Migrasi dan Terbentuknya Institusi Informal Jual Beli-LahanHutan

Gambar 14. Areal Pencadangan HTR di Desa Lubuk Kambing a dan Suban b Berdasarkan analisis penutupan lahan diketahui bahwa lokasi yang dicadangkan oleh menteri kehutanan semenjak tahun 2009 sebagai lokasi HTR tersebut sebagian besar sudah dikelola oleh masyarakat lokal untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan karet. Konversi areal pencadangan HTR menjadi tanaman karet baik itu karet agroforest maupun karet monokultur marak terjadi di desa Lubuk Kambing, sedangkan konversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit marak terjadi di desa Suban. Sampai dengan penelitian ini dilakukan belum ada keinginan masyarakat untuk mengajukan pengelolaan HTR kepada pemerintah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama ketidak-tahuan masyarakat atas keberadaan lokasi pencadangan HTR yang ditetapkan oleh Menteri. Kedua, masyarakat banyak yang tidak paham mengenai skema pengelolalan hutan kolaboratif melalui hutan tanaman rakyat HTR. Ketiga adalah mengenai ketidak jelasan status kawasan hutan oleh masyarakat terutama mengenai tata batas kawasan hutan. Keempat adalah ada ketakutan dari masyarakat karena konversi yang telah dilakukan oleh masyarakat atau sebagian dari masyarakat terhadap areal pencadangan HTR akan menimbulkan masalah bagi mereka ketika nantinya mereka berupaya untuk mendapatkan izin HTR. a b

5.10. Persepektif Legal Pluralisme dan Hak Kepemilikan Property Right

Dalam Pengelolaan Kawasan HPT 5.10.1. Negara Versus Masyarakat Sebagai bentuk, bukan namanya, kawasan hutan pertama kali diciptakan pada masa kolonial Belanda ketika sejumlah besar wilayah di pulau Jawa dan sejumlah kecil wilayah di selatan pulau Sumatera ditetapkan dan diundangkan sebagai hutan Negara. Upaya pertama untuk menciptakan Dinas Kehutanan dimulai pada awal abad ke-19, dengan tujuan untuk menguasai tanah, pohon- pohonan dan buruh hutan Contreras-Hermosilla dan Fay, 2006. Lebih lanjut Pelluso 1992 dalam Contreras-Hermosilla dan Fay 2006 menyatakan tata kelola warisan kolonial Belanda tersebut masih digunakan sampai sekarang untuk memperluas hutan Negara dimana hampir seperempat wilayah pulau Jawa diperuntukan sebagai kawawan hutan dibawah kendali badan usaha milik Negara di bidang kehutanan Perum. Perhutani. Kawasan hutan hanya dapat didefinisikan secara hukum sebagai Kawasan Hutan Negara jika ketika ditetapkan tidak terdapat hak penguasaan atas tanah di wilayah bersangkutan hak-hak seperti yang didefinisikan pada UUPA 1960. Namun demikian, ketika niat UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 sudah jelas, tafsirnya menjadi begitu bias ketika definisi Kawasan Hutan Negara adalah semua kawasan yang telah ditetapkan tata batasnya lewat TGHK yang tanahnya tidak memiliki sertifikat yang dikeluarkan BPN walaupun pada tanah-tanah tersebut terdapat klaim masyarakat lokal yang sudah menetap dan memanfaatkan lahan hutan tersebut jauh sebelum ditetapkannya UU Kehutanan No. 41 tahun 1999. Hutan sebagai open-access resources tidak memiliki aturan yang efektif dalam mendefinisikan hak kepemilikan Dales, 1968 dalam Ostrom, 2000. Negara menganggap hutan sebagai state property dengan segala macam bentuk dan format tata kelolanya yang pada dasarnya lebih berlandaskan kepada praktek command and control yang dilakukan oleh Negara. Tidak ada ruang bagi masyarakat untuk ikut sertaberpartisipasi secara penuh dalam pengelolaan hutan. Dalam setiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah dalam menciptakan pola pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat tidak pernah ada bentuk skema pengelolaan yang benar-benar mengakui hak-hak masyarakat secara utuh. Dalam hal penetapan kawasan hutan misalnya, berdasarkan UU. No. 411999 tentang Kehutanan, proses penetapan kawasan hutan oleh pemerintah harus melalui beberap tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah 1 penunjukan kawasan hutan, 2 penataan batas kawasan hutan, 3 pemetaan kawasan hutan dan 4 penetapan kawasan hutan dan setelah keempat tahapan tersebut dilaksanakan barulah kawasan tersebut sah secara legal disebut atau ditetapkan sebagai kawasan hutan. Namun pada kenyataanya tidak demikian, dalam melakukan penetapan kawasan hutan khususnya di areal Hutan Produksi Terbatas HPT dimana penelitian dilakukan, proses penetapan kawasan hutan belum sepenuhnya dilakukan. Tata batas kawasan hutan sampai dengan saat sekarang ini belum pernah dilakukan tapi kawasan tersebut sudah dikukuhkan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara. Dari hasil wawancara dengan masyarakat desa mengenai apakah masyarakat mengetahui tata batas kawasan HPT masyarakat menjawab pernah melihat pal batas hutan namun pal batas tersebut adalah pal batas yang dibuat oleh perusahaan HPH sebagai kewajiban mereka untuk membuat tata batas di areal kerja perusahaan. Dalam arti lain, pal batas yang diketahui oleh sebagian masyarakat terutama masyakat desa yang bermata pencaharian sebagai pengumpul HHBK yang sering keluar-masuk hutan di areal HPT adalah tata batas dalam yang merupakan tata batas wilayah kerja HPH. Dengan tata batas yang tidak jelas yang berdampak kepada ketidak-tahuan masyarakat terhadap tata batas kawasan hutan sehingga menyebabkan kawasan hutan Negara yang secara de jure adalah milik Negara kemudian diabaikan keberadaannya oleh masyarakat yang secara de facto mengelola, memanfaatkan dan menguasai kawasan tersebut dengan aturan main komunitasadat. Kawasan HPT oleh Negara secara legal formal dianggap sebagai state property namun dari sudut pandang masyarakat kawasan HPT tersebut lebih merupakan common property atau bahkan open-access area. Berdasarkan peraturan perundangan Negara, kawasan tersebut tidak boleh dikelola atau dimanfaatkan tanpa adanya izin dari pemerintah sebagai pemilik sumberdaya hutan. Namun pada kenyataannya hal tersebut diabaikan oleh masyarakat lokal. Perbedaan sudut pandang terhadap kawasan hutan inilah yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik atas sumberdaya hutan. Kondisi inilah yang pada akhirnya berujung kepada pertentangan praktek- praktek pengelolaan kawasan hutan yang diterapkan oleh Negara dengan praktek pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Dimana kebijakannorma pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal dipandang sebagai sub- ordinate dari penerapan kebijakan Negara yang menggiring kepada situasi terciptanya berbagai klaim tenurial atas sumberdaya lahanhutan von Benda- Beckmann 1981 dalam Meinzen-Dick dan Pradhan 2002 dimana para pelaku klaim mencari dan menggunakan celah kebijakan untuk mendapatkan kepentingannya. Klaim tersebut akhirnya berujung kepada konversi hutan dan praktek jual beli kawasan hutan yang terbentuk antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang, baik itu masyarakat pendatang yang merupakan bagian dari program transmigrasi maupun masyarakat yang bermigrasi secara swadaya. Pada akhirnya terjadi benturan antara peraturan perundangan legal kawasan hutan oleh Negara dengan praktek-praktek penguasaan lahanhutan pada tingkat masyarakat lokal dengan berbagai norma-norma yang melekat pada penguasaan dan pengelolaan lahanhutan. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi pada areal HPT-KPHP Unit 16 adalah akibat dari lemahnya atau bahkan tidak mampunya Negara menjaga property-nya karena untuk menjaga dan melarang masyarakat lokal untuk tidak masuk, memanfaatkan dan menguasai kawasan hutan secara ekonomi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu pemanfaatan lahanhutan oleh sekelompok orang juga akan memicu keinginan kelompok lain untuk juga dapat memperoleh benefit dari lahanhutan. Ketika ada individu tertentu yang memperjual-belikan lahanhutan dan kecenderungannya aman untuk melakukan hal tersebut maka akan banyak praktek serupa dilakukan oleh individukelompok lain. Karena sifatnya yang substractable maka lama kelamaan sumberdaya hutan menurun kualitas dan kuantitasnya.

5.10.2. HTR Sebagai Skema Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat

Tujuan skema HTR adalah untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam hal: 1 memperoleh pengakuan secara hukum dalam pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; 2 memperoleh pinjaman dana pembangunan HTR; 3 memperoleh jaminan pasar melalui penetapan harga dasar. Menurut Nugroho 2011, dari sudut pandang teori property right, hak atas lahan yang ditawarkan skema HTR dapat dikategorikan sebagai hak yang dilandasi atas sewakontrak sementara yang lahannya dapat dikelola oleh masyarakat dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Negara. Masa berlakunya IUPHHK-HTR adalah selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun. Kemudian pada skema ini juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa dalam hal pemegang IUPHHK- HTR meninggal dunia, salah satu ahli waris diutamakan untuk memohon IUPHHK-HTR pada areal yang sama untuk melanjutkan pembangunan HTR. Namun istilah diutamakan tidak menjamin bahwa ahli waris secara otomatis mendapatkan izin IUPHHK-HTR tersebut. Karena terdapat ketentuan dalam skema HTR bahwa izin yang diberikan oleh Negara tidak diperbolehkan untuk dipindah-tangankan, diperjual-belikan atau diagunkan, dan hanya berhak diserahkan kemabali kepada pemberi izin, dalam hal ini adalah pemerintah. Dilihat dari teori hak kepemilikan property right theory maka diketahui bahwa skema HTR yang ditawarkan oleh pemerintah dilengkapi dengan hak akses. Dimana masyarakat diperbolehkan untuk memasuki areal yang dijadikan pencadangan HTR. Selanjutnya skema ini juga membuka ruang bagi masyarakat untuk mendapatkan hak pemanfaatan, yaitu dengan bentuk perizinan IUPHHK- HTR yang dikeluarkan oleh Negara. Dengan adanya izin ini maka masyarakat penyelenggara HTR dapat mengeskstrak sumberdaya alam berupa kayu. Hak berikutnya yang ditawarkan oleh HTR adalah hak pengelolaan, dimana pemegang izin dapat melakukan pengelolaan lahannya dan menentukan perencanaan atas lahan kelolanya tersebut. Hak ekslusi exclusion merupakan hak berikutnya yang ditawarkan skema HTR ini. Seseorang yang telah memperoleh izin IUPHHK- HTR berhak untuk melarang orang lain masuk dan memanfaatkan sumberdaya yang pengelolaannya dibebankan kepada orang tersebut. Bundle of rights menurut Ostrom 1992 adalah sekumpulan hak kepemilikan yang dapat digunakan untuk mengelola common property resources atau open-access area. Sekumpulan hak tersebut adalah hak akses, pemanfaatan, pengelolaan, eksklusi dan hak untuk mengalihkan pemanfaatan sumberdaya kepada orang lain. Hak pengalihan inilah yang tidak terdapat pada skema HTR, karena berdasarkan ketentuan yang berlaku bahwa izin HTR tidak dapat dipindah- tangankan. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa hak pengalihan adalah salah satu hak pokok dalam efisiensi pengelolaan sumberdaya termasuk hutan. Dengan adanya hak pengalihan maka pemegang izin dapat menjual, menyewakan atau bahkan mengagunkan keseluruhan atau sebagian hak yang dimilikinya sehingga pemegang izin bisa mendapatkan benefit dari investasi jangka panjang Ostrom, 1992. Dengan kondisi ini maka HTR tidak bisa dipandang sebagai bisnis kehutanan yang dapat menjamin kelangsungan hidup pemegang izin IUPHHK- HTR. Ketika izin yang diberikan tidak dapat diwariskan, maka masyarakat akan enggan untuk ikut serta dalam program tersebut. Misalnya saja lokasi HTR yang sudah diokupasi dan dikonversi oleh masyarakat desa Lubuk Kambing dan Suban untuk dijadikan perkebunan karet dan kelapa sawit. Mereka dengan bebas dapat memanfaatkan dan menguasai lahanhutan yang mereka klaim. Lahanhutan tersebut dapat diusahakan untuk waktu yang lama hingga saat ini tidak ada larangan yang benar-benar nyata dari pemerintah, dan masyarakat tetap memanfaatkan lahanhutan di dalam kawasan HPT walaupun dengan ketidak- pastian dan ketidak-amanan tenurial yang cukup tinggi. Tapi setidaknya bagi masyarakat lahanhutan yang mereka klaim dapat dijual kepada pendatang. Menghadapi kondisi seperti ini HTR tidak akan dapat dijadikan solusi bagi pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat. Kondisi pengelolaanpenguasaan atas dasar klaim oleh masyarakat dipandang secara ekonomi lebih menguntungkan.