30
urbanisasi di mana daya serap tenaga kerja yang terbatas dan menuntut tingkat pendidikan, keahlian dan keterampilan tertentu membuat orang-orang yang tidak
memenuhi kualifikasi terlempar dari kemajuan dan perkembangan ekonomi perkotaan. Anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam keluarga korban kesenjangan
urbanisasi ini serta merta terperangkap dalam kondisi kemiskinan yang mengharuskan mereka untuk lebih dahulu bbekerja memenuhi kebutuhan hidup
daripada memperoleh hak mereka sebagai anak-anak seperti pendidikan dan kesehatan yang layak.
2. Minat Belajar Anak Jalanan
Secara sederhana dan operasional minat belajar anak jalanan adalah ketertarikan seorang anak jalanan dengan segenap kegiatan pikiran dan
kehendaknya untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang dituntutnya di sekolah formal yang ditandai dengan
peningkatan frekuensi kehadiran dan kedisiplinan di sekolah serta kesediaan menyediakan waktu untuk belajar di rumah di antara waktu kerja di jalanan lih.
Bab I. Dengan kata lain, minat belajar anak jalanan adalah ketertarikan anak jalanan untuk belajar di sekolah dan di rumah di tengah tekanan kemiskinan
sosial-ekonomi. Karena itu, untuk mengukur dan menggambarkan minat belajar anak jalanan khususnya di PSP diperlukan pengenalan terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi minat belajar mereka baik pada aspek afektif, kognitif maupun sikap; serta pada sisi internal maupun eksternal. Sebagaimana dalam konteks
psikologi pendidikan, status sosial ekonomi socio economic status-SES
31
mempunyai implikasi penting untuk pendidikan; individu yang berada pada SES rendah seringkali mempunyai tingkat pendidikan yang rendah serta lebih sedikit
kekuatannya untuk mempengaruhi institusi masyarakat termasuk sekolah Santrock, 2009: 194.
a. Faktor internal
Secara fisik, anak-anak jalanan hidup dalam lingkungan tempat tinggal yang jauh dari memadai. Menurut tinjauan Myers, Baer dan Choi tahun
1996 dalam Santrock, 2009: 195, anak-anak yang hidup dalam kemiskinan baca: anak-anak jalanan mendapatkan udara dan air yang lebih tercemar
dan rumah yang lebih padat, lebih berisik dan memiliki kualitas hunian yang lebih rendah. Dengan kondisi tempat tinggal yang demikian, anak-anak
jalanan memiliki resiko terserang penyakit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Selain itu, secara psikologis, menurut modul World Health Organization WHO tentang anak jalanan yakni Module 6: Responding to the Needs and
Problem of Street Children tanpa tahun, hlm.14, anak-anak jalanan memiliki sejumlah masalah psikologis antara lain: ketakutan untuk terlihat
lemah di depan teman-teman sebaya, tidak mempercayai berbagai tindakan pelayanan pendidikan dan kesehatan karena mengira pelayan-pelayan
tersebut adalah kaki-tangan polisi atau petugas yang hendak menangkap mereka atau mata-mata sindikat penculikan anak-anak jika mereka adalah
korban mafia anak-anak. Karena itu, perilaku anak-anak jalanan cenderung kurang percaya diri low self-esteem, mudah mengundurkan diri atau
32
menyerah resignation karena merasa tidak mungkin meraih masa depan cerah serta cenderung menutup diri self-care yang berlebihan. Berkaitan
dengan minat belajar, menurut kajian Bradley dkk tahun 2001 dalam Santrock, Ibid, anak-anak tersebut jarang membaca dan lebih sering
menonton televisi sementara di saat bersamaan mereka mempunyai akses yang lebih sedikit kepada buku-buku dan komputer.
b. Faktor eksternal
Dalam konteks lingkungan keluarga, anak-anak yang hidup dalam pusaran kemiskinan, termasuk anak jalanan dihadapkan pada “lebih banyak
kekacauan keluarga, kekerasan, pemisahan dari keluarga mereka, instabilitas dan rumah tangga yang kacau-balau Emery Laumann-Billings dalam
Santrock, 2009: 195. Dukungan orang tua kurang responsif bahkan cenderung otoriter Cochran, dkk., dalam Santrock, 2009: 195, serta
memiliki orang tua yang „kurang terlibat dalam aktivitas sekolah anak-anak mereka ibid. Mereka juga mendapatkan fasilitas sekolah maupun
pengasuhan anak yang buruk mengingat keterbatasan ekonomi memaksa mereka hanya bersekolah di sekolah yang tidak mahal karena tidak banyak
memakai fasilitas mumpuni. Selain itu, lingkungan sekitar anak jalanan juga buruk secara fisik maupun
secara sosial-politik; banyak bahaya kriminalitas, penyalahgunaan senjata dan obat-obatan serta ancaman penertiban oleh petugas penertiban kota
maupun oleh sindikat eksploitasi anak. Sebagaimana dikaji oleh Andriyani Mustika Nurwijayanti 2012 dari perspektif hukum terhadap penanganan
33
anak jalanan di Yogyakarta, terdapat bahaya mudahnya kriminalisasi terhadap anak jalanan jika
KUHP pasal 504 ayat 1, “Barangsiapa mengemis di muka umum, dapat diancam kurungan paling lama enam minggu
” diterapkan tanpa prinsip kehati-hatian.
C. Merancang Bimbingan Belajar untuk Anak Jalanan