Manfaat Hasil Penelitian Tinjauan Pustaka

8

1.6 Landasan Teori

Semiotika dicetuskan oleh dua orang tokoh yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Ferdinand de Saussure adalah salah satu tokoh linguistik yang berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Menurut Saussure bahasa terdiri dari dua unsur, yaitu penanda atau ‘yang menandai’ dan petanda atau ‘yang ditandai’. Sifat kedua hal itu adalah arbitrer, yaitu penanda tidak memiliki ikatan alamiah apa pun dengan petanda Baryadi, 2007: 48. Sifat arbitrer tanda merupakan inti bahasa manusia. Dengan ini dimaksudkannya bahwa disini tidak ada relasi pasti antara penanda dan petanda : relasinya ditentukan berdasar konvensi, aturan atau kesepakatan di antara para penggunanya. Dengan kata lain, tanda yang disebutnya arbitrer itu terkait secara pasti dengan apa yang disebut Peirce sebagai simbol. Fiske 1990: 76 Tidak ada relasi sama sekali antara pembuat mural dan penonton mural. Relasi mereka dimulai ketika penonton mural melihat mural yang dibuat oleh pembuatnya. Bisa jadi makna yang ingin disampaikan oleh pembuat mural tidak dapat diterima oleh penonton mural. Kegagalan penyampaian pesan tersebut dikarenakan konvensi, aturan atau kesepakatan yang berbeda yang diterapkan oleh pembuat dan pembuat mural. Salah satu penyebab tidak tersampainya pesan yang terdapat pada mural adalah acuan yang berbeda yang dimiliki oleh pembuat dan penonton mural. Charles Sanders Peirce dikenal karena uraiannya yang relatif rinci tentang klasifikasi tanda. Bagi Pierce sebuah tanda adalah representamen makna tanda sesungguhnya adalah apa yang diacunya. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu objeknya, untuk seseorang interpretant-nya, dan dalam semacam respek atau penghargaan ground-nya. Relasi dari 9 ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis. Dalam relasi triadik ini terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol Kurniawan, 2001: 21. Berhubungan dengan tanda dan objeknya, Peirce membedakan tiga jenis tanda, yaitu i ikon icon, ii indeks index, dan simbol symbol. Ikon adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan sifat khas realis yang diacunya. Indeks adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan sifat khas realitas yang diacunya. Simbol adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan konvesional dengan realitas yang diacunya. Baryadi, 2007: 50. Bahasa juga merupakan salah satu jenis tanda. Ini berarti bahwa bahasa juga memiliki tiga jenis tanda tersebut. Seiler 1995: 141 mengemukakan bahwa bahasa dalam perwujudannya tidak seluruhnya simbol, tidak seluruhnya ikon, dan tidak seluruhnya indeks. Hal tersebut bisa diterapkan pada penandaan yang terdapat pada mural. Tidak setiap mural memiliki teks dan ilustrasi. Ada jenis mural yang hanya terdapat teks dan hanya terdapat ilustrasi gambar. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk- bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode. Pertama melalui paradigma. Paradigma merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk dipergunakan. Cara kedua adalah sintagmatik. Sintagma merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Saussure 10 menegaskan bahwa makna tanda terutama ditentukan oleh relasinya dengan tanda- tanda yang lain Fiske 1990: 82. Istilah “petanda” dari Saussure mirip dengan “interpretant” dari Peirce, tetapi Saussure tidak pernah menggunakan istilah “efek” untuk mengaitkan penanda dan petanda. Fiske 1990: 75 Semiotika Roland Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki apa hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah kesamaan equality, tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya Hawkes, 1977: 130. Barthes tak sebatas itu memahami proses penandaan, dia juga melihat aspek lain dari penandan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” ini tidak dipahami sebagaimana pengertian klasiknya, tetapi lebih diletakkan dalam proses penandaan itu sendiri. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos. Konstruksi penandaan tingkat kedua ini dipahami Barthes sebagai metabahasa metalanguage. Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiotikanya yang membuka ranah baru semiotikanya, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat Kurniawan, 2001: 22-23. Barthes memberikan gambaran tentang peningkatan makna pada tanda. Sebuah tanda yang sudah memiliki makna, apabila dikaitkan dengan tanda yang lainnya nantinya dapat menghasilkan tanda baru. Tanda-tanda yang bisa digabungkan tersebut sengaja digambarkan dalam mural oleh pembuatnya agar nantinya penonton mural bisa menginterretasinya lebih lanjut. 11 Penelitian ini berpusat pada bagaimana cara tanda menjalankan fungsinya sintaksis semiotik dan interpretasi yang dihasilkan semantik semiotika. Tanda visual dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tanda yang dikonstruksi dengan sebuah penanda visual, yang artinya dengan penanda yang dapat dilihat bukan didengar, disentuh, dikecap, atau dicium. Seperti semua jenis tanda lainnya, tanda visual dapat dibentuk secara ikonis wajah-wajah yang digambar, indeksikal anak panah yang menunjukan arah, dan simbolis logo iklan Danesi, 2010: 92. Mural dibuat bukan karena tanpa alasan, tetapi mural dibuat karena ada pesan yang ingin disampaikan. Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan Fiske 1990: 68. Dalam skripsi ini penulis mengartikan pesan-pesan yang ada di dalam mural berdasarkan teori semiotika Roland Barthes. Foto mural pada simpang empat Demangan. Dibuat oleh Herehere, Nactman, dan Dealine. 12 Foto mural tersebut diambil oleh penulis pada bulan Februari 2012. Mural tersebut dibuat sebelum adanya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan Yogyakarta yang mengatur tentang tata cara penetapan gubernur dan wakil gubernur. Mural tersebut sebagai respon atas peristiwa pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY berbicara menyinggung tentang keistimewaan Yogyakarta. SBY mengatakan: “Sistem monarki di Yogyakarta akan bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi”. Ucapan yang dilontarkan SBY terasa mengganggu sebagian besar masyarakat Kota Yogyakarta dan masyarakat lain yang berada di luar Kota Yogyakarta. Pernyataan yang meresahkan banyak pihak ini kemudian memancing emosi para seniman mural. Mural ini dibuat beberapa hari setelah pernyataan SBY dimuat di media. Dalam mural ini terlihat salah satu fungsi mural adalah sarana untuk menyampaikan pesan ke masyarakat. Pembuat mural menunjukan penolakan mereka terhadap pernyataan SBY melalui media mural. Masyarakat yang melihat mural ini tentunya sudah mengerti makna dari mural ini, yaitu perlawanan terhadap SBY. Masyarakat mengerti hal itu karena pada saat itu sedang gencar-gencarnya pemberitaan di media-media mengenai keistimewaan Yogyakarta yang disinggung SBY. Dalam konteks mural, mural adalah tanda, penanda adalah pembuat mural, dan petanda adalah masyarakat yang melihat mural yang dibuat oleh pembuat mural.Petanda dan penanda tidak saling mengenal dan tidak memiliki ikatan apa pun. Hubungan mereka hanya berdasarkan mural, hubungan mereka tidak lebih dari pembuat pesan dan penerima pesan.