Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter

Adapun tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa menurut Kementerian Pendidikan Nasional 2010, sebagai berikut: a. Mengembangkan kemampuan nurani peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sesuai dengan nilai-nilai secara umum dan tradisi budaya bangsa yang religius. c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. d. Mengembangkan kemampuan peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas, dan persahabatan serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan dignity. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bertoleran, mermoral, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdasarkan Pancasila dan iman kepada Tuhan yang Maha Esa.

2.1.6 Karakter yang Diharapkan

Menurut Pemerintah Republik Indonesia 2010: 22, untuk mencapai karakter bangsa yang diharapkan, diperlukan individu-individu yang memiliki karakter. Oleh karena itu, dalam usaha pembangunan karakter bangsa diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk membangun karakter individu warga negara. Secara psikologis karakter individu diartikan sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yaitu olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa. Olah hati berkaitan dengan perasaan sikap dan keyakinankeimanan. Olah pikir berkaitan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif. Olah raga berkaitan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan karsa berkaitan dengan kemauan dan kreativitas yang terwujud dalam sebuah kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan. Karakter individu yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing- masing bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 22. a. Karakter yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik; b. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif; c. Karakter yang bersumber dari olah ragakinestetika antara lain bersih dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih; d. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit mendunia, mengutamakan kepentingan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI umum, cinta tanah air patriotis, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. 2.1.7 Buku Cerita Anak 2.1.7.1 Arti Cerita anak Menurut Kurniawan 2013: 17-18 cerita anak bukanlah suatu cerita yang hanya dan harus ditulis oleh anak-anak. Yang membaca cerita anak juga tidak harus anak-anak, siapapun bisa membaca cerita anak. Cerita anak adalah cerita yang dalam penulisannya menggunakan sudut pandang anak. Selain itu, Kurniawan juga menganggap bahwa cerita anak merupakan hasil karya yang menceritakan kehidupan sesuai dengan dunia anak-anak. Ashadi dalam Sudiati dan Widyamartaya 1995: 3-4 berpendapat bahwa cerita anak adalah suatu gambaran yang menggunakan kata-kata dari suatu peristiwa yang oleh manusia atau makhluk hidup lain yang seolah-olah hidup sebagai manusia. Peristiwa tersebut terjadi ketika seorang yang satu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Interaksi yang dilakukan itu dapat berupa pikiran, perbuatan, dan perasaan seseorang. Agar dapat berekspresi dalam bentuk cerita itu, Ashadi mengatakan, “Dunia subjek harus hidup. Dunia subjek yang hidup adalah dunia subjek yang kaya lewat pengalaman batin, yaitu banyaknya pengetahuan dan keharuannya. Dunia subjek yang dinamis ditandai oleh dapatnya pengetahuan dan keharuan itu digunakan dalam suatu rangka yang dibangun oleh pengarang. ” HP 2006: 2 mengatakan bahwa cerita anak adalah cerita yang dibuat untuk anak-anak, dan bukan cerita mengenai anak-anak.