Pola Penguasaan Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Pendatang

ha atau berkontribusi sebesar 95 terhadap total deforestasi. Sementara itu pada periode waktu tahun 2000-2009 terjadi perubahan dari tutupan hutan menjadi kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest sebesar 4.689 ha atau berkontribusi sebesar 84 dari total deforestasi. Maraknya konversi lahanhutan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest tidak terlepas dari tingginya nilai ekonomi dari komoditi tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICRAF pada tahun 2011 diketahui bahwa tingginya profitabilitas dari perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest merupakan salah satu faktor penting pemicu hilangnya tutupan hutan. Sofiyuddin et. al. 2011 dalam Widayati et. al. 2011 menyatakan bahwa dari ketiga perubahan penggunaan lahan yang dominan terjadi pada HPT-KPHP Unit 16, perubahan penggunaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan penggunaan lahan dengan nilai profitabilitas tertinggi untuk tingkat petani kecil yaitu sebesar 7.012 USDHa. Sedangkan profitabilitas penggunaan lahan berupa perkebunan karet monokultur sebesar 2.417 USDHa dan perkebunan karet agroforest sebesar 1.580 USDHa. Tingginya profitabilitas dari penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest inilah yang menjadi salah satu pemicu tingginya laju deforestasi diareal HPT-KPHP Unit 16. Dari hasil FGD dan interview dengan informan kunci diketahui bahwa kecenderungan transaksi jual beli lahanhutan sudah akan berujung kepada konversi lahanhutan untuk dijadikan perkebunan sawit dan karet.

5.8. Keamanan Tenurial Tenure Security di Areal HPT

Didalam proses jual beli lahanhutan terjadi proses pembagian resiko antara penjual, pembeli dan saksi atas aktifitas yang oleh Negara dianggap illegal. Hal ini dapat dilihat dari proses jual beli yang hanya mengandalkan secarik kwitansi jual beli sebagai satu-satunya dokumen bukti jual beli atas sebidang lahanhutan. Apabila dikemudian hari terjadi sesuatu atas proses jual beli tersebut maka kepala desa sekarang ini hanya sebagai saksi atas akad jual beli dan bukan mengesahkan proses jual beli lahanhutan. Sedangkan bagi si pembeli, dengan posisinya sebagai pembeli bisa dengan mudah berdalih bahwa yang bersangkutan tidak tahu mengenai status legal kebun yang dibelinya. Sedangkan bagi si penjual melihat fenomena yang terjadi di desa Lubuk Kambing, adalah individu yang memiliki kekuatan politik yang cukup besar. Sering terjadi proses jual beli yang pada kenyataannya merugikan pihak pembeli dalam hal ini adalah masyarakat pendatang. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci didapat informasi bahwa untuk bisa mendapatkan lahan secara “permanen” tidak jarang mereka harus membayar sebanyak tiga kali kepada masyarakat lokal yang berbeda karena ketiga orang tersebut mengaku memiliki klaim yang sama atas lahanhutan yang diperjual belikan. Basley et al., 1995 dalam Arnot 2011 menyatakan bahwa ketidak pastian tenurial adalah kondisi dimana terdapat kemungkinan probability terjadinya perampasan hak atas lahan. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas pada lokasi penelitian. Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa untuk mendapatkan pengakuan penuh atas lahanhutan masyarakat pendatang sering kali harus membayar sebanyak tiga kali atas lahanhutan yang diperjual belikan. Kondisi ini merupakan gambaran bahwa ada kemungkinan bagi si pembeli untuk kehilangan hak atas tanah yang baru saja dibelinya dikarenakan adanya klaim lain atas lahanhutan yang sama. Apabila si pembeli tidak bersedia untuk membayar kembali maka si pembeli akan kehilangan haknya. Dari hasil wawancara dengan masyarakat desa Lampisi, diketahui persepsi atau cara pandang masyarakat pendatang dengan taraf hidup yang relatif lebih baik terhadap ketidak pastian tenurial atas lahanhutan yang mereka beli. Bagi masyarakat Lampisi, yang pada akhirnya harus membeli lahanhutan mengerti dengan membeli lahanhutan yang merupakan kawasan hutan Negara maka terdapat resiko dimana suatu saat akan timbul masalah dan bisa berujung kepada pengusiran yang membuat mereka kehilangan hak atas lahan tersebut. Menghadapi kekhawatiran akan kehilangan haknya pada suatu saat nanti masyarakat desa Lampisi mengatakan bahwa kalaupun lahanhutan yang mereka beli tersebut harus dikembalikan kepada Negara, namun setidaknya lahan tersebut sudah bisa menghasilkan minimal untuk satu daur tanaman kelapa sawit. Bagi masyarakat yang menjual lahanhutan juga berpendapat bahwa juga tidak aman bagi mereka untuk mengusahakan lahan klaim dari kawasan hutan. oleh karena itu bagi sebagian besar masyarakat desa lokal lebih baik menjual lahan tersebut dari pada diusahakan sendiri. Hal ini terjadi karena tidak jelasnya status kawasan yang mereka klaim. Kawasan tersebut merupakan areal open- access namun sewaktu-waktu dapat membawa masalah terkait legalitas penguasaan dan pemanfaatannya. Selain itu dari hasil wawancara dengan informan kunci juga dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya proses jual beli lahanhutan pada tahun-tahun sebelumnya juga menjadi pemicu semakin maraknya proses jual beli lahanhutan. Secara tidak langsung keuntungan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat lokal telah menjadikan jual beli lahanhutan menjadi salah satu mata pencaharian bagi sebagian orang elit desa, sehingga proses jual beli lahanhutan menjadi semakin marak dan mudah untuk dilakukan, selain memang terdapat kebutuhan akan lahan yang cukup besar dengan kehadiran masyarakat pendatang.

5.9. Pencadangan Kawasan HPT Untuk Hutan Tanaman Rakyat HTR

Pengelolaan hutan oleh masyarakat secara efektif dapat menekan laju deforestasi Porter-Bolland et all., 2011. Terdapat berbagai skema pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat yang diterpakan di Indonesia, seperti HKm, Hutan Desa dan HTR. Namun pada dasarnya ketiga skema tersebut belum mampu menjawab semua aspek pengelolaan kehutanan pada tingkat tapak, misalnya masih belum jelasnya property right yang ditawarkan oleh ketiga skema tersebut. Pada kawasan HPT terdapat lokasi pencadangan HTR oleh Menteri Kehutanan melalui SK No. 70Menhut-II2009 pada tanggak 26 Februari 2009 seluas 2.280 ha. Lokasi pencadangan HTR secara administratif masuk kedalam desa Lubuk Kambing dan Suban. Gambar 14. Areal Pencadangan HTR di Desa Lubuk Kambing a dan Suban b Berdasarkan analisis penutupan lahan diketahui bahwa lokasi yang dicadangkan oleh menteri kehutanan semenjak tahun 2009 sebagai lokasi HTR tersebut sebagian besar sudah dikelola oleh masyarakat lokal untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan karet. Konversi areal pencadangan HTR menjadi tanaman karet baik itu karet agroforest maupun karet monokultur marak terjadi di desa Lubuk Kambing, sedangkan konversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit marak terjadi di desa Suban. Sampai dengan penelitian ini dilakukan belum ada keinginan masyarakat untuk mengajukan pengelolaan HTR kepada pemerintah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama ketidak-tahuan masyarakat atas keberadaan lokasi pencadangan HTR yang ditetapkan oleh Menteri. Kedua, masyarakat banyak yang tidak paham mengenai skema pengelolalan hutan kolaboratif melalui hutan tanaman rakyat HTR. Ketiga adalah mengenai ketidak jelasan status kawasan hutan oleh masyarakat terutama mengenai tata batas kawasan hutan. Keempat adalah ada ketakutan dari masyarakat karena konversi yang telah dilakukan oleh masyarakat atau sebagian dari masyarakat terhadap areal pencadangan HTR akan menimbulkan masalah bagi mereka ketika nantinya mereka berupaya untuk mendapatkan izin HTR. a b