Bagi Hasil Keuntungan dari Gas Alam

b. Bagi Hasil Keuntungan dari Gas Alam

Hasil estimasi bagi hasil keuntungan dari penjualan gas alam, menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten penghasil migas dapat memperoleh pemasukan US 213.902 Rp. 1.924.053.798. Khusus untuk pemerintah propinsi dapat memperoleh bagi hasil sebesar US 106.951 Rp. 962.026.899, pada tahun pertama proyek EOR berjalan, dengan nilai kurs rupiah terhadap US 1 adalah sebesar Rp. 8.995, seperti ditunjukkan pada Tabel 36 dan Gambar 43. Tabel 36 Estimasi bagi hasil keuntungan penjualan gas alam Government Indonesia Pajak PPN, PBB, Pendapatan Pemerintah Kabupaten Kabupaten Kabupaten Propinsi Take Take Pertamina PDRB yang dibagi Daerah Penghasil Kota lain Penghasil Penghasil Gas 60 x PT 40 X PT 2 x IT 30 x IT 30,5 x PYD 6 X PYD 12 X PYD 12 X PYD Rp Rp 2011 9.902,8977 5.941,7386 3.961,1591 118,8348 1.782,5216 543,6691 106,9513 213,9026 213,9026 1.924.053,798 962.026,899 2012 821,2806 492,7684 328,5122 9,8554 147,8305 45,0883 8,8698 17,7397 17,7397 159.568,250 79.784,125 2013 658,6902 395,2141 263,4761 7,9043 118,5642 36,1621 7,1139 14,2277 14,2277 127.978,240 63.989,120 2014 528,9740 317,3844 211,5896 6,3477 95,2153 29,0407 5,7129 11,4258 11,4258 102.775,422 51.387,711 2015 2.076,5475 1.245,9285 830,6190 24,9186 373,7785 114,0025 22,4267 44,8534 44,8534 403.456,562 201.728,281 2016 886,3268 531,7961 354,5307 10,6359 159,5388 48,6593 9,5723 19,1447 19,1447 172.206,204 86.103,102 2017 33,5223 20,1134 13,4089 0,4023 6,0340 1,8404 0,3620 0,7241 0,7241 6.513,106 3.256,553 2018 27,9554 16,7733 11,1822 0,3355 5,0320 1,5348 0,3019 0,6038 0,6038 5.431,516 2.715,758 2019 23,4212 14,0527 9,3685 0,2811 4,2158 1,2858 0,2529 0,5059 0,5059 4.550,559 2.275,279 2020 68,2793 40,9676 27,3117 0,8194 12,2903 3,7485 0,7374 1,4748 1,4748 13.266,127 6.633,064 2021 6,9159 4,1495 2,7663 0,0830 1,2449 0,3797 0,0747 0,1494 0,1494 1.343,697 671,848 2022 6,3073 3,7844 2,5229 0,0757 1,1353 0,3463 0,0681 0,1362 0,1362 1.225,466 612,733 2023 5,8056 3,4834 2,3222 0,0697 1,0450 0,3187 0,0627 0,1254 0,1254 1.127,980 563,990 2024 5,3192 3,1915 2,1277 0,0638 0,9575 0,2920 0,0574 0,1149 0,1149 1.033,478 516,739 2025 4,8736 2,9241 1,9494 0,0585 0,8772 0,2676 0,0526 0,1053 0,1053 946,894 473,447 2026 4,4786 2,6872 1,7915 0,0537 0,8062 0,2459 0,0484 0,0967 0,0967 870,164 435,082 2027 4,0912 2,4547 1,6365 0,0491 0,7364 0,2246 0,0442 0,0884 0,0884 794,879 397,440 2028 3,7484 2,2490 1,4994 0,0450 0,6747 0,2058 0,0405 0,0810 0,0810 728,285 364,142 2029 3,4344 2,0606 1,3737 0,0412 0,6182 0,1885 0,0371 0,0742 0,0742 667,269 333,635 2030 3,1466 1,8880 1,2587 0,0378 0,5664 0,1728 0,0340 0,0680 0,0680 611,366 305,683 15.076,0158 9.045,6095 6.030,4063 180,9122 2.713,6828 827,6733 162,8210 325,6419 325,6419 2.929.149,261 1.464.574,631 Tahun Propinsi Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam UU. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Aturan tersebut menjelaskan bahwa pendapatan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah penerimaan negara bukan pajak Indonesia take. Khusus untuk gas alam, maka 30 dari Indonesia take selanjutnya dialokasikan sebagai pendapatan yang dapat dibagi, dengan 30,5 dari pendapatan itu disalurkan ke pemerintah daerah, yaitu 6 dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 12 dibagikan untuk kabupaten atau kota penghasil, dan 12 dibagikan untuk kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi bersangkutan. Perhitungan bagi hasil gas alam dapat dilihat pada Lampiran C4. Gambar 43 Keuntungan bagi hasil penjualan gas alam. Ketentuan mengenai bagi hasil tersebut sesuai dengan pendapat Arifin 2006, yang menyatakan bahwa setelah UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka komponen terbesar anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD bagi daerah penghasil migas adalah dana bagi hasil. Dana bagi hasil pembagiannya berdasarkan jumlah produksi dikalikan harga pada saat migas dinaikkan ke kapal, sedangkan APBN harga satuannya berdasarkan harga asumsi. Sistem fiskal berpengaruh tidak langsung terhadap APBD melalui APBN negatif non- signifikan, bahkan dengan adanya undang-undang otonomi daerah, sebagian dari hasil sumber daya alam migas, khususnya diberikan kepada daerah penghasil migas. Hal ini berarti peran migas juga akan semakin besar bagi pertumbuhan perekonomian daerah selaku wilayah penghasil sumberdaya alam migas. Berdasarkan hasil perhitungan bagi hasil tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pemerintah daerah penghasil migas dapat memperoleh pemasukan yang cukup besar dari bagi hasil keuntungan penjualan migas. Hal ini menunjukkan bahwa bagi hasil tersebut berperan penting dan berpengaruh cukup besar terhadap APBD kabupaten atau kota penghasil migas.

5.3.9. Strategi Pengelolaan Migas Hasil EOR

Strategi pengelolaan migas hasil EOR yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah penghasil migas, adalah sebagai berikut: 1. Melakukan pemetaan sumur-sumur EOR berdasarkan potensi migas yang paling potensial, yang memungkinkan dalam pengelolaan lebih lanjut. 2. Pemilihan kandidat lapangan EOR potensial dapat dilakukan berdasarkan karakteristik cadangan, potensi produksi, jaringan pemasaran dan analisis kelayakan ekonomi dari lapangan tersebut. 3. Pengelolaan sumur-sumur EOR harus dilakukan per lapangan. Hal ini disebabkan pengelolaan per sumur sangat tidak ekonomis, karena memerlukan modal awal, biaya operasional, kemampuan pemeliharaan dan teknis operasional yang tinggi. 4. Pemerintah daerah dapat berkerja sama dengan PT. Pertamina dalam mengoperasikan sumur-sumur EOR potensial. PT. Pertamina merupakan pemegang kuasa wilayah pertambangan, sedangkan pemerintah daerah lewat badan usaha milik daerah BUMD atau koperasi unit desa KUD sebagai pihak operasional dalam memperoleh migas hasil EOR. 5. Dalam kontrak kerjasama, BUMD atau KUD berhak memperoleh bantuan operasional peralatan produksi dan pemasukan dari hasil kerja, namun semua modal awal investasi harus ditanggung oleh BUMD atau KUD. Kontrak kerjasama mengharuskan semua biaya operasional dapat dikembalikan PT. Pertamina. PT. Pertamina dapat berperan sebagai pengawas, memberi bimbingan teknis operasional dan cara pengelolaan migas hasil EOR. Strategi tersebut di atas berdasarkan hasil identifikasi terhadap potensi pemanfaatan dan pengolahan migas hasil EOR pada lapangan dan sumur EOR potensial. Kab. Indramayu dan Majalengka memiliki beberapa lapangan dan sumur migas tidak produktif yang berpotensi sebagai lapangan dan sumur EOR, dan dapat dikelola oleh pemerintah daerah melalui BUMD maupun KUD. Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah penghasil migas dapat ikut serta berperan dalam mengelola sumur-sumur migas tidak produktif atau lapangan migas melalui BUMD atau KUD. Hal ini diperjelas dengan hasil analisis Eni et al. 2009, yang menyatakan bahwa meningkatnya kebutuhan terhadap energi, melambungnya harga minyak mentah yang mencapai US100 per barrel, dan banyaknya lapangan minyak tua di Indonesia, menjadi alasan utama mengapa peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut EOR sangat perlu untuk dilakukan. Berdasarkan peraturan dari pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM No. 1 tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua, dan kebijakan pemerintah dalam Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Nasional 2005 - 2020 tentang paket insentif untuk pengembangan lapangan marjinal dan lapangan minyak tua brownfield, maka dapat menjadi pendorong aplikasi EOR di Indonesia. Hal tersebut di atas diperkuat oleh hasil identifikasi terhadap strategi pemerintah dalam pengembangan industri migas nasional bagian hulu, seperti yang tercantum dalam kebijakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, tentang Pedoman dan Pola tetap Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Nasional 2005 - 2020. Salah satu strategi adalah memberikan insentif bagi pengembangan lapangan marjinal, yaitu lapangan yang tidak atau kurang ekonomis, dan lapangan brownfield, dengan instrumen kebijakan pemberian paket insentif tahun 1988, 1989, 1992 dan 1994. Hal ini bertujuan untuk mendorong pengembangan lapangan kurang ekonomis atau marjinal, kegiatan eksplorasi di daerah frontier dan laut dalam serta pengembangan kawasan timur Indonesia. Khusus untuk strategi pengembangan industri migas nasional bagian hilir, salah satunya adalah mendorong peran swasta dalam kegiatan usaha hilir migas yang mengikut sertakan peran koperasi dan UKM, dengan instrumen kebijakan pemberian regulasi penetapan bagi hasil dari migas dalam rangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Hal ini lebih diperkuat oleh hasil identifikasi terhadap strategi pemerintah dalam pengelolaan sumur tua, yang tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua. Salah satu bagian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumur tua adalah sumur-sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970, dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja, yang terikat kontrak kerja sama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor. Pengertian dari KUD, adalah koperasi tingkat kecamatan yang wilayah usahanya mencakup lokasi sumur tua. Pengertian dari BUMD adalah badan usaha tingkat propinsi atau kabupaten atau kota, yang didirikan dan seluruh sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah propinsi, kabupaten, danatau kota serta wilayah usahanya atau administratifnya mencakup lokasi sumur tua. Berdasarkan strategi pengelolaan terhadap sumur tua tersebut di atas, maka kontraktor mempunyai kewajiban untuk mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua, yang masih memiliki kandungan minyak bumi berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Dalam hal kontraktor tidak mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua, maka KUD atau BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi setelah mendapat persetujuan menteri, dan pengusahaan dan pemroduksian minyak bumi dapat dilaksanakan KUD atau BUMD, berdasarkan perjanjian memproduksi minyak bumi dengan kontraktor. KUD dan BUMD dapat bekerja sama memproduksi minyak bumi, dengan mengajukan permohonan kepada kontraktor dengan tembusan kepada menteri, setelah disetujui oleh direktur jenderal dan badan pelaksana migas dengan melampirkan dokumen administratif dan teknis. Pengajuan permohonan didasarkan atas hasil rekomendasi dari pemerintah kabupaten atau kota dan telah disetujui oleh pemerintah propinsi. Khusus yang dimaksud dengan PT. Pertamina Persero adalah perusahaan perseroan Persero yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003, tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara PERTAMINA menjadi Perusahaan Perseroan Persero. Hal ini lebih diperjelas lagi dalam UU migas No. 22 Tahun 2001, bahwa Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan pengusahaan kontraktor eksplorasi dan eksploitasi termasuk kontraktor kontrak bagi hasil sampai terbentuknya badan pelaksana. Pada saat terbentuknya persero sebagai pengganti Pertamina, BUMN tersebut wajib mengadakan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana, untuk melanjutkan eksplorasi dan eksploitasi pada bekas wilayah kuasa pertambangan Pertamina, dan dianggap telah mendapatkan izin usaha yang diperlukan untuk usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Pengertian tentang kontraktor adalah badan usaha BU atau bentuk usaha tetap BUT, yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja, berdasarkan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana. Badan pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang migas. Hasil identifikasi tersebut di atas diperjelas lagi oleh hasil identifikasi DPE-LPPM 2003, yang menunjukkan bahwa dalam pengelolaan lapangan- lapangan tidak produktif dapat dilakukan dengan kemungkinan sebagai berikut : 1. Lapangan yang ada belum masuk ke dalam salah satu area kerja kontraktor, maka lapangan tersebut dapat ditawarkan melalui tender terbuka oleh Menteri ESDM kepada kontraktor yang berminat dengan production sharing contract. 2. Lapangan yang ada masuk ke dalam salah satu area kontraktor migas termasuk PT. Pertamina, maka kemungkinan sistem pengelolaan, yaitu: a Kontraktor dapat menawarkan pengelolaan lapangan tersebut pada kontraktor lain termasuk BUMD, KUD maupun pengusaha kecil dengan sistem bagi hasil, sebagaimana seperti yang dilakukan oleh Pertamina lama. b Kontraktor dapat menawarkan pengelolaan lapangan tersebut pada kontraktor lain dengan sistem beli minyak yang dihasilkan, sebagaimana yang dikembangkan di lapangan-lapangan non teknis di Cepu. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pengelolaan lapangan dan sumur tidak ekonomis atau tidak produktif, yang memenuhi syarat kriteria sebagai lapangan dan sumur EOR, dapat dilakukan oleh pemerintah daerah penghasil migas melalui BUMD, KUD maupun pengusaha kecil. Pengelolaan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan PT. Pertamina sebagai pemilik kuasa pertambangan berdasarkan ijin dari Badan Pelaksana BP Migas, dan rekomendasi dari pemerintah daerah.. Hasil identifikasi terhadap strategi pengelolaan migas hasil EOR tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam pengelolaan lapangan dan sumur EOR potensial memerlukan beberapa tahapan yang saling terkait. Pertama, melakukan identifikasi awal terhadap karakteristik geologi, batuan dan fluida reservoir. Kedua, melakukan analisis kelayakan teknologi pengolahan migas hasil EOR dan kelayakan ekonomi melalui perhitungan cash flow investasi proyek EOR. Ketiga, menganalisis pengaruh sosial dan ekonomi terhadap daerah penghasil migas dari hasil pemanfaatan dan pengolahan migas hasil EOR. Hal ini sesuai dengan pendapat Aprilian 2001, yang menyatakan bahwa pentingnya penanganan reservoir sejak dini khususnya pada reservoir karbonat yang memang memiliki karakteristik yang unik, jika dibandingkan dengan batuan reservoir lainnya. Perbedaan cara penanganan terletak pada rencana pengembangannya plan of development, terutama bagaimana mengoptimalkan perolehan minyak atau gas dari sistem karbonat yang sangat heterogen. Menurut Marhaendrajana et al. 2005, bahwa pengelolaan reservoir perlu dilakukan secara terencana sejak pertama kali dapat diproduksikan, dan usaha- usaha diarahkan untuk mendapatkan recovery minyak yang maksimal dari suatu reservoir , yang pada akhirnya menghasilkan profit yang juga maksimal. Hal ini dimungkinkan dengan melakukan penerapan perencanaan optimasi produksi yang melibatkan integrasi analisis geologi, reservoir dan produksi. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis Sumantri 2006, bahwa reservoir management adalah suatu urutan kegiatan atau proses yang dilakukan terus menerus sepanjang masa pengusahaan suatu reservoir migas, berulang setiap 3 hingga 5 tahun. Cakupan kegiatan meliputi: pertama, karakterisasi reservoir melalui pekerjaan akuisisi data, studi geofisika, geologi, petrofisika dan reservoir. Perencanaan pemboran, komplesi dan produksi. Kedua, penentuan jumlah sumur dan spasinya guna memproduksi menguras cadangan migas yang terakumulasi secara maksimal. Ketiga, peramalan produksi migas yang akan datang termasuk produksi hasil usaha secondary recovery dan EOR, serta melalui studi pengembangan reservoir simulasi reservoir . Keempat, perancangan, pembangunan dan pengoperasian fasilitas permukaan tanah guna penanganan produksi migas hasil peramalan tersebut di atas. Kelima, evaluasi keekonomian dengan memperhitungkan dampak hukum, peraturan, dan lingkungan untuk pengoperasian produksi yang optimal. Keenam, pemantauan atas kelancaran operasi produksi, termasuk melakukan penyesuaian dan kontrol biaya apabila ada penyimpangan dari perencanaannya. Ketujuh, penanganan atas seluruh kondisi tersebut di atas secara efisien dan efektif setiap saat sepanjang masa pengusahaan lapangan, melalui kerja sama terpadu dari seluruh fungsi terkait. Menurut Sumantri 2006, bahwa pada umumnya lapangan migas tua biasanya tidak punya data yang lengkap, dan hal ini dapat menyulitkan pada waktu akan melakukan pengelolaan reservoir secara profesional. Membuat rencana pengurasan cadangan dan menentukan skenario pengembangannya ke depan dapat menjadi sia-sia. Pengelola hanya bisa melakukan dengan cara coba- coba, misalnya pengeboran reservoir infill, membuka kembali sumur lama reopening, dan mencoba kerja ulang pindah lapisan, tetapi tidak mungkin membuat perencanaan yang menyeluruh. Hal itu tentu saja bisa mengundang kegagalan total, meskipun ada juga yang kebetulan berhasil, sehingga kebanyakan para investor masih tetap tertarik untuk mengelola lapangan migas tua yang sudah tidak berproduksi lagi, bahkan sudah dalam status abandoned. Hal ini sesuai dengan pendapat Kristanto 2007, yang menyatakan bahwa proses pengelolaan suatu reservoir dimulai dari proses eksplorasi untuk penemuan reservoir , kemudian diikuti oleh deliniasi reservoir, pengembangan lapangan, tahap produksi primer, sekunder, dan tersier, sampai reservoir tidak dapat berproduksi lagi dan akhirnya sumur ditutup. Proses-proses reservoir disatukan dalam manajemen reservoir, yang menjadi kunci kesuksesan dalam menjalankan seluruh operasi yang berhubungan dalam proses pengelolaan reservoir. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pengelolaan reservoir dapat dilakukan sejak awal dimulainya proses eksplorasi dan eksploitasi, hingga dalam bentuk pengelolaan reservoir pada tahap lanjut dengan metode EOR. Usaha-usaha tersebut diarahkan untuk mendapatkan recovery minyak bumi dan gas alam yang optimal dari suatu reservoir, yang pada akhirnya dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal.

5.4. Strategi dalam Corporate Social Responsibility CSR