harga tahun 1983, dan pada harga sekarang mencapai Rp 36
trilyun
7.3.8. Nilai Kelestarian
Kawasan Tahura mempunyai fungsi sebagai: Daerah tangkapan air bagi kawasan bawahannya Metropolitan Bandung yang menjamin ketersediaan air,
memperkecil air larian, kawasan hutan yang berfungsi lindung bagi plasma nutfah, sebagai kawasan resapan air yang berfungsi mencegah erosi, mencegah
banjir, menjaga kestabilan iklim mikro, kenyaman, keindahan pemandangan. Dengan pentingnya fungsi untuk melestarikan Tahura dan kondisi ini
dimengerti oleh masyarakat sehingga bersedia untuk membayar untuk menjaganya. Nilai kelestarian Tahura Djuanda juga dihitung dengan metode
Contingent Valuation Method CVM. Nilai kelestarian Tahura Djuanda dihitung berdasarkan pentingnya dilestarikan kawasan Tahura Djuanda terutama untuk
mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan perlindungan flora dan fauna yang terkandung di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan
dengan menyebarkan kuisioner untuk 150 responden. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 95,30 responden menyatakan
kawasan Tahura Djuanda perlu dilestarikan untuk mempertahankan fungsinya sebagai kawasan konservasi dan perlindungan satwa di dalamnya dan 4,67
responden menyatakan ragu-ragu, Berkaitan dengan kesediaan membayar untuk melestarikan fungsi kawasan Tahura Djuanda, sekitar 88,67 menyatakan
bersedia membayar dan 11,33 menyatakan tidak bersedia membayar. Adapun besar biaya yang bersedia dibayarkan untuk melestarikan kawasan Tahura
Djuanda. Berkaitan dengan kesediaan membayar dengan nilai minimal Rp. 10.000 per tahun dan nilai maksimal Rp. 1.000.000,- per tahun dengan rata-rata
sebesar Rp. 134.586,- per tahun. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai keestarian Tahura Djuanda sebesar
Rp. 4.786.163.910,- per tahun 7.3.9 Nilai Keberadaan Untuk PLTA Bengkok
Kelestarian Tahura juga berpengaruh terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA Bengkok yang letaknya bersebelahan dengan Tahura
Djuanda. PLTA adalah pembangkit listrik yang mengandalkan energi potensial dan kinetik air sebagai bahan baku untuk menggerakkan turbin sehingga
menghasilkan energi listrik. Keberadaan PLTA merupakan upaya pemerintah melakukan penghematan energi dari sumber energi fosil, selain karena harganya
mahal, bahan bakar fosil merupakan sumberdaya yang jumlahnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Keberadaan PLTA Bengkok diharapkan dapat
mewujudkan industri ketenagalistrikan yang efektif, efisien dan mandiri, memungkinkan tercapainya target PLN untuk menjaga kesinambungan, kualitas
dan keandalan pasokan listrik dengan tingkat yang diharapkan oleh konsumer yang berada di Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Kegiatan operasi PLTA untuk menghasilkan energi listrik sangat tergantung pada volume dan debit air. Sementara volume dan debit air di PLTA
sangat tergantung pada kelestarian Tahura Djuanda. Karena secara langsung maupun tidak langsung Tahura Djuanda merupakan daerah resapan atau
konservasi air. Ketersediaan air dipengaruhi oleh banyaknya jumlah vegetasi, jenis, dan kerapatannya. Semakin lestari hutan di sekitar PLTA maka air yang
diserap oleh tanah semakin banyak sehingga debit dan volume air dapat dipertahankan untuk menggerakkan turbin PLTA dalam menghasilkan energi
listrik. Selain itu tingkat erosi, sedimentasi dan tanah longsor dapat dikurangi. Namun jika faktor lingkungan tidak dijaga, bisa jadi masa mendatang pembangkit
berusia tua ini terganggu pengoperasiannya sehingga harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk perbaikan lingkungan. Hal ini menyebabkan perusahaan
tidak efisien. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan pihak perusahaan
yaitu PT. Indonesia Power sebagai pengelola PLTA Bengkok menjelaskan bahwa PLTA Bengkok mampu menghasilkan energi listrik sebesar 1,6 Mega
Watt 1600 kw dengan menggunakan sumberdaya air sebagai bahan baku. Bila keberadaan Tahuran tidak dipertahankan maka PLTA akan sepenuhnya
menggunakan bahan bakar diesel untuk menggerakkan turbin. Dalam sebulan mesin beroperasi selama 24 hari karena sisanya adalah hari libur
dan istirahat mesin dan dengan harga minyak diesel Rp. 4500,-. Dari perhitungan penggunaan diesel untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1600 kw per jam
selama satu tahun diperoleh nilai sebesar Rp. 68.208.800.000,-
Kondisi ini menggambarkan bahwa dengan keberadaan dan terjaganya kelestarian Tahura Djuanda sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air PLTA
sehingga dapat dilakukan penghematan Oleh karena itu kelestarian vegetasi tahura harus tetap terjaga sebagai daerah penyangga atau konservasi air bagi
lingkungan sekitarnya.
7.3.10 Pemanfaatan Sebagai Air Baku oleh PDAM Kota Bandung
Dalam keadaan normal, persediaan air baku mencapai 2.400 liter per detik dari kebutuhan sekitar 4.600 liter per detik, sehingga pada musim kemarau
persediaannya bisa berkurang menjadi hanya 1.200 liter per detik. Upaya yang sedang dilakukan PDAM adalah mencari mata air untuk menambah persediaan
air baku. Sejauh ini PDAM Kota Bandung memiliki tiga jenis upaya penyediaan air baku. Sumber pertama berasal dari air permukaan di beberapa sungai seperti
Sungai Cisangkuy dengan persediaan 1.400 liter per detik, Sungai Cikapundung 840 liter per detik, serta Sungai Cibeureum sekitar 40 liter per detik. PDAM Kota
Bandung , 2006 Tahura merupakan sumber air bagi S ungai Cikapundung, sehingga
keberadan Tahura sangat penting dalam penyediaan air bagi PDAM Bandung. Kontribusi dari yang berasal dari S Cikapundung sebesar 35. Dengan tarif air
PDAM Kota Bandung adalah Rp 2.014 per meter kubik. Adapun untuk niaga, tarifnya diatur khusus berdasarkan jumlah pemakaian. Untuk pemakaian di atas
30 meter kubik per bulan, pelanggan dikenai tarif Rp 6.900 per meter kubik. Penerimaan operasi PDAM berasal dari penerimaan air sebanyak 78,
yang terdiri dari penerimaan penjualan air dan penerimaan beban tetap. Sementara itu, penerimaan non air dan penerimaan air kotor hanya mewakili
masing-masing 3 dan 19 dari penerimaan operasi total. Penerimaan non air terdiri dari penerimaan sambungan baru, denda, penyambungan kembali, dan
sebagainya. Penerimaan air kotor berasal dari biaya pelayanan air kotor 30 dari penerimaan air. Penerimaan pada tahun 2005 sebesar Rp.
68,699,665,000,- ekivalen dengan Rp 68,7 milyar. Sehingga nilai pemanfaat air
dari dari Tahura senilai 35 dari penerimaan tersebut yaitu Rp. 24,044,882,750,- per tahun
7.3.10 Nilai Ekonomi Total
Nilai ekonomi total kawasan Tahura Djuanda merupakan jumlah dari keseluruhan nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung dengan rumus
seperti di bawah ini. NET = [NPL+NTPL] + NNP
NT = [{NE
k
+ NA
d
+ NA
p
+ + NP
c
}] + [{NP
el
+ NP
il
+ NK
eb
}] Keterangan :
NET = Nilai Ekonomi Total
NPL = Nilai Penggunaan Langsung
NPTL = Nilai Penggunaan Tak Langsung NNP = Nilai non penggunaan
NE
k
= Nilai Ekowisata NA
p
= Nilai Air Pertanian NA
d
= Nilai Air Domestik NP
c
= Nilai Penyerapan Carbon NP
el
= Nilai Pelestarian NP
il
= Nilai Pilihan NK
eb
= Nilai Keberadaan Tabel 12. Nilai ekonomi Total Kawasan Tahura Djuanda
No. Jenis Nilai Ekonomi
Nilai Ekonomi Rp
1 Nilai Ekowisata
22.847.478.885 2
Nilai Air pertanian 1.594.960.963
3 Nilai Air domestik
556.078.022 4
Nilai Penyerapan karbon 15,019,500,000
5 Nilai Hasil Oksigen
7.117.500.000.000
6 Nilai PLTA Bengkok
68.208.800.000 7
Nilai Pemanfaatan Air PDAM 24.044.882.750
8 Nilai Pelestarian
4.786.163.910 9
Nilai Keberadaan 4.798.091.719
10 Nilai Pilihan
3.826.618.197 TOTAL
7.248.163.074.446
Tabel 12 memperlihatkan nilai ekonomi total dari pemanfaatan kawasan Tahura
Djuanda sebesar Rp. 7.248.163.074.446 Nilai ini termasuk cukup besar jika
dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan Tahura yaitu hanya sekitar
526,98 hektar dengan nilai Rp
13.754.152.101
per hektar .
Kemampuan Tahura untuk memproduksi Oksigen memberikan nilai yang
terbesar yaitu Rp Rp. 7.248.163.074.446,- Dengan terjaganya keutuhan kawasan
hutan akan dapat mempertahankan fungsi penyedia oksigen. Hal ini juga yang merupakan daya tarik bagi masyarakat yang melakukan jogging sepanjang
Tahura terutama pada pagi hari, karena udara sangat segar yang menyenangkan.
Nilai PLTA Bengkok per tahun atau Rp.
68.208.800.000
diikuti nilai pemanfaatan air oleh PDAM sebesar.Rp 24.044.882.750,- menunjukkan
kelestarian tahura mampu memberikan manfaat bagi keberadaan PLTA Bengkok yang kegiatan operasinya sangat tergantung pada ketersediaan air, dimana debit
air PLTA tergantung pada daerah resapan yang ada di sekitarnya yaitu Tahura Djuanda dan ketersediaan air baku bagi PDAM kota Bandung. Manfaat
terjaganya kondisi air di kawasan Tahura dirasakan oleh masyarakat yang tinggal jauh dari Tahura yang menggunakan listrik dan air minum yang bila kondisi
Tahura rusak maka kualitas perairan juga aka turun dan pada akhirnya PLTA dan PDAM tidak berfungsi dengan baik.
Tingginya nilai pelestarian terhadap keberadaan tahura disebabkan adanya manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat sekitar tahura
terhadap kegiatan pertanian, Sedangkan nilai ekonomi ekowisata merupakan nilai kedua tertinggi, yaitu Rp. 22.847.478.885,-. Dan nilai penyerapan karbon
sebesar Rp. 15,019,500,000,- Nilai Ekowisata sebesar Rp. 22.847.478.885,- mencerminkan
Kegiatan ekowisata di tahura relatif tinggi dan kontinyu hal ini disebabkan karena Tahura
Djuanda merupakan salah satu kawasan wisata terdekat dengan pusat kota sehingga akses ke tahura sangat mudah dan untuk menikmati pemandangan
dan suasana di dalam kawasan. Pengembangan ekowisata berkelanjutan dapat memberikan kontribusi bagi perlindungan kawasan dan disisi lain juga
memberikan kontribusi ekonomi bagi pengelola dan daerah serta partisipasi masyarakat sekitar. Partisipasi masyarakat sekitar sangat penting karena dengan
ikut serta dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kawasan, merek akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian kawasan yang telah
memberikan mereka kesejahteraan. Fennels 2001, berpendapat bahwa dengan adanya keadilan akan pemanfaatan kawasan juga dapat terjalin dengan baik
sehingga proses pembangunan yang berkelanjutan akan tercapai.
Nilai pilihan sebesar Rp. 3.826.618.197,- Masih dapat dapat ditingkatkan
lagi sesuai dengan hasil penelitian Barrick dan Beazley 1990 mengestimasi
total nilai pilihan untuk mencegah pembangunan Minyak dan Gas alam di daerah Washakie Wilderness di Shoshone National Forest, Wyoming yang lokasinya
bertetangga dengan bagian sebelah Selatan Yellowstone National Park, kepada masyarakat di Amerika Serikat yang tidak tinggal di kawasan tersebut dengan
total nilai pilihan sebesar 3,6 milyar. Dengan cara melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal tidak hanya di sekitar Tahura tetapai
juga kepada seluruh masyarakat baik yang tigggal di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung atau Kabupaten Bandung Barat yang
menggambarkan pentingnya peran Kawasan Tahura sebagai kawasan yang melindungi kawasan lain baik sebagai penjaga fungsi hidrologis seluruh kawasan
dibawahnya, mencegah banjirm,mencegah erosi, menjaga kestablilan iklim mikro, menjaga keindahan dan masih banyak lagi. Sehingga bila masyarakat
mengerti akan penting fungsi tersebu harus dilindungi dan dijaga maka akan merasa ikut untuk menjaga keberlangsungannya.
Berdasarkan hasil penelitian Widada 2003, pada TNG Halimun komponen nilai ekonomi yang paling tinggi adalah penyerapan karbon, yaitu Rp.
429.775.200.000. jauh lebih besar bila dibandingkan dengan nilai ekonomi Penyerapan Karbon hanya Rp15,019,500,000
t
ingginya perbedaan nilai ekonomi Penyerapan Karbon di TNG Halimun dengan Tahura Djuanda bisa dinilai sangat
wajar karena TNG Halimun lebih luas, yaitu 40.000 ha, sedangkan Djuanda hanya 526,98 ha. Dengan luas 40.000 ha maka biomasa vegetasi jauh lebih
besar dibanding biomassa vegetasi pada Tahura Djuanda, yang akan berfungsi sebagai penyerap karbon. Luasnya TNG Halimun tidak diikuti oleh nilai ekonomi
ekowisata, yang hanya Rp. 31.6664,76ha, sedangkan pada Tahura Djuanda nilai ekonomi ekowisata cukup tinggi yaitu Rp. 22.847.478.885ha. Hal ini berarti
bahwa wisatawan yang berkunjung ke TNG Halimun relatif lebih sedikit bila di bandinkan dengan Tahura Djuanda. Rendahnya jumlah wisatawan TNG Halimun
sangat wajar karena fungsi utama dari TNG Halimun adalah sebagai kawasan konservasi dengan status Taman Nasional. Fungsi tersebut sangat berbeda
dengan Tahura Djuanda yang memiliki fungsi utama sebagai Taman Wisata Alam.
Bahruni 1993 melakukan penelitian tentang manfaat wisata alam kawasan konservasi dan peranannya terhadap pengembangan wilayah di
beberapa kawasan konservasi termasuk kawasan Tahura Djuanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya kawasan dengan tingkat
kunjungan tinggi juga memberikan manfaat yang tinggi yaitu: Taman Nasional Gunung Bromo Rp 2,5 milyar per tahun, hutan wisata Pangandaran Rp 1,5 milyar
per tahun, Tahura Djuanda Rp300 juta per tahun, dan wana wisata Watu Ulo Rp 19 juta per tahun. Adanya tambahan pendapatan dari belanja pengunjung wisata
alam menimbulkan dampak ganda ekonomi. Pertumbuhan ekonomi wilayah sebagai dampak wisata alam sebesar Rp 87,13 milyar di taman hutan wisata
Pangandaran, Rp 26,64 milyar di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Rp 19,98 milyar di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Rp 5,29 milyar di
Tahura Djuanda, Rp 2,91 milyar di wana wisata Watu Ulo, dan Rp 1,63 milyar di Taman Nasional Bunaken.
Purwanto 2006 melakukan penelitian nilai ekonomi total Tahura Juanda. Sebanyak 500 pengunjung wana wisata Taman Hutan Raya Juanda telah
diwawancarai, berkaitan dengan kesanggupan membayar untuk mengetahui kurva permintaan dari kawasan wisata tersebut. Studi ini dilakukan untuk
mengetahui, menelaah dan menyajikan karakteristik objek wisata Taman Hutan Raya Juanda. Diharapkan dari studi ini dihasilkan suatu manfaat intangible
rekreasi dari wana wisata yang dapat dilakukan untuk perumusan alokasi sumber daya alam dan alokasi pembangunan yang optimum.
Metoda yang digunakan pada studi ini adalah menggunakan pendekatan Travel Cost Method atau yang dikenal dengan Metoda Biaya Perjalanan, yang
prinsipnya menggunakan biaya perjalanan untuk menghitung nilai permintaan rekreasi suatu sumber daya alam yang tidak memiliki harga pasar. Dari hasil
studi diperoleh indikasi bahwa semakin tinggi pendapatan rata-rata per kapita, maka permintaan rekreasi juga akan semakin besar, serta semakin tinggi biaya
perjalanan akan menyebabkan berkurangnya jumlah permintaan. Berdasarkan analisis kurva permintaan diperoleh indikasi bahwa pada
tingkat harga karcis yang berlaku sekarang Rp 700 maka diperoleh penerimaan sebesar Rp. 22.910.700. Penerimaan akan mencapai nilai optimum pada harga
karcis sebesar Rp 6.000, yakni sebesar Rp. 206.963.800. Dengan tidak mengabaikan fungsi sosial dari wana wisata tersebut dan fungsi konservasi maka
harga karcis yang masuk sebenarnya bisa ditetapkan tidak setinggi dimana penerimaan mencapai optimum. Diduga dengan harga karcis sebesar Rp. 3.000
maka fungsi wana wisata Taman Hutan Raya Juanda sebagai kawasan wisata,
konservasi dan mempunyai fungsi sosial terutama dari masyarakat sekitar dapat berjalan selaras.
7.4. Persepsi Masyarakat
Dalam penelitian ini persepsi masyarakat terhadap tahura diketahui melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada responden yang secara
normatif merupakan kondisi ideal dalam pengelolaan dan pelestarian tahura meliputi
pentingnya keberadaan Tahura Djuanda; manfaat SDAL Tahura Djuanda bagi masyarakat; pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjaga keamanan
Kawasan Tahura Djuanda. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang tersebar di sekitar
Kawasan Tahura Djuanda, persepsi masyarakat desa terhadap keberadaan Tahura Djuanda adalah 98,7 setuju jika keberadaan kawasan tetap
dipertahankan, 0,67 tidak setuju dan 0,67 tidak tahu Gambar 36.
98.7
0.6667 0.6667
20 40
60 80
100
Setuju Tidak Setuju
Tidak Tahu
Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Tahura
Setuju Tidak Setuju
Tidak Tahu
Gambar 36. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Tahura Djuanda memberikan
dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di desa penyangga Kawasan Tahura Djuanda antara lain sebagai kawasan konservasi air kesinambungan
sumber air dan ekowisata, penyedia lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djunda, menjamin
ketersediaan udara segar, menjaga keindahan dan kelestarian sumberdaya hayati dan ekosistem yang ada di dalamnya, menyerap polusi, tempat menanam
rumput, tempat mencari kayu bakar, menyerap polusi, mencegah longsor dan erosi serta menambah Ruang Terbuka Hijau RTH.
Masyarakat desa penyangga Tahura Djuanda berharap agar pengelolaan Tahura Djuanda lebih meningkatkan keterlibatan masyarakat sekitar, sehingga
Sedangkan untuk menjamin keberadaan dan kelestarian Tahura Djuanda Dinas Kehutan Propinsi Jawa Barat dalam hal ini Balai Pengelola Tahura Djuanda
diharapkan meningkatkan kegiatan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan Tahura Djuanda dan pemberdayaan masyarakat sekitar agar mampu
memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Sehingga masyarakat sekitar Kawasan Tahura Djuanda merasa memiliki dan bertanggung
jawab terhadap keberadaan Tahura Djuanda. Sedangkan dari segi pengunjung bahwa fasilitas di dalam Tahura Djuanda perlu ditingkatkan dan dipelihara
dengan baik, karena sampai saat ini pengunjung merasakan bahwa kondisi di dalam Tahura Djuanda kurang terawat, sarana tempat pembuangan sampah
sangat kurang, jalur jogging track masih dilalui oleh kendaraan bermotor sehingga tujuan mencari udara segar menjadi polusi dari asap sepeda motor.
Walaupun hal ini sangat sederhana tetapi akan berpengaruh terhadap jumlah kunjungan ke Tahura Djuanda.
Masyarakat sekitar kawasan Tahura Djuanda berpendapat bahwa air yang dimanfaatkan ada kaitannya dengan keberadaan Tahura Djuanda
sebanyak 68 menjawab ya dan 32 menjawab tidak Gambar 37.
Keterkaitan Antara Keberadaan Tahura dengan Air yang Dimanfaatkan
68 32
Ya Tidak
Gambar 37 Persepsi masyarakat terhadap keterkaitan keberadaan Tahura
Djuanda dengan air yang dimanfaatkan oleh masyarakat Persepsi tersebut relatif bervariasi karena sebagian masyarakat
beranggapan bahwa jarak rumah dan Tahura sangat jauh sehingga air yang dimanfaatkan tidak ada kaitan dengan Tahura Djuanda. Sementara sebagian
masyarakat yang lain air yang dimanfaatkan bersumber dari mata airsungai yang langsung berhubungan dengan Tahura Ir. H. Djunda.
Tingkat persepsi masyarakat terhadap hak pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebagai sumber air domestik dan industri adalah 59,33 menjawab
masyarakat setempat berhak untuk memanfaatkan air yang bersumber dari Tahura, 38 menjawab semua orang, dan 2,67 menjawab hak pemerintah
saja Gambar 38.
38
2.67 59.33
10 20
30 40
50 60
Semua Orang
Pemerintah Masyarakat setempat
Ragu-ragu
Hak Pemanfaatan Kawasan Tahura Ir. H. Djuanda Sebagai Sumber Air Domestik dan Air Industri
Gambar 38 Hak pemanfaatan Tahura Djuanda sebagai sumber air domestik Sementara persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan Kawasan Tahura
Djuanda sebagai sumber air pertanian irigasi adalah hampir sama sebagian besar masyarakat 58 menyatakan bahwa masyarakat setempat yang berhak
memanfaatkan Tahura sebagai sumber air pertanian irigasi, 38,67 menjawab semua orang dan 3,3 pemerintah yang berhak memanfaatkan Tahura Djuanda
sebagai sumber air. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat mengharapkan dapat mengakses dan memanfaatkan sumberdaya alam yang
ada di dalam Tahura Djuanda mengambil kayu bakar, menanam rumput dan sayur-sayuran dan sumber air.
38.67
3.33 58
10 20
30 40
50 60
Semua Orang
Pemerintah Masyarakat
setempat Ragu-ragu
Hak Pemanfaatan Tahura sebagai Sumber Air Pertanian Irigasi
Gambar 39. Hak pemanfaatan tahura sebagai sumber air pertanian Berdasarkan hasil penelitian dan survei ke lapangan hak pemanfaatan
Tahura Djuanda 83 menjawab bahwa semua orang berhak melakukan kegiatan ekowisata. Persepsi ini didasarkan pada pemahaman bahwa dengan
adanya kegiatan ekowisata dapat memberikan pengaruh positif, yaitu mendorong terciptanya lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekitar kawasan tersebut. Meningkatnya kunjungan wisatawan akan membuat pengelolaan Tahura Djuanda semakin menarik, kesejahteraan
karyawan meningkat dan yang paling penting akan membantu menggerakkan perekonomian masyarakat kelas menengah dan bawah sekitar Tahura Djuanda.
Karyawan akan memiliki dedikasi tinggi terhadap Tahura Djuanda, demikian pula masyarakat sekitar Tahura Djuanda akan semakin tergantung kepada
keberadaan Tahura Djuanda sehingga mereka secara sadar akan bersedia menjaga kelestarian Tahura Djuanda. Hal ini menunjukkan masih adanya
kesenjangan antara persepsi dan perilaku.
Hak Pemanfaatan Tahura Ir. H. Djuanda Untuk Kegiatan Ekowisata
83 3
14
Semua Orang Pemerintah
Masyarakat Setempat Ragu-ragu
Gambar 40. Pemanfaatan Kawasan Tahura Djuanda untuk kegiatan ekowisata
Persepsi masyarakat terhadap pengaturan dan pengelolaan Tahura Djuanda adalah 37,97 dikelola oleh pemerintah, 35,44 dikelola oleh pemerintah dan
masyarakat setempat, 14,56 pemerintah dan swasta, 6,33 dikelola oleh masyarakat setempat dan 5,7 dikelola oleh semua orang. Tingginya persepsi
masyarakat disebabkan masyarakat dapat dilibatkan dalam pengaturan dan pengelolaan Tahura Djuanda sehingga dapat memberikan manfaat baik secara
ekonomi, sosial maupun konservasi sehingga menjadi penggerak pembangunan ekonomi wilayahnya secara berimbang balanced development antara
kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak. Dari segi sosial diharapkan dengan partisipasi masyarakat mampu mengangkat derajat dan
tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Tahura Djuanda. Untuk tujuan konservasi keterlibatan masyarakat akan mampu memelihara, melindungi dan
atau berkonstribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam yang ada di Tahura Djuanda sehingga keberadaan dan keamanan Tahura dapat terjamin dan
terhindar dari kerusakan seperti illegal logging dan perambahan lahan. Keterlibatan masyarakat dalam pengaturan dan pengelolaan Tahura Djuanda
akan mempengaruhi pemahaman dan cara pandang masyarakat untuk lebih memiliki dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya alam dan potensi yang
ada di dalam dan sekitar Tahura Djuanda. Persepsi masyarakat terhadap kondisi pengelolaan Tahura Djuanda yaitu
sebanyak 34 cukup baik, 32,67 menyatakan baik dan 27,33 kurang dan hanya 6 menyatakan sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
pengelolaan yang ada sekarang belum optimal terutama dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana, keterlibatan masyarakat, perawatan fasilitas yang ada di
dalam dan di sekitar kawasan, vegetasi tanaman yang semakin berkurang, kurangnya promosi dan keterbatasan Sumberdaya Manusia.
6 32.67
34 27.33
5 10
15 20
25 30
35
Sangat Baik Baik
Cukup Baik Kurang Baik Tidak baik
Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda
Gambar 41. Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Pengelolaan Tahura Djuanda
Pengembangan taman hutan memiliki sumbangan yang besar bagi pelestarian fungsi konservasi, pendidikan dan penelitian, kebudayaan serta
pariwisata. Pengembangan taman hutan sebagai suatu kawasan pelestarian alam diharapkan dapat menjamin keberlangsungan pemeliharaan kawasan,
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan kawasan alam, serta mengikutsertakan masyarakat di dalam menjaga kelestarian
kawasan lindung. Studi terhadap perilaku pengunjung, dampak penggunaan kawasan konservasi, dan tingkat kepuasan pengunjung sangat diperlukan, untuk
mendukung pengunjung dalam menemukan pengalaman alam yang menarik, menyenangkan dan mendidik sebagai upaya pencapaian tujuan dan fungsi,
sekaligus meminimumkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pariwisata di suatu taman hutan.
Pengembangan diarahkan pada prinsip pengembangan kawasan yang berkelanjutan dengan didasarkan pada aspek konservasi alam, penggalian
kekayaan florafauna dan keindahan alam, serta aspek sejarah dan budaya. Arahan pengembangan yang diberikan bertujuan untuk tidak hanya memenuhi
keinginan dan kebutuhan pengunjung yang sesuai dengan karakteristik taman hutan, terlebih lagi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengalaman yang
didapatkan. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengembangkan kegiatan rekreasi dan pembinaan cinta alam yang tidak terpisah dengan fungsi lainnya
melalui perwujudan rekreasi edukatif. Kegiatan rekreasi edukatif diusahakan
dengan memasukkan unsur-unsur pelestarian alam, sejarah dan budaya dalam kegiatan rekreasi guna memberikan nilai tambah bagi kualitas pengalaman
pengunjung di dalam kegiatan rekreasi di Taman Hutan Raya Djuanda.
7.5 Kesimpulan
Nilai ekonomi total dari pemanfaatan kawasan Tahura Djuanda sebesar Rp. 7.248.163.074.446 per tahun. Nilai ini termasuk cukup besar jika
dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan Tahura yaitu hanya sekitar 526,98 hektar dengan nilai Rp 13.754.152.101,- per ha. Nilai ekonomi ekowisata
sebesar yaitu Rp. 22.847.478.885,-. Kegiatan ekowisata paling baik dalam mengembangkan suatu kawasan dengan fungsi konservasi dimana
pengembangan perlundungan kawasan dilakukan selaras dengan perekonomian kawasan sekitar dan manfaat bagi masyarakat sekitar. Pengembangan
ekowisata berkelanjutan dapat memberikan kontribusi bagi perlindungan kawasan dan disisi lain juga memberikan kontribusi ekonomi bagi pengelola dan
daerah serta partisipasi masyarakat sekitar. Partisipasi masyarakat sekitar sangat penting karena dengan ikut serta dalam penyelenggaraan dan
pengelolaan kawasan, merek akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian kawasan yang telah memberikan mereka kesejahteraan
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat di desa penyangga Kawasan
Tahura Djuanda antara lain sebagai kawasan konservasi air dan ekowisata, penyedia lapangan kerja sehingga mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat sekitar Tahura Ir. H. Djunda, menjamin ketersediaan udara segar, menjaga keindahan dan kelestarian sumberdaya hayati dan ekosistem yang ada
di dalamnya, menyerap polusi, tempat menanam rumput, tempat mencari kayu bakar, menyerap polusi, mencegah longsor dan erosi serta menambah Ruang
Terbuka Hijau RTH. Untuk menjamin keberadaan dan kelestarian Tahura Djuanda Dinas
Kehutan Propinsi Jawa Barat dalam hal ini Balai Pengelola Tahura Djuanda diharapkan meningkatkan kegiatan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan
Tahura Djuanda dan pemberdayaan masyarakat sekitar agar mampu memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya, sehingga
masyarakat sekitar Kawasan Tahura Djuanda merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberadaan Tahura Djuanda. Pengunjung bahwa fasilitas di
dalam Tahura Djuanda perlu ditingkatkan dan dipelihara dengan baik, karena sampai saat ini pengunjung merasakan bahwa kondisi di dalam Tahura Djuanda
kurang terawat, sarana tempat pembuangan sampah sangat kurang, jalur jogging track masih dilalui oleh kendaraan bermotor sehingga tujuan mencari udara
segar menjadi polusi dari asap sepeda motor.
VIII. ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG KAWASAN TAHURA DJUANDA
Abstrak
Penataan ruang dalam suatu kawasan harus melibatkan seluruh stakeholder. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran masyarakat dan pemerintah baik
legislatif maupun eksekutif sangat dibutuhkan dalam pengelolaan kawasan disamping peran aktor lainnya melalui kerjasama yang baik. Penelitian ini
dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di kawasan Tahura Djuanda. Untuk mengetahui prioritas kepentingan setiap stakeholder
terhadap kebijakan pengendalian ruang di sekitar Kawasan Tahura Djuanda dapat dilakukan dengan menggunakan Analitical Hierarchy Process AHP. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berbagai tujuan yang dapat dicapai dalam pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda dilihat dari aspek ekologi
lingkungan pengelolaan diarahkan untuk mencapai tujuan terjaganya kelestarian daerah resapan air. Aspek ekonomi adalah keberlanjutan usaha,
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tahura dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Aspek sosial adalah peran masyarakat, budaya lokal
dan penyediaan lapangan pekerjaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran pemerintah sangat diharapkan baik pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten kota, dimana pemerintah kota memiliki kewenangan yang lebih besar di wilayahnya seiring dengan otonomi daerah. Selain itu peran pengusaha dan
masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjamin iklim kondusif terhadap pelaksanaan pengelolaan sehingga dapat mengurai konflik kepentingan antar
pihak yang terkait. Kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda agar dapat dikelola secara terpadu dan berkelanjutan, diarahkan pada penetapan
peraturan zonasi secara partisipatif, mekansime perizinan yang transparan dan terpadu, pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dan pengusaha
dalam pengendalian ruang, dan pemberlakuan sanksi yang jelas dan tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap tata ruang kawasan.
Keywords: spatial controlling, stakeholder, policy, strategy, AHP.
8.1. Pendahuluan
Keberadaan Tahura Djuanda memegang peranan sangat penting dalam pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara. Peranan tersebut terdiri dari
fungsi Tahura Djuanda pertama sebagai kawasan penyangga kebutuhan
masyarakat khususnya dalam penyedia jasa lingkungan hidrologis berkonservasi
tinggi dengan keanekaragaman flora-fauna dan ekosistemnya. Kedua upaya
pelestarian sumberdaya alam serta penyelenggaraan kegiatan wisata sehingga memberikan manfaat baik secara ekonomi, lingkungan dan sosial kepada
masyarakat dan pemerintah setempat.
Konversi lahan hutan dan pertanian menjadi penggunaan lainnya khususnya pemukiman di sekitar Tahura Djuanda sangat tinggi. Perubahan lahan
yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait dengan tingginya pertumbuhan dan aktivitas ekonomi masyarakat kota
Bandung. Pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan kegiatan pembangunan mengakibatkan pergeseran pola penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan kaidah penataan ruang dan kemampuan serta kesesuaian lahan sehingga timbul berbagai masalah. Permasalahan yang ditimbulkan diantaranya
adalah pertama terbentuknya lahan kritis karena tingginya erosi dan limpasan air permukaan. Kedua hilangnya wilayah resapan air dan berkurangnya sumber
mata air tanah. Ketiga hilangnya lahan pertanian yang subur dan berkurangnya kawasan yang memiliki nuansa hijau, sejuk dan segar. Keempat terjadinya
pencemaran tanah karena aktivitas rumahtangga yang menghasilkan limbah. Kawasan lindung Tahura Djuanda yang berubah fungsi menjadi kawasan
pemukiman menyebabkan limpasan aliran permukaan air tanah tidak lagi terhambat dan meresap karena hilangnya vegetasi dan lahan tertutup bangunan
pemukiman. Hal ini menyebabkan erosi permukaan tanah meningkat dan akibatnya terbentuk lahan-lahan kristis di sekitar pemukiman tersebut.
Perubahan fungsi juga menyebabkan hilangnya wilayah resapan air yang mengkibatkan sumber-sumber mata air akan semakin menyusut dan lama
kelamaan akan hilang. Kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan yang memiliki nuansa hijau, sejuk dan segar dan merupakan kawasan pertanian subur
akan hilang ketika kawasan tersebut berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman.
Perubahan fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman menyebabkan peningkatan aktivitas rumah tangga dan masyarakat yang menghasilkan limbah-
limbah dan sampah-sampah yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan tanah, sehingga menurunkan mutu tanah. Penyimpangan penggunaan lahan
yang telah terjadi dan jika dibiarkan terus berlanjut tanpa ada usaha pengendalian penggunaan ruang di kawasan Tahura Djuanda, maka fungsi
kawasan tersebut sebagai wilayah hutan lindung, konservasi dan kawasan resapan air tidak dapat berjalan dengan semestinya. Hal ini akan berdampak
pada kerusakan lingkungan khususnya krisis air, baik bagi kawasan itu sendiri maupun daerah cekungan Bandung secara keseluruhan.
Permasalahan perubahan fungsi lahan di sekitar kawasan Tahura Djuanda akan menimbulkan semakin banyak banyak permasalahan apabila tidak
segera diatasi dengan kebijakan penataan ruang yang memadai. Dalam kaitannya dengan hal itu, permasalahan terbesar dalam penataan ruang adalah
pengendalian pemanfaatan ruang. Sekalipun rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang telah disusun dengan sangat baik, tujuan dari penataan
ruang tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas, konsisten dan berkelanjutan.
Yakin 1997 menyatakan semakin pesat pertumbuhan penduduk di suatu daerah atau wilayah akan berpengaruh buruk terhadap keberlanjutan lingkungan
jika tidak dikelola dengan baik. Masalah lingkungan timbul dari hasil interaksi antara aktivitas manusia dan sumberdaya alam. Interaksi ini timbul dari dua
aspek yaitu mekanisme permintaan akan sumberdaya lingkungan dan mekanisme suplai atau penawaran sumberdaya lingkungan. Interaksi yang tidak
seimbang dan harmonis antara kedua aspek tersebut bisa menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan. Tingginya permintaan sumberdaya
lingkungan yang tidak bisa didukung oleh ketersediaan dan suplai sumberdaya lingkungan akan menyebabkan terjadinya eksploitasi lingkungan yang berlebihan.
Degradasi lingkungan terjadi karena adanya eksploitasi sumberdaya lingkungan yang berlebihan.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka upaya pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan untuk
mempertahankan eksistensi kawasan tersebut sebagaimana fungsinya. Kerjasama yang baik seluruh pemangku kepentingan stakeholders sangat
dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut. Partisipasi seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan karena upaya penyelamatkan lingkungan
merupakan tanggung jawab bersama. Kelestarian lingkungan hidup di kawasan Tahura Djuanda dan sekitarnya sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya
semua lapisan masyarakat dan institusi yang berada di wilayah Bandung khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk
merumuskan kebijakan pengendalian ruangnya di Kawasan Tahura Djuanda. 8.2.
Metode Analisis Kebijakan Pengendalian Ruang Kawasan Tahura Djuanda
Metode analytical hierarchy process AHP digunakan untuk menyusun rumusan arahan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.
Penggunaan AHP dimaksudkan untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik dengan cara: 1 mengamati dan meneliti ulang tujuan
dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; 2 membandingkan secara kuantitatif dari segi
biayaekonomis, manfaat dan resiko dari setiap alternatif; 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan 4 membuat strategi secara optimal,
dengan menentukan prioritas kegiatan. Tahapan AHP dimulai dengan yang bersifat umum, yaitu menjabarkan
kedalam sub tujuan yang lebih rinci yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dalam tujuan umum dan penjabaran terus dilakukan hingga diperoleh tujuan
yang bersifat operasional. Pada setiap hierarki dilakukan proses evaluasi atas alternatif. Tahap terpenting dari AHP adalah melakukan penilaian perbandingan
berpasangan pairwise comparisons untuk mengetahui tingkat kepentingan suatu kriteria terhadap kriteria lain. Pada dasarnya perbandingan berpasangan
merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar kriteria dalam suatu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan membandingkan sejumlah kombinasi kriteria
yang ada pada setiap hierarki sehingga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui besarnya nilai setiap kriteria. Penilaian perbandingan
berpasangan dilakukan melalui pendapat pakar. Menurut Saaty 1994 tahapan analisa data dengan AHP adalah: 1
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah; 2 Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, sub-sub tujuan, kriteria
dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui
persoalan yang sedang dikaji. Adapun struktur hierarki kebijakan pengendalian ruang di kawasan Tahura Djuanda seperti pada Gambar 42.
Gambar 42. Hirarki AHP penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda
Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat dan praktisi, kemudian mengkonversi
faktor-faktor yang tidak terukur intangible ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. AHP ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan
yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, masalah yang memerlukan pendapat
judgement maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali
dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan
pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan
Saaty, 1994. AHP telah banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari
strategi-strategi yang dimiliki oleh para pelaku pemain dalam situasi konflik. Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu
alternatif. Menurut Saaty 1994, penggunaan AHP dimaksudkan untuk proses penelusuran permasalahan untuk membantu pengambilan keputusan memilih
strategi terbaik dengan cara: 1 mengamati dan meneliti ulang tujuan dan
alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik, 2 membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya
ekonomis, manfaat dan resiko dari tiap alternatif, 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan 4 membuat strategi secara optimal, dengan cara
menentukan prioritas kegiatan. AHP memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan AHP
dibandingkan dengan mentode pengambilan keputusan lainnya adalah: 1 struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai
pada sub-sub kriteria yang paling dalam, 2 memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih
oleh para pengambil keputusan, dan 3 memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Selain itu, AHP mempunyai
kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-obyek dan multi-kriteria yang berdasar pada pertimbangan preferensi dari setiap kriteria dalam hirarki.
Jadi, model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.
Kelemahan dari AHP diantaranya adalah metode ini memerlukan konsekuensi pendapat dari stakeholder untuk memberikan dukungan
kebijakannya, sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kebijakan publik. Oleh karena itu memerlukan persepsi pendapat para para pakar, tokoh
organisasi yang terkait dalam pengembangan kawasan dan lingkungan hidup dan atau pejabat tertentu yang terkait dengan obyek penelitian prominent
person yang dinilai kompeten pada bidangnya. Dalam konteks ini pemberian peran pada masyarakat non-pemerintah terkait untuk memberikan bobot
pemilihan prioritas kriteria kebijakan dapat diakomodasikan. Model AHP digunakan untuk memilih alternatif prioritas kebijakan yang
penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari lima alternatif kebijakan yang telah dirumuskan seperti tersaji pada Gambar 45. Kriteria yang digunakan
dalam model AHP untuk penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan,
khususnya terkait dengan aktor pelaksana dalam pengendalian ruang, dimensi pembangunan berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masing-masing
prinsip pembangunan untuk menentukan prioritas kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.
Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholder yang prominent di provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung,
dan Kota Bandung. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan pakar terhadap
kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pengendalian ruang kawasan, baik untuk kepentingan saat ini maupun dimasa yang akan datang. Penentuan
prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang
dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Pengumpulan persepsi yang merupakan pendapat para pakar dilakukan
dengan pendekatan wawancara. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja purposive sampling dan snowballing. Dalam penyusunan kriteria dan
permasalahan serta memperoleh rumusan-rumusan awal dilakukan FGD. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara partisipatif. Diskusi
difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan,
dan sikap tentang pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. FGD dilaksanakan di Bandung yang diikuti oleh stakeholder terkait.
Selanjutnya berdasarkan hasil FGD awal disusun hirarki dan kriteria AHP sebagai bahan kuesioner untuk wawancara terhadap responden terpilih secara
terpisah dalam pengisian matriks perbandingan berpasangan. Data hasil pengisian matriks perbandingan berpasangan wawancara diolah dengan alat
bantu pengolahan data berbasis komputer Expert Choice 2000. Expert Choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas
metodologi pengambilan keputusan yakni AHP. Setelah diperoleh hasil analisis sementara, dilakukan FGD lanjutan untuk pembahasan strategi implementasi
kebijakan dilakukan dengan melibatkan pakar dan stakeholders. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarki penentuan kebijakan pengendalian ruang
kawasan Tahura Djuanda. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh stakeholder pada
setiap matriks perbandingan berpasangan.
8.3. Prioritas Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Hasil analisis disajikan pada Gambar 46. Nilai indeks konsistensi adalah 0,03 overall inconsistency, yang berarti nilai pembobotan perbandingan
berpasangan pada setiap matriks adalah konsisten. Hal ini juga berarti masing- masing responden telah memberikan jawaban yang konsisten.
Gambar 43. Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan Gambar 43 menunjukkan bahwa pada level 2 aktor diperoleh hasil
analisis yaitu pemerintah provinsi bobot 0,565 merupakan aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura
Djuanda. Hal ini menujukkan bahwa aspirasi pemerintah provinsi menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan pengendalian ruang. Pemerintah provinsi
dalam hal ini memegang otoritas dalam perencanaan dan pembangunan kawasan serta berperan menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya untuk
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah provinsi juga merupakan wakil pemerintah dalam
penyelenggaraan kewenangan pemerintah di tingkat provinsi dan urusan lintas kabupaten kota. Selain itu, pengelola kawasan Tahura Djuanda berada pada
tingkat provinsi sehingga pemerintah provinsi merupakan aktor yang paling dominan pengaruhnya dalam pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.
Pemerintah provinsi diharapkan mampu menfasilitasi setiap kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tahura dalam bentuk program-program pengelolaan lingkungan yang dapat dilaksanakan dalam jangka pendek maupun
jangka panjang baik bagi pengelola maupun masyarakat sekitar misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga
masyarakat mendapat manfaat baik secara pendidikan maupun ekonomi. Pemerintah provinsi juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi
seluruh kegiatan tahura sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif baik untuk lingkungan maupun masyarakat. Pemerintah provinsi
memiliki wewenang dan kapasitas dalam menentukan kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pemerintah provinsi mempunyai andil besar dalam
penetapan pengelolaan lingkungan. Secara umum pemerintah provinsi berperan sebagai koordinator pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dari berbagai
kabupaten kota selanjutnya kabupaten kota menjadi koordinator di daerah masing-masing. Sehingga ada kesamaan persepsi, dan semakin meningkatnya
kemampuan serta mekanisme kerja dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara profesional dan memenuhi kriteria ekosentris. Dalam
pengembangan kawasan tentunya didukung oleh para stakeholder yang terkait. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah pemerintah kabupaten kota
bobot 0.262. Pemerintah kabupaten kota merupakan aktor yang terkait langsung dengan keberadaan kawasan Tahura Djuanda sehingga merupakan
aktor yang perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. Aktor pengusaha dan masyarakat merupakan
prioritas ketiga dan keempat. Kedua aktor ini perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.
Pada tahap implementasi, kedua aktor ini perlu dilibatkan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
Keberadaan pengusaha akan menjamin iklim kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi di sekitar kawasan artinya pengusaha tetap menanamkan
modalnya pada usaha perlindungan kawasan dampak merosotnya ekonomi dapat dihindarkan. Keterlibatan pengusaha tidak selalu memberikan dampak
negatif terhadap pengendalian ruang kawasan selama usaha yang dilakukan memberikan konstribusi positif terhadap pelestarian lingkungan dan masyarakat
sekitar. Sedangkan masyarakat merupakan kelompok yang akan merasakan dampak dari pembangunan itu baik dari segi ekonomi, lingkungan maupun sosial
budaya, sehingga segala keputusan yang akan diambil dalam pengelolaan suatu
kawasan selayaknya masyarakat ikut dalam pengambilan keputusan tersebut termasuk melakukan pengawasan.
Dalam pengendalian ruang kawasan tahura diperlukan tanggung jawab bersama artinya semua stakeholder mampu bekerjasama dengan prinsip
keterpaduan secara simbiosis atau saling menguntungkan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
8.3.1. Tujuan
Hasil diskusi dengan pakar, pihak terkait dan penelitian di lapangan, level tujuan diuraikan lagi menjadi beberapa sub level yaitu: Ekologi, Ekonomi, Sosial.
Hasil analisis pendapat para pakar terhadap 3 tiga sub level tujuan tersebut diperoleh bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pengendalian ruang kawasan
Tahura Djuanda adalah sub level ekologi dengan skor tertinggi yaitu 0,741, ekonomi dengan skor 0,512, dan sosial dengan skor 0,106.
Tingginya nilai skor tujuan ekologi dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa ekologi menjadi perhatian utama pengendalian ruang
kawasan tahura. Karena keberlanjutan ekologi sebagai parameter dan asset utama yang menyediakan kebutuhan manusia. Lingkungan menyediakan sistem
pendukung kehidupan untuk mempertahankan keberadaan manusia dan keberlanjutan suatu aktivitas ekonomi jangka panjang. Diharapkan melalui
kegiatan pengelolaan lingkungan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dapat diminimalkan. Dengan demikian keberlanjutan ekologi dalam
pengendalian ruang kawasan tahura mempunyai implikasi yang luas menyebar ke hilir dan ke hulu karena tahura adalah sebuah ekosistem yang memiliki
ketergantungan antara mahluk yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan hubungan simbiosis berbagai stakeholder dalam rangka
mendukung pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam pengelolaan dan pengendalian
ruang kawasan Tahura Djuanda secara ekologi menunjukkan adanya keterkaitan dan ketergantungan antar ekosistem baik ekosistem yang berada dalam
kawasan maupun di luar atau sekitar kawasan sehingga diperlukan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna tanah, tata guna air dan sumberdaya lainnya
dalam suatu keterpaduan sebagai suatu kesatuan tatanan lingkungan hidup yang dinamis dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang, dilakukan secara terpadu,
menyeluruh yang mencakup pertimbangan daya dukung lingkungan, berdaya
guna dan berhasil guna, penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang sehingga dapat menjamin
terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang serta kelestarian kemampuan daya dukung sumber alam
dengan memperlihatkan kepentingan masa depan. Tujuan ekologi pengendalian ruang di Kawasan Tahura Djuanda
diharapkan mampu mengkoordinasikan antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi dan tatanan lingkungan serta
mencegah pengelolaan tanah oleh perorangan atau sekelompok orang yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan pembangunan
berkelanjutan artinya dalam memanfaatkannya tidak boleh ditempuh cara-cara yang merusaknya Sugandhy, 1999.
Pada tujuan ekologi, manfaat yang diharapkan adalah terjaganya kawasan resapan air dengan nilai skor paling tinggi yaitu 0,557; kelestarian
ekosistem hutan dan fungsinya 0,184; dan penggunaan lahan yang sesuai tata ruang 0.115; kualitas udara 0.080 dan daya dukung lingkungan 0.063
Terjaganya kawasan resapan air, kelestarian ekosistem hutan dan penggunaan lahan sesuai tata ruang menjadi prioritas utama dalam pengendalian ruang
Kawasan Tahura Djuanda. Hal ini disebabkan karena pakar menilai bahwa air, vegetasi dan aktivitas manusia dalam pemanfaatan ruang merupakan satu
kesatuan, yang satu sama lain membentuk hubungan timbal balik dalam sistem hidrologi. Aktivitas manusia yang membabat hutan, menebangi pohon pelindung,
merusak sempadan sungai, serta membuang sampah sembarangan menyebabkan berkurangnya daya dukung lahan untuk menyerap air hujan. Hal
ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan hutan sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor.
Selama ini tingkat kesadaran masyarakat terhadap fungsi vegetasi, sungai, danau dan waduk sebagai daerah resapan air sangat rendah. Oleh
karena itu menjadi tanggung jawab besar bagi pemerintah sebagai pengelola kawasan konservasi air seperti Tahura Djuanda. Kondisi ini memaksa
pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan tentang pentingnya menjaga kelestarian tahura sebagai daerah resapan air.
Selain itu pelaku perusakan kawasan konservasi harus ditindak tegas dengan memberikan hukuman dan sanksi yang seberat-beratnya sehingga menimbulkan
efek jera. Mengembalikan fungsi daerah resapan air dapat juga dilakukan melalui
penggunaan ruang sesuai dengan peruntukannya hal ini berarti bahwa kawasan tahura harus tetap dipertahankan keberadaannya dengan mengendalikan jumlah
urban sprawl yang mengarah ke kawasan tahura melalui penerbitan peraturan yang melarang penduduk sekitar atau penduduk perkotaan untuk mengkonversi
lahan menjadi daerah pemukiman atau lainnya yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kesesuaian lahan. Pengaturan dapat dilakukan dengan
memperketat sistem perizinan yang sudah ada sehingga mempersulit akses penduduk untuk mendapatkan ruang di sekitar kawasan.
Dalam pengelolaan kawasan tahura secara berkelanjutan hal penting yang perlu juga diperhatikan adalah pemanfaatan ruang sebab apabila
pengaturan ruang di kawasan tahura tidak terarah dengan baik akan menimbulkan konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari semakin
meningkatnya jumlah penduduk urban ke kawasan tahura. Sebagaimana diketahui bahwa permasalahan utama dalam pemanfaatan
ruang di sekitar kawasan tahura adalah belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan
berbagai rencana dan program sektor. Berbagai fenomena bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan serta berkurangnya kawasan konservasi pada
dasarnya merupakan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, antara manusia dengan alam maupun antara kepentingan
ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Disisi lain dalam penerapannya sering terjadi inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting
penggunaan lahan pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan. Berbagai dampak yang timbul akibat ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang
kawasan konservasi seperti hilangnya estetika tahura, pola pembangunan pemukiman yang mengarah ke sekitar kawasan, dan hilangnya akses
masyarakat ke kawasan tahura. Untuk mengoptimalkan penggunaan di kawasan Tahura Djuanda ruang
yang multiuse dalam rangka menghindari terjadinya kompetisi, konflik, dan perbedaan kepentingan, maka secara operasional perlu dilakukan penzonasian
kawasan untuk menclusterkan kegiatan yang kompatibel dan memisahkan yang in compatible berdasarkan aktivitas dan fungsi-fungsi wilayah. Hal ini
dimaksudkan untuk memisahkan pemanfaatan sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan yang mana kegiatan-kegiatan dilarang dan
diijinkan untuk setiap zona peruntukan. Atau dengan kata lain sebagai upaya
untuk menciptakan suatu keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan
pembangunan dan kegiatan konservasi di kawasan tahura. Selain tujuan ekologi, tujuan ekonomi juga sangat berpengaruh terhadap
pengendalian ruang di kawasan tahura. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, subkriteria yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan usaha
0.358
; peningkatan kesejahteraan masyarakat
0.218
; dan penyediaan infrastruktur
0.174
. Untuk mendukung pengendalian ruang kawasan tahura yang harus
diprioritaskan adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang mampu mendorong terbentuknya usaha-usaha kecil atau menengah yang didirikan oleh mayarakat
secara swadaya dengan bantuan modal dari pihak pengelola dalam hal ini pemerintah daerah sehingga terjadinya simbiosis antara pihak-pihak yang terkait
dan sinergi yang mempertinggi kinerja ekonomi masyarakat dan lingkungan. Sehingga dapat bekerjasama dan saling mengawasi secara menguntungkan.
Adanya UKM akan mengoptimalkan ketersedian lapangan kerja artinya tenaga kerja yang tidak tertampung dapat dipekerjakan di UKM sehingga ketimpangan
pendapatan dapat diperkecil. Selain itu dengan adanya UKM akan mampu memberikan konstribusi lebih kepada pemerintah daerah.
Keberadaan tahura diharapkan mampu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di
wilayahnya secara berimbang balanced development antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak sehingga memberikan
dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sekitar serta dapat mencegah kegiatan perambahan ke arah hutan yang sifatnya merusak. Untuk
meningkatkan PAD kegiatan wisata ke arah Tahura Djuanda harus mampu menarik perhatian pengunjung dengan menyediakan sarana dan prasarana
penunjang yang memudahkan akses pengunjung tahura. Pengelolaa harus mampu memelihara, melindungi dan atau berkonstribusi untuk memperbaiki
sumberdaya alam sehingga memberikan nilai eksotik dan spesifik wilayah sebagai keunggulan kompetitif serta mampu bersaing yang pada akhirnya
mampu menarik pengunjung lebih banyak sehingga pendapatan yang diperoleh oleh pihak pengelola dari penjualan tiket menjadi lebih tinggi.
Keberadaan Tahura Djuanda diharapkan mampu menciptakan iklim kondusif terhadap tumbuhnya usaha perekonomian rakyat sekitar sehingga
mampu meningkatkan taraf hidup dan kesempatan kerja. Peningkatan taraf hidup
akan sejalan dengan usaha penciptaan lapangan kerja melalui alokasi kegiatan yang tepat pada kawasan penyangga dan kawasan budidaya sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pengembangan keanekaragaman hayati terhadap kelangsungan usaha peningkatan produksi komoditi pertanian
merupakan langkah peningkatan kemakmuran prosperity yang perlu dioptimalkan demi mencapai peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dan
PAD maka usaha tersebut, sejauh manfaat sosial ekonomi tinggi dan dampak negatif kendala lingkungan kecil, dimungkinkan pengupayaannya dengan
dukungan keberlanjutan alokasi lahan dan pemanfaatan ruangnya. Kekhasan dan budaya yang dimiliki Tahura Djuanda harus disadari
potensinya oleh seluruh lapisan masyarakat melalui gerakan sadar wisata. Gerakan sadar wisata bukan berarti menyadarkan masyarakat untuk giat
berdarmawisata saja, melainkan lebih penting dari itu adalah menyadarkan masyarakat untuk bertindak menghargai keunikan alam dan budaya setempat
agar tetap lestari dan indah untuk selanjutnya dapat nikmati oleh turis, baik asing maupun domestik untuk menjadi nilai tambah ekonomi Sugandhy, 1999.
Pengendalian ruang kawasan tahura dari dimensi ekonomi tentunya harus didukung oleh infrastruktur yang memadai. Keberadaan tahura di suatu
daerah sangat terkait dengan wilayah sekitarnya. Keterkaitan tersebut dapat berupa keterkaitan secara fisik, sosial dan ekonomi seperti adanya jaringan jalan,
jaringan telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya untuk mendukung pergerakan roda perekonomian masyarakat di sekitar kawasan. Ini berarti keberadaan tahura
di suatu wilayah dituntut secara sukarela untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan baik yang dibutuhkan oleh tahura untuk aktivitasnya sendiri demi
menjamin kelancaran usahanya maupun infratruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Tujuan lain yang berpengaruh dalam pengendalian ruang kawasan tahura Djuanda adalah keberlanjutan sosial. Manfaat yang diharapkan adalah
meningkatnya peran masyarakat
0.467
dalam usaha pengendalian ruang di kawasan tahura sebagai langkah pelestarian dan perlindungan lingkungan.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk memperbaiki
mutu perencanaan, membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, serta menaati keputusan-keputusan
dalam rangka penertiban pemanfaatan ruang. Dalam rangka memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui rencana tata ruang, pemerintah berkewajiban mengumumkan atau menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah ditetapkan
pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah Sugandhy, 1999.
Keberadaan masyarakat di sekitar kawasan sangat penting untuk diperhatikan hal ini bertujuan untuk minimisasi konflik kepentingan dalam
pengelolaan Kawasan Tahura Djuanda. Diharapkan keberadaan Tahura Djuanda mampu memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan sosial masyarakat
khususnya sekitar tahura misalnya penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengendalian
ruang kawasan tahura diharapkan mampu bersimbiosis dalam penggunaan sumberdaya sehingga memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang
bekerjasama secara harmonis dan serasi dalam ekosistem guna memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan dan keberadaan tahura jangka panjang.
Pengelolaan dan pengendalian ruang kawasan tahura dapat memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
sosial masyarakat sekitar kawasan. Pengendalian ruang kawasan tahura harus mampu memberikan dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat
sekitar melalui program-program pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kegiatan pemanfaatan atau budidaya, hal ini akan
mampu meminimalisasi konflik dan kesenjangan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar kawasan sehingga menjamin stabilitas penduduk dalam
memenuhi kebutuhan dasar dan memperhatikan keanekaragaman budaya lokal
0.194
dengan mengakui dan menghargai sistem sosial dan kebudayaan yang berlaku, mendorong partisipasi masyarakat lokal sehingga mampu
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya melalui pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat
mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka, serta mengurangi angka kemiskinan melalui
penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal dengan nilai skor 0,155. Dalam pengendalian ruang kawasan tahura pertimbangan aspek sosial
sangat penting karena pembangunan yang tidak sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat selain kurang memenuhi sasaran, juga mempengaruhi
keadaan lingkungan. Perkembangan dan perubahan lingkungan yang terjadi menyebabkan menurunnya kondisi lingkungan, timbulnya ketegangan sosial dan
konflik yang menyebabkan tidak diindahkannya masalah-masalah yang bersifat persahabatan. Sehingga interaksi manusia dengan alam yang tadinya serasi dan
seimbang menjadi destruktif sifatnya. Aspek sosial menyangkut sikap masyarakat dan individu dalam
memandang kehidupan norma budaya, kerja dan wewenang, struktur administrasi dan struktur birokrasi dalam sektor pemerintah publik maupun
swasta, hukum, pola-pola kekerabatan dan agama, tradisi budaya, wewenang dan integritas instansi pemerintah, partisipasi masyarakat dalam perumusan
keputusan dan kegiatan pembangunan serta keluwesan atau kekakuan pola kelas-kelas ekonomi dan sosial. Oleh karena itu pihak pengelola harus
mengetahui aturan karakteristik masyarakat yang berlaku dikawasan yang akan dibangun sehingga pengalokasian sumberdaya dan distribusi pendapatan tepat
sasaran dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan untuk meminimisasi konflik agar terjaganya stabilitas
sosial dalam masyarakat. Pihak pengelola harus memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk terlibat dalam seluruh kegiatan pemanfaatan yang berkaitan dengan keberadaan tahura. Sehingga tingkat penganguran dapat dikurangi dan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hal ini akan mampu mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap keberadaan Tahura Djuanda.
Penciptaan lapangan kerja juga dapat mempercepat laju pembangunan ekonomi. Terciptanya lebih banyak lapangan kerja dan kesempatan kerja berarti
tersedianya lebih banyak sumber-sumber pendapatan potensial bagi kalangan penduduk miskin.
8.3.2. Prioritas Kebijakan
Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai serta peran para aktor dalam kebijakan pengendalian ruang Kawasan Tahura Djuanda seperti diuraikan di atas,
berbagai alternatif strategi kebijakan pengendalian ruang Kawasan Tahura Djuanda adalah peraturan zonasi, perizinan, Insentif dan disinsentif dan sanksi
1. Penetapan peraturan zonasi secara partisipatif
Peraturan zonasi disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk
setiap zona pemanfaatan ruang, yang ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi.
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun
untuk setiap blok zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten kota dan peraturan
zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan
sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Peraturan pembagian zonasi mengisyaratkan adanya potensi ekosistem
yang berbeda-beda dan menghendaki upaya pengelolaan yang berbeda pula. Sistem zonasi bertujuan untuk mengatur dan mengalokasikan sumberdaya alam
pada suatu kawasan sesuai dengan peruntukkannya sehingga meminimalkan resiko terhadap penyalahgunaan sumberdaya alam. Peraturan zonasi bertujuan
untuk mengarahkan dan mengatur secara optimal agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam melaksanakan aktivitas dan kebijakan serta memiliki
kemampuan untuk mengimplementasikan kegiatan pengelolaan dalam
pembangunan yang lestari sehingga pemanfaatan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara adil, tertib, efisien, dan
efektif.
2. Mekanisme perizinan yang transparan dan terpadu