Hutan Sebagai Sumberdaya Milik Bersama Common Property

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Selanjutnya program ini juga diatur lebih detail didalam Permenhut No. P.23Menhut-II2007 Jo Permenhut No. P.5Menhut-II2008 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman dan Permenhut No P.55Menhut-II2011. Adapun tujuan program ini adalah untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam hal: 1 memperoleh pengakuan secara hukum dalam pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; 2 memperoleh pinjaman dana pembangunan HTR; 3 memperoleh jaminan pasar melalui penetapan harga dasar Pujiastuti, 2011. Berdasarkan peraturan yang mengaturnya, HTR dapat dilaksanakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak serta letaknya diutamakan dekat dengan industry dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal pencadangan HTR. Kemudian bupatiwalikota melakukan sosialisasi alokasi lahan yang telah ditetapkan di daerahnya kepada masyarakat pasal 2 Permenhut No. P.23Menhut-II2007 Jo Permenhut No. P.5Menhut-II2008 dan pasal 2 Permenhut No. P.55Menhut-II2011. Izin pemanfaatan pada areal HTR berupa IUPHHK-HTR yang diberikan kepada perorangan atau koperasi koperasi usaha mikro, kecil, menengah yang dibangun oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Luas lahan yang dapat diberikan kepada individu kepala keluarga adalah maksimal 15 ha dan bagi koperasi luasan areal HTR akan disesuaikan dengan kemampuan usahanya. Adapun letak areal yang diajukan untuk dijadikan areal HTR harus berada pada areal yang telah dicadangkan oleh menteri sebagai areal pencadangan HTR atau bupati dapat mengusulkan areal lain yang berada di luar areal pencadangan untuk ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal HTR. Pada pasal 11 Permenhut No. P.55Menhut-II2011 dinyatakan bahwa syarat untuk mendapatkan IUPHHK-HTR adalah: 1. Persyaratan permohonan yang diajukan oleh perorangan : a. foto copy KTP, sesuai dengan yang diusulkan pada saat pencadangan areal; b. b. keterangan dari Kepala Desa bahwa pemohon berdomisili di desa tersebut; c. c. sketsa areal yang dimohon. 2. Persyaratan permohonan yang diajukan oleh koperasi : a. foto copy akte pendirian; b. keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa koperasi dibentuk oleh masyarakat desa tempatan, bukan dari masyarakat luar desa bersangkutan; c. beberapa desa tempatan sekitar hutan dapat membentuk satu koperasi HTR; d. dalam hal di desa sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c, sudah memiliki koperasi, koperasi tersebut dapat mengajukan permohonan IUPHHK HTR; e. peta areal yang dimohon untuk luasan di atas 15 lima belas hektar dengan paling kecil skala 1:10.000. 3. Pembuatan peta danatau sketsa areal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c dan ayat 2 huruf e, difasilitasi oleh pendamping HTR. 4. Sketsa danatau Peta areal yang dimohon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c dan ayat 2 huruf e, antara lain memuat informasi mengenai wilayah administrasi pemerintahan, koordinat dan batas- batas yang jelas, dan berada dalam areal pencadangan HTR yang telah ditetapkan oleh Menteri. Jenis tanaman yang dapat ditanam pada areal HTR diatur oleh pasal 7 dan 8 Permenhut No. P.55Menhut-II2011 sebagai berikut: Pasal 7: 1. Budidaya tanaman HTR dilaksanakan berdasarkan kondisi tapak, sosial ekonomi dan sosial budaya setempat. 2. Jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk pembangunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR terdiri dari: a. tanaman sejenis; atau b. tanaman berbagai jenis. 3. Jenis tanaman pokok sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a, adalah tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri satu jenis species dan varietasnya. 4. Jenis tanaman pokok berbagai jenis sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b, adalah tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu antara lain karet, tanaman berbuah, bergetah dan pohon penghasil pangan dan energi. Tanaman budidaya tahunan paling luas 40 empat puluh persen dari areal kerja dan tidak didominasi oleh satu jenis tanaman. Sedangkan pasal 8 mengatur sebagai berikut: 1. Dalam hal pengembangan hutan tanaman pokok berbagai jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 4, terdapat tanaman campuran atau tanaman monokultur sawit yang telah ada, pemegang izin wajib mengembangkan tanaman kehutanan yang bercampur dengan tanaman yang sudah ada. 2. Dalam hal terdapat tanaman sawit di atas areal HTR dan berumur rata- rata diatas 3 tiga tahun, pemegang izin diberikan kesempatan mengembangkan tanaman sawit tersebut sampai umur 20 dua puluh tahun, dengan kewajiban menanam tanaman kehutanan sebagai batas petak dan blok. 3. Dalam hal tanaman sawit berumur rata-rata diatas 10 sepuluh tahun, wajib ditanami tanaman kehutanan sebagai tanaman sela menyebar dengan jumlah 400 pohon per hektar danatau dengan jarak 5 lima x 5 lima meter. 4. Dalam hal tanaman sawit berumur rata-rata 20 dua puluh tahun atau lebih, tanaman sawit harus ditebang dan diganti tanaman hutan dan tanaman sela sebagaimana dimaksud pada ayat 3, selanjutnya dipelihara sampai umur masak tebang sesuai dengan jenis dan tapaknya. 5. Pemanfaatan hasil hutan tanaman sejenis dan tanaman berbagai jenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2, serta tanaman campuran atau tanaman monokultur sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diwajibkan membayar provisi sumber daya hutan PSDH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Didalam pelaksanaan HTR sudah bdarang tentu terdapat hak dan kewajiban penyelenggara HTR sebagaimana diatur didalam pasal 22 dan 23. Pemegang IUPHHK-HTR berhak untuk melakukan kegiatan sesuai izin, mendapatkan pinjaman dana bergulir sesuai ketentuan, bimbingan dan penyuluhan teknis serta mengikuti pendidikan dan latihan serta peluang mendirikan industry dan memperoleh fasilitasi pemasaran hasil hutan. Sedangkan pasal 23 mengatur mengenai kewajiban pemegang IUPHHK-HTR, yaitu kewajiban untuk menyusun RKU PHHK-HTR dan RKT PHHK-HTR, melaksanakan pengukuran dan perpetaan areal.

2.7. Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH merupakan keniscayaan karena merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Nurrochmat dan Hasan, 2010. Terlepas dari hal tersebut diatas pada kenyataannya pembentukan KPH sampai dengan saat ini masih terhambat oleh beberapa permasalahan terutama menyangkut kelembagaan, budgeting, pembagian kewenangan pemerintah pusat-daerah, sumberdaya manusia dan lain sebagainya. Nurrochmat dan Hasan 2010 juga manyatakan bahwa pada dasarnya pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH diharapkan dapat mendukung pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dan mensejahterakan. KPH yang didasari pada konsep “pemangkuan” diharapkan dapat menjamin dilakukannya penanganan hutan dan kawasan hutan dengan tanggung jawab penuh. KPH diyakini dapat membuka akses yang lebih kepada masyarakat untuk sejajar dengan para pemangku kepentingan kehutanan lainnya dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. Namun hal tersebut tidak bisa lepas dari political will pemerintah terutama arah politik pemanfaatan sumberdaya hutan ditingkat daerah. Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi yang disesuaikan dengan kondisi social budaya