Psikologi Perkembangan Anak Anak usia 9-10 tahun .1 Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar SD

Sebagai contoh, seorang anak diberi dua bola lilin yang panjang dan tipis, sedangkan yang lain tetap pada bentuk yang asli. Kemudian anak diberi pertanyaan apakah lebih banyak lilin di dalam bola atau di dalam potongan lilin yang panjang dan tipis itu? Pada saat anak usia 7 atau 8 tahun, sebagian besar menjawab kedua bentuk lilin tersebut sama. Agar anak dapat menjawab pertanyaan itu dengan benar, maka anak-anak harus membayangkan bahwa bola lilin digulung kembali ke bentuk aslinya yang bundar. Dalam imajinasi ini anak melibatkan tindakan mental dua arah yang disatukan dalam objek yang konkret dan nyata. Operasi-operasi konkret memungkinkan anak memikirkan beberapa karakteristik dan bukan berfokus pada bagian tunggal suatu objek. Salah satu keterampilan yang penting dalam tahap ini adalah kemampuan menggolongkan atau membagi benda-benda ke dalam tempat yang berbeda, dan memperhitungkan kaitannya. Anak-anak pada tahap operasi-konkret juga mampu melakukan seriation mengurutkan secara adil, yaitu kemampuan mengurutkan simulasi menurut satu dimensi kuantitatif misalnya: panjang. Agar guru dapat melihat apakah siswa sudah dapat mengurutkan secara seri, guru dapat menempatkan delapan tongkat dengan panjang yang berbeda-beda secara acak. Kemudian guru meminta siswa untuk mengurutkan kedelapan tongkat-tongkat tersebut berdasarkan panjangnya. Banyak anak akan menyelesaikan tugas ini dengan menggolongkan mana yang “panjang” dan mana yang “pendek”. Mereka tidak mengurutkan tongkat-tongkat tersebut secara benar. Tetapi anak dalam tahap operasi konkret mampu memahami bahwa masing-masing tongkat harus lebih panjang dari tongkat yang sebelumnya, dan lebih pendek dari tongkat sesudahnya. Dalam buku lain, Piaget juga mengemukakan bahwa ada 10 pemikiran lain mengenai ciri-ciri operasi konkret, yaitu 1 adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh; 2 melihat dari berbagai macam segi; 3 seriasi; 4 klasifikasi; 5 bilangan; 6 ruang, waktu, dan kecepatan; 7 kausalitas; 8 probabilitas; 9 penalaran; 10 egosentrisme dan sosialisme, berikut adalah penjelasannya. 1. Adaptasi dengan Gambaran yang Menyeluruh Pada tahap ini anak sudah dapat mengemukakan mengenai ingatan, pengalaman, dan objek yang telah dialaminya secara menyeluruh. Sebagai contoh, anak mulai dapat menggambarkan situasi di sekolahnya, perjalanan dari sekolah ke rumahnya, dan lain-lain Piaget Inhelder, 1969. Adaptasi anak dengan lingkungan melalui gambaran lingkungan itu. Terlihat jelas bahwa pada tahap ini adaptasi seorang anak sudah lebih berkembang. 2. Melihat dari Berbagai Macam Segi Anak pada tahap ini sudah dapat melihat suatu objek atau permasalahan secara sedikit menyeluruh dengan melihat situasinya. Anak tidak hanya memusatkan pada fokus tertentu tetapi dapat sekaligus mengamati hal-hal lain dalam waktu bersamaan. Anak mulai dapat melihat permasalahan dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini disebut dengan decentering Sebagai contoh, dalam menggambarkan suatu benda, anak sudah menggabungkan beberapa unsur benda. Selain itu, decentering juga dilakukan teradap hubungan dengan orang lain dan hubungan sosial Piaget Inhelder, 1969. Misalnya anak mulai mengenal dan berhubungan dengan beberapa teman secara bersama-sama dan memperhatikan hal-hal yang dibicarakan oleh teman-temannya. 3. Seriasi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Seriasi adalah suatu proses untuk mengatur semakin besar atau semakin kecil suatu unsur-unsur. Urutan dapat dibuat dari kecil ke besar atau dari besar ke kecil. Seriasi bisa berupa ukuran, berat, volume, dan lain-lain. 4. Klasifikasi Menurut Piaget apabila anak berusia 3 tahun dan 12 tahun diberi berbagai macam objek dan diminta menggolongkannya, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Misalnya anak diberi berbagai macam benda geometris bulat, segitiga, bujursangkar dengan berbagai macam warna. Anak diminta menggolongkan benda-benda tersebut. Di dalam penelitiannya, Piaget menemukan adanya tiga level perkembangan. Level 1. Anak berusia 4 dan 5 tahun biasanya menggabungkan benda- benda berdasarkan kesamaannya. Tetapi, ukuran kesamaannya ialah kesamaan dua objek pada waktu yang sama. Jadi, anak mengumpulkan lingkaran putih dan lingkaran merah karena sama-sama lingkaran. Kemudian anak menambahkan segitiga putih pada lingkaran putih, karena sama-sama putih. Hasilnya, penggolongan menjadi bercampur. Anak hanya membandingkan dua-dua dan belum melihat secara keseluruhan. Level 2. Anak berusia 7 tahun menggabungkan benda-benda yang memiliki kesamaan dalam satu dimensi. Sebagi contoh, semua lingkaran disatukan dan semua segitiga disatukan karena digolongkan berdasarkan bentuk. Apabila anak menggolongkannya menurut arna, maka akan terjadi semua warna biru disatukan dengan biru dan semua warna hijau disatukan dengan warna hijau. Level 3. Anak berusia 8 tahun dapat menggolongkan benda-benda dengan baik. Anak dapat menentukan hubungan antara kelas dan subkelas Wadsworth, 1989. Hal yang menarik dalam klasifikasi objek adalah anak usia 7-11 tahun sudah dapat menggolongkan benda atau objek dengan cara memperhitungkan tingkatannya. Anak-anak sudah mampu berpikir secara bersamaan, baik pada keseluruhan maupun pada bagian-bagian, meskipun masih berdasarkan pengelihatan yang konkret. 5. Bilangan Pada tahap ini Piaget tidak membahas mengenai 2+2 = 4. Tetapi ia tertarik pada korespondensi datu-satu dan kekekalan. Korespondensi satu-satu yaitu pemasangan satu per satu antara unsur-unsur dalam suatu himpunan benda A dengan unsur-unsur dalam suatu himpunan lain B. setiap unsur pada benda A berpasangan dengan unsur pada benda B satu-satu lihat Gambar 2.1. A B Gambar 2.1 Korespondensi satu-satu Dalam percobaan, Piaget memberikan kepada anak beberapa benda dengan bentuk yang beragam lihat Gambar 2.2. A B Benda dengan berbagai bentuk Gambar 2.2 Percobaan Korespondensi Satu-satu Pada kotak A diisi dengan lima jenis benda yang berbeda. Kemudian anak diminta memilih benda-benda lain dan dimasukkan ke dalam kotak B dengan jumlah yang sama dengan benda di dalam kotak A. beberapa anak mulai memasangkan benda yang ada di dalam kotak B dengan benda yang ada di dalam kotak A. apabila ada benda yang tidak memiliki pasangan, maka salah satu dari kotak tersebut memiliki isi benda yang lebih banyak daipada yang lain. Meskipun bentuk bendanya berbeda, ada sesuatu yang tetap konstan, yaitu jumlah bendanya. Contoh lain dari sifat kekekalan yaitu anak diminta mengambil 10 keping uang logam. Setelah itu, anak diminta mengurutkannya dan kemudian menghitungnya. Lalu anak diminta menyusun dengan berbagai macam susunan dan anak diminta menghitungnya kembali. Setelah dihitung ternyata jumlahnya tetap sama. Ini merupakan sifat kekekalan yang menjadi pengetian bilangan. Sifat kekekalan menghilangkan semua perbedaan yang ada pada setiap objek. 6. Ruang, Waktu, dan Kecepatan Pada saat berusia 7 atau 8 tahun, anak sudah mengerti mengenai urutan ruang dengan melihat melalui jarak suatu benda atau kejadian. Pada usia 8 tahun, anak sudah bisa mengerti hubungan urutan waktu yaitu sesudah dan sebelum, serta panjang dan pendek. Saat usia 10 atau 11 tahun, anak mulai menyadari konsep waktu dan kecepatan. Pada tahap operasi konkret, anak akan memperhatikan laju sebuah benda dan hubungan antara waktu dengan jarak. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7. Kausalitas Pada tahap kausalitas, anak sudah lebih mendalam melihat sebab dari suatu kejadian. Anak mulai bertanya-tanya mengenai mengapa hal itu terjadi. Selain itu juga ia mulai melihat dan mengamati sesuatu yang terjadi di sekitarnya. 8. Probabilitas Pada tahap ini anak mulai bisa mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi pada dirinya apabila ada sesuatu hal yang ia lakukan, meskipun mereka tidak bisa mengetahui secara jelas apa akibat dari sesuatu yang ia lakukan. Probabilitas pada tahap ini sebagai perbandingan antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mungkin akan terjadi. 9. Penalaran Ada beberapa macam bentuk penalaran, yaitu sinkretis, jukstaposisi, ordinal, dan relasi bagian-keseluruhan part-whole relation. Hingga usia 8 atau 9 tahun, penalaran anak masih sinkretis, yakni kecenderungan menghubungkan suatu rangkaian gagasan-gagasan yang terpisah dalam suatu keseluruhan yang membingungkan. Sebagai contoh, anak membuat dua pernyataan “Bila kucing pergi, tikus mulai berma in”. Dua kalimat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya, tetapi anak merasa bahwa keduanya memiliki arti yang sama. Saat anak berusia 6-10 tahun penalaran anak masuk pada jukstaposisi, yaitu secara asal meletakkan satu kalimat dengan kalimat yang lain, tanpa ada sebab akibatnya. Contohnya adalah “Saya harus mandi” karena “Sesudah itu saya bersih ”. Atau “Orang jatuh dari sepeda” karena “Ia terluka kakinya”. Pada kesehariannya, anak pada tahap ini juga jarang memberikan alasan saat berbicara. Hal ini juga terjadi pada saat anak menggambar. Ketika anak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menggambar sepeda ia hanya menggambarkan bagian dari sepeda, tetapi tidak menghubungkannya. Hal ini terlihat bahwa anak belum berpikir secara kesseluruhan. 10. Egosentrisme dan Sosialisme Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentrisme dalam pemikirannya. Anak sadar bahwa orang lain memiliki pemikiran yang berbeda. Hal ini terjadi ketika anak mulai bertemu dengan teman-temannya dan mulai berbicara satu sama lain dengan bahasa yang komunikatif. Tahap operasi konkret dicirikan dengan pemikiran anak yang sudah mulai menggunakan logika tertentu. Anak juga sudah berpikir lebih menyeluruh dengan memikirkan dua hal atau lebih dalam waktu yang bersamaan decentering. Konsep bilangan, waktu, dan ruang sudah semakin terbentuk dengan lengkap. Ini membuat pemikiran anak sudah tidak tidka egosentris lagi. Meskipun demikian, pemikiran yang logis dengan segala unsurnya seperti yang dijelaskan di atas, masih terbatas penerapannya terhadap hal-hal konkret. Anak dalam tahap ini masih sulit dalam memecahkan persoalan yang mempunyai segi dan variabel yang terlalu banyak.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Darmoko 2002 meneliti tentang “Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan Sosiokultural Masyarakat Jaw a”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masyarakat Jawa yang hingga kini masih mempertahankan, melestarikan, meyakini, dan mengembangkan adat-istiadat. Hal ini benar-benar dapat memberikan pengaruh terhadap sikap, pandangan, dan pola pemikiran bagi masyarakat yang menganutnya. Adat-istiadat Jawa telah tumbuh dan berkembang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lama, baik di lingkungan kraton maupun di luar kraton. Adat istiadat Jawa tersebut memuat sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan kehidupan masyarakat, yang kini masih dipatuhi oleh orang Jawa yang masih ingin melestarikannya sebagai warisan kebudayaan yang dianggap luhur dan agung. Dalam melestarikan adat-istiadat, masyarakat Jawa melaksanakan tata upacara tradisi sebagai wujud perencanaan, tindakan, dan perbuatan dari tata nilai yang telah teratur rapi. Sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan diwujudkan dalam upacara tradisi yang bertujuan agar tata kehidupan masyarakat Jawa selalu ingin lebih berhati-hati, agar dalam setiap tutur kata, sikap dan tingkah-lakunya mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan baik jasmaniah maupun rokhaniah. Tata upacara tradisi yang masih dipatuhi serta tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Jawa pada prinsipnya merupakan siklus dan selalu mengikuti dalam kehidupan mereka, sejak seseorang belum lahir, lahir, dan meninggal. Upacara tradisi Jawa yang diperuntukkan bagi manusia sejak dalam alam kandungan hingga meninggal itu sering disebut upacara selamatan. Upacara selamatan diperuntukkan bagi manusia yang belum lahir, seperti: kehamilan bulan ke tiga neloni, kehamilan bulan ke empat ngapati, dan kehamilan bulan ke tujuh mitoni tingkeban. Setelah manusia dilahirkan di dunia, maka bentuk upacara yang diperuntukkan baginya, antara lain: kelahiran bayi brokohan, lima hari sepasaran, puput pusar, tiga puluh lima hari selapanan, sunatan, tedak siten, perkawinan, dan ruwatan. Sedangkan upacara selamatan bagi manusia yang telah meninggal, yaitu: saat meninggal dunia geblak, hari ke tiga, hari ketujuh, hari ke empat puluh, hari ke seratus nyatus, satu tahun pendhak pisan, dua tahun pendhak pindho, dan tiga tahun pendhak katelu nyewu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adat-istiadat itu mengandung tata nilai, aturan, norma, maupun kebiasaan yang mengikat masyarakat penganutnya sekaligus merupakan cita-cita yang diharapkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Upacara ruwatan sebagai salah satu adat-istiadat Jawa merupakan tradisi yang kini masih dipercayai sebagai sarana melepaskan, menghalau, atau membebaskan seseorang dari ancaman mara bahaya yang disebabkan oleh suatu peristiwa. Murwakala berusaha untuk menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib, dalam hal ini melepaskan sukerta aib yang melingkupi seseorang. Arif 2013 meneliti tenta ng “Makna Simbolik Ruwatan Cukur Rambut Gembel di Desa Dieng Kejajar Wonosobo ”. Penelitian ini dilatarbelakangi karena anak berambut gembel memiiki karakter dan perilaku yang berbeda dari kebiasaan anak seusianya. Kalau tidak energik, nakal, berjiwa heroik, suka mengatur, akan muncul perilaku yang diam, pemalu, susah bergaul dengan dunia luar. Ruwatan cukur rambut gembel adalah adalah kegiatan ritual, sedangkan ritual sendiri berkaitan dengan identitas kepercayaan masyarakat. Didalamnya terkandung makna utama yaitu kemampuan masyarakat dalam memahami konteks lokal dan kemudian diwujudkan dengan dialog terhadap kondisi yang ada. Masyarakat cenderung memandang adanya sebuah kekuatan gaib yang menguasai alam semesta dan untuk itu harus dilakukan dialog. Senada dengan kondisi kejiwaan anak berambut gembel yang diyakini masyarakat lebih pada kekuatan mitos dimana gejala kejiwaan yang muncul sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik rambut yang tumbuh gembel. Lebih jauh berpangkal pada mitos menceritakan bahwa rambut gembel itu merupakan