Pola Penguasaan Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Lokal

mengusahakan perkebunan kelapa sawit di daerah Suban dengan membeli lahanhutan dari masyarakat lokal. Institusi jual beli lahanhutan juga merupakan rangkaian proses interaksi antara pola-pola penguasaan lahan yang dimiliki oleh masyarakat lokal dengan pola-pola penguasaan lahan yang dibawa oleh pendatang. Contohnya, di desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai banyak dijumpai pola-pola penguasaan lahan dengan sistem mawah. Sistem mawah ini sendiri merupakan pola penguasaan lahan yang diperkenalkan oleh etnis Jawa dan Bugis. Untuk mendapatkan lahan garapan baru di desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai masyarakat pendatang mayoritas etnis Jawa dilakukan dengan proses bagi hasil tanah ketika kelapa sawit sudah mulai menghasilkan. Selain itu pola hutan gilir yang diterapkan di desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai juga berimplikasi kepada maraknya jual beli lahan. Hutan gilir sejatinya adalah aturan yang mengatur pemanfaatan lahan dimana seseorang akan kehilangan hak kelola dan penguasaan atas sebidang lahanhutan apabila tidak diusahakan dalam tiga tahun. Hak kelola dan penguasaan akan berpindah kepada orang yang mengelola dan menguasai tanah yang ditinggalkan tersebut. Dan juga menjadi hak pengelola dan penguasa berikutnya untuk memperjualkan lahan yang pada umumnya sudah berbentuk semak atau ditanami dengan tanaman hortikultura sebagai bagian dari pola perladangan berpindah. Setelah tanah dijual kepada pendatang maka hasil dari jual beli tersebut merupakan hak si penjual dan ada kalanya dibagi dengan orang yang mengelola dan menguasai tanah tersebut untuk pertama kalinya sebagai upah jerih payah dalam membuka hutan. Jual beli lahanhutan dilakukan dengan serangkaian proses dan melibatkan beberapa pihak yang memiliki perannya masing-masing. Pihak-pihak yang terkait dengan proses jual beli lahanhutan yang dapat ditemui dilapangan adalah pembeli, penjual, makelar, saksi jual beli orang yang memiliki kebun yang berbatasan langsung dengan kebun yang diperjual-belikan, ketua RT, ketua RW, kepala dusun dan perangkat desa serta kepala desa. Pihak-pihak yang terlibat dan peran masing-masing pihak dalam proses jual beli lahanhutan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pembeli. Masyarakat pendatang, baik yang sudah tinggalmenetap sejak lama di desa atau di luar desa lokal. Seseorang yang ingin membeli lahan biasanya mendapat informasi mengenai lahanhutan yang akan dijual langsung dari si penjual atau melalui makelar. 2. Penjual. Sebagian besar adalah masyarakat lokal yang memilki klaim atas lahanhutan. Biasanya adalah elit desa yang memiliki kekuatan secara politis ataupun preman desa. 3. Makelar. Peran utamanya adalah mencari pembeli dan menawarkan sebidang lahanhutan yang akan dijual kepada pembeli yang pada umumnya adalah masyarakat pendatang, terutama di desa Lubuk Kambing dan Suban. Makelar juga merupakan penghubung antara pembeli dan penjual namun biasanya tidak berhak untuk terlibat dalam negosiasi harga. 4. Saksi. Peran utama saksi adalah menyaksikan dan mengetahui dengan ikut menanda-tangani surat perjanjian jual beli. Saksi terdiri dari beberapa pihak, yaitu individu-individu yang memiliki kebun yang berbatasan langsung dengan lahanhutan yang diperjual belikan biasanya terdiri dari empat orang sesuai dengan batas kebun, utara-timur-selatan- barat. Saksi lainnya adalah ketua RT, ketua RW dan kepala Dusun. 5. Kepada Desa. Kepala desa pada awalnya dulu memilki peran yang sangat besar dalam menjamin legalitas dan legitimasi jual beli lahanhutan. Beberapa tahun yang lalu kepala desa dapat melegalkan jual beli lahanhutan dengan mengeluarkan sporadik atau surat keterangan tanah SKT. Namun tidak sama halnya dengan yang terjadi akhir-akhir ini. Dengan maraknya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan setempat, peran kepala desa sebagai pejabat pengesah SKT sudah mulai hilang. Dalam proses jual beli lahanhutan pada tahun-tahun sebelumnya, sporadikSKT merupakan dokumen kepemilikan tanah yang kuat pada tingkat masyarakat. SKT sering digunakan oleh masyarakat sebagai bukti kepemilikan yang sah terhadap lahanhutan apabila berbenturan dengan pihak luar terutama investorpengusaha kehutanan, kebun dan tambang yang memiliki rencana untuk berinvestasi di lahan yang dikuasai oleh masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar lahan yang diperjual belikan terutama didesa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban melibatkan elit desa sebagai penjual utamanya. Elit desa ataupun individu yang memilki kekuatan secara politis, level pendidikan dan adat merupakan aktor yang memegang peranan penting dalam proses jual beli lahanhutan. Fenomena yang terjadi di desa Lubuk Kambing memperlihatkan bagaimana elit desa dapat mengatur pergantian kepala desa yang tidak sepaham dengan apa yang dilakukan oleh elit dalam melakukan jual beli lahanhutan. Dalam rentang waktu penelitian yaitu selama kurang lebih 10 bulan Februari – Desember 2011 terjadi empat kali pergantian kepala desa Lubuk Kambing. Dalam beberapa tahun terakhir sudah tidak ada kepala desa yang berani mengeluarkan SKT apabila lahan yang diperjual belikan tersebut adalah lahan yang masuk dalam kawasan hutan Negara biasanya kepala desaaparat desa lainnya akan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan kab. Tanjung Jabung Barat mengenai status lahan yang diperjual-belikan oleh warganya. Hal ini sama dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Potter dan Badcock 2004 menjelaskan bahwa proses jual beli sebagian besar lahan adat yang diperuntukan bagi perladangan berpindah masyarakat di kab. Rokan Hulu, dinyatakan sah hanya dengan surat keterangan tanah SKT yang dikeluarkan oleh kepada desa dan pemuka adat. Tidak jelasnya legalitas atas proses jual beli lahanhutan ini dapat memicu konflik penguasaan lahan dikemudian hari. Akhir- akhir ini, bukti jual beli hanya berupa kuitansi jual beli yang ditanda-tangani oleh pihak pembeli dan penjual dan beberapa orang saksi. Lebih lanjut Li 2001 dalam Koczbersky et al. 2009 menjelaskan bahwa proses jual beli lahan-lahan klaim komunal disebabkan oleh ketidak-jelasan status legal formal dari kawasan klaim komunal itu sendiri dimana kepala desaadat dengan otoritas pengaturan sumberdaya termasuk lahanhutan yang dimilikinya berhasil meniadakan atau bahkan mengusir pemilik tanah-tanah adat. Dari hasil FGD dan wawancara dengan masyarakat desa lokal diketahui bahwa dalam proses jual beli lahanhutan, para pihak yang terlibat biasanya mendapatkan insentif dari proses jual beli lahanhutan yang dilakukan tersebut. Menurut pengakuan informan kunci, besarnya insentif yang diterima berdasarkan kepada kedudukan atau pranata sosial yang ada. Saksi batas lahan menurut pengakuan informan kunci akan mendapatkan insentif yang paling kecil sedangkan kepala desa akan mendapatkan insentif yang paling besar. Gambar 13. Bagan alur sederhana proses jual beli lahanhutan

5.7. Institusi Informal Jual Beli LahanHutan dan Hubungannya Dengan

Laju Deforestasi Pada Areal HPT-KPHP Unit 16 Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa maraknya proses jual beli lahanhutan menyebabkan terjadinya penurunan luas tutupan hutan akibat konversi menjadi perkebunan karet maupun kelapa sawit. Jual beli lahanhutan yang terjadi pada umumnya melibatkan interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya bahwa maraknya konversi hutan menjadi perkebunan rakyat telah berkontribusi secara nyata terhadap tingginya laju deforestasi. Pada periode tahun 1990-2000 perubahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest memiliki total sebesar 2.083 ha atau berkontribusi sebesar 95 terhadap total deforestasi. Sementara itu pada periode waktu tahun 2000-2009 terjadi perubahan dari tutupan hutan menjadi kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest sebesar 4.689 ha atau berkontribusi sebesar 84 dari total deforestasi. Maraknya konversi lahanhutan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest tidak terlepas dari tingginya nilai ekonomi dari komoditi tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICRAF pada tahun 2011 diketahui bahwa tingginya profitabilitas dari perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest merupakan salah satu faktor penting pemicu hilangnya tutupan hutan. Sofiyuddin et. al. 2011 dalam Widayati et. al. 2011 menyatakan bahwa dari ketiga perubahan penggunaan lahan yang dominan terjadi pada HPT-KPHP Unit 16, perubahan penggunaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan penggunaan lahan dengan nilai profitabilitas tertinggi untuk tingkat petani kecil yaitu sebesar 7.012 USDHa. Sedangkan profitabilitas penggunaan lahan berupa perkebunan karet monokultur sebesar 2.417 USDHa dan perkebunan karet agroforest sebesar 1.580 USDHa. Tingginya profitabilitas dari penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit, karet monokultur dan karet agroforest inilah yang menjadi salah satu pemicu tingginya laju deforestasi diareal HPT-KPHP Unit 16. Dari hasil FGD dan interview dengan informan kunci diketahui bahwa kecenderungan transaksi jual beli lahanhutan sudah akan berujung kepada konversi lahanhutan untuk dijadikan perkebunan sawit dan karet.

5.8. Keamanan Tenurial Tenure Security di Areal HPT

Didalam proses jual beli lahanhutan terjadi proses pembagian resiko antara penjual, pembeli dan saksi atas aktifitas yang oleh Negara dianggap illegal. Hal ini dapat dilihat dari proses jual beli yang hanya mengandalkan secarik kwitansi jual beli sebagai satu-satunya dokumen bukti jual beli atas sebidang lahanhutan. Apabila dikemudian hari terjadi sesuatu atas proses jual beli tersebut maka kepala desa sekarang ini hanya sebagai saksi atas akad jual beli dan bukan