Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA

dengan asumsi bahwa alasan-alasan bagi kerusakan lingkungan dan metoda know-how bagi perbaikan dan menjaga lingkungan sudah diketahui. Sebaliknya, pengetahuan mengenai bencana lingkungan tidak menjamin bahwa perilaku terkait lingkungan akan lebih ramah. Instrumen yang diturunkan dari teori perilaku mengasumsikan bahwa konsumen sadar lingkungan dan lebih memilih produk yang ramah lingkungan. Sebagai respon dari meningkatnya permintaan akan produk yang ramah lingkungan maka akan mengurangi tekanan pada kerusan lingkungan. Sehingga melalui mekanisme pasar akan merubah struktur produksi and mengurang tekanan pada lingkungan.

2.2. Penataan Ruang

Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai suatu kesatuan tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana melalui suatu proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Penataan ruang berdasarkan : a Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan hasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; b Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya sehingga terciptanya peraturan pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi Darwanto, 2000. Tata ruang merupakan suatu artian harfiah dari kata “spatial” yaitu segala sesuatu yang dipertimbangkan berdasarkan kaidah keruangan. Sejalan dengan anggapan yang diartikan oleh Chadwick 1980, sebagai The arrangement of space or in space of all kinds. Tata ruang pada hakekatnya merupakan lingkungan fisik dimana terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang tertentu Rapoport, 1980. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor non-fisik seperti organisasi fungsional, pola budaya, dan nilai komunitas. Porteous, 1981. Dalam wawasan kaitan antara aspek keruangan dan bukan keruangan inilah kemudian Foley mengemukakan bahwa penataan ruang akan dilandasi oleh suatu paradigma dimana terdapat kaitan antara tiga aspek yaitu Foley, 1964: 1 Aspek normatif yang bersifat aspasial seperti nilai sosial budaya, institusi, peraturan dan perundangan, teknologi dan spasial. distribusi tataruang dari pola budaya, nilai yang berkaitan dengan pola tata ruang aktivitas dan lingkungan fisik; 2 Aspek fungsional yang bersifat aspasial dan agihan fungsi, sistem aktivitas termasuk manusia dari kegiatan usaha di dalam peranan fungsionalnya dan spasial seperti distribusi tata ruang dan fungsi kaitan tata ruang, pola tata ruang kegiatan berdasarkan macam dan fungsi; dan 3 Aspek fisik yang bersifat aspasial seperti obyek fisik, lingkungan geofisik, lingkungan angkasa, kualitas lingkungan permukaan, dalam bumi dan angkasa, manusia sebagai wujud fisiko kualitas sumber daya alam dan yang bersifat spasial seperti distribusi tata ruang bentuk fisik, lahan bangunan, jaringan jalan, jaringan utilitas, pola tata guna lahan sesuai dengan kualitas lahannya Dengan perkataan lain tinjauan pengertian struktur ruang harns mengacu pada suatu wawasan yang lebih luas sebagai bagian dari ruang yang disediakan untuk digunakan sebagai tempat benda-benda kegiatan dan perubahan. Kualitas tata ruang menurut Silalahi 1995 ditentukan oleh terwujudnya pemanfaatan ruang yang memperhatikan 1 daya dukung lingkungan, yaitu jumlah penduduk dalam suatu wilayah yang masih dapat didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam, dan penggunaan lahan yang sesuai dengan karakteristik tanah, 2 fungsi lingkungan, yaitu tertatanya tata air, tata udara, suaka alam, suaka budaya, 3 estetika lingkungan, yaitu terpeliharanya bentang alam, 4 lokasi, yaitu pemanfaatan ruang yang serasi antara fungsi lingkungan dengan kawasan lindung dan kawasan budidaya, 5 struktur, yaitu hirarki yang jelas dalam sistem perkotaan dan hubungan yang saling menunjang antar kota besar, kota menengah dan kota kecil. Sejalan dengan uraian tersebut Hardjowigeno 1999, mengemukakan bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan wadah kehidupan yang mencakup ruang daratan, ruang lautan, ruang udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya serta daya, keadaan sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatannya dan memelibara kelangsungan hidupnya. Karena itu tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah dan ketidaklestarian lingkungan serta konflik pemanfaatan ruang. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 5 disebutkan bahwa Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Dalam penataan ruang harus berasaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, efektivitas dan efisiensi, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Selain itu harus berasaskan keterbukaan, persamaan. keadilan dan perlindungan hukum. Efektivitas dan efisiensi diartikan bahwa penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang. Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang akan berfungsi secara efektif dan efisien bila didasarkan pada sistem pengendalian yang menyediakan informasi yang akurat tentang penyimpangan-penyimpangan terhadap pemanfaatan ruang yang telah terjadi dan ketegasan dalam memberikan tindakan yang tepat dalam menertibkan penyimpangan-pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, perlu disiapkan mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang yang baik. Di Wilayah Kabupaten Kota, penyelenggaraan pengendalian pemanfaatan rnang dilaksanakan melalui mekanisme perizinan, selain melalui kegiatan pengawasan penertiban. Kegiatan pengendalian melalui mekanisme perizinan ini, meliputi: izin mendirikan bangunan, izin HGU, izin penggunaan bangunan, izin mengubah bangunan, izin merubuhkan bangunan dan lain-lain. Dasar hukum yang mengatur mengenai pengendalian pemanfaatan ruang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 35 yaitu: Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi. perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Hal ini berarti pengendalian pemanfaatan ruang merupakan usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Insentif merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang berupa keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang dan urun saham; pembangunan serta pengadaan infrastruktur; kemudahan prosedur perizinan danatau; pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta danatau pemerintah daerah. Disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang berupa pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besamya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; danatau pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi dan penalti. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan zonasi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 dipertegas dengan Pasal 36 yaitu: 1 Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. 2 Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. 3 Peraturan zonasi ditetapkan dengan: Peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi system nasional, peraturan daerah propinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem propinsi; peraturan daerah kabupatenkota untuk peraturan zonasi. Rustiadi et al. 2005 menyatakan, penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yakni: a optimalisasi pemanfaatan sumberdaya prinsip produktivitas dan efisiensi; b alat dan wujud distribusi sumberdaya prinsip pemerataan, keseimbangan, dan keadilan, dan c berkelanjutan prinsip sustainability. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, pantai berhutan bakau, dan sebagainya serta kawasan budidaya seperti industri, pemukiman, pertanian, dan sebagainya, sedangkan berdasarkan aspek administratif, penataan ruang meliputi ruang nasional, wilayah propinsi, wilayah kabupatenkota yang dalam penyusunannya melalui hirarki dari level yang paling atas ke level yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara terpadu. Dalam kerangka penataan ruang secara nasional, ada beberapa permasalahan diantaranya adalah terjadinya tumpang tindih penanganan pemanfaatan sumberdaya alam yang memicu terjadinya berbagai persoalan lainnya, tingginya alih fungsi konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian. Permasalahan tersebut timbul karena masih kurangnya perhatian atau program pembangunan yang mengarah pada pemanfaatan ruang secara benar dan konsisten serta sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat, potensi sumberdaya alam dan lingkungan. Perencanaan tata ruang merupakan perumusan tata ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan. Perencanaan tata ruang wilayah mengarah dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi kegiatan, serta indikasi program dan kegiatan pembangunan. Hasil perencanaan tata ruang yang disebut rencana tata ruang sesungguhnya adalah konsep, ide, dan merupakan instrumen pengendalian pembangunan suatu wilayah pemerintahan yang menjadi pegangan bersama segenap aktor pembangunan baik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perijinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW baik Nasional, Propinsi, Kabupaten, dan Kota. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pembangunan wilayah. Rencana pemanfaatan dan pengendalian ruang, merupakan suatu perencanaan tata ruang yang disusun pada suatu saat tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Landasan hukum dalam pelaksanaan tata ruang adalah Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten Bandung Tahun 2007 Sampai Tahun 2027, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1990 tentang Pertimbangan Keuangan antar Pusat dan Daerah, PP Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Pola Pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi serta karakter kegiatan manusia danatau kegiatan alam. Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Pendekatan pembangunan melalui sistem ruang akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam usaha pemanfaatan dan penataan ruang suatu wilayah baik dalam skala nasional, propinsi, dan kabupatenkota, karena dalam penyusunan program-program pembangunan secara konsisten terwujud jika konsep dan penataan ruang dapat diwujudkan dalam struktur yang menggambarkan ikatan pemanfaatan ruang yang terpadu dari berbagai sektor pembangunan . Fungsi penataan ruang dalam kebijakan pembangunan daerah adalah sebagai matra ruang dari kebijakan pembangunan daerah, merupakan pedoman untuk menetapkan lokasi bagi kegiatan pembangunan dalam pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam rencana tata ruang, dan sebagai alat untuk mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaatan ruang bagi kegiatan yang memerlukan ruang, sehingga dapat menyelaraskan setiap program antar sektor yang terlibat. Pada tahap pemanfaatan ruang khususnya di tingkat propinsi masih menemui berbagai kendala yang diantaranya disebabkan oleh belum adanya persamaan persepsi dalam memahami kebijakan penataan ruang sehingga kebijakan penataan ruang belum sepenuhnya dapat ditindaklanjuti dalam kebijaksanaan institusi masing-masing. Hal ini adalah ketidakpastian alokasi anggaran daerah dalam rangka mewujudkan apa yang telah direncanakan dari rencana tata ruang Saromi, 2004. Rencana tata ruang wilayah merupakan arahan dalam pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu yang dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat dan atau dunia usaha untuk mendapatkan struktur tata ruang wilayah dan pola pemanfaatan ruang yang optimal, berwawasan lingkungan dan lestari. Rustiadi 2000 mengatakan bahwa perencanaan tata ruang adalah upaya manipulasi struktur distribusi spasial fenomena fisik dan manusia kondisi sosial ekonomi agar lebih sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Dalam upaya pemanfaatan sumberdaya yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang merupakan bagian dan tujuan pembangunan secara keseluruhan. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa penataan merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting karena pada akhirnya penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang, yaitu terselenggaranya pemanfaatan lingkungan dan berkualitas. Saefulhakim 1996 menyatakan bahwa sistem penataan ruang terkait dengan 1.Setiap satuan spasial dari sumberdaya lahan memiliki daya dukung alamiah tertentu bagi keberlangsungan system kehidupan. Agar sitem kehidupan dapat berlangsung secara berkelanjutan sustainable, tipe penggunaan dari setiap satuan spasial ini harus sesuai dengan daya dukung alamiahnya. Kalau terpaksa harus harus mengembangkan tipe penggunaan lain yang melebihi daya dukung alamiahnya, perlu disertai dengan penerapan teknologi dan manajemen yang menjamin keberlanjutan fungsi ekonomi dan fungsi lingkungannya. 2 Tipe penggunaanaktifitas pada satuan spasial tertentu dapat berpengaruh terhadap keragaan tipe penggunaanaktifitas pada satuan spasial yang lain, baik pengaruh yang bersifat negatif negative externalities: permasalahan lingkungan maupun yang bersifat positif positive externalities. Penataan ruang dari tipe-tipe penggunaanaktifitas kehidupan bertujuan untuk memaksimumkan positive externalities yang sekaligus meminimumkan negative externalities. Sesuai dengan pendapat Rustiadi 2005 bahwa perencanaan pembangunan wilayah ditunjang oleh empat pilar pokok yaitu : 1 inventarisasi; klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya; 2 aspek ekonomi; 3 aspek kelembagaan, dan 4 aspek lokasispasial. Penelitian keterkaitan sektoral akan terlait dengan empat pilar tersebut, sumberdaya sebagai input produksi, aspek ekonomi meliputiproses produksi dimana didalamnya tercakup pengaturan agar penggunaan sumberdaya seefektif dan seefisien mungkin, kelembagaan sebagai rule of the game dan organisasi yang mengatur alokasi sumberdaya, spasial sebagai ruang dimana terjadinya perekonomian. Perubahan penggunaan lahan di wilayah KBU sebagai akibat adanya pemanfaatan lahan untuk pemukiman serta kegiatan perkotaan lainnya, secara jangka panjang dapat merubah lingkungan geografis. Hal ini, jika tidak dikendalikan dapat merusak lingkungan dan wilayah konservasi Kozlowski,1997

2.3. Penggunaan Lahan