Deforestasi dan Degradasi Hutan Pada Areal HPT-KPHP Unit 16

Agak berbeda dengan desa Suban, dari hasil wawancara dengan masyarakat desa diketahui bahwa mereka mengaku berasal dari keturunan yang sama dengan desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai namun hanya menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan datuk Mandaliko.

5.4.2. Sejarah Desa Transmigrasi

Berbeda halnya dengan desa Lampisi. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa desa Lampisi merupakan desa pendatang murni dengan penduduk mayoritas hampir 100 adalah masyarakat transmigran dari Jawa. Program transmigrasi desa Lampisi dilakukan bertahap dalam beberapa gelombang dimulai pada tahun 1990. Peserta transmigrasi ke desa Lampisi pada gelombang pertama berasal dari DIY Yogyakarta, Sleman, Pandeglang dan Kuningan. Kemudian pada gelombang-gelombang berikutnya diikuti oleh transmigran dari daerah lain di pulau Jawa. Program transmigrasi desa Lampisi terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit PT. Asian Agri Group.

5.5. Pola Penguasaan LahanHutan LandForest Tenure Arrangement

5.5.1. Pola Penguasaan Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Lokal

Pada sub-bab ini akan dibahas mengenai pola-pola penguasaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Pengumpulan dan analisa data berdasarkan kepada hasil FGD dan wawancara dengan beberapa informan kunci pada tiga desa yaitu desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban. Analisa deskriptif mengenai pola-pola penguasaan lahan oleh masyarakat lokal akan dibagi kedalam beberapa masaperiode waktu yaitu masa sebelum adanya konsesi HPH, masa dimana konsesi HPH sudah mulai beroperasi dari tahun 1970 dan masa setelah konsesi HPH. Periode Sebelum Adanya Konsesi HPH Pada awalnya dulu masyarakat desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban mendapatkan lahan dengan cara melakukan klaim terhadap lahan dan hutan. Dari pengakuan masyarakat desa cara ini biasa dilakukan karena pada waktu itu ketersedian lahan disekitar desa sangat melimpah. Hal ini sangat erat hubungannya dengan luasan desa dan jumlah penduduk pada waktu itu. Sesuai dengan pendapat Demsetz 1967, Feeny 1993 dalam Ostrom 2000 yang menyatakan bahwa ketika kepadatan penduduk rendah maka ketersediaan lahan akan berlimpah dimana lahan menghasilkan keragaman produk tanaman dan hewan. Cara untuk mendapatkan lahan bagi masyarakat ketiga desa tersebut biasanya dimulai dengan kegiatan ladang berpindah. Perladangan berpindah pada waktu itu merupakan cara utama untuk melakukan klaim dan mendapatkan pengakuan terhadap lahanhutan. Pembagian lahan dan pengakuan terhadap klaim atas lahanhutan diketahui dan dilakukan oleh PesirahRio sebagai pimpinan desa. Angelsen 1999 dalam hasil penelitian yang dilakukannya di kecamatan Siberida, Riau menemukan bahwa kegiatan ladang berpindah secara tradisional memungkinkan petani untuk mendapatkan lahan dari hutan ke dalam penggunaan individu, dan memperoleh hak guna sesuai dengan hukum adat. Pada waktu itu ada aturan yang mengatur klaim lahanhutan yang sudah dijadikan sebagai areal untuk perladangan berpindah. Masyarakat yang mengusahakan ladang berpindah harus selalu mengusahakan ladang yang sudah mereka buka. Peraturan tersebut mengatur bahwa seseorang akan hilang hak kelola dan penguasaannya terhadap lahan apabila tidak diusahakandibiarkan lebih dari tiga tahun. Peraturan ini dapat dijumpai di desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai, namun peraturan ini sudah tidak berlaku dikarenakan sudah tidak ada praktek perdalangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat desa dan juga semua lahan pada saat ini sudah dimiliki oleh penguasaan individu. Aturan ini sering disebut oleh masyarakat lokal dengan istilah hutan gilir. Untuk menyatakan klaim terhadap suatu hamparan lahan yang sudah dikuasai dan dikelola masyarakat lokal terutama di desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai melakukannya dengan menanam tanaman keras seperti karet. Dengan menanam karet maka klaim akan suatu hamparan lahan menjadi kuat dan diakui oleh masyarakat lainnya. Dengan pola seperti ini lama kelamaan maka masyarakat lokal mulai meninggalkan pola perladangan berpindah. Selain itu terdapat juga aturan tertentu yang mengatur klaim atas lahanhutan sebelum masuknya konsesi HPH. Apabila seseorang membuka lahanhutan yang dimulai dari sungaijalan, maka orang lain yang ingin membuka lahan disisidisebelah lahan yang telah di klaim tersebut harus menanyakan terlebih dahulu kepada orang yang membuka pertama kali seberapa besar spasijeda lahan yang diharapkannya akan dapat digarapdiusahakan pada masa yang akan datang sesuai dengan kemampuan. Gambar 12. Aturan Dalam Menentukan Pembukaan Lahan Dengan Memberikan JedaSpasi Antara Klaim Pertama Atas Lahan Dengan Klaim-klaim Berikutnya. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan masyarakat desa diketahui bahwa pemberian jedaspasi wilayah pengelolaan atas klaim lahanhutan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada orang yang membuka lahan pertama untuk mengembangkan kebunnya. Selain itu juga terdapat pertimbangan untuk memberikan cadangan lahan kepada pertambahan jumlah anggota keluarga. Periode Konsesi HPH Cara lain untuk melakukan klaim terhadap lahan adalah dengan membuka areal perkebunan disekitar areal HPH. Areal HPH yang sudah dilengkapi dengan sarana dan akses jalan yang cukup baik pada waktu itu dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk medapatkan klaim baru atas lahanhutan. Aktifitas logging dan deforestasi berhubungan erat dengan adanya jaringan jalan. Logging dapat memfasilitasi deforestasi dengan masuknya penduduk ke areal tersebut dikarenakan jaringan jalan logging tersebut dapat digunakan untuk membuka akses ke hutan Kaimowitz et al., 1998 dalam Kanninen et al., 2007. Awalnya sebelum membuka kebun, masyarakat menebang pohon-pohon komersial yang ada dilokasi dan menjualnya kepada toke kayu. Oleh masyarakat desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban kegiatan ini disebut dengan bekayu atau bebalok. Setelah kayu sudah habis barulah mereka membersihkan lahan klaim tersebut dan menanaminya. Bahkan ada juga lahan klaim yang dibiarkan begitu saja namun pengakuan hak penguasaan masih melekat kepada orang yang pertama kali membuka lahan tersebut. Menurut masyarakat di desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban pada waktu dulu setiap orang bebas untuk melakukan klaim terhadap lahanhutan dan melakukan konversi untuk ditanami dan dijadikan ladangkebun. Yang perlu dilakukan hanya meminta persetujuan PesirahRio sebagai pimpinan adat atau desa pada waktu itu. Pada awal tahun 1990-an masyarakat di ketiga desa tersebut mulai berkebun dengan menanam karet dilahan-lahan klaim mereka. Pada beberapa tempat di Indonesia karet merupakan tanaman unggulan yang dipilih oleh petani apabila ingin merubah pola perladangannya, terutama dalam memilih komoditas yang akan ditanam. Angelsen 1995 dari hasil penelitian yang dilakukan di Riau, Angelsen 1995 menyatakan bahwa cara bercocok tanam tradisional masyarakat pada waktu dulu adalah dengan berladang berpindah dan mengumpulkan hasil hutan tapi dalam satu abad terakhir ini telah digantikan dengan cara mananam karet dengan cara yang juga berpinda-pindah. Menurut masyarakat Lubuk Kambing maraknya penanaman karet pada zaman dulu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya kebun karet tua yang dapat