VIII. ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG KAWASAN TAHURA DJUANDA
Abstrak
Penataan ruang dalam suatu kawasan harus melibatkan seluruh stakeholder. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran masyarakat dan pemerintah baik
legislatif maupun eksekutif sangat dibutuhkan dalam pengelolaan kawasan disamping peran aktor lainnya melalui kerjasama yang baik. Penelitian ini
dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan pengendalian ruang di kawasan Tahura Djuanda. Untuk mengetahui prioritas kepentingan setiap stakeholder
terhadap kebijakan pengendalian ruang di sekitar Kawasan Tahura Djuanda dapat dilakukan dengan menggunakan Analitical Hierarchy Process AHP. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berbagai tujuan yang dapat dicapai dalam pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda dilihat dari aspek ekologi
lingkungan pengelolaan diarahkan untuk mencapai tujuan terjaganya kelestarian daerah resapan air. Aspek ekonomi adalah keberlanjutan usaha,
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tahura dan tersedianya infrastruktur yang memadai. Aspek sosial adalah peran masyarakat, budaya lokal
dan penyediaan lapangan pekerjaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran pemerintah sangat diharapkan baik pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten kota, dimana pemerintah kota memiliki kewenangan yang lebih besar di wilayahnya seiring dengan otonomi daerah. Selain itu peran pengusaha dan
masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjamin iklim kondusif terhadap pelaksanaan pengelolaan sehingga dapat mengurai konflik kepentingan antar
pihak yang terkait. Kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda agar dapat dikelola secara terpadu dan berkelanjutan, diarahkan pada penetapan
peraturan zonasi secara partisipatif, mekansime perizinan yang transparan dan terpadu, pemberian insentif dan disinsentif kepada masyarakat dan pengusaha
dalam pengendalian ruang, dan pemberlakuan sanksi yang jelas dan tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap tata ruang kawasan.
Keywords: spatial controlling, stakeholder, policy, strategy, AHP.
8.1. Pendahuluan
Keberadaan Tahura Djuanda memegang peranan sangat penting dalam pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara. Peranan tersebut terdiri dari
fungsi Tahura Djuanda pertama sebagai kawasan penyangga kebutuhan
masyarakat khususnya dalam penyedia jasa lingkungan hidrologis berkonservasi
tinggi dengan keanekaragaman flora-fauna dan ekosistemnya. Kedua upaya
pelestarian sumberdaya alam serta penyelenggaraan kegiatan wisata sehingga memberikan manfaat baik secara ekonomi, lingkungan dan sosial kepada
masyarakat dan pemerintah setempat.
Konversi lahan hutan dan pertanian menjadi penggunaan lainnya khususnya pemukiman di sekitar Tahura Djuanda sangat tinggi. Perubahan lahan
yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar kawasan Tahura Djuanda terkait dengan tingginya pertumbuhan dan aktivitas ekonomi masyarakat kota
Bandung. Pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan kegiatan pembangunan mengakibatkan pergeseran pola penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan kaidah penataan ruang dan kemampuan serta kesesuaian lahan sehingga timbul berbagai masalah. Permasalahan yang ditimbulkan diantaranya
adalah pertama terbentuknya lahan kritis karena tingginya erosi dan limpasan air permukaan. Kedua hilangnya wilayah resapan air dan berkurangnya sumber
mata air tanah. Ketiga hilangnya lahan pertanian yang subur dan berkurangnya kawasan yang memiliki nuansa hijau, sejuk dan segar. Keempat terjadinya
pencemaran tanah karena aktivitas rumahtangga yang menghasilkan limbah. Kawasan lindung Tahura Djuanda yang berubah fungsi menjadi kawasan
pemukiman menyebabkan limpasan aliran permukaan air tanah tidak lagi terhambat dan meresap karena hilangnya vegetasi dan lahan tertutup bangunan
pemukiman. Hal ini menyebabkan erosi permukaan tanah meningkat dan akibatnya terbentuk lahan-lahan kristis di sekitar pemukiman tersebut.
Perubahan fungsi juga menyebabkan hilangnya wilayah resapan air yang mengkibatkan sumber-sumber mata air akan semakin menyusut dan lama
kelamaan akan hilang. Kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan yang memiliki nuansa hijau, sejuk dan segar dan merupakan kawasan pertanian subur
akan hilang ketika kawasan tersebut berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman.
Perubahan fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman menyebabkan peningkatan aktivitas rumah tangga dan masyarakat yang menghasilkan limbah-
limbah dan sampah-sampah yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan tanah, sehingga menurunkan mutu tanah. Penyimpangan penggunaan lahan
yang telah terjadi dan jika dibiarkan terus berlanjut tanpa ada usaha pengendalian penggunaan ruang di kawasan Tahura Djuanda, maka fungsi
kawasan tersebut sebagai wilayah hutan lindung, konservasi dan kawasan resapan air tidak dapat berjalan dengan semestinya. Hal ini akan berdampak
pada kerusakan lingkungan khususnya krisis air, baik bagi kawasan itu sendiri maupun daerah cekungan Bandung secara keseluruhan.
Permasalahan perubahan fungsi lahan di sekitar kawasan Tahura Djuanda akan menimbulkan semakin banyak banyak permasalahan apabila tidak
segera diatasi dengan kebijakan penataan ruang yang memadai. Dalam kaitannya dengan hal itu, permasalahan terbesar dalam penataan ruang adalah
pengendalian pemanfaatan ruang. Sekalipun rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang telah disusun dengan sangat baik, tujuan dari penataan
ruang tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas, konsisten dan berkelanjutan.
Yakin 1997 menyatakan semakin pesat pertumbuhan penduduk di suatu daerah atau wilayah akan berpengaruh buruk terhadap keberlanjutan lingkungan
jika tidak dikelola dengan baik. Masalah lingkungan timbul dari hasil interaksi antara aktivitas manusia dan sumberdaya alam. Interaksi ini timbul dari dua
aspek yaitu mekanisme permintaan akan sumberdaya lingkungan dan mekanisme suplai atau penawaran sumberdaya lingkungan. Interaksi yang tidak
seimbang dan harmonis antara kedua aspek tersebut bisa menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan. Tingginya permintaan sumberdaya
lingkungan yang tidak bisa didukung oleh ketersediaan dan suplai sumberdaya lingkungan akan menyebabkan terjadinya eksploitasi lingkungan yang berlebihan.
Degradasi lingkungan terjadi karena adanya eksploitasi sumberdaya lingkungan yang berlebihan.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka upaya pengendalian ruang di sekitar kawasan konservasi Tahura Djuanda diperlukan untuk
mempertahankan eksistensi kawasan tersebut sebagaimana fungsinya. Kerjasama yang baik seluruh pemangku kepentingan stakeholders sangat
dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut. Partisipasi seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan karena upaya penyelamatkan lingkungan
merupakan tanggung jawab bersama. Kelestarian lingkungan hidup di kawasan Tahura Djuanda dan sekitarnya sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya
semua lapisan masyarakat dan institusi yang berada di wilayah Bandung khususnya dan Jawa Barat pada umumnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk
merumuskan kebijakan pengendalian ruangnya di Kawasan Tahura Djuanda. 8.2.
Metode Analisis Kebijakan Pengendalian Ruang Kawasan Tahura Djuanda
Metode analytical hierarchy process AHP digunakan untuk menyusun rumusan arahan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.
Penggunaan AHP dimaksudkan untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik dengan cara: 1 mengamati dan meneliti ulang tujuan
dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; 2 membandingkan secara kuantitatif dari segi
biayaekonomis, manfaat dan resiko dari setiap alternatif; 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan 4 membuat strategi secara optimal,
dengan menentukan prioritas kegiatan. Tahapan AHP dimulai dengan yang bersifat umum, yaitu menjabarkan
kedalam sub tujuan yang lebih rinci yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud dalam tujuan umum dan penjabaran terus dilakukan hingga diperoleh tujuan
yang bersifat operasional. Pada setiap hierarki dilakukan proses evaluasi atas alternatif. Tahap terpenting dari AHP adalah melakukan penilaian perbandingan
berpasangan pairwise comparisons untuk mengetahui tingkat kepentingan suatu kriteria terhadap kriteria lain. Pada dasarnya perbandingan berpasangan
merupakan perbandingan tingkat kepentingan antar kriteria dalam suatu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan membandingkan sejumlah kombinasi kriteria
yang ada pada setiap hierarki sehingga dapat dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui besarnya nilai setiap kriteria. Penilaian perbandingan
berpasangan dilakukan melalui pendapat pakar. Menurut Saaty 1994 tahapan analisa data dengan AHP adalah: 1
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah; 2 Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, sub-sub tujuan, kriteria
dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui
persoalan yang sedang dikaji. Adapun struktur hierarki kebijakan pengendalian ruang di kawasan Tahura Djuanda seperti pada Gambar 42.
Gambar 42. Hirarki AHP penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda
Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi masyarakat dan praktisi, kemudian mengkonversi
faktor-faktor yang tidak terukur intangible ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat dibandingkan. AHP ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan
yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, masalah yang memerlukan pendapat
judgement maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali
dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan
pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan
Saaty, 1994. AHP telah banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari
strategi-strategi yang dimiliki oleh para pelaku pemain dalam situasi konflik. Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu
alternatif. Menurut Saaty 1994, penggunaan AHP dimaksudkan untuk proses penelusuran permasalahan untuk membantu pengambilan keputusan memilih
strategi terbaik dengan cara: 1 mengamati dan meneliti ulang tujuan dan
alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik, 2 membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya
ekonomis, manfaat dan resiko dari tiap alternatif, 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan 4 membuat strategi secara optimal, dengan cara
menentukan prioritas kegiatan. AHP memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihan AHP
dibandingkan dengan mentode pengambilan keputusan lainnya adalah: 1 struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai
pada sub-sub kriteria yang paling dalam, 2 memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih
oleh para pengambil keputusan, dan 3 memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Selain itu, AHP mempunyai
kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-obyek dan multi-kriteria yang berdasar pada pertimbangan preferensi dari setiap kriteria dalam hirarki.
Jadi, model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.
Kelemahan dari AHP diantaranya adalah metode ini memerlukan konsekuensi pendapat dari stakeholder untuk memberikan dukungan
kebijakannya, sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kebijakan publik. Oleh karena itu memerlukan persepsi pendapat para para pakar, tokoh
organisasi yang terkait dalam pengembangan kawasan dan lingkungan hidup dan atau pejabat tertentu yang terkait dengan obyek penelitian prominent
person yang dinilai kompeten pada bidangnya. Dalam konteks ini pemberian peran pada masyarakat non-pemerintah terkait untuk memberikan bobot
pemilihan prioritas kriteria kebijakan dapat diakomodasikan. Model AHP digunakan untuk memilih alternatif prioritas kebijakan yang
penting untuk dilaksanakan dan yang lebih aspiratif dari lima alternatif kebijakan yang telah dirumuskan seperti tersaji pada Gambar 45. Kriteria yang digunakan
dalam model AHP untuk penentuan kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda adalah kriteria manajemen pelaksanaan pembangunan,
khususnya terkait dengan aktor pelaksana dalam pengendalian ruang, dimensi pembangunan berkelanjutan, dan kriteria pelaksanaan untuk masing-masing
prinsip pembangunan untuk menentukan prioritas kebijakan pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda.
Pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan disampaikan kepada stakeholder yang prominent di provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung,
dan Kota Bandung. Keinginan dan preferensi stakeholder merupakan aspirasi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan pakar terhadap
kebijakan yang diinginkannya terkait dengan pengendalian ruang kawasan, baik untuk kepentingan saat ini maupun dimasa yang akan datang. Penentuan
prioritas kebijakan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar diperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan yang
dihasilkan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Pengumpulan persepsi yang merupakan pendapat para pakar dilakukan
dengan pendekatan wawancara. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja purposive sampling dan snowballing. Dalam penyusunan kriteria dan
permasalahan serta memperoleh rumusan-rumusan awal dilakukan FGD. FGD dilakukan untuk menemukan alternatif penyelesaian secara partisipatif. Diskusi
difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan spesifik memperoleh pemahaman yang mendalam dari sudut pandang dan pengalaman peserta, persepsi, pengetahuan,
dan sikap tentang pengendalian ruang kawasan Tahura Djuanda. FGD dilaksanakan di Bandung yang diikuti oleh stakeholder terkait.
Selanjutnya berdasarkan hasil FGD awal disusun hirarki dan kriteria AHP sebagai bahan kuesioner untuk wawancara terhadap responden terpilih secara
terpisah dalam pengisian matriks perbandingan berpasangan. Data hasil pengisian matriks perbandingan berpasangan wawancara diolah dengan alat
bantu pengolahan data berbasis komputer Expert Choice 2000. Expert Choice merupakan perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas
metodologi pengambilan keputusan yakni AHP. Setelah diperoleh hasil analisis sementara, dilakukan FGD lanjutan untuk pembahasan strategi implementasi
kebijakan dilakukan dengan melibatkan pakar dan stakeholders. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarki penentuan kebijakan pengendalian ruang
kawasan Tahura Djuanda. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi gabungan dari pendapat dan penilaian seluruh stakeholder pada
setiap matriks perbandingan berpasangan.
8.3. Prioritas Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang