Kategori Modal Sosial Social Capital in the Management of Forest Gardens (Dukuh) on Karang Intan Subdistrict, Banjar Regency, South Kalimantan Province

12

2.3 Pengukuran Modal Sosial

Metode pengukuran modal sosial yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal cukup beragam. Model-model tersebut antara lain adalah: 1. Index of National Civic Health Indeks ini dikembangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk merespon penurunan partisipasi masyarakat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan 5 lima indikator, yakni: a keterlibatan politik; b kepercayaan; c keanggotaan dalam asosiasi; d keamanan dan kejahatan; serta e integritas dan stabilitas keluarga. Keterlibatan politik mencakup pemberian suara dalam pemilihan umum dan kegiatan politik lainnya, seperti petisi dan menulis surat kepada koran. Kepercayaan diukur melalui tingkat kepercayaan pada orang lain dan kepada institusi pemerintah. Keanggotaan dalam asosiasi diukur melalui keanggotaan dalam suatu kelompok, kehadiran di gerejatempat ibadah, kontribusi derma, partisipasi di tingkat komunitas, dan menjadi pengurus di organisasi lokal. Narayan dan Cassidy 2001. 2. Integrated Questionnaire for The Measurement of Social Capital SC-IQ Model ini dikembangkan oleh Grootaert et al. 2004 dengan penekanan fokus pada negara-negara berkembang. Model ini bertujuan memperoleh data kuantitatif pada berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada tingkat rumah tangga. Pada model ini, digunakan 6 enam indikator, yakni: a kelompok dan jejaring kerja; b kepercayaan dan solidaritas; c aksi kolektif dan kerjasama cooperation; d informasi dan komunikasi; e kohesi dan inklusivitas sosial; serta f pemberdayaan dan tindakan politik. 3. Social Capital Assesment Tool Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Shrader 1999 yang mencoba menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menciptakan pengukuran komplementer dan kompleksitas dimensi sosial. Unit analisa SCAT adalah pada rumah tangga dan komunitas, dengan variabel yang berhubungan dengan modal sosial yang mungkin diciptakan dan diakses oleh individu, rumah tangga dan 13 institusi lokal. SCAT mengukur modal sosial pada tiga level yaitu profil komunitas, profil rumah tangga dan profil organisasi. SCAT walaupun mengangkat kajian pada level makro dan mikro tetapi untuk level makro dapat dilakukan wawancara untuk informan kunci pada institusi yang terkait. Pada SCAT diperolah gambaran profil masyarakat melalui serangkaian wawancara. Beberapa metode partisipatif digunakan untuk mengembangkan profil masyarakat. Selain format kelompok fokus, pengumpulan data mencakup pemetaan masyarakat diikuti diagram kelembagaan. 4. Mapping and Measuring Social Capital Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Uphoff 1999 yang mencoba menggunakan metode kuantitatif untuk pemetaan dan mengukur modal sosial pada sebuah studi konseptual dan empiris pada tindakan bersama collective action dalam konservasi dan pengembangan Daerah Aliran Sungai DAS di Rajasthan India. Model ini bertujuan untuk mengamati hubungan antara modal sosial dengan kinerja pembangunan DAS di 64 desa di Rajasthan, India. Model ini dilakukan dengan memperoleh data kuantitatif pada unsur modal sosial dengan unit analisis pada tingkat individu rumah tangga dipilih secara acak di setiap desa. Selain wawancara pada individu rumah tangga, juga dilakukan wawancara kelompok fokus dengan para pemimpin desa. Pada model ini digunakan 6 enam unsur modal sosial dari kategori struktural dan kognitif. Unsur modal sosial kategori struktural berhubungan dengan hubungan sosial yakni: a peranan; b jaringan; dan c aturan. Unsur modal sosial kategori kognitif berhubungan dengan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak lain, yakni: a kepercayaan; b kerjasama; dan c solidaritas.

2.4 Konsep Kehutanan Masyarakat

Menurut Suharjito et al. 2000, kehutanan masyarakat adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas, atau kelompok, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik untuk memenuhi kebutuhan individurumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi. Definisi ini dapat dipandang lebih dinamis sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Pola pengembangan 14 teknologi dan organisasi sosial praktek kehutanan masyarakat yang bertujuan untuk subsisten akan berbeda dengan tujuan komersial. Sehubungan dengan status peguasaan hutan lahan dan yang tumbuh di atasnya dan tanggung jawab pelaksanaan akan terdapat variasi hak akses dan kewajiban masyarakat terhadap sumber daya hutan dalam praktek kehutanan masyarakat. Variasi tersebut dapat digambarkan sebagai suatu kontinum sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang di dalamnya masyarakat berperan. Kehutanan masyarakat yang dikelola oleh individu pada lahan miliknya akan menempatkan individu sebagai pemegang tanggung jawab dan akses sepenuhnya. Tanggung jawab dan akses individu akan semakin berkurang pada sistem kehutanan masyarakat yang dikelola oleh komunitas sebagai kolektif atau kelompok, dan kerjasama antar pemerintah dan masyarakat Suharjito et al. 2000. Salafsky 1994 menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan secara tradisional yang berbasiskan pada masyarakat ada beberapa macam, yaitu : farm untuk lahan pertanian, home gardens untuk kebun pekarangan, forest gardens untuk kebun hutan. Kemudian yang dibiarkan berhutan berupa secondary forest andor extraktive area hutan sekunder atau areal hutan campuran dan natural forest hutan alam, sebagaimana terlihat pada gambar 1. Gambar 1 Bias pemanfaatan lahan the land use spectrum berdasarkan zona ketinggian tempat menurut Salafsky 1994. 15 Di Indonesia berbagai jenis sistem pengelolaan sumber daya hutan dan lahan yang berbasiskan pada masyarakat tradisional masih banyak ditemukan. Kartasubrata 1991 dan Suharjito et al. 2000 menyebut sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan yang berbasiskan masyarakat tersebut dengan istilah “Kehutanan Masyarakat”, Foresta 2000 menyebutnya “Agroforestri”, Roslinda 2008 menyebutnya “Hutan Kemasyarakatan”, Fauzi 2010 menyebutnya “Sistem Hutan Kerakyatan SHK”. Fauzi 2010 menjelaskan bahwa SHK mempunyai sifat yang unik dan khas serta berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain dan masing-masing memiliki nama lokal tersendiri, Talun Jawa Barat, Tembawang Kalimantan Barat, Repong Lampung, Lembo dan Simpung Kalimantan Timur, Dukuh Kalimantan Selatan. Sejalan dengan konsep di atas, hasil kajian Suharjito 2002 tentang kebun Talun di Desa Buniwangi Jawa Barat, menjelaskan secara rinci bahwa, keberadaan kebun talun bukan hanya mempunyai fungsi ekonomi dan ekologis melainkan juga fungsi sosial. Pada satu sisi kebun talun menjadi media bagi penguatan solidaritas sosial, pada sisi yang lain hubungan-hubungan sosial dan pranata sosial pengelolaan kebun talun menguatkan keberadaan kebun talun sebagai sumber ekonomi keluargarumah tangga, yang dari kedua sisi tersebut kemudian berimplikasi pada sisi ketiga, yakni keberlanjutan kebun talun yang mempunyai fungsi ekologis Suharjito 2002. Selain kebun talun di atas, salah satu bentuk kehutanan masyarakat yang mampu eksis dan bertahan hingga sekarang adalah kebun buah di Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan yang dalam bahasa lokal dikenal dengan istilah “dukuh”. Dukuh kebun hutankebun buahpulau buah adalah suatu areal yang ditumbuhi oleh kelompok pohon yang didominasi jenis pohon buah-buahan dengan pola tanam tidak teratur, strata yang tidak seragam serta tegakan tidak seumur, menyerupai hutan alam Fauzi 2010. Dukuh di Provinsi Kalimantan Selatan hampir ditemukan di seluruh desa di Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, dengan luas kepemilikan setiap kepala keluarga bervariasi antara 0,1 – 3 ha rata-rata 0,73 ha. Berdasarkan penyebaran letaknya, dukuh dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, dukuh rumah kebun pekarangan atau home gardens dan dukuh gunung kebun hutan