1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan  data  Badan  Pusat  Statistik  BPS  tahun  2009,  ada  sekitar 230.000  anak  jalanan  di  Indonesia.  Data  dari  Dinas  Sosial  Daerah  Khusus  Ibu
Kota  Jakarta  menunjukkan  bahwa  jumlah  anak  jalanan  meningkat  setiap  tahun. Pada tahun 2009 tercatat jumlah anak jalanan sebanyak 3.724 orang, tahun 2010
berjumlah  5.650  orang,  dan  pada  tahun  2011  berjumlah  7.315  orang  Kompas, 2482011.  Di  Yogyakarta,  menurut  data  dari  Dinas  Sosial  Propinsi  DIY,  pada
tahun 2009 tercatat 499 anak, tahun 2010 sebanyak 481 anak BPPM DIY, 2011: 74. Pada tahun 2011,  sebanyak 400 anak jalanan yang terdaftar di Dinas Sosial
DIY,  namun  menurut  data  harian  Kompas,  diperkirakan  total  anak  jalanan  yang berada  di  jalan-jalan  protokol  Yogyakarta  mencapai  jumlah  800  anak  Kompas,
1142011. Sebagaimana  telah  diketahui  secara  umum,  sebutan  anak  jalanan
dialamatkan pada anak-anak yang menghabiskan waktunya di jalanan dan tempat umum  lainnya  untuk  mencari  nafkah  hidup  dengan  bekerja  sebagai  pengemis,
pemulung,  pengamen,  hingga  pencopet  dan  pencuri.  Pemerintah  Propinsi  DIY dalam  Peraturan  Daerah  No.  6  Tahun  2011  tentang  Perlindungan  Anak  yang
Hidup  di  Jalan,  pasal  1  ayat  4,  mendefinisikan  anak  jalanan  sebagai  anak  yang berusia di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian waktunya di jalan dan di
tempat-tempat  umum  yang  meliputi  anak  yang  rentan  bekerja  di  jalanan,  anak yang  bekerja  di  jalanan,  danatau  anak  yang  bekerja  dan  hidup  di  jalanan  serta
1
2
menghabiskan sebagian  besar  waktunya untuk  melakukan kegiatan hidup  sehari- hari. Secara lebih detil, anak jalanan menurut kriteria Dinas Sosial antara lain: 1
Anak yang rentan bekerja di jalanan karena suatu sebab; 2 Anak yang melakukan aktivitas di jalanan; 3 Anak yang bekerja atau dipekerjakan di jalanan; 4 Jangka
waktu di jalanan lebih dari 6 jam per hari dan dihitung untuk 1 bulan yang lalu. Dalam  kaitan  dengan  keluarga,  secara  konkrit  ada  anak  yang  secara
periodik  kembali  ke  keluarganya,  ada  yang  tidak  sama  sekali  dan  kebanyakan adalah yang bersama keluarganya hidup di jalanan. Oleh karena itu, anak jalanan
ini begitu rentan terhadap berbagai persoalan sosial, ekonomi, pendidikan bahkan politik. Secara teritorial, kebanyakan mereka hidup di wilayah kumuh sebuah kota
sehingga  secara  fisik  mereka  pun  rentan  terhadap  aneka  penyakit.  Mereka  juga cenderung mendapat stigma negatif dari masyarakat umum dan rawan terjerumus
dalam tindakan  yang tergolong kriminal. Akibatnya, mereka cenderung dihindari oleh  masyarakat  dalam  pergaulan  hingga  dikejar  aparat  atas  nama  operasi
penertiban kota. Selain  aneka  persoalan  tersebut,  salah  satu  persoalan  yang  sangat
memprihatinkan bagi anak jalanan adalah persoalan pendidikan. Kebanyakan dari mereka  tidak  bersekolah  atau  putus  sekolah.  Bahkan  jika  ada  yang  masih  bisa
sekolah,  kebanyakan  mereka  akan  menghabiskan  waktu  lebih  banyak  untuk bekerja  di  jalanan  daripada  bersekolah.  Dengan  berbagai  fakta  ini,  sangat
diperlukan  perhatian  dari  pemerintah  dan  berbagai  pihak  untuk  membantu  anak jalanan  ini  dalam  berbagai  aspek  hidup  mereka  seperti  kesejahteraan  ekonomi,
kesehatan  dan  pendidikan.  Kesejahteraan  ekonomi  diperlukan  agar  kebutuhan
3
pokok  mereka  terpenuhi,  kesehatan  mereka  terjaga  dan  memiliki  kesempatan untuk  mengenyam  pendidikan.  Sementara  itu,  jika  mereka  memiliki  pendidikan
yang cukup maka mereka dapat memperoleh pekerjaan yang lebih layak sehingga kesejahteraan hidup mereka menjadi semakin meningkat.
Secara  formal,  persoalan  pendidikan  anak  jalanan  di  DIY  diatur  dalam Peraturan  Daerah  No.  6  Tahun  2011  pasal  29,  30,  31  dan  32.  Menurut  Perda
tersebut, setiap anak jalanan berhak mendapat pemenuhan hak pendidikan melalui layanan pendidikan khusus yang diselenggarakan baik pada jalur formal, informal
maupun  non-formal.  Salah  satu  pihak  yang  dapat  menyelenggarakan  pendidikan khusus  tersebut  adalah  Lembaga  Kesejahteraan  Sosial  Anak  LKSA,  yakni
organisasi  sosial  atau  perkumpulan  sosial  yang  menyelenggarakan  kesejahteraan sosial  anak  yang  dibentuk  oleh  masyarakat  baik  yang  berbadan  hukum  maupun
yang  tidak  berbadan  hukum  yang  berada  di  wilayah  Provinsi  Daerah  Istimewa Yogyakarta,  seperti  panti  sosial  anak,  panti  asuhan  anak,  rumah  singgah,  dan
rumah perlindungan sosial anak. Pemerintah DIY mewajibkan satuan pendidikan dan  dinas  pendidikan  untuk  menerima  hasil  binaan  LKSA  sesuai  kriteria  setiap
jenjang yang mau diikuti. Di  kota  Yogyakarta,  salah  satu  pihak  yang  berkecimpung  dalam  usaha
sosial untuk mendidik anak-anak jalanan adalah komunitas Perkampungan Sosial Pingit  selanjutnya  disingkat:  PSP  di  pinggiran  Kali  Code  Yogyakarta.  PSP
dirintis  oleh  Dr.  Bernhard  Kieser,  SJ  pada  tahun  1968  sebagai  bentuk tanggapannya  terhadap  situasi  hidup  yang  memprihatinkan  pasca  peristiwa
Gerakan  30  September  1965.  Anak-anak  yang  tinggal  di  PSP  pada  umumnya
4
bersekolah  seperti  anak-anak  pada  umumnya.  Pagi  sampai  siang  hari  mereka gunakan untuk sekolah. Setelah itu mereka turun ke jalanan membantu orang tua
mencari  uang.  Hal  tersebutlah  yang  membuat  mereka  dipandang  sebagai  anak jalanan  oleh  masyarakat  umum.  Kondisi  ini  mendorong  terciptanya  program
bimbingan  belajar  untuk  anak-anak  usia  pra  sekolah  sampai  sekolah  yang dilakukan  oleh  PSP  dengan  bantuan  tenaga  sukarelawan  volunteer  yang  mau
bergabung  dalam  kegiatan  pelayanan  ini.  Kegiatan  bimbingan  belajar dilaksanakan  setiap  hari  Senin  dan  hari  Kamis  pada  sore  hari  pukul  19.00-21.00
WIB.  Kegiatan  ini  difokuskan  pada  anak  yang  memiliki  keinginan  untuk  belajar tetapi tidak mendapatkan di rumah mereka masing-masing.
Proses  belajar  mengajar  yang  dikembangkan  para  sukarelawan  di  PSP bersifat  kompleks,  karena  mencakup  aspek  pedagogis,  psikologis,  dan  didaktis
agar  dapat  menjawab  kebutuhan  anak-anak  jalanan  yang  hidup  dalam  kondisi sosial-ekonomi  yang  khusus  tersebut.  Aspek  pedagogis  merujuk  pada  kenyataan
bahwa  belajar  mengajar  terutama  di  kelas  berlangsung  dalam  kerangka  proses pendidikan  sehingga  pendampingan  belajar  tersebut  hendaknya  membantu
perkembangan anak-anak menuju kedewasaan pribadi yang siap menjawab segala kebutuhan  hidupnya  di  tengah  masyarakat.  Aspek  psikologis  merujuk  pada
kenyataan  bahwa  anak-anak  jalanan  yang  belajar  di  kelas  memiliki  kondisi  fisik dan  psikologis  yang  berbeda  dengan  anak-anak  lain  yang  tidak  hidup  dalam
lingkungan  kumuh.  Aspek  didaktis  menekankan  pendidikan  karakter  dan keteladanan  hidup  di  tengah  masyarkat.  Sementara  itu,  anak-anak  jalanan  tetap
dituntut untuk  menguasai  berbagai  teknik  dan materi  belajar  yang  bervariasi  dan
5
umum, misalnya
menghafal dan
memahami konsep,
mengenal dan
mempraktekkan  sikap-sikap  hidup  baik,  serta  menguasai  aneka  keterampilan motorik. Oleh karena kondisi psikologis  yang berbeda namun  tuntutan belajar di
sekolah  formal  yang  tidak  sesuai  dengan  dunia  sehari-hari  mereka  tersebut menuntut suatu program dan aktivitas bimbingan belajar yang berbeda pula.
Di  PSP  ini,  selain  anak-anak  diberi  kesempatan  untuk  melanjutkan pembelajaran  di  sekolah  formal,  mereka  juga  diupayakan  dapat  memiliki
ketrampilan lain seperti keterampilan otomotif, seni kerajinan dan tata boga serta memperolah  modal  usaha  sesuai  dengan  potensi  dan  minat  yang  dimilikinya.
Sekalipun  demikian,  lembaga  pendidikan  informal  ini  tidak  bisa  memberikan ijazah seperti lembaga pendidikan formal karena sistem pendidikan nasional yang
hanya  memperkenankan  penerbitan  ijazah  yang  legal  oleh  sekolah  formal. Mengatasi  kesulitan  ini,  anak  jalanan  yang  menetap  di  PSP  dibiayai  penuh  oleh
pihak  pengelola  PSP  untuk  melanjutkan  pendidikan  di  sekolah-sekolah  formal. Anak  jalanan  ini  disekolahkan  sesuai  dengan  tingkat  usia  mereka  di  lembaga
pendidikan formal yang memiliki jaringan khusus dengan PSP tersebut. Dengan berbagai program dan aktivitas pendidikan yang kelola oleh PSP,
sejumlah  besar  anak  jalanan  yang  dibimbing  sudah  mampu  meninggalkan  dunia jalanan  dan  mulai  bekerja  di  tempat-tempat  kerja  yang  formal.  Bagi  yang  masih
bersekolah,  beberapa  anak  terlihat  memiliki  motivasi  yang  kuat  untuk  belajar secara  formal  di  sekolah.  Sekalipun  demikian,  menurut  penulis  yang  menjadi
salah  seorang  sukarelawan  di  PSP  sejak  bukan  Januari  2012,  beberapa  anak jalanan  memang  terdaftar  sebagai  siswa  di  lembaga  pendidikan  formal,  namun
6
tidak sedikit  pula  yang  mencari  alasan setiap harinya untuk  membolos, sehingga pihak sekolah seringkali menanyakan keberadaan siswa kepada pihak PSP. Rata-
rata  dalam  setiap  minggunya  anak  jalanan  yang  masih  terdaftar  di  sekolah membolos tiga hingga empat hari. Ada anak menyatakan bahwa tiga bulan adalah
waktu  yang  paling  lama  bagi  anak  jalanan  tersebut  untuk  tidak  mengeluh mengenai  beratnya  bersekolah.  Setelah  itu  mereka  sering  membolos  lalu
menginginkan  keluar  dari  sekolah.  Bahkan  ada  yang  dari  awal  dengan  tegas menyatakan bahwa mereka menolak untuk sekolah.
Pengurus PSP Yogyakarta menyadari bahwa mereka tidak dapat memaksa anak  jalanan  yang  diasuhnya  untuk  tidak  hidup  jalan  lagi.  Karena  kuatnya
keinginan anak-anak kembali ke jalan, maka pengurus PSP Yogyakarta memberi dispensasi  untuk  mengamen  setelah  selesai  sekolah.  Pengelola  PSP  Yogyakarta
ingin agar anak-anak tinggal dan belajar di PSP setiap sore dan bersekolah, namun anak jalanan tersebut lebih memilih bekerja, mengerjakan hobi, dan melaksanakan
ketrampilannya  daripada  mengikuti  kegiatan  belajar-mengajar.  Di  sinilah  telihat betapa  motivasi  dan  minat  belajar  anak-anak  yang  rendah  menjadi  kendala  baik
bagi  para  pengelola  PSP  tetapi  juga  bagi  perkembangan  pendidikan  anak-anak jalanan.
Sejumlah  pertanyaan  mengemuka,  bagaimana  potret  sebenarnya  minat belajar  anak-anak  jalanan  di  PSP  tersebut;  apa  saja  faktor  yang  mempengaruhi
rendahnya  minat  belajar  tersebut;  dan  bagaimana  menumbuhkan  dan meningkatkan  minat  belajar  anak-anak  tersebut.  Bahkan,  secara  lebih  umum,
bagaimana menjelaskan hubungan antara realitas kemiskinan dan kesulitan hidup
7
sebagai  anak  jalanan  dengan  rendahkan  minat  belajar  mereka  serta  bagaimana mengatasinya.
Sebagai  salah  seorang  sukarelawan  yang  berkarya  untuk  anak-anak  PSP tersebut  penulis  terdorong  untuk  melakukan  sebuah  pembelajaran  dan  penelitian
perihal minat belajar anak-anak jalanan tersebut. Penulis berasumsi bahwa karena harus  menghabiskan  waktu  yang  lebih  banyak  untuk  bekerja,  maka  anak-anak
tersebut  pasti  memerlukan  pendampingan  tertentu  untuk  dapat  menumbuhkan, mempertahankan bahkan memperbesar minat belajar mereka. Atas latar belakang
inilah maka penulis memilih topik meningkatkan minat belajar anak-anak jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yogyakarta melalui program bimbingan belajar.
Bimbingan belajar merupakan pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik kelompok ataupun perorangan agar dapat belajar secara lebih optimal. Bimbingan
belajar  berdasarkan  topik-topik  bimbingan  serta  metode  bimbingan  tertentu seperti  menonton  film,  melakukan  permainanan  game,  menyusun  puzzle  dan
sebagainya  dapat  meningkatkan  minat  belajar  anak  jalanan  di  PSP  Yogyakarta. Adapun  subyek  penelitian  ini  adalah  6  anak  jalanan  PSP  yang  sedang  duduk  di
kelas  4-6  SD  di  sekolah  formal.  Di  PSP,  anak-anak  jalanan  usia  ini  tergabung dalam kelompok belajar SD-Besar. Kelompok ini menjadi kelompok yang paling
tampak  dinamikanya  karena  keberadaan  mereka  sebagai  remaja  awal  yang semakin  berani  memperlihatkan  rasa  suka  atau  tidak  suka  pada  kegiatan  belajar
baik  di  sekolah  maupun  di  kelompok  belajar  PSP  Yogyakarta.  Selain  itu, kelompok  ini  merupakan  kelompok  yang  paling  tinggi  tingkatnya  di  PSP
Yogyakarta.
8
B. Rumusan Masalah