membandingkan secara kuantitatif dari segi biayaekonomis, manfaat dan resiko dari tiap alternatif, 3 memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan 4
membuat strategi secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan Saaty, 1993.
Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah: 1 struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub-
sub kriteria yang paling dalam, 2 memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para
pengambil keputusan, dan 3 memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Selain itu, AHP mempunyai kemampuan
untuk memecahkan masalah yang multi-obyek dan multi-kriteria yang berdasar pada pertimbangan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi, model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif. Model ini memerlukan konsekuensi pendapat dari stakeholder untuk
memberikan dukungan kebijakannya, sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kebijakan publik. Untuk itu akan lebih optimal survei aspirasinya bila
dilakukan pada para pakar, tokoh organisasi LSM atau organisasi profesi yang terkait dalam pengembangan kawasan dan lingkungan hidup seperti Walhi, IAP,
WWF dan atau pejabat tertentu yang terkait dengan obyek penelitian prominent person. Dalam konteks ini pemberian peran pada masyarakat non-pemerintah
terkait untuk memberikan bobot pemilihan prioritas kebijakan dapat diakomodasikan.
Dalam survei stakeholder tidaklah berarti dapat menampung seluruh komponen masyarakat. Karena sifatnya pemilihan kebijakan strategis maka
hanya masyarakat terpilih yang mewakilinya representatif. Oleh karena itu, kalau mungkin dikatakan kelemahannya adalah tidak bisa optimal digunakan
untuk menjaring pendapat dari seluruh komponen masyarakat, karena akan terlalu bias terhadap variabelkriteria yang telah diuji diduga sebelumnya.
2.7. Hasil-hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian Notohadiprawiro 1987 yang berjudul ”Kriteria Penataan Ruang dan Implementasinya Untuk Keterlanjutan Penggunaan Lahan
Bermaslahat” menyimpulkan bahwa : 1 ada dua kendala besar yang menghadang pelaksanaan penataan ruang secara baik dan benar di Indonesia.
Kendala pertama ialah belum adanya perundangan tentang tataguna lahan yang
terinci dan operasional. Yang ada baru undang-undang induk berupa UUD 1945 pasal 33 dan UUPA. Akibatnya, orang dapat membuat tafsiran macam -macam,
dan untuk memperkuat tafsiran itu si pembuat tafsiran selalu berlindung di belakang dalih “untuk kepentingan negara” dan “untuk kepentingan umum”.
Padahal makna kepentingan negara dan kepentingan umum belum pernah dijabarkan secara tajam dan rinci. Kendala kedua ialah kelembagaan masarakat
yang masih lemah. Banyak keputusan ekonomi dan politik, mungkin secara tidak sadar, merujuk kepada kepentingan dan keinginan para pemodal besar.
Pertumbuhan agregatif dijadikan unggulan untuk menaksir keberhasilan pembangunan. Padahal masih banyak pengukur-pengukur lain yang tidak kalah
penting untuk menaksir keberhasilan pembangunan, seperti indeks pembangunan manusia human development index dan pemerataan hak serta
kesempatan untuk bertumbuh; 2 Persoalan penataan ruang di Indonesia terutama bukan persoalan teknis, melainkan terutama persoalan kelembagaan.
Sebelum kendala besar tersebut terdahulu dapat diselesaikan secara tuntas, penataan ruang tidak mungkin berhasil dengan memuaskan. Kita boleh
mengadakan seminar berkali-kali, akan tetapi hasilnya akan tetap jauh dari harapan. Tindakan yang kita perlukan ialah pembenahan sikap politik seluruh
jajaran eksekutif. Sikap politik yang kita perlukan untuk menangani pembangunan jangka panjang ialah yang benar-benar dilandasi penghayatan
dan pengamalan tataguna lahan. Penelitian Rachmawati 2005 dengan judul ”Dampak Ekonomi Kegiatan
Pariwisata Alam di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Terhadap Masyarakat Sekitar Kawasan”, menyimpulkan bahwa : 1 Perubahan keadaan
ekonomi masyarakat di suatu kawasan yang banyak pengunjungnya lebih nyata terlihat dan dapat dirasakan oleh masyarakat dibandingkan dengan di kawasan
yang pengunjungnya sedikit, 2 Jumlah lapangan pekerjaan yang dapat tercipta di suatu kawasan wisata tergantung pada jenis dan jumlah kegiatan wisata yang
dilaksanakan di kawasan tersebut. Selain itu, peneliti juga menyatakan bahwa wisatawan yang datang ke
taman nasional umumnya bertujuan untuk melakukan penelitian, pendidikan, rekreasi, dan tujuan lainnya. Sedangkan kegiatan yang banyak dilakukan yaitu
jalan-jalan sight seeing, mendaki dan berkemah. Disampaikan pula, berdasarkan 100 responden mengatakan bahwa mata pencaharian
masyarakat bahwa mata pencaharian masyarakat sekitar pintu masuk Cibodas
mengalami perubahan antara lain banyak yang menjadi pedagang, baik menjual hasil pertanian, atau souvenir, buruh, penjaga villa. Sedangkan di Selabintana,
75 responden mengatakan bahwa terjadi perubahan dalam mata pencaharian masyarakat di wilayahnya. Jenis pekerjaan baru yang terbuka bagi masyarakat
adalah menjadi pedagang musiman dan pemandu wisata, itu pun jumlahnya sangat sedikit. Peneliti juga menyatakan selain dampak positif bagi masyarakat,
kegiatan pariwisata alam juga menimbulkan beberapa permasalahan antara lain berupa timbulnya permasalahan kriminalitas, timbulnya tindakan-tindakan yang
asusila, kemudian pengurangan debit air bersih, terjadinya pencemaran oleh sampah, dan adanya vandalisme.
Penelitian lainnya oleh Libriani 2004 yang berjudul ”Dampak Guna Lahan Rencana Terhadap Limpasan Air Permukaan di Kota Margahayu
Kabupaten Bandung” menyatakan bahwa kota Margahayu yang terletak di daerah Cekungan Bandung, merupakan daerah yang rawan banjir baik karena
kondisi topografinya maupun besarnya limpasan air permukaan. Peningkatan luas lahan terbangun, terutama perumahan pemukiman dan kawasan industri
yang telah direncanakan dalam RTRW Kabupaten Bandung 2010 akan mengakibatkan semakin meluasnya penutupan lahan, sehingga mengubah
karakteristik tanah dari yang mudah untuk menyerap air permeable menjadi sulit untuk menyerap air impermeable. Selain itu menurunnya luas lahan non
terbangun yang paling baik meresapkan air seperti RTH dan hutan menjadi hanya 3,2 dari total luas lahan di Kota Margahayu juga akan menyebabkan
penurunan air hujan yang tertahan pada vegetasi, sehingga pada akhirnya semakin banyak air hujan yang akan manjadi limpasan air permukaan.
Penelitian Putro 2005, yang berjudul ”Analisa Manfaat Biaya Dalam Penilaian Ekonomi Terhadap Erosi Waduk Saguling di Jawa Barat” menyatakan
bahwa adanya tekanan penduduk terhadap kebutuhan lahan baik untuk kegiatan pertanian, perumahan, industri, rekreasi, maupun kegiatan lain akan
menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Perubahan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari
kawasan hutan ke penggunaan lainnya seperti, pertanian, perumahan ataupun industri. Apabila kegiatan tersebut tidak segera dikelola dengan baik, maka akan
menyebabkan kelebihan air banjir pada saat musim hujan dan kekeringan pada saat musim kemarau.
Penelitian lainnya oleh Situmorang, E.R. 2004, dengan judul ”Kajian Teknologi Pengembalian Fungsi Hidrologis Lahan Perumahan di Kawasan
Konservasi Inti Bandung Raya Utara Studi Kasus: Villa Istana Bunga” menyatakan bahwa: 1 Cekungan Bandung menghadapi masalah sumber
penyediaan air bersih : penurunan air tanah sebesar 0.01-0.21 mbulan, berkurangnya debit andalan air sungai Citarum Nanjung, serta banjir regional
Sapan-Dayeuhkolot yang disebabkan oleh konsumsi air tanah secara berlebihan oleh industri dan kurangnya imbuhan kembali karena konservasi; 2 Terjadinya
perubahan debit limpasan di kawasan Villa Istana Bunga setelah kawasan ini dibangun yaitu sebesar 2.103 m
3
detik, yang seharusnya adalah hutan produksi dengan indeks konservasi 0.8 dan debit limpasan 4.206 m
3
detik menjadi pemukiman dengan indeks konservasi 0.7 dan debit limpasan 6.309 m
3
detik, karena itu diperlukan metode konservasi air limpasan yang dapat
mengembalikan fungsi hidrologis lahan; 3 Alternatif teknologi resapan yang dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi hidrologis lahan adalah sumur
imbuhan di tiap hunian, saluran resapan serta kolam imbuhan dengan besar konservasi 1.696 m
3
hari dan sisanya 407 m
3
hari diresapkan oleh kolam imbuhan dengan air dari sungai.
Penelitian Prawira et al. 2005 dengan judul ”Analisis Spasial Lahan Kritis Di Kota Bandung Utara Menggunakan Open Source Grass”, yang
menyimpulkan bahwa : 1 Separuh wilayah Kota Bandung Bagian Utara yang di teliti 62,75 merupakan lahan potensial kritis, sepertiganya 24.94 adalah
lahan agak kritis dan hanya sebagian kecil saja 4.7 yang termasuk ke dalam lahan kritis kritis sangat kritis; 2 Sebagian besar lahan kritis yang berada di
Kawasan Bandung Utara terletak di kawasan pertanian. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya tutupan tajuk di kawasan tersebut; 3 Wilayah Kawasan
Bandung Utara yang berpotensi menjadi lahan kritis didominasi oleh kawasan pertanian. Penyebab dari keadaan ini adalah bervariasinya kemiringan di daerah
tersebut. Penelitian Narulita, I., et al. 2008 dengan judul ”Aplikasi Sistem
Informasi Geografi untuk Menentukan Daerah Prioritas Rehabilitasi di Cekungan Bandung” menyimpulkan bahwa : 1 Dengan memanfaatkan sistem informasi
geografi SIG melalui analisis spasial tematik curah hujan, kemiringan lereng, permeabilitas tanah, penggunaan lahan dihasilkan peta tematik kekritisan
resapan air yang tersimpan dalam basis data spasial. Dengan demikian akan
mempermudah dalam melakukan pemutahiran data updating; 2 Hasil tumpangsusun peta kekritisan resapan air dengan pemodelan muka airtanah
dapat ditentukan lokasi prioritas rehabilitasi untuk mengurangi degradasi hidrologi di cekungan Bandung; 3 Dengan memanfaatkan sistem informasi
geografi melalui analisis spasial tematik curah hujan, kemiringan lereng, permeabilitas tanah, penggunaan lahan dan pemodelan muka airtanah dapat
ditentukan lokasi prioritas rehabilitasi di cekungan Bandung dengan cepat dan mudah; 4 Enam lokasi prioritas yang harus direhabilitasi tersebut adalah: a
Daerah hulu Majalaya, b Daerah gunung Malabar yang merupakan hulu daerah Soreang, c Daerah Lembang, d Daerah Tanjungsari, e Daerah Batujajar
yang merupakan hulu Cimahi, f Daerah sekitar Gununghalu; 5 Rehabilitasi yang disarankan adalah perbaikkan tutupan lahan dan penataan di lokasi
problematik. Pratiwi, et al. 2005, dengan judul ”Mekanisme Pasar Tanah dan Tata
Ruang Permukiman di Kawasan Bandung Utara” menyatakan bahwa : 1 pola ruang perumahan dan permukiman di daerah peri-urban sebagai implikasi hasil
decission making process antara pelaku pasar dalam mekanisme pasar tanah. Pada kasus pembentukan permukiman di Kawasan Gunung Batu Dalam yang
mekanisme pasar tanahnya banyak melibatkan developer sebagai sisi demand, menghasilkan pola ruang permukiman yang berbentuk cluster-cluster
permukiman. Sementara pada kasus Kawasan Mekarwangi yang mekanisme pasar tanahnya melibatkan para pembeli tanah individual, cenderung
menghasilkan pola ruang permukiman yang menyebar dan lebih amorf; 2 Untuk aspek teritori, permukiman formal yang muncul di Mekarwangi tidak memiliki
batas yang jelas dengan kawasan permukiman non-formal penduduk. Untuk aspek subdivisi lahan, secara umum mengarah pada bentuk-bentuk yang tidak
regular sebagai akibat proses subdivisi lahan di kawasan dalam kerangka informal. Hanya kompleks-kompleks perumahan yang proses pasar tanah dan
tapak dalam kerangka formal saja yang kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kapling yang cenderung teratur regular.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Djuanda Provinsi Jawa Barat dan sekitarnya Gambar 8. Alasan pemilihan lokasi
penelitian ini adalah: 1 Tahura Djuanda memiliki fungsi ekologis yang tinggi sebagai daerah tangkapan air bagi daerah dihilirnya, 2 Pembangunan
perumahan yang berkembang dengan pesat dapat mengancam fungsi ekologis kawasan, 3 Kawasan ini mempunyai keindahan pemandangan dengan arah
pandang ke arah Kota Bandung dan kearah Tahura, dan mempunyai cuaca yang sangat nyaman. Kondisi ini tercipta karena adanya kawasan hutan yang masih
terjaga. Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan mulai Bulan Mei sampai dengan Desember 2007.
3.2. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dirancang untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang
terkait dalam kebijakan pengendalian ruang di sekitar kawasan Konservasi
Taman Hutan Raya Djuanda Provinsi Jawa Barat. Tahapan pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Tahapan Pelaksanaan Penelitian Kawasan Tahura
dan Sekitarnya
Analisis GIS Citra Landsat
Analisis Scenic Beauty
Tren Penggunaan Lahan
Analisis TEV
Penentuan Prioritas AHP
Perumusan Kebijakan Pengendalian Ruang
Nilai Konservasi