Tingkat Pendidikan Karakteristik Responden .1 Umur

38 Tabel 13 Mata pencaharian pokok responden No. Mata Pencaharian Pokok Responden Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Komunitas Dukuh Bi‟ih Jumlah responden Persentase Jumlah responden Persentase

1. Petani

21 70,00 26 86,67

2. PNS Pensiunan

1 3,33 4 13,33

3. Tukang

4 13,33 0,00

4. Sopir

1 3,33 0,00

5. Bidan kampung

1 3,33 0,00 6. Buruh 2 6,67 0,00 Jumlah 30 100,00 30 100,00 Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012.

4.3.5 Luas Kepemilikan Dukuh

Luas dukuh yang dimiliki oleh responden pada ke dua komunitas berkisar antara 0,1 ha – 3,0 ha. Adapun rata-rata luas kepemilikan dukuh untuk seluruh responden pada ke dua komunitas adalah 0,73 ha, di mana untuk Komunitas Dukuh Mandiangin Barat rata-rata luas kepemilikan dukuh responden adalah 0,36 ha, sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih rata-rata 1,10 ha. Data ini menunjukkan bahwa rata-rata luas kepemilikan dukuh masyarakat pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat lebih kecil daripada rata-rata luas kepemilikan dukuh masyarakat pada Komunitas Dukuh Bi‟ih. Secara umum rata-rata luas kepemilikan dukuh pada ke dua komunitas masih cukup luas, terutama pada Komunitas Dukuh Bi‟ih masih sangat luas. Luas kepemilikan dukuh ini tentunya akan sangat berpengaruh pada besarnya pendapatan yang akan diterima oleh masyarakat dari hasil dukuh tersebut. Tabel 14 Luas kepemilikan dukuh responden No. Luas Kepemilikan Dukuh ha Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Komunitas Dukuh Bi‟ih Jumlah responden Persentase Jumlah responden Persentase

1. 0,1

– 0,5 25 83,33 12 40,00

2. 0,6

– 1,0 5 16,67 5 16,67

3. 1,0

– 1,5 0,00 6 20,00

4. 1,5

– 2,0 0,00 5 16,67

5. 2,0

– 2,5 0,00 1 3,33 6. 2,5 – 3,0 0,00 1 3,33 Jumlah 30 100,00 30 100,00 Rata-rata 0,36 ha 1,10 ha Rata-rata keseluruhan responden 0,73 ha Sumber: Hasil Analisis dari data primer, 2012. 39

4.4 Sistem Pengelolaan Dukuh

4.4.1 Proses Terbentuknya Dukuh

Menurut Hafizianor 2002, Dukuh di Kecamatan Karang Intan mulai terbentuk seiring terjadinya perubahan pola bercocok tanam dari pola perladangan bergilir ke pola perladangan menetap sejak tahun 1830. Dukuh yang merupakan peninggalan warisan dari kakek –nenek tersebut sampai sekarang masih terpelihara keberadaannya. Generasi di bawahnya selalu berusaha mempertahankan keberadaan dukuh yang memiliki fungsi sosial-ekonomi dan lingkungan yang handal karena berdasarkan keyakinan mereka bahwa harta warisan berupa dukuh tersebut tidak boleh dijual kecuali dalam kondisi tertentu atau keadaan yang sangat terpaksa. Lahan yang menjadi lokasi dukuh awal mulanya hanya merupakan suatu hamparan luas yang terdiri dari semak belukar, padang alang-alang dan sedikit hutan alam dengan luasan yang relatif kecil. Di areal kosong yang penuh dengan padang alang-alang dan semak belukar tersebut secara berkelompok atau secara individual keluarga masyarakat suku Banjar dari Martapura yang berjarak sekitar 20 km dari lokasi berdatangan ke lokasi tersebut dengan tujuan untuk berladang atau berkebun. Tekanan ekonomi yang cukup berat akibat penjajahan Belanda mendorong masyarakat pada saat itu melanglang buana keluar masuk hutan untuk mencari daerah yang cocok sebagai ladang atau kebun. Sebagaimana masyarakat suku Bukit 2 maka masyarakat suku Banjar pada saat itu juga mengembangkan aktivitas dan cara-cara memenuhi kebutuhan primernya dengan cara berladang. Menurut Radam 2001 pekerjaan berladang telah dipandang tinggi sehingga menjadi adat nenek moyang yang harus diikuti oleh setiap warga, terlihat oleh pemberian dasar dan pembenarannya bahwa berladang tersebut adalah usaha yang telah diajarkan oleh seorang tokoh pahlawan yang mempunyai sifat-sifat keilahian. Kesadaran berladang memiliki derajat yang tinggi yang diyakini sebagai pekerjaan orang langit. Maka oleh masyarakat suku Banjar pada saat itu di lahan-lahan kosong non-produktif tersebut didirikan lampau 3 . Di sekitar 2 Nama suku pedalaman di Kalimantan Selatan 3 Pondok-pondok kecil sebagai tempat tinggal sementara