Menurut Radgen et al. 2006, persyaratan untuk penyimpanan gas CO
2
yang aman dan optimal, yaitu: 1. Volume penyimpanan bergantung pada porositas serta ketebalan yang harus
sesuai dengan jumlah gas CO
2
yang direncanakan untuk diinjeksikan ke dalam formasi geologi.
2. Permeabilitas batuan reservoir yang sesuai untuk injeksi CO
2
, 3. Kedalaman lebih dari 800 m atau 2.625 ft, karena kedalaman penyimpanan gas
CO
2
sangat kritikal dengan densitas gas CO
2
agar dapat dipastikan optimal untuk disimpan ke dalam reservoir, dan gas CO
2
akan terjebak dalam bentuk cairan superkritikal. Pada tahap ini CO
2
bebas akan naik sampai tudung batuan reservoir
akibat dari efek gaya apung, dan akan terakumulsi, dan untuk memastikan gas CO
2
tetap terperangkap maka nilai permeabilitas dari tudung batuan harus kecil.
2.7. Sistem Operasi dalam CCS
Menurut Li 2008, dalam menentukan data yang diperlukan untuk mengevaluasi sifat-sifat thermodinamik gas CO
2
di dalam proses CCS, sistem operasi harus digambarkan dengan beberapa daerah fase dan proses CCS. Kondisi
operasi temperatur dan tekanan menyediakan dasar untuk mengidentifikasi persyaratan data yang relevan dengan data percobaan dan cakupan penerapan,
dengan berdasarkan pada kelengkapan model, dan diperlukan untuk memperkecil ketidakpastian.
Salah satu ciri khas prosedur CCS, khususnya dari sistem pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam, serta batubara,
pada umumnya terdiri dari empat tahapan, yaitu penangkapan CO
2
capture dari gas buang, pengolahan CO
2
processing, yaitu compression, dehydration, purification
atau liquefaction, dan lebih lanjut compression atau pumping, penyaluran CO
2
transportion dan penyimpanan CO
2
storage. Keempat langkah tersebut di atas penting untuk diketahui dalam menyusun sebuah rantai proses
untuk sistem CCS. Kondisi operasi dari proses CCS diperkirakan berkaitan dengan tekanan dan temperatur, seperti ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 7.
Tabel 3 Estimasi kondisi operasi dalam proses CCS Li 2008
Gambar 7 Tekanan dan temperatur dalam sistem CCS Li 2008.
2.8. Gas Ikutan
Menurut Gervert 2007, gas ikutan adalah gas yang dibakar sebagai gas limbah yang tak dapat dipakai atau gas mudah terbakar, yang dilepaskan oleh
tekanan katup pelepas dalam tekanan tinggi yang tidak terduga dari peralatan pabrik, dibakar melalui suatu nyala api gas melewati cerobong vertikal pada
sumur minyak, di dalam instalasi penyulingan, atau di dalam pabrik kimia. Pada sumur-sumur produksi minyak, instalasi penyulingan, dan pabrik kimia tujuan
utama dari penyalaan gas adalah untuk suatu tindakan pengamanan untuk melindungi tangki-tangki atau pipa-pipa dan peralatan lainnya dari tekanan tinggi
karena gangguan yang tidak terduga. Menurut Gervert 2007, pembakaran adalah suatu proses oksidasi dalam
temperatur tinggi digunakan untuk membakar komponen-komponen yang mudah menyala, kebanyakan hidrokarbon, dari limbah gas dari proses operasi industri.
Gas alam, propane, etilena, propilena, butadiene dan butane tercampur lebih dari 95 dari limbah gas yang dinyalakan. Di dalam pembakaran, gas-gas hidrokarbon
bereaksi dengan oksigen membentuk gas karbon dioksida CO
2
dan air H
2
O. Dalam beberapa limbah gas, karbon monoksida CO adalah komponen utama
yang mudah menyala. Selama dalam reaksi pembakaran, beberapa produk-produk antara dibentuk, dan pada akhirnya, hampir semuanya dikonversi menjadi CO
2
dan air H
2
O. Sejumlah dari produk-produk antara yang stabil seperti karbon monoksida CO, hidrogen H
2
, dan hidrokarbon CH dikeluarkan sebagai emisi.
2.8.1. Gas Ikutan sebagai Sumber Emisi CO
2
Menurut Syahrial dan Bioletty 2007, pada umumnya gas CO
2
terkandung dalam reservoir minyak dan gas bumi, maka apabila hidrokarbon tersebut
diproduksikan, gas CO
2
tersebut akan terbawa ke permukaan sebagai sumber GRK, seperti gas CO
2
, CH
4
, dan N
2
O, yang dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfir. Proses pengilangan minyak, liquified petroleum gas
LPG, liquefied natural gas LNG, dan industri lainnya pada proses pembakaran di industri migas mengandung 5 - 15 gas CO
2
. Menurut Syahrial dan Bioletty 2007, beberapa langkah kerja proses
industri akan memproduksikan CO
2
dengan konsentrasi yang lebih tinggi sebagai hasil dari proses pembakarannya dibandingkan dengan jumlah keseluruhan CO
2
yang dihasilkan relatif lebih sedikit. Proses penangkapan CO
2
sudah merupakan rangkaian kegiatan dari suatu industri yang menghasilkan produk CO
2
, sebagai contoh adalah gas alam yang keluar dari sumur biasanya mengandung CO
2
dengan konsentrasi yang cukup tinggi, sehingga perlu untuk ditangkap dan disimpan kembali ke dalam reservoir.
2.8.2. Potensi Gas Ikutan di Indonesia
Menurut Indriani 2005, produksi migas Indonesia mengalami puncak produksi pada tahun 1996, kemudian mengalami penurunan produksi setiap tahun
hingga tahun 2003. Hal ini disebabkan oleh investasi yang lambat dan berkurangnya dalam eksplorasi baru, sehingga menjadi faktor kunci terjadinya
penurunan produksi migas. Lapangan tua dan permasalahan birokrasi dapat pula menjadi penyebab terjadinya penurunan produksi minyak Indonesia dan
membatalkan beberapa rencana dan berjalannya proyek pembangunan. Indonesia menempati peringkat enam besar penghasil gas di dunia. Pemasukan besar dari
pasar liquefied natural gas LNG yang kompetitif dan peningkatan kebutuhan gas domestik menghasilkan perubahan besar pada beberapa industri gas alam
Indonesia. Pengurangan subsidi bahan bakar dan insentif gas dari Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001, menyebabkan peningkatan penggunaan gas secara
domestik, sesuai dengan peningkatan kebutuhan energi. Peningkatan produksi gas domestik secara langsung berkaitan erat dengan peningkatan produksi gas ikutan
Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Total emisi GRK dan gas ikutan Indonesia Indriani 2005
Dalam jangka panjang, produksi migas dapat digunakan untuk meramalkan bagaimana perkembangan produksi gas ikutan Indonesia dari tahun
1990 hingga tahun 2020, yaitu secara teori, produksi minyak yang tinggi akan menghasilkan lebih banyak associated gas dan meningkatkan produksi gas ikutan.
Hal ini sesuai dengan fakta estimasi produksi gas ikutan Indonesia dari tahun 1990 sebesar 450.279.000 ton CO
2
hingga tahun 2020 yang mencapai total produksi sebesar 785.714.286 ton CO
2
, seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Total emisi GRK di Indonesia Indriani 2005.
2.8.3. Potensi Gas Ikutan di Jawa Barat
Menurut ICCSSWG 2009, Propinsi Jawa Barat memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia. Emisi CO
2
kemungkinan besar berasal dari unit pembangkit tenaga listrik dan beberapa macam industri besar seperti
pabrik semen dan baja. Industri migas di Jawa Barat sebagian besar berada di daratan, dan hanya sedikit data untuk pabrik pengolahan gas di lautan, akan tetapi
indikasi ini yang memberikan gambaran persentase dari total emisi CO
2
dari
pabrik gas adalah rendah. Total volume CO
2
yang diemisikan sekitar 50 juta tonnes per annum tonnespa
, dengan volume tertinggi berasal dari pusat pembangkit tenaga listrik dan pabrik pengolahan gas di daratan. Pusat pembangkit
listrik dan pabrik pengolahan gas di daratan tersebut tersebar di beberapa lokasi di Propinsi Jawa Barat, yaitu Cilacap, Indramayu, Cimalaya, Subang dan Tugu Barat
dengan sumbangan emisi CO
2
yang berasal dari unit refinery, unit hidrogen, dan unit gas processing seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dan Tabel 5.
Gambar 9 Sumber emisi CO
2
di Indonesia ICSSWG 2009. Tabel 5 Sumber emisi CO
2
di Propinsi Jawa Barat ICSSWG 2009
No. CO
2
Source Plant Name
Operator owner
1. Refinery flue gas
Cilacap PT Pertamina Indonesia
2. Refinery flue gas
Balongan - Langit Biru PT Pertamina Indonesia
3. Refinery H
2
Unit Cilacap
PT Pertamina Indonesia 4.
Refinery H
2
Unit Balongan - Langit Biru
PT Pertamina Indonesia 5.
Gas processing CO
2
stream North Cylamaya
PT Pertamina Indonesia 6.
Gas processing CO
2
stream Subang
PT Pertamina Indonesia 7.
Gas processing CO
2
stream Tugu Barat
NA
Menurut Rangkuti 2009, potensi cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat kompleks mencapai 35,7 billion standard cubic feet Bscf proven
ditambah 23,1 Bscf probable, dengan potensi produksi gas ikutan hingga tahun 2015 mencapai lebih dari 11 million metric standard cubic feet per day MMscfd,
sehingga dengan ketersediaan bahan baku tersebut dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan gas ikutan, menjadi produk yang lebih bermanfaat bagi industri
migas, sekaligus dapat mencegah terlepasnya emisi GRK ke atmosfir. Potensi produksi gas ikutan lapangan Tugu Barat dapat ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Potensi gas ikutan lapangan XT Rangkuti 2009.
2.9. Potensi Penerapan Teknologi CCS di Indonesia