Aturan rules Modal Sosial Struktural

72 f Membungkus buah cempedak dengan plastik kebiasaan folkways; Norma-norma lain yang berlaku dalam kegiatan budidayapemeliharaan tanaman pada warga komunitas dukuh yaitu membungkus buah cempedak yang masih kecil dengan plastik. Buah cempedak yang dibungkus dengan plastik adalah buah cempedak yang baru berumur sekitar dua bulan agar buah tidak diserang lalat buah. Buah cempedak akan matang dan bisa dipetik setelah 3-6 bulan dihitung mulai awal pembungaan tergantung kepada genotype dan iklim. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan folkways. g Menabur garam di sekeliling pohon durian kebiasaan folkways; Dalam kegiatan budidayapemeliharaan tanaman di dalam dukuh juga berlaku norma yaitu menabur garam di sekeliling pohon durian. Kebiasaan menabur garam di sekeliling pohon durian tersebut dilakukan setelah musim panen selesai dengan maksud agar pohon durian cepat berproduksi kembali dan terbebas dari gangguan atau serangan hama dan penyakit tanaman. Pelanggaran atas norma ini juga jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini juga termasuk kebiasaan folkways. h Melibatkan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan budidayapemeliharaan tanaman kebiasaanfolkways; Norma lain yang berlaku pada warga komunitas dukuh adalah berupa kebiasaan folkways pada anggota komunitasnya yang selalu melibatkan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan budidaya dan pemeliharaan tanaman dukuh, seperti penyiangan, pendangiran, pemupukan, dan pengawasan tanaman. Kebiasaan melibatkan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh tersebut dilandasi oleh nilai-nilai value berupa kesetiakawanan, rasa empati, suka menolong, keinginan untuk berbagi rejeki serta upaya untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Selain itu 73 warga masyarakat juga memiliki keyakinan belief bahwa dengan berbuat baik membantumenolong orang lain maka Tuhan juga akan membantu dan memudahkan mereka dalam berbagai urusan kehidupan lainnya, bahkan warga masyarakat juga yakin mereka akan mendapat balasan pahala dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran atas norma ini pernah terjadi meskipun cukup jarang, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan folkways. i Memetik buah langsat dengan galah kebiasaanfolkways; Norma yang berlaku dalam kegiatan pemanenan hasil pada warga komunitas dukuh diantaranya adalah memetik buah langsat dengan galah. Galah adalah alat pemetik buah yang dirancang secara tradisional yang terbuat dari bambu atau kayu. Dengan menggunakan galah maka buah langsat bisa dipetik dari tanah atau dengan cara memanjat sebagian pohon langsat. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan folkways. j Memetik buah langsat dan cempedak dengan sigai kebiasaanfolkways; Norma lain yang juga berlaku dalam kegiatan pemanenan hasil dukuh adalah memetik buah langsat dan cempedak dengan menggunakan sigai. Sigai adalah alat pemanjat pohon seperti tangga yang dirancang secara tradisional yang terbuat dari bambu dan diletakkan permanen di samping pohon langsat atau cempedak. Dengan menggunakan sigai maka buah langsat dan cempedak bisa dipetik dengan mudah tanpa merusak atau mengganggu buah lainnya. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela atau cemooh dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan folkways. 74 k Tidak boleh memanen buah durian dengan memetik kebiasaanfolkways; Warga komunitas dukuh mempunyai aturan yang berlaku hingga sekarang yaitu berupa larangan bagi warganya untuk memanen buah durian dengan memetik atau memanjat pohonnya. Pemanenan buah durian hanya boleh dilakukan dengan menunggu buah tersebut jatuh dari pohon dengan sendirinya secara alami. Pemanenan buah durian tidak boleh dengan memetik karena warga masyarakat memiliki keyakinan bahwa jika memanen buah durian dengan memetik maka akan menghasilkan kualitas buah yang kurang bagus pada musim buah berikutnya. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi pelanggaran atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga tersebut akan malu karena warga komunitas yang lain akan mencelanya, sehingga tingkatan norma ini juga termasuk kebiasaan folkways, bahkan tidak menutup kemungkinan norma ini bisa meningkat menjadi tata kelakuan mores jika lama kelamaan semakin kuat terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. l Mengangkut buah dari dukuh menggunakan ladung carausage; Mayoritas warga komunitas dukuh mempunyai cara untuk mengangkut buah hasil panen dari dukuh dengan menggunakan ladung, yaitu alat tradisional yang terbuat dari anyaman rotan yang digunakan dengan cara disandang di atas bahu seperti ransel. Dalam perkembangannya sekarang sebagian kecil warga sudah mulai beralih dengan menggunakan karung dan mengangkut buah tersebut dengan sepeda motor. Atas pelanggaran tersebut warga yang lain tidak mencelanya dan menganggapnya sebagai hal yang janggal saja, sehingga hanya termasuk tingkatan cara usage. m Melibatkan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pemanenan buah kebiasaanfolkways; Norma lain yang berlaku pada warga komunitas dukuh adalah berupa pelibatan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pemanenan hasil dukuh, seperti pemetikan dan pengangkutan buah. Kebiasaan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai value untuk mempererat hubungan 75 kekeluargaan dan persaudaraan. Pelanggaran atas norma ini jarang terjadi, dan bagi warga yang melanggarnya merasa malu karena mendapat cela dari warga komunitas lainnya, sehingga tingkatan norma ini termasuk kebiasaan folkways. n Membagikan buah-buahan secara cuma2 kepada tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh setiap kali musim panen kebiasaanfolkways; Norma lain yang berlaku pada komunitas dukuh adalah kebiasaan membagikan buah-buahan secara cuma2 kepada tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh setiap kali musim panen. Kebiasaan tersebut dilakukan karena dilandasi oleh nilai-nilai value untuk menjaga perasaan serta mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Selain itu warga komunitas juga memiliki keyakinan belief bahwa semakin sering berbagi dan memberi kepada sesama dengan penuh keikhlasan tanpa pamrih maka rejeki mereka juga akan semakin banyak dan mendapat berkah serta balasan pahala dari Allah SWT. Meskipun jarang, tetapi pelanggaran atas norma ini pernah terjadi, dan warga yang melanggar tersebut merasa malu karena mendapat cela dari warga yang lain, sehingga norma ini termasuk pada tingkatan kebiasaan folkways. o Pemasaran hasil dukuh melalui perantaratengkulak kebiasaanfolkways; Norma lain yang berlaku pada komunitas dukuh adalah menjual buah hasil panen dukuhnya melalui pedagang perantara yang langsung datang ke dukuh atau ke rumah pemilik dukuh. Proses pemasaran tersebut dimaksudkan agar pemilik dukuh tidak repot pergi menjual buahnya ke pasar, selain itu diharapkan terjadi pemerataan distribusi keuntungan hasil dukuh antara pemilik dukuh dengan masyarakat yang tidak memiliki dukuh. Untuk menghindari terjadinya monopoli oleh pedagang perantara tertentu pemilik dukuh tidak pernah terikat dengan hanya satu orang pembeli melalui suatu perjanjian tapi setiap pedagang perantara bebas untuk membelinya. Sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah terjadi pelanggaran atas norma ini, dan seandainya ada yang melanggar maka warga tersebut akan merasa malu karena mendapat cela atau cemoohan dari warga masyarakat yang lain. 76 Aturan-aturan tidak tertulis berupa norma-norma norms yang berlaku pada warga komunitas dukuh tersebut meskipun secara struktur kelembagaan tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan secara melembaga, dan terinternalisasikan secara terus-menerus sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk kelembagaan lokal. Kelembagaan lokal yang didalamnya sarat akan nilai dan kearifan lokal tersebut merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan warga komunitas dukuh yang bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah. Kelembagaan lokal tersebut terbentuk karena didorong oleh adanya fungsi yang menjadi kebutuhan bersama dari warga komunitas dukuh untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Uphoff 1986 yang mendefinisikan kelembagaan lokal sebagai suatu himpunan atau tatanan norma- norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Dalam hal ini kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan. Kelembagaan komunitas bisa muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan masyarakatnya. Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah disfunction. Aturan-aturan tidak tertulis berupa norma-norma yang berlaku pada komunitas dukuh tersebut memiliki kekuatan mengikat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatannya. Mengacu pada Soekanto 2009 maka norma-norma yang berlaku pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu pertama, cara usage; di mana sanksi dari masyarakat atas pelanggarannya hanya dianggap janggal, kedua, kebiasaan folkways; di mana sanksi dari masyarakat atas pelanggarannya adalah berupa celaan, dan ketiga, tata kelakuan mores; yang mana sanksi dari masyarakat atas pelanggarannya adalah dihukum. Adapun pengelompokan aturan-aturan adat berdasarkan tahapan dan tingkatan norma dapat dilihat dalam skema kelembagaan lokal pada Gambar 4. 77 Tanaman Linjuang adalah tanda batas hak kepemilikan lahan dukuh Pewarisan lahan dukuh dilakukan dengan cara islah atau faraid Tidak boleh menjual dukuh warisan Di dalam dukuh dibuat lampau pondok kecil untuk tempat beristirahat saat pemeliharaan atau kegiatan pengawasan tanaman Tidak menggunakan pupuk anorganik Membungkus buah cempedak yang masih muda dengan plastik Menabur garam di sekeling pohon durian setelah musim panen selesai Melibatkan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan budidaya pemeliharaan tanaman penyiangan, pendangiran dan pemupukan Memetik buah langsat dengan galah alat pemetikbuah terbuat dari bambu Memetik buah langsat dan cempedak dengan sigai tangga dari bambu Memanen buah durian tidak boleh dengan memetik menunggu jatuh Pengangkutan buah dari dukuh ke rumah dengan menggunakan ladung Melibatkan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh sebagai tenaga kerja dalam kegiatan pemanenan pemetikan dan pengangkutan buah Melibatkan tetanggawarga yang tidak memiliki dukuh sebagai pembeli perantara tengkulak dalam pemasaran hasil dukuh. KELEMBAGAAN LOKAL PENGELOLAAN DUKUH Aturan-aturan adat, kesepakatan2 tidak tertulis berdasarkan pengetahuan kearifan lokal yang berfungsi untuk mengatur tatanan hidup warga komunitas dukuh. Pengelolaan Lahan ATURAN ADAT YANG BERLAKU CARA Usage KEBIASAAN folkways Budidaya Pemeliharaan Pemanenan Pemasaran TATA KELAKUAN Mores KEGIATAN PENGELOLAAN DUKUH KEBIASAAN folkways TINGKATAN NORMA CARA Usage KEBIASAAN folkways Gambar 4 Skema kelembagaan lokal dalam pengelolaan dukuh. 78 Dalam pengukuran modal sosial pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih ini ada dua tingkat aturan yang ditinjau. Pertama, tingkat pemahaman terhadap aturan baik aturan tertulis aturan formal maupun aturan tidak tertulis aturan adat. Kedua, tingkat pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku tersebut. Distribusi responden menurut tingkat pemahaman dan pelanggaran aturan pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 20 dan 21. Tabel 20 Distribusi responden menurut tingkat pemahaman terhadap aturan No. Jenis Aturan Tingkat Pemahaman Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Komunitas Dukuh Bi‟ih Tidak paham Cukup paham Paham Tidak paham Cukup paham Paham 1. Aturan formal 100 100 2. Aturan adat 46,7 53,3 3,3 96,7 Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa seluruh warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, semuanya tidak paham terhadap aturan-aturan tertulis aturan formal yang mengatur individu atau masyarakat yang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan pengelolaan dukuh atau hutan rakyat. Terhadap aturan tidak tertulis aturan adat, sebagian besar warga memahami sepenuhnya akan aturan dalam pengelolaan dukuh dan hanya sebagian kecil warga yang kurang memahami sepenuhnya terhadap aturan adat dalam pengelolaan dukuh tersebut. Masyarakat sebagian besar tidak paham terhadap aturan formal yang dibuat oleh pemerintah baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan dukuh atau hutan rakyat, seperti UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Tentang Hutan Rakyat, atau bahkan Peraturan Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten tentang Hutan Rakyat, karena aturan- aturan tersebut belum terinternalisasi sebagai nilai-nilai yang diakui, dipatuhi, dan dijadikan pedoman bertindak warganya, dan belum terbukti secara langsung dapat berfungsi dan bermanfaat untuk mengelola dan melestarikan dukuh dengan baik. Sebagaimana dijelaskan oleh Soekanto 2009 bahwa suatu norma tertentu 79 dikatakan telah melembaga institutionalized, apabila norma tersebut diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan tertulis tersebut menunjukkan betapa kurangnya perhatian pemerintah berupa pembinaan maupun penyuluhan tentang kehutanan masyarakat selama ini. Padahal, sosialisasi, pembinaan, dan penyuluhan yang semestinya dilakukan oleh pemerintah tersebut sangat penting dan sangat bermanfaat bagi mereka. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat diketahui bahwa sesungguhnya mereka sangat berharap akan adanya pembinaan dan penyuluhan tentang langkah-langkah atau tindakan untuk membasmi hama dan penyakit tanaman yang menyerang batang maupun buah pada dukuh mereka. Tabel 21 Distribusi responden menurut tingkat pelanggaran terhadap aturan No. Pelanggaran Aturan Tingkat Pelanggaran Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Komunitas Dukuh Bi‟ih Sering Jarang Tidak Pernah Sering Jarang Tidak Pernah 1. Oleh responden 20 80 3,3 96,7 2. Oleh warga lain 3,3 56,7 40 40 60 Pada Tabel 21 diketahui bahwa terhadap aturan yang berlaku dalam pengelolaan dukuh, sebagian besar warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat mengaku tidak pernah melanggarnya, dan sebagian kecil mengaku pernah melanggarnya. Sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih hampir seluruh warga mengaku tidak pernah melanggarnya. Sebanyak 40 warga pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat menganggap bahwa anggota masyarakat yang lain masih benar-benar taat terhadap aturan dan tidak pernah melakukan pelanggaran, 56,7 menganggap bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang, dan hanya sebagian kecil 3,3 warga yang mengangap sering terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat lainnya. Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih sebagian besar 60 warga menganggap bahwa anggota masyarakat yang lain masih benar-benar taat terhadap aturan dan tidak pernah melakukan pelanggaran, dan sisanya 40 warga menganggap bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang. 80 Dengan semakin baik tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas terhadap aturan dalam pengelolaan dukuh yang ada, berarti aturan tersebut telah berfungsi dalam pengambilan keputusan, mobilisasi sumber daya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh tersebut secara baik dan efektif, sehingga tindakan kolektif di antara warga komunitas menjadi cenderung mudah dilakukan dalam menjaga dan memelihara dukuh dengan baik. Pada dasarnya, aturan-aturan tidak tertulis aturan adatnorma-norma pada komunitas dukuh telah ada dan dapat dikenali pada struktur kelembagaan lokal yang meskipun tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan sehingga secara perlahan telah melembaga. Proses melembaganya aturan-aturan tersebut dapat bertahan jika dirasakan bermanfaat oleh para warga. Besarnya manfaat dari keberadaan aturan-norma yang ada akan berpotensi menciptakan suatu sistem nilai berupa tata perilaku mores bahkan memungkinkan untuk menjadi adat-istiadat custom jika terinternalisasikan secara terus-menerus. Tingkat pemahaman dan ketaatan warga komunitas dukuh terhadap norma-norma aturan adat yang berlaku karena dilandasi oleh nilai-nilai value dan keyakinan belief yang melekat kuat seperti ketulusan, kejujuran, keikhlasan, rasa empati, suka menolong, kedermawanan, serta sikap kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan sesama. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suharjito dan Saputro 2008 di Kampung Ciburial Desa Mekarsari dan Kampung Cibedug Desa Citorek Kabupaten Lebak Banten. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa pada masyarakat Kasepuhan di kedua kampung tersebut terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan tata kelakuan lainnya yang menjadi pedoman bertindak warganya dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan. Berbagai aturan yang ada dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan yang berlaku hingga sekarang, seperti larangan menggunduli hutan, larangan menggunakan kayu rasamala, larangan menjual hasil hutan, ronda gunung, larangan menjual tanah kepada pihak luar, larangan menggunakan pestisida, traktor dan obat-obatan tanaman, dan lain sebagainya telah berkontribusi nyata terhadap kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan lahan pada kedua kampung tersebut. 81

5.1.2.2 Peranan roles

Membangun modal sosial struktural di dalam sebuah komunitas selain membutuhkan aturan juga sangat membutuhkan peran-peran baik formal maupun informal. Peranan yang dibutuhkan adalah peranan yang memang benar-benar menjalankan fungsinya sehingga dapat diterima oleh para warganya, yaitu yang mampu mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik. Suatu peranan dapat eksis ketika ada harapan bersama tentang apa yang seharusnya dan akan dilakukan oleh warga dalam beragam kondisi yang akan dihadapi dalam melaksanakan suatu aturan. Keberadaan peranan yang mampu berjalan dengan baik dalam rangka penegakan aturan adalah sebuah keharusan untuk menciptakan kemapanan modal sosial struktural di dalam kehidupan komunitas yang ada. Ada dua tingkat peranan para tokoh masyarakat yang ditinjau dalam penegakan aturan pada kegiatan pengelolaan dukuh. Pertama, tingkat peranan tokoh informal yaitu tokoh agama dan tokoh adat tutuha. Kedua, tingkat peranan tokoh formal, yaitu kepala desa pembakal dan camat. Pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih, tingkat peranan para tokoh masyarakat baik formal maupun informal tersebut cukup bervariasi, ada yang rendah, sedang, dan ada pula yang memiliki tingkat peranan tinggi. Peranan para tokoh baik formal kepala desa dan camat maupun informal tokoh agama dan tokoh adat dalam mendukung kegiatan pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih mendukung empat fungsi dasar dan kegiatan yang diperlukan untuk tindakan kolektif, yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Secara rinci peranan para tokoh yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih dapat dilihat pada Tabel 22. 82 Tabel 22. Peranan para tokoh yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Bi‟ih. No. Tokoh Masyarakat Peranan para tokoh A. Tokoh Formal 1. Kepala Desa Pembakal - Saksi dalam pembagian warisan dukuh pembuatan keputusan - Saksi dalam pengaturan dan penetapan tata batas hak kepemilikan dukuh komunikasi dan koordinasi - Motivator dalam penerapan aturan adat norma- norma dalam pengelolaan dukuh komunikasi dan koordinasi - Motivator dalam pengelolaan dukuh mobilisasi pengelolaan sumberdaya - Penerbit surat keterangan tanah berupa sporadik pembuatan keputusan - Mediator dalam berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dukuh resolusi konflik. 2. Camat - Penerbit surat keterangan tanah berupa segel pembuatan keputusan. B. Tokoh Informal 1. Tokoh Agama - Penasehat dalam pembagian warisan dukuh pembuatan keputusan - Penasehat dalam pengelolaan hasil panen dukuh, seperti ketentuan zakat, infaq, sedekah dll pembuatan keputusan - Penasehat spritual keagamaan dalam pengelolaan dukuh dan kehidupan sehari-hari komunikasi dan koordinasi - Penasehat dalam berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dukuh resolusi konflik. 2. Tokoh Adat Tutuha - Saksi dalam pembagian warisan dukuh pembuatan keputusan - Penasehat dalam pengaturan dan penetapan tata batas hak kepemilikan dukuh komunikasi dan koordinasi - Penasehat dalam penerapan aturan adat norma- norma dalam pengelolaan dukuh komunikasi dan koordinasi - Penasehat dalam memecahkan berbagai permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dukuh resolusi konflik. 83 Adapun Tingkat peranan para tokoh baik formal kepala desa dan camat maupun informal tokoh agama dan tokoh adat yang terlibat dalam mendukung pengelolaan dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat dan Komunitas Dukuh Bi‟ih adalah sebagaimana Tabel 23. Tabel 23 Distribusi responden menurut tingkat peranan para tokoh No. Tokoh Masyarakat Tingkat Peranan Komunitas Dukuh Mandiangin Barat Komunitas Dukuh Bi‟ih Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 1. Tokoh Agama 86,7 13,3 100 2. Tokoh Adat Tutuha 100 100 3. Kepala Desa Pembakal 100 23,3 76,7 4. Camat 100 100 Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa tingkat peranan tokoh agama pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat secara umum cukup tinggi sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih seluruh warga menganggap peranan tokoh agama tersebut sedang saja. Peranan tokoh agama pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat ini cukup tinggi karena di sana sudah tidak ada lagi orang yang dianggap sebagai tokoh adat tutuha, sehingga peran-peran pembuatan keputusan, mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik dalam pengelolaan dukuh seperti pembagian warisan, pelaksanaan jual beli, serta pengaturan tanda batas lahan, dll hanya diperankan oleh tokoh agama dan kepala desa pembakal saja. Hal tersebut berbeda dengan Komunitas Dukuh Bi‟ih yang masih memiliki tokoh adat tutuha, dimana peran-peran tersebut lebih didominasi oleh tokoh adat tutuha, peranan tokoh agama hanya nampak terasa pada saat pembagian warisan saja, sedangkan peran-peran lain seperti pengaturan tata batas lahan diperankan oleh tokoh adat tutuha tersebut. Tingkat peranan tokoh adat tutuha pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat kategori rendah, dimana seluruh warga telah menganggap tidak ada lagi peranan tokoh adat, hal ini demikian karena pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat tersebut sekarang ini memang sudah tidak ada lagi yang berperan sebagai tokoh adat tutuha karena tutuha yang pernah ada sudah lama tiada dan generasi 84 yang ada sekarang dengan usia, pengetahuan dan pengalaman tentang dukuh masih relatif sama, sehingga mereka lebih memerankan tokoh agama dan kepala desa pembakal dalam pembuatan keputusan. Sedangkan pada Komunitas Dukuh Bi‟ih terjadi hal sebaliknya, seluruh warga menganggap peranan tokoh adat tutuha kategori tinggi, hal ini karena pada Komunitas Dukuh Bi‟ih masih terdapat beberapa orang tokoh adat tutuha dengan usia di atas 80 tahun yang memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan tentang dukuh, sehingga peran- peran dalam dalam pengelolaan dukuh masih sangat didominasi oleh tokoh adat tutuha tersebut, seperti pengaturan tata batas lahan, pengaturan pembagian dukuh warisan, pengaturan jual beli dukuh, dan lain-lain. Tingkat peranan kepala desa pembakal dalam pengelolaan dan pelestarian dukuh pada Komunitas Dukuh Mandiangin Barat menurut warga termasuk sedang. Hal ini karena keterlibatan kepala desa pembakal sebagai tokoh formal dirasakan oleh responden cukup berperan sebagai saksi dalam proses pembagian warisan dan pengaturan tata batas lahan, tetapi perannya kurang dirasakan dalam proses-proses yang lain seperti mobilisasi dalam pengelolaan sumberdaya, baik berupa koordinasi, penyuluhan, maupun kegiatan-kegiatan pembinaan lainnya untuk mendukung pelestarian dukuh, sehingga seluruh warga menganggap tingkat peranan kepala desa pembakal tersebut hanya kategori sedang saja. Adapun pada Komunitas Dukuh Bi‟ih, sebagian besar warga menganggap peranan kepala desa pembakal ini kategori tinggi, karena sebagian besar warga merasakan peran yang sangat berarti dan signifikan yang dilakukan oleh kepala desa pembakal Bi‟ih selama ini, selain sebagai tokoh formal beliau juga termasuk tokoh adat tutuha pada Komunitas Dukuh Bi‟ih tersebut. Selain aktif berperan sebagai saksi dalam proses pembagian warisan dan pengaturan tata batas lahan, kepala desa pembakal Bi‟ih perannya juga dirasakan oleh warga dalam proses-proses yang lain seperti memberikan informasi dan himbauan untuk meningkatkan semangat dan motivasi kepada masyarakat agar tetap mempertahankan dan mengelola dukuhnya dengan baik. Dalam beberapa kesempatan baik saat pertemuan formal maupun informal, Pembakal Bi‟ih selalu menghimbau dan mengharapkan agar hasil panen buah dari Komunitas Dukuh Bi‟ih tetap dipertahankan memiliki kualitas yang terbaik terutama untuk buah