Periode Konsesi HPH
Cara lain untuk melakukan klaim terhadap lahan adalah dengan membuka areal perkebunan disekitar areal HPH. Areal HPH yang sudah dilengkapi dengan
sarana dan akses jalan yang cukup baik pada waktu itu dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk medapatkan klaim baru atas lahanhutan. Aktifitas logging
dan deforestasi berhubungan erat dengan adanya jaringan jalan. Logging dapat memfasilitasi deforestasi dengan masuknya penduduk ke areal tersebut
dikarenakan jaringan jalan logging tersebut dapat digunakan untuk membuka akses ke hutan Kaimowitz et al., 1998 dalam Kanninen et al., 2007.
Awalnya sebelum membuka kebun, masyarakat menebang pohon-pohon komersial yang ada dilokasi dan menjualnya kepada toke kayu. Oleh masyarakat
desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban kegiatan ini disebut dengan bekayu atau bebalok. Setelah kayu sudah habis barulah mereka membersihkan
lahan klaim tersebut dan menanaminya. Bahkan ada juga lahan klaim yang dibiarkan begitu saja namun pengakuan hak penguasaan masih melekat kepada
orang yang pertama kali membuka lahan tersebut. Menurut masyarakat di desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban
pada waktu dulu setiap orang bebas untuk melakukan klaim terhadap lahanhutan dan melakukan konversi untuk ditanami dan dijadikan ladangkebun. Yang perlu
dilakukan hanya meminta persetujuan PesirahRio sebagai pimpinan adat atau desa pada waktu itu. Pada awal tahun 1990-an masyarakat di ketiga desa tersebut
mulai berkebun dengan menanam karet dilahan-lahan klaim mereka. Pada beberapa tempat di Indonesia karet merupakan tanaman unggulan yang dipilih
oleh petani apabila ingin merubah pola perladangannya, terutama dalam memilih komoditas yang akan ditanam. Angelsen 1995 dari hasil penelitian yang
dilakukan di Riau, Angelsen 1995 menyatakan bahwa cara bercocok tanam tradisional masyarakat pada waktu dulu adalah dengan berladang berpindah dan
mengumpulkan hasil hutan tapi dalam satu abad terakhir ini telah digantikan dengan cara mananam karet dengan cara yang juga berpinda-pindah.
Menurut masyarakat Lubuk Kambing maraknya penanaman karet pada zaman dulu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya kebun karet tua yang dapat
dijumpai di sekitar areal desa. Tanah-tanah klaim inilah yang sampai saat ini diturunkan kepemilikannya kepada anak-cucu masyarakat desa Lubuk Kambing,
Lubuk Bernai dan Suban. Tanah-tanah tersebut ada yang memiliki sertifikat dan ada pula yang sampai saat sekarang tidak bisa di sertifikatkan karena berada
dalam kawasan hutan Negara. Sampai dengan saat ini tanaman karet masih menjadi tanaman unggulan
masyarakat didesa Lubuk Kambing, walaupun sudah banyak juga masyarakat asli desa maupun masyarakat pendatang di desa Lubuk Kambing yang sudah
mengusahakan perkebunan sawit bahkan mengkonversi tanaman karet mereka menjadi tanaman sawit. Biasanya batas kebun karet masyarakat ditandai dengan
tanaman lain yang dijadikan pagar atau tanda. Tanaman yang biasa digunakan sebagai tanda batas kebun adalah tanaman pinang. Di desa Lubuk Bernai dan desa
Suban berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, tanaman unggulan menurut mereka saat ini adalah kelapa sawit.
5.5.2. Pola Penguasaan Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Pendatang
Spontaneous Migrant dan Transmigrant Masyarakat Pendatang
Spontaneous Migrant
Perkebunan karet dan kelapa sawit di desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban tidak hanya diusahakan oleh masyarakat lokal atau asli desa.
Pendatang spontaneous migrant yang datang ke desa-desa tersebut memiliki tujuan utama untuk berkebun dengan membeli lahanhutan dari masyarakat lokal
dan menanaminya dengan tanaman karet atau kelapa sawit. Di desa Lubuk Kambing misalnya masyarakat pendatang berasal dari etnis Jawa, Batak,
Palembang dan Aceh, dimana para pendatang ini lebih banyak mengusahakan tanaman karet dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Namun tidak begitu
halnya dengan desa Lubuk Bernai dan Suban, didua desa tersebut masyarakat pendatang lebih banyak menanam tananam kelapa sawit. Didesa Lubuk Bernai
kebanyakan pendatang berasal dari etnis Jawa dan di desa Suban mayoritas pendatang berasal dari etnis Batak.
Para pendatang ini adalah orang asing di desa lokal sehingga mereka tidak memiliki klaim apapun atas lahanhutan. Untuk mendapatkan lahan mereka harus
membeli dari masyarakat lokal yang ingin menjual lahan atau kebun mereka. Lahan yang dibeli dari masyarakat lokal dapat berupa lahan milik dan bersertifikat
ataupun lahan hutan yang telah diklaim oleh masyarakat lokal. Harga lahankebun yang merupakan hak milik jauh lebih mahal dari harga lahan hutan.
Hasil wawancara dengan masyarakat desa Lubuk Bernai didapat informasi bahwa terdapat keinginan dari kepala desa pada waktu itu untuk meningkatkan
status desa Lubuk Bernai, dari desa menjadi kelurahan. Menurut Kepala Desa, salah satu syarat untuk dapat meningkatkan status tersebut adalah jumlah
penduduk. Saat ini jumlah penduduk desa Lubuk Bernai belum memadai untuk dijadikan sebagai kelurahan. Karena hal tersebut, oleh kepala desa yang menjabat
pada waktu itu mengundang pendatang untuk menetap di desa Lubuk Bernai dengan menjanjikan sebidang tanah untuk berkebun kelapa sawit. Tanah tersebut
menurut pengakuan tokoh masyarakat desa Lubuk Bernai merupakan tanah pribadi yang dimiliki oleh Kepala Desa Lubuk Bernai sebagai warisan keluarga.
Tanah tersebut kemudian diberikan kepada para pendatang untuk berkebun dengan system bagi hasil. Kepala desa menyediakan lahan kemudian pendatang
harus mempersiapkan segala sesuatunya termasuk bibit, penyiapan lahan sampai dengan pupuk. Bagi hasil tanah akan dilakukan apabila sawit sudah menghasilkan,
sekitar berumur 5 tahun. Pola penguasaan lahan dengan cara bagi hasil ini disebut dengan mawah dan diperkenalkan pertama kalinya oleh pendatang dari etnis Jawa
dan Bugis.
Masyarakat Transmigran
Dari hasil wawancara dengan masyarakat desa Lampisi, masyarakat desa menyatakan bahwa tanah pembagian dari program transmigrasi yang mereka
peroleh adalah sebesar 2 ha untuk kapling kebun sawit dan 0,25 ha untuk perkarangan dan tapak rumah. Tanah-tanah tersebut merupakan tanah milik yang
bersertifikat. Seiring dengan perkembangan perkebunan sawit dengan pola PIR dengan
perusahaan, taraf hidup para transmigran terus meningkat. Dengan meningkatnya taraf hidup maka timbul keinginan untuk menambah modal berupa lahan untuk
dijadikan perkebunan sawit. Masyarakat desa Lampisi, sama halnya dengan
masyarakat pendatang dari desa lainnya harus membeli lahan dari masyarakat lokal sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Namun ada kemudahan-kemudahan yang dimiliki oleh warga desa Lampisi untuk menambah luas tanah garapan mereka apabila dibandingkan
dengan masyarakat pendatang lainnya. Masyarakat desa Lampisi bisa menjaminkan sertifikat tanahkebun mereka kepada Bank BRI untuk memperoleh
dana segar untuk membeli lahan garapan baru. Trans Lampisi yang dimulai dari tahun 1990 pada tahun 1996-1998
mendapatkan permasalahan yang memaksa kurang lebih 25 dari penduduk transmigrasi pada waktu itu harus kembali ke Jawa. Menurut pengakuan warga
desa Lampisi hal ini disebabkan oleh kecemburuan sosial yang timbul antara masyarakat lokal dengan masyarakat transmigran yang pada waktu itu
kehidupannya mulai membaik. Kemudian lahan-lahan yang ditinggalkan oleh masyarakat transmigran yang memutuskan untuk kembali ke Jawa diperjal belikan
kepada tetangga atau kerabat sesame masyarakat transmigran. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan, masyarakat desa Lampisi
menentukan lahanhutan yang akan mereka beli dari masyarakat lokal berdasarkan kepada kedekatan lokasi lahanhutan yang diperjual belikan dengan desa mereka.
Selain itu juga bentuk lahan yang akan diperjual belikan juga menjadi pertimbangan, apakah lahan tersebut sudah berupa kebun, semak belukar atau
masih berbentuk hutan. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci bentuk lahan tidak begitu menjadi pertimbangan mengingat hal ini hanya
berhubungan dengan harga lahanhutan yang diperjual belikan. Lahan berupa hutan pasti akan lebih murah apabila dibandingkan dengan lahan berupa semak
belukar, dan lahan berupa semak belukar sudah pasti lebih murah apabila dibandingkan lahan yang sudah ditanami kebun.
Hal lain yang juga sangat mempengaruhi harga lahanhutan yang diperjual belikan adalah status lahan itu sendiri. Sebagian besar peserta FGD mengakui
hampir seluruh lahan-lahan yang diperjual belikan adalah lahan dengan status sebagai kawasan hutan. Menurut pengakuan masyarakat lahan yang memiliki
sertifikat akan sangat berbeda harganya dibandingkan lahan hutan. Dimana lahan- lahan yang bersertifikat memiliki harga jual yang sangat tinggi.
Dari hasil FGD yang dilakukan dengan masyarakat desa Lampisi diketahui bahwa untuk mendapatkan lahan garapan baru masyarakat desa Lampisi lebih
memilih untuk mendapatkan lahan-lahan yang dekat dengan desa. Hal ini disebabkan oleh kemudahan dalam pengerjaan lahan dan mengontrol hasil buah
sawit yang rawan di ambil oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Area ekspansi lahan yang dilakukan oleh masyarakat desa Lampisi seperti: desa Lubuk
Kambing, Sungai Rotan, Rantau Benar, Pulau Pauh, Penyabungan, Suban, Merlung, dan Pelabuhan Dagang. Selain desa-desa tersebut ekspansi masyarakat
desa Lampisi dalam mendapatkan lahan juga sampai kepada lintas kabupaten dan lintas propinsi dimana menurut hasil FGD diketahui ada masyarakat desa Lampisi
yang memiliki lahan kebun kelapa sawit di desa Lubuk Madrasah kab. Tebo dan Sungai Akar yang masuk kedalam wilayah administrasi propinsi Riau.
5.6. Migrasi dan Terbentuknya Institusi Informal Jual Beli-LahanHutan
Informal Land Market Institution
Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jambi yang merupakan target lokasi penempatan transmigran. Program
transmigrasi pada umumnya berintegrasi dengan program Perkebunan Inti Rakyat PIR perkebunan kelapa sawit sekala besar. Gelombang transmigrasi mulai
datang ke kabupaten Tanjung Jabung Barat pada tahun 1990 dan gelombang berikutnya terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya.
Selain pola transmigrasi, ditemui juga pola-pola migrasi swadaya yang dilakukan oleh berbagai etnis diantaranya Jawa, Batak, Palembang, Aceh, Bugis
dan Banjar. Sebagian besar dari masyarakat yang melakukan migrasi swadaya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih layak dari
apa yang didapat di kampung halaman masing-masing dengan membuka kebun baru. Koczbersky et al. 2009, menyatakan bahwa sudah banyak dokumentasi
yang dilakukan oleh peneliti terhadap fenomena jual-beli lahanhutan kepada masyarakat pendatang migrant untuk dijadikan areal perkebunan.
Dengan keinginan untuk memperbaiki taraf hidup dan menambah modal berupa lahan garapan land capital maka secara tidak langsung berdampak
kepada tekanan terhadap lahahhutan. Masyarakat pendatang terpaksa harus membeli lahanhutan dikarenakan statusnya sebagai pendatang sehingga tidak
memungkinkan untuk melakukan klaim terhadap kawasan hutanlahan yang ada. Lahanhutan yang diperjual belikan merupakan kawasan yang diklaim oleh
individukelompok masyarakat lokal. Penelitian yang dilakukan oleh Li 2002, menjelaskan bahwa privatisasi lahanhutan oleh masyarakat lokal menjadi
landasan yang membuat lahanhutan menjadi komoditas yang dapat diperjual- belikan kepada masyarakat pendatang.
Terbentuknya institusi informal jual-beli lahanhutan informal land market institution merupakan rangkaian proses interaksi antara masyarakat lokal
yang memiliki klaim lahanhutan dengan masyarakat pendatang. Masyarakat transmigran yang mulai datang pada awal tahun 1990 pada kenyataannya dengan
berjalannya waktu sampai dengan saat ini sudah jauh lebih mapan secara ekonomi apabila dibandingkan dengan masyarakat lokal. Dengan kondisi ekonomi yang
jauh lebih mapan maka tercipta motif untuk menambah lahan garapan baru. Tingginya kebutuhan akan lahan tidak serta merta terjadi begitu saja.
Meningkatnya kebutuhan akan lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah dengan adanya program transmigrasi yang membawa dampak kepada
pengenalan komoditas dan teknologi pertanian tertentu. Program transmigrasi memperkenalkan system bercocok tanampertanian yang baru dan menciptakan
proses jual beli lahan Koczberski et al., 2009, dimana para transmigran dan pendatang lainnya membeli lahan dari masyarakat lokal.
Hal tersebut diatas ditemukan di desa Suban, dimana komoditas unggulan masyarakat sudah bergeser dari karet menjadi perkebunan kelapa sawit. Dari hasil
FGD yang dilakukan diketahui bahwa banyak lahan-lahan perkebunan karet masyarakat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan tidak sedikit juga
lahan klaim yang sudah ditanami karet diperjual belikan kepada pendatang. Mayoritas pendatang di desa Suban adalah masyarakat etnis Batak yang banyak