Strategi dalam Corporate Social Responsibility CSR

5.4. Strategi dalam Corporate Social Responsibility CSR

Strategi industri migas dalam pemberdayaan masyarakat lokal melalui sistem corporate social responsibility CSR dalam upaya pemanfaatan kembali sumur-sumur migas tidak produktif di sekitar industri migas adalah : 1. Memberdayakan masyarakat lokal melalui KUD dengan bantuan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan ketrampilan dan keahlian teknis individu. 2. Memberi bantuan modal, advokasi kelembagaan, dan konsultasi manajemen operasional kepada KUD untuk peningkatan kemampuan teknis organisasi. Ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan CSR adalah UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan Pasal 6 ayat 1. Setiap orang yang melakukan usaha danatau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup Pasal 6 ayat 2. Setiap penanggung jawab usaha danatau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha danatau kegiatan Pasal 16 ayat 1. Setiap penanggung jawab usaha danatau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun Pasal 17 ayat 1. Undang-undang yang mengatur kewajiban dan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumennya adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan dari perlindungan konsumen adalah untuk menumbuhkan kesadaran corporate tentang pentingnya kejujuran dan tanggung jawab dalam perilaku berusaha. Hal-hal lain yang diatur adalah larangan-larangan pelaku usaha, pencantuman klausula baku dan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan hukum mengenai pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar industri migas atau perusahaan yang bergerak di bidang usaha pengolahan minyak bumi dan gas alam tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu: melakukan usaha pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat pasal 11 ayat 3. Ketentuan hukum lainnya yang mengatur tentang CSR adalah UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara BUMN. Tujuan dari pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat Pasal 2. BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil atau koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN Pasal 88 ayat 1. Peraturan lainnya yang berkaitan dengan CSR adalah UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Setiap penanam modal berkewajiban: melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal Pasal 15. Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat penjelasan pasal 15 Huruf b. Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup Pasal 16; menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja Pasal 34: 1 Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha danatau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha danatau fasilitas penanaman modal. 2 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3 Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-undang lainnya yang berhubungan dengan CSR adalah UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menjelaskan bahwa 1 Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 2 Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3 Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah pasal 74. Ketentuan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang CSR adalah UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang menjelaskan bahwa badan usaha milik negara BUMN dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada usaha mikro dan kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya Pasal 21. Program kemitraan dan bina lingkungan PKBL merupakan program pembinaan usaha kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jumlah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2 dari laba bersih untuk program kemitraan dan maksimal 2 dari laba bersih untuk program bina lingkungan CSR. Ketentuan hukum dalam undang-undang inilah yang dijadikan dasar bagi penataan tentang pemanfaatan CSR di Indonesia. Berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan tersebut di atas, maka kewajiban dan tanggung jawab perusahaan bukan hanya kepada pemilik modal saja, melainkan juga kepada karyawan dan keluarganya, konsumen dan masyarakat sekitar, serta lingkungan hidup. Hal ini berlaku pula pada setiap perusahaan yang bergerak dalam kegiatan pengolahan migas memiliki kewajiban dalam mengembangkan kehidupan sosial masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup yang berada di sekitar wilayah kuasa pertambangan dan kerja perusahaan. CSR merupakan komitmen dari pihak perusahaan untuk berupaya membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang terkait stakeholder. Tujuan utama penyelenggaraan program CSR adalah kepada masyarakat lokal yang berada di sekitarnya dan lingkungan sosial dimana perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu bersama dengan kegiatan usahanya secara berkelanjutan. Menurut Rangkuti 2009, stakeholder yang terkait secara langsung dalam usaha pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah kerja industri migas adalah : 1. PT. Pertamina EP eksplorasi dan produksi Region Jawa Area Operasi Timur selaku pengelola wilayah kuasa pertambangan WKP. 2. Industri migas PT. XS selaku pengelola wilayah kerja WK. 3. Pemerintah daerah Kabupaten Indramayu selaku lembaga otoritas lokal yang memegang kebijakan di dalam areal WKP. 4. Pengusaha pemilik modal investasi di WKP dan WK. 5. Masyarakat lokal yang berdomisili di sekitar WKP dan WK. 6. Lembaga swadaya masyarakat LSM. 7. Lembaga keuangan bukan bank. Hasil survei pakar yang dilakukan Rangkuti 2009 menunjukkan bahwa terdapat enam faktor yang berpengaruh dalam hubungan antara stakeholder, yaitu: 1 sumberdaya manusia, 2 sumberdaya alam, 3 modal, 4 teknologi, 5 sarana dan prasarana, dan 6 kebijakan pemerintah. Hasil analisis pendapat pakar menunjukkan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam hubungan antara stakeholder adalah : 1 kebijakan pemerintah 27, 2 sumberdaya manusia 21,2, 3 sumberdaya alam 18,5, 4 teknologi 13,1, 5 sarana dan prasarana 10,6, dan 6 modal 9,5. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sangat penting dalam hubungan antara stakeholder, berupa peraturan perundang-undangan sebagai pedoman dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hasil survei yang sama menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan dari strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, maka stakeholder yang paling berperan adalah : 1 Pertamina 32,1, 2 pemerintah 29,2, 3 perbankan 25, dan 4 masyarakat 13,7. Hal ini menunjukkan bahwa PT. Pertamina EP selaku pengelola dianggap memiliki konstribusi dan andil yang sangat besar dalam pengelolaan dan pertumbuhan ekonomi di sekitar industri migas. Berdasarkan hasil survei tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa stakeholder yang paling berpengaruh dan sangat penting terhadap usaha pemanfaatan sumberdaya alam di sekitar industri migs adalah pemerintah daerah selaku pengelola kebijakan dan PT. Pertamina EP selaku pengelola wilayah kuasa. Menurut Rangkuti 2009, peran PT. Pertamina EP sangat penting dalam pengembangan kawasan industri migas, oleh karena itu pemerintah wajib menjaga iklim yang kondusif dan persaingan yang sehat dalam dunia usaha, sehingga pemilik modal tetap menanamkan modalnya dan kestabilan ekonomi tetap terjaga di wilayahnya. Peran pemerintah adalah menfasilitasi setiap kegiatan sosial industri migas, misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat dapat memperoleh manfaat yang positif. Masyarakat yang terkena dampak keberadaan industri migas harus mendapatkan kompensasi, misalnya melalui kegiatan pemberdayaan ekonomi, sehingga pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal dapat meningkat. Menurut Rangkuti 2009, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para stakeholder di sekitar industri migas adalah : 1. Keterbatasan dalam kepemilikan, lahan dan akses permodalan untuk kegiatan operasi dan pengembangan usaha dalam menyediakan lahan. 2. Keterbatasan sumberdaya manusia dalam pengetahuan peralatan dan teknologi. 3. Keterbatasan kemampuan investor dalam menerapkan teknologi berwawasan lingkungan pada setiap proses produksi. 4. Perencanaan yang masih bersifat parsial, sektoral dan belum mengakomodasi kebutuhan stakeholder, sehingga kerjasama sektoral masih rendah. 5. Tekanan penduduk dan tuntutan perkembangan ekonomi daerah yang semakin dinamis, tingginya permintaan konsumsi barang dan lapangan kerja. 6. Hukum dan kelembagaan yang belum bersifat operasional dan tidak konsisten. 7. Keterbatasan infrastruktur usaha seperti perijinan, komunikasi, perpajakan, dan tingginya retribusi yang berdampak terhadap kurang kondusifnya iklim usaha. Kondisi tersebut di atas sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh DPE-LPPM 2003 pada tahun 2003 terhadap dampak keberadaan industri migas dalam kehidupan masyarakat. Hasil survei menunjukkan adanya respon yang positif dari masyarakat dengan pengakuan adanya bantuan berupa santunan hari raya, pembuatan panti jompo, perbaikan prasarana dan sarana desa, dan penciptaan lapangan kerja dari industri migas. Responden pada umumnya merasakan bahwa keberadaan industri migas di daerahnya masih belum memberikan manfaat yang optimal bagi warga desa. Penciptaan lapangan kerja masih sangat terbatas, penduduk sekitar hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar atau tenaga sekuriti, dan bantuan dari industri migas hanya bersifat insedentil, yaitu dibantu jika terlebih dahulu dilakukan pengajuan dari masyarakat desa. Hasil survei yang sama terhadap kehidupan sosial masyarakat di sekitar industri migas, menunjukkan bahwa 60 penduduk masih bermata pencaharian sebagai petani, dan sebagian dari mereka justru merangkap sebagai buruh tani. Hal ini disebabkan oleh karena minimnya lahan pertanian yang mereka miliki, dan sisanya bekerja sebagai buruh dan tenaga kerja rendahan di lingkungan kerja PT. Pertamina EP. Mayoritas dari para pekerja tersebut adalah lulusan sekolah dasar SD sebesar 37, sekolah menengah pertama SMP sebesar 24, dan tamatan sekolah menengah atas SMA sebesar 16. Hasil survei yang sama menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga berada di bawah Rp. 500.000,- per bulan sebesar 66, dan pendapatan antara Rp. 500.000,- hingga Rp. 1.000.000,- per bulan sebesar 24,4. Kondisi tersebut di atas disebabkan oleh kebanyakan dari para kepala rumah tangga dan anggota keluarga lainnya bekerja sebagai petani maupun buruh tani. Pada kondisi yang kritis, kebanyakan para petani beralih sebagai buruh tani dan bekerja pada sekelompok petani pemilik tanah. Pada musim kemarau, aktivitas pertanian justru berhenti, dan para petani biasanya beralih menjadi tukang becak atau profesi informal lainnya untuk menyambung kehidupan keluarga mereka. Hal ini menjadikan pendapatan para petani menjadi sangat minim, jauh dari porsi pendapatan untuk hidup yang layak. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka salah satu cara yang dapat digunakan masyarakat sebagai jalan keluar dari keterbatasan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan hidup yang rendah adalah bersama-sama dan bergotong royong mendirikan koperasi unit desa KUD. Menurut Hendrojogi 2010, koperasi dapat berfungsi dalam menghindarkan masyarakat dari jeratan utang para kelompok lintah darat, dan mengajarkan kepada masyarakat berekonomi lemah dalam mengelola keuangan secara sukarela dan berdasarkan pada prinsip kepercayaan, dan berkelompok dalam suatu organisasi untuk mewujudkan tujuan bersama. Hal ini sesuai dengan hasil survei DPE-LPPM 2003 terhadap partisipasi masyarakat lokal terhadap keberadaan usaha koperasi di desa mereka, yang menunjukkan bahwa hampir semua desa telah memiliki koperasi unit desa KUD dengan aset sekitar Rp. 200.000.000,- hingga Rp. 1.000.000.000. Masyarakat di sekitar industri migas telah berupaya mendirikan beberapa KUD, namun demikian tidak ada satupun dari koperasi-koperasi tersebut yang kegiatannya terkait langsung dengan usaha industri migas yang berada di wilayah desa tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil laporan BP Migas 2007, yang menunjukkan bahwa PT. Pertamina EP telah memberikan bantuan berupa kredit lunak bagi pengusaha kecil dan koperasi, yang merupakan bagian dari PKBL. Selain bantuan modal, perusahaan ikut membantu bidang pemasaran dengan mengikutsertakan para mitra binaan dalam kegiatan pameran baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta pelatihan manajerial atas kerja sama dengan beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Dana PKBL yang telah disalurkan untuk region jawa mencapai Rp. 14.540.690.000, yang diserap oleh 700 pengusaha kecil mitra binaan, yang berada di Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan, Indramayu, Subang, Karawang, Bekasi, Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta. Program CSR dari PT. Pertamina EP telah direalisasikan dengan baik, namun demikian program sosial ekonomi tersebut belum dapat menyentuh secara langsung kepada KUD yang akan berusaha memanfaatkan sumur-sumur migas tidak produktif di Kabupaten Indramayu dan Majalengka. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka langkah strategi yang perlu diambil oleh PT. Pertamina EP dan pemerintah daerah adalah memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam usaha memanfaatkan sumur-sumur migas tidak produktif sesuai dengan peraturan, regulasi dan ketentuan hukum yang berlaku. Akses tersebut dapat berbentuk pemberian modal awal investasi kepada beberapa KUD dalam satu wadah kerjasama yang lebih luas dan bekerja sama dengan BUMD di tingkat kecamatan, sehingga modal yang terkumpul akan jauh lebih besar jika dibandingkan apabila KUD tersebut berdiri sendiri. Langkah ini tentu saja akan lebih memudahkan KUD dalam melakukan investasi awal pada sumur-sumur migas tidak produktif. Dalam laporan BP Migas 2010, dapat diketahui bahwa usaha pemberdayaan KUD dan BUMD telah dilakukan oleh PT. Pertamina EP di Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Persetujuan kerjasama pemanfaatan sumur tua telah dibuat dengan 2 BUMD, yaitu PT. Sarana Patra Jaya dengan 38 sumur dan PT. Blora Patra Energi dengan 36 sumur, pada tanggal 3 November 2010, terletak di lapangan Kedinding, Lusi, Petak, Kluweh, dan Metes, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sebelumnya, pada tanggal 24 Maret 2009, PT. Pertamina EP telah menandatangani kerjasama serupa dengan KUD Wargo Tani Makmur untuk pengelolaan 24 sumur tua di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kerjasama dengan KUD dan BUMD telah dilakukan, namun demikian upaya pemberdayaan KUD dan BUMD di Propinsi Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Indramayu dan Majalengka belum dapat direalisasikan hingga saat ini. Kondisi tersebut di atas sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh DPE-LPPM 2003 yang menunjukkan bahwa 70 responden masyarakat lokal setuju bahwa sumur-sumur migas tidak produktif yang berada di wilayahnya dibuka untuk pemanfaatan. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 30 masyarakat lokal menjawab biasa-biasa saja, artinya dibuka atau tidak terserah pada PT. Pertamina EP yang memiliki sumur tersebut. Alasan persetujuan tersebut disebabkan kemungkinan terbukanya kesempatan kerja kepada mereka apabila dimanfaatkan 60, walaupun sisa responden berpendapat bahwa dampak negatif dari pemanfaatan sumur-sumur tidak produktif tersebut kemungkinan besar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Radyati 2008, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal berarti meningkatkan kemampuan masyarakat sekitar agar dapat mandiri secara ekonomi di daerah tersebut. Pemacu tersebut dapat menjadi multiplier effect yang akan melipatgandakan dampak berupa nilai tambah bagi masyarakat. Pembangunan ekonomi lokal dapat digolongkan dalam penyediaan modal manusia human capital, usaha business capital, dan pengetahuan knowledge capital. Bantuan terhadap human capital dapat berbentuk pemberian pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat. Bantuan business capital dapat berbentuk pemberian mesin dan peralatan. Bantuan terhadap knowledge capital dapat berbentuk pemberian pelatihan tentang teknik operasional yang benar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dwiyanto 2007, terhadap peranan penambangan minyak tradisional dalam pembangunan masyarakat desa di Desa Ledok, Kec. Sambong, Kab. Blora. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambangan minyak tradisional dapat berperan dalam mengembangkan budaya gotong-royong sehingga dapat mengatasi permasalahan penambangan yang high cost , high risk dan high technology, serta dapat menyerap tenaga kerja low skill sekitar 50-an orang. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi peningkatan pendapatan warga desa yang menjadi anggota penambang 1,6 kali lipat dan menciptakan sistem jaring pengaman sosial atau semacam santunan charity setiap bulannya terhadap anggota kelompok penambang yang tidak lagi bekerja di sektor tersebut. Kegiatan tersebut juga mampu meningkatkan human development index HDI penambang lebih tinggi 0,011 dari mayarakat pada umumnya, dan terjadi peningkatan kemampuan membiayai pendidikan keluarganya hingga tingkat SMA 77 dan perguruan tinggi 14. Perubahan fisik yang cukup signifikan terhadap permukiman anggota kelompok penambang. Hal ini disebabkan oleh aliran dana upah penambangan minyak tradisional yang masuk ke kelompok penambang di Desa Ledok sebesar Rp. 200.000.000,- setiap bulan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka langkah strategi yang perlu diambil oleh PT. Pertamina EP adalah memberikan bantuan modal, advokasi, konsultasi manajemen dan teknis operasional kepada masyarakat lokal melalui KUD. Hal ini bertujuan agar usaha pemanfaatan sumur-sumur migas yang tidak produktif dapat segera direalisasikan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan hasil survei DPE-LPPM 2003 yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat lokal 60 menghendaki agar KUD diberikan kewenangan dalam mengelola sumur-sumur migas tidak produktif yang ada di wilayah mereka. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 25 reseponden berpendapat bahwa PT. Pertamina lebih berhak karena memiliki kemampuan dalam dana, teknis dan manajerial operasi, sedangkan sisanya 15 berpendapat bahwa pemerintah daerah lebih berhak jika dibandingkan stakeholder lainnya. Berdasarkan hasil survei tersebut di atas, maka penting bagi stakeholder terkait untuk memberi kesempatan kepada masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumur-sumur EOR potensial. Keinginan masyarakat lokal tersebut di atas justru dapat menjadi modal sosial yang sangat penting dan bisa menjadi pemacu dalam meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Amri dan Sarosa 2008, yang menyatakan bahwa modal sosial terdiri dari hal-hal yang tidak terlihat secara kasar mata di dalam masyarakat, namun memiliki nilai yang penting dalam menentukan kemajuan masyarakat tersebut. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Putnam 2000, bahwa dengan modal sosial memungkinkan masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah bersamanya secara lebih mudah. Seringkali masyarakat akan lebih baik kalau mereka bekerja sama, masing-masing melaksanakan peran sebagaimana diharapkan. Berdasarkan hal itu, modal sosial memungkinkan masyarakat bergerak maju dengan lancar. Pada saat masing- masing individu dalam masyarakat dapat dipercaya dan bersikap saling mempercayai, maka biaya transaksi sosial dan ekonomi menjadi lebih mudah. Modal sosial juga penting dalam meningkatkan kualitas hidup. Orang-orang yang memiliki hubungan aktif dan saling mempercayai dapat mengembangkan karakter pribadi yang baik untuk anggota masyarakat lainnya, sehingga masyarakat lebih toleran, tidak sinis, dan berempati terhadap kesulitan yang dihadapi orang lain. Menurut Susanto 2009, bahwa dari sisi perusahaan terdapat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan CSR. Pertama, CSR dapat meningkatkan citra dan reputasi perusahaan dalam waktu yang panjang. Kedua, CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membawa perusahaan meminimalkan dampak buruk akibat kondisi krisis. Ketiga, keterlibatan dan kebanggaan karyawan yang akan menghasilkan loyalitas untuk kemajuan perusahaan dan berujung pada peningkatan kinerja dan produktivitas karyawan. Keempat, CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholder. Kelima, CSR dapat meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk-produk yang dihasilkan perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya. Keenam, CSR dapat mendorong perusahaan untuk lebih giat menjalankan tanggung jawab sosialnya disebabkan oleh insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. Menurut Nursahid 2008, upaya perusahaan untuk membangun sumber daya manusia SDM masyarakat di sekitar lokasi perusahaan sering menghadapi berbagai tantangan. Pertama, meningkatkan daya saing SDM masyarakat lokal di sekitar perusahaan. Solusinya adalah meningkatkan SDM masyarakat sekitar sejalan dengan operasi bisnis perusahaan untuk menekan jarak kesenjangan SDM. Kedua, banyaknya ekspektasi masyarakat yang dipicu oleh harapan yang berlebih kepada perusahaan, sementara perusahaan memiliki keterbatasan sumberdaya sehingga tidak dapat mengakomodir keinginan dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Solusinya adalah perusahaan dapat memberlakukan kebijakan sistem ring dan mekanisme kompetisi. Ketiga, keterlibatan stakeholder dan pemahaman terhadap prinsip-prinsip kemitraan. Solusinya adalah prinsip akuntabilitas, transparansi, pengukuran efektivitas program, dan pelaporan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka peluang masyarakat lokal dalam pengelolaan sumur-sumur migas yang tidak produktif melalui KUD dan BUMD sangatlah besar. Dukungan modal, finansial, advokasi kelembagaan, manajemen dan teknis operasional sangat dibutuhkan dari PT. Pertamina EP dan pemerintah daerah. Kendala utama yang dapat dihadapi dalam teknis operasional adalah karakteristik geologi dari sumur-sumur EOR potensial yang khas sesuai dengan kondisi formasi geologi di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, yaitu memiliki kedalaman sumur rata-rata lebih dari 1.000 meter dpl, sehingga dalam pemanfaatannya memerlukan biaya operasional yang lebih besar dan teknologi EOR yang lebih canggih. Berdasarkan hal itu, diperlukan kerjasama teknis operasional dari industri migas agar pemberdayaan KUD dan BUMD dalam pengelolaan sumur-sumur EOR potensial dapat terealisasi dengan baik. Menurut Leimona dan Fauzi 2008, masalah polusi udara dari hasil pembakaran yang tidak sempurna merupakan masalah lingkungan utama dari industri rekayasa. Industri tersebut memerlukan energi yang sangat tinggi dan boros bahan bakar. Kombinasi kedua aspek tersebut dapat meningkatkan peluang emisi karbon atau buangan gas beracun yang dapat menimbulkan ‘efek rumah kaca’ di atmosfer yang menyelimuti bumi kita. ‘Efek rumah kaca’ pada akhirnya akan meningkatkan temperatur di bumi dan dapat mengacaukan keteraturan iklim, yang kemudian dapat memperbesar peluang bencana alam, seperti banjir dan kekeringan akibat musim hujan dan musim kering yang panjang dan tidak teratur. Menurut Leimona dan Fauzi 2008, sejalan dengan berkembangnya inovasi solusi di bidang lingkungan, terbuka pula peluang bagi industri untuk berkiprah di bidang mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism CDM. Beberapa contoh industri telah melakukan efisiensi pengelolaan sampah sehingga dapat mengurangi gas metan dan memanfaatkan limbah pertanian, seperti sekam padi, cangkang sawit dan serbuk gergaji sebagai bahan bakar alternatif untuk mengurangi pemakaian batubara. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi emisi GRK sebesar 500 ribu ton CO 2 tahun selama 10 tahun ke depan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari upaya ini dari segi lingkungan, dapat mengurangi emisi CO 2 dan limbah pertanian yang belum dikelola, dan dari segi sosial dapat melibatkan dan memberi nilai tambah bagi masyarakat sekitar industri antara lain dengan memanfaatkan sampah industri dan pertanian sebagai bahan bakar alternatif dan pembuatan pupuk kompos. Berdasarkan contoh tersebut di atas, maka peluang pemanfaatan sumur- sumur migas tidak produktif dalam sistem CDM semakin besar jika berkaitan dengan upaya pengurangan emisi CO 2 dengan menggunakan teknologi CCS, khususnya dengan metode EOR-miscible CO 2 flooding . Hal tersebut telah menjadi perhatian utama dari badan dunia UNFCC dan telah disetujui bahwa teknologi CCS sudah layak berada di bawah CDM. Berdasarkan kondisi tersebut, maka peran dari PT. Pertamina EP dan pemerintah daerah adalah memberikan bantuan manajemen dan teknis operasional kepada KUD agar dapat menerapkan sistem CDM ke dalam upaya pemanfaatan sumur-sumur migas tidak produktif. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka industri migas dapat memperoleh manfaat yang positif dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya melalui program CSR, yaitu mendapatkan keuntungan perusahaan yang sebesar- besarnya, kelestarian lingkungan hidup yang terpelihara dengan baik dan jaminan kualitas kehidupan sosial masyarakat lokal dalam jangka waktu yang panjang.

5.5. Pembahasan Umum