Jenis, makna, dan fungsi mural di kota Yogyakarta : tinjauan semiotika visual.

(1)

Pramudhita, Ardhi Andana. 2013, “Makna dan Fungsi Mural di Kota Yogyakarta”. Tugas

Akhir: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam skripsi ini dibicarakan mengenai makna dan fungsi yang terdapat dalam mural-mural di Kota Yogyakarta. Tujuannya adalah mengerti makna-makna yang dan terkandung dalam mural dan menganalisis fungsi keberadaan mural bagi masyarakat.

Dalam melakukan penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: pertama, mengumpulkan data yang berupa foto-foto mural yang ada di kota Yogyakarta. Foto-foto tersebut dikumpulkan penulis sejak tahun 2011 hingga 2012. Kedua, metode analisis yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode deskriptif, yaitu pemecahan masalah dengan menggunakan pelukisan atau penggambaran keadaan suatu objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah mengkategorikan mural yang terdapat di Kota Yogyakarta menjadi enam kategori. Kategori tersebut ialah mural dengan menggunakan tokoh ternama, mural dengan menggunakan gambar satwa, mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru, mural dengan memakai simbol, mural dengan bentuk tulisan, mural dengan unsur kebudayaan. Penulis mengkategorikan mural-mural yang diteliti dengan mempertimbangkan unsur instrinsik yang terdapat pada mural tersebut. Hasil dari penelitian penulis membuktikan bahwa makna yang terdapat dalam satu buah mural bisa diinterpretasikan dengan berbagai macam oleh seorang penonton mural. Penginterpretasian penonton mural sebagian besar dipengaruhi oleh lokasi mural dan situasi kondisi yang sedang terjadi pada saat itu.

Fungsi yang ditemukan dalam mural di Kota Yogyakarta antara lain lain : menyampaikan kritik kepada masyarakat, mengenalkan kembali tokoh-tokoh dunia sastra Indonesia dan karyanya , wujud penghinaan kepada aparat, memberikan sambutan dan tanggapan kepada masyarakat pendatang di Kota Yogyakarta, penekanan makna pluralisme yang ada di Kota Yogyakarta, wujud penolakan kepada orang/ kelompok tertentu yang ingin berkuasa lebih di Kota Yogyakarta, wujud ketidakterimaan masyarakat Kota Yogyakarta terhadap pernyataan SBY, pembuktian bahwa masyarakat Kota Yogyakarta berani melawan kepada presiden. SBY, media sebagai publikasi acara, menjadi simbol bahwa masyarakat pendatang dari berbagai daerah di Indonesia bisa berada dan hidup berdampingan dengan baik di Kota Yogyakarta.

Hasil dari penelitian yang lain adalah dalam satu buah mural bisa terdapat lebih dari satu fungsi. Kesimpulan akhir dari penelitian penulis adalah mural dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi visual.


(2)

Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This research studies the meaning and function of mural in Yogyakarta. The purposes of this study are to understand meaning of mural and to analyze function of mural for public. The method used in this study is descriptive method. The steps which are done is collecting photos of mural in Yogyakarta, and then is analyzing photos with semiotics to determine the meaning of mural. The next step is analyzed function of mural. The results of this study are meaning interpretation of mural and function analysis of mural in Yogyakarta.

Analysis results in the form of interpretation of meaning contained in the six categories of mural. The six categories are mural that use famous people, mural which use picture of animal, mural with the new character creation, mural that uses symbols, mural in the writing form, and mural which featuring the element of culture. The murals are categorized based on the intrinsic element contained in the mural. The results of this study prove that the meaning of mural can be interpreted in various ways by audience of mural. Interpretation of mural is largely influenced by the location of mural and the situation at the time.

The functions of mural in Yogyakarta are mural as a critique of society, introducing public figure, mural as a form of insult to the apparatus, mural as a response to immigrant in Yogyakarta, mural as a response to plurality in Yogyakarta, mural as a rejection and a resistance to the government power, and mural as a media event publication. A mural can have more than one function and a mural can be a means of visual communication.


(3)

JENIS, MAKNA, DAN FUNGSI MURAL DI KOTA YOGYAKARTA : TINJAUAN SEMIOTIKA VISUAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Ardhi Andana Pramudhita NIM : 084114013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA Juli 2013  


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

vi   

Kata pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari tugas akhir ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya tutgas akhir ini, yaitu,

1. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Drs. Hery Antono. M.Hum sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran membantu menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Drs. B.Rahmanto, M.Hum, S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum, Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum, Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, beserta dosen-dosen yang lain, atas ilmu dan perkuliahan yang sudah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Universitas Sanata Dharma yang membuat penulis merasa nyaman selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

5. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan dengan baik.

6. Ibu saya Yohana Ong Tjwan Kiem yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat, motivasi dan nasehat – nasehat untuk kemajuan hidup penulis.

7. Oentoeng dan Theresia Sugiharti. Om dan tante saya, terima kasih atas bantuannya dalam pembiayaan kuliah penulis.

8. Keluarga besarku dan saudara-saudaraku. Terima kasih telah memberi dukungan, semangat, motivasi, dan doanya untuk menjadi orang sukses.

9. Bernadia Errisa Maharani yang selalu mengingatkan dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan tugas akhir.

10.Airani Sasanti atas pinjaman buku-bukunya.

11.Andreas Damar Kuncoro Aji, Fransisca Aprilia Ayu Ningtyas, dan Bernadia Errisa Maharani, atas bantuannya mencetak tugas akhir.

12.Terima kasih kepada teman-teman sesama mahasiswa Universitas Sanata Dharma khususnya Program Studi Sastra Indonesia angkatan 2008.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada pembuatan tugas akhir ini. Untuk itu, saran dan kritikan yang membangun demi hasil yang lebih baik sangat penulis harapkan agar semakin dengan membuka wahana pemikiran penulis berkaitan dengan tugas akhir ini.


(9)

vii   

Abstrak

Pramudhita, Ardhi Andana. 2013, “Jenis, Makna dan Fungsi Mural di Kota Yogyakarta”. Tugas Akhir: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam skripsi ini dibicarakan mengenai makna dan fungsi yang terdapat dalam mural-mural di Kota Yogyakarta. Tujuannya adalah mengungkap makna-makna yang terkandung dalam mural dan menganalisis fungsi keberadaan mural bagi masyarakat.

Dalam melakukan penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pertama, mengumpulkan data yang berupa foto-foto mural yang ada di kota Yogyakarta. Foto-foto tersebut dikumpulkan penulis sejak tahun 2011 hingga 2012.

Kedua, metode analisis yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode deskriptif, yaitu pemecahan masalah dengan menggunakan pelukisan atau penggambaran keadaan suatu objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah mengkategorikan mural yang terdapat di Kota Yogyakarta dapat dibedakan menjadi enam jenis. Kategori tersebut ialah:

1. Mural dengan menggunakan tokoh ternama. 2. Mural dengan menggunakan gambar satwa. 3. Mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru. 4. Mural dengan memakai symbol.

5. Mural dengan bentuk tulisan. 6. Mural dengan unsur kebudayaan.

Kategorisasi dilakukan dengan mempertimbangkan unsur instrinsik yang terdapat pada mural tersebut. Hasil dari penelitian penulis membuktikan bahwa makna yang terdapat dalam satu buah mural bisa diinterpretasikan dengan berbagai macam oleh seorang penonton mural. Penginterpretasian penonton mural sebagian besar dipengaruhi oleh lokasi mural dan situasi kondisi yang sedang terjadi pada saat itu.

Fungsi yang ditemukan dalam mural di Kota Yogyakarta antara lain: menyampaikan kritik kepada masyarakat, mengenalkan kembali tokoh-tokoh dunia sastra Indonesia dan karyanya, wujud kritik kepada aparat, memberikan sambutan dan tanggapan kepada masyarakat pendatang di Kota Yogyakarta, penekanan makna pluralisme yang ada di Kota Yogyakarta, wujud penolakan kepada orang/ kelompok tertentu yang ingin berkuasa lebih di Kota Yogyakarta, wujud ketidakterimaan masyarakat Kota Yogyakarta terhadap pernyataan SBY, pembuktian bahwa masyarakat Kota Yogyakarta berani melawan kepada SBY, media sebagai publikasi acara, menjadi simbol bahwa masyarakat pendatang dari berbagai daerah di Indonesia bisa berada dan hidup berdampingan dengan baik di Kota Yogyakarta.


(10)

viii   

Hasil dari penelitian yang lain adalah dalam satu buah mural bisa terdapat lebih dari satu fungsi. Kesimpulan akhir dari penelitian penulis adalah mural dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi visual.


(11)

ix   

ABSTRACT

Pramudhita, Ardhi Andana. 2013. Type, The Meaning and Function of Mural in Yogyakarta. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This research studied the meaning and function of mural in Yogyakarta. The purposes of this study are to understand meaning of mural and to analyze function of mural for public. The method used in this study is descriptive method. The step which are done are collecting photos of mural in Yogyakarta, and then are analyzing photos with semiotics to determine the meaning of mural. The next step is analyzed function of mural. The results of this study are meaning interpretation of mural and function analysis of mural in Yogyakarta.

Analysis results in the form of interpretation of meaning contained in the six categories of mural. The six categories are mural that use famous people, mural which use picture of animal, mural with the new character creation, mural that uses symbols, mural in the writing form, and mural which featuring the element of culture. The murals are categorized based on the intrinsic element contained in the mural. The results of this study prove that the meaning of mural can be interpreted in various ways by audience of mural. Interpretation of mural is largely influenced by the location of mural and the situation at the time.

The functions of mural in Yogyakarta are mural as a critique of society, introducing public figure, mural as a form of insult to the apparatus, mural as a response to immigrant in Yogyakarta, mural as a response to plurality in Yogyakarta, mural as a rejection and a resistance to the government power, and mural as a media event publication. A mural can have more than one function and a mural can be a means of visual communication.


(12)

x   

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

Bab I Pendahuluan 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3


(13)

xi   

1.4Manfaat Hasil Penelitian ... 4

1.5Tinjauan Pustaka ... 4

1.6Landasan Teori ... 8

1.7 Metode Penelitian ... 13

1.7.1 Jenis Penelitian ... 13

1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 13

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data ... 14

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 17

1.8Sistematika Penyajian ... 17

BAB II MAKNA MURAL DI KOTA YOGYAKARTA 2.1Proses Pembuatan Mural... 18

2.2Jenis Mural di Kota Yogyakarta ... 17

2.2.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama ... 21

2.2.2 Mural dengan Menggunakan Gambar Satwa ... 22

2.2.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru ... 24

2.2.4 Mural dengan Menggunakan Ikon ... 25


(14)

xii   

2.2.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 29

2.3Makna Mural di Kota Yogyakarta ... 32

2.3.1 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama ... 33

2.3.1.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Soekarno ... 34

2.3.1.2 Mural dengan Menggunakan Tokoh Bung Tomo ... 36

2.3.1.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Romo Driyarkara ... 39

2.3.1.4 Mural dengan Menggunakan Tokoh Pramoedya ... 41

2.3.2 Makna mural dengan Menggunakan Gambar Satwa ... 44

2.3.2.1 Mural dengan Menggunakan Satwa Monyet ... 45

2.3.2.2 Mural dengan Menggunakan Satwa Orang Utan dan Anjing 51 2.3.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru ... 54

2.3.3.1 Mural “Mau sidang atau bayar dimuka?” ... 59

2.3.3.2 Mural “Tidak perlu ada senjata untuk mengamankan unjuk rasa” ... 63

2.3.4 Mural dengan Menggunakan Ikon ... 66

2.3.4.1 Mural “Ayo Podo Tulung Tinulung” ... 67

2.3.4.2 Mural “Miras Agawe Tuntas” ... 69

2.3.4.3 Mural “Anda Sopan Kami Segan” ... 72

2.3.4.4Mural “Mesin Pembunuh Asap” ... 78


(15)

xiii   

2.3.5 Mural dengan Menggunakan Bentuk Tulisan ... 94

2.3.5.1 Mural “Ing Ngarso Sung Tulodho” ... 95

2.3.5.2 Mural “Pro Penetapan Jogja Istimewa” ... 99

2.3.5.3 Mural “Bikin Mug Satoe Saja” ... 100

2.3.5.4 Mural “Dendang Calon Guru” ... 102

2.3.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 104

2.3.6.1 Mural “Jatilan” ... 106

2.3.6.2 Mural “Punakawan” ... 110

2.3.6.3 Mural “Leak Bali” ... 112

2.4 Rangkuman Makna Mural di Kota Yogyakarta ... 114

BAB III FUNGSI MURAL DI KOTA YOGYAKARTA ... 116

3.1Penggunaan mural sebagai media komunikasi visual ... 116

3.2Pembahasan fungsi mural ... 119

3.2.1 Mural dengan Tokoh Soekarno ... 120

3.2.2 Mural dengan Tokoh Bung Tomo... 122

3.2.3 Mural dengan Tokoh Romo Driyarkakara ... 123

3.2.4 Mural dengan Satwa Urang Utan ... 126

3.2.5 Mural dengan Satwa Orang Utan dan Anjing ... 127


(16)

xiv   

3.2.7 Mural “Tidak perlu ada senjata untuk mengamankan

unjuk rasa ... 131

3.2.8 Mural “Ayo Podo Tulung Tinulung” ... 132

3.2.9 Mural “Miras Agawe Tewas” ... 134

3.2.10 Mural “Ánda Sopan Kami Segan” ... 135

3.2.11 Mural “Mesin Pembunuh Asap” ... 137

3.2.12 Mural “Jogja Rumah Bersama” ... 139

3.2.13 Mural ”Ing Ngarso Sung Tulodho” ... 142

3.2.14 Mural “Pro Penetapan Jogja Istimewa” ... 144

3.2.15 Mural “Bikin Mug Cum Satoe Sadja” ... 146

3.2.16 Mural ”Dendang Calon Guru” ... 148

3.2.17 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 149

BAB IV PENUTUP ... 153

4.1 Kesimpulan ... … 153

4.2 Saran ... .... 155


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Mural adalah sarana berkomunikasi yang menggabungkan tulisan atau gambar dengan media yang mudah ditemukan pada saat ini. Media yang kebanyakan digunakan masyarakat sebagai tempat membuat mural adalah tembok. Di Kota Yogyakarta, mural pada saat ini berkembang cukup pesat, hampir di setiap sudut kota dapat ditemukan mural.

Mural merupakan salah satu bentuk seni jalanan street art. Street art mempunyai tiga bentuk, yaitu mural, graffiti dan poster. Ketiga bentuk street art ini diekspresikan pada sarana yang ada di jalanan, misalnya di tembok-tembok kota. Graffiti biasanya berupa pembuatan huruf yang mengandalkan permainan bentuk huruf dan pewarnaan yang menarik dengan memakai cat semprot. Poster dalam konteks street art biasanya berisi kritik yang bernada menyindir situasi sosial, misalnya kebijakan pemerintah yang tidak mendukung rakyat atau isu-isu sosial yang ada. Mural adalah sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai yang biasanya dilakukan dengan media dinding. Mural merupakan hasil penggabungan tulisan dan gambar, tetapi tidak tertutup kemungkinan mural hanya terdiri dari gambar.

Perkembangan mural di Kota Yogyakarta dimulai dari gerakan Apotik Komik pada tahun 2003 dan sekarang berganti nama menjadi Jogjakarta Mural Forum


(18)

(JMF). Kini pelaku mural tidak hanya seniman, tetapi masyarakat umum juga terlibat dalam pembuatan mural. Mahasiswa juga terlibat langsung dalam pembuatan mural selama mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mural digunakan mahasiswa sebagai sarana menyampaikan pesan kepada masyarakat sekitar. Lomba membuat mural sudah banyak diadakan di kampung. Pembuatan mural di kampung-kampung bertujuan untuk menghias lingkungan sekitar dan menyampaikan pesan.

Penulis memilih melakukan pengkajian tentang mural karena di dalam mural terdapat pesan-pesan yang tersembunyi. Untuk memahami makna itu, tidak cukup hanya sekali melihat mural tersebut. Seringkali, oleh masyarakat, mural hanya dianggap sebagai hiasan begitu saja tanpa tertarik untuk mengerti makna yang ada di dalam muralnya.

Mural pada titik-titik tertentu di Kota Yogyakarta dipilih oleh penulis karena mural tersebut memiliki beraneka macam arti yang bisa diinterpretasikan. Penulis melakukan pengkajian mengenai mural agar nantinya hasil kajian tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk menginterpretasi mural.


(19)

Contoh foto mural

1.2Rumusan Masalah

Berdasar uraian di atas, masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apa saja jenis mural yang ada di Kota Yogyakarta? 2. Apa saja makna mural di Kota Yogyakarta? 3. Apa saja fungsi mural di Kota Yogyakarta?

1.3Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan jenis mural yang ada d Kota Yogyakarta. 2. Mendeskripsikan makna mural yang ada di Kota Yogyakarta. 3. Mendeskripsikan fungsi mural dalam di Kota Yogyakarta.


(20)

1.4Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis dalam bidang semiotika, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi studi bahasa khususnya penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi visual. Hasil penelitian ini juga menjadi salah satu pembuktian penginterpretasian tanda dengan mengguanakan teori semiotika.

Secara praktis, hasil penelitian tentang makna dan fungsi mural di Kota Yogyakarta ini berguna untuk meningkatkan wawasan dan apresiasi masyarakat terhadap mural yang berada di Kota Yogyakarta.

1.5Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini peneliti menemukan buku-buku tentang mural yang ditulis oleh anggota dari Jogja Mural Forum (JMF). Salah satu buku tersebut berjudul Kampung Sebelah Art Project yang disusun oleh Eko Prawoto, Yoshi Fajar, Kresno, Bambang Sugiharto, Yossy Suparyo, Dita’dei. Buku tersebut berisi tentang seluk-beluk proses pembuatan mural yang dibuat di kampung-kampung. Proses pembuatan mural tersebut bukan semata-mata dilakukan untuk sarana ekspresi para seniman mural yang akan membuat mural di sana, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan warga kampung, misalnya imbauan kecepatan dalam berkendara, kebersihan lingkungan, penghijauan, atau jam belajar masyarakat. Pelaku pembuatan mural bukan dari seniman mural JMF tetapi dari pihak warga sendiri. Dalam kegiatan ini JMF hanya


(21)

memfasilitasi masyarakat. Mural yang dijadikan proyek besar-besaran ini memiliki fungsi untuk kampung itu sendiri, misalnya untuk meningkatkan kualitas ruang, makna dan identitas kampung. Contoh lain adalah mural tentang narkoba yang dibuat di Kampung Balapan, Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman. Mural tersebut dibuat dengan tujuan memperingatkan warga di sana agar tidak menggunakan narkoba.

Salah satu contoh gambar mural tentang narkoba Sumber: Kampung Sebelah Art Project, hal. 78

Buku kedua berjudul Kode Pos Art Project. Buku tersebut lebih berbicara tentang bagaimana si pembuat mural memberi makna pada mural buatannya. Buku yang disusun oleh Raihul Fajri, Samuel Indratma, Bambang Sugiharto tersebut membahas makna-makna mural bagi masyarakat di sekitarnya. Salah satu contoh


(22)

adalah mural yang dibuat di Bong Suwung, Kampung Badran, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis. Lokasi tersebut adalah salah satu tempat prostitusi yang ada di Kota Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat dari luar lokasi tersebut sudah tidak lagi menganggap tabu prostitusi. Fungsi mural di sini membantu memperingatkan penjaja seks dan pengguna jasa di sana agar tidak lupa menggunakan alat kontrasepsi.

Salah satu contoh gambar mural “pisang berkondom” Sumber: Kode Pos Art Project, hal. 17

Kedua buku tersebut ditulis oleh orang yang terjun langsung di bidang seni mural. Dalam skripsi ini mural yang dipilih oleh penulis adalah mural yang dipakai sebagai kritik sosial, iklan, dan ekspresi seni yang ada di Kota Yogyakarta. Skripsi ini


(23)

membahas fungsi mural secara lebih luas dan membahas pemaknaan mural dari sudut pandang penulis yang tidak terlibat secara langsung dalam bidang seni mural.

Buku ketiga yang dipakai penulis adalah Semiotika Komunikasi Visual karya Sumbo Tinarbuko. Signifikasi semiotika tidak saja sebagai ‘metode kajian’ (decoding), akan tetapi juga sebagai ‘metode penciptaan’ (encoding). Dijelaskan juga bahwa semiotika memperlihatkan kekuatannya pada berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, media studies, dan cultural studies. Sebagai metode penciptaan, semiotika mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, termasuk desain komunikasi visual. Buku tersebut menjelaskan semiotika memiliki ranah yang cukup luas.

Buku tersebut berisi pengertian tentang semiotika dan penerapannya pada bidang komunikasi visual. Contoh penerapan pada buku tersebut adalah iklan. Iklan adalah salah satu sarana penyampaian pesan kepada khalayak ramai, penyampaian pesan tersebut bisa secara verbal dan visual. Dalam prakteknya, logika semiotika adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya melainkan derajad kelogisannya: interpretasi yang satu lebih masuk akal dari yang lainnya.


(24)

1.6Landasan Teori

Semiotika dicetuskan oleh dua orang tokoh yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Ferdinand de Saussure adalah salah satu tokoh linguistik yang berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Menurut Saussure bahasa terdiri dari dua unsur, yaitu penanda atau ‘yang menandai’ dan petanda atau ‘yang ditandai’. Sifat kedua hal itu adalah arbitrer, yaitu penanda tidak memiliki ikatan alamiah apa pun dengan petanda (Baryadi, 2007: 48).

Sifat arbitrer tanda merupakan inti bahasa manusia. Dengan ini dimaksudkannya bahwa disini tidak ada relasi pasti antara penanda dan petanda : relasinya ditentukan berdasar konvensi, aturan atau kesepakatan di antara para penggunanya. Dengan kata lain, tanda yang disebutnya arbitrer itu terkait secara pasti dengan apa yang disebut Peirce sebagai simbol. (Fiske 1990: 76)

Tidak ada relasi sama sekali antara pembuat mural dan penonton mural. Relasi mereka dimulai ketika penonton mural melihat mural yang dibuat oleh pembuatnya. Bisa jadi makna yang ingin disampaikan oleh pembuat mural tidak dapat diterima oleh penonton mural. Kegagalan penyampaian pesan tersebut dikarenakan konvensi, aturan atau kesepakatan yang berbeda yang diterapkan oleh pembuat dan pembuat mural. Salah satu penyebab tidak tersampainya pesan yang terdapat pada mural adalah acuan yang berbeda yang dimiliki oleh pembuat dan penonton mural.

 

Charles Sanders Peirce dikenal karena uraiannya yang relatif rinci tentang klasifikasi tanda. Bagi Pierce sebuah tanda adalah representamen makna tanda sesungguhnya adalah apa yang diacunya. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu (objeknya), untuk seseorang (interpretant-nya), dan dalam semacam respek atau penghargaan (ground-nya). Relasi dari


(25)

ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis. Dalam relasi triadik ini terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol (Kurniawan, 2001: 21).

Berhubungan dengan tanda dan objeknya, Peirce membedakan tiga jenis tanda, yaitu (i) ikon (icon), (ii) indeks (index), dan simbol (symbol). Ikon adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan sifat khas realis yang diacunya. Indeks adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan sifat khas realitas yang diacunya. Simbol adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan konvesional dengan realitas yang diacunya. (Baryadi, 2007: 50).

Bahasa juga merupakan salah satu jenis tanda. Ini berarti bahwa bahasa juga memiliki tiga jenis tanda tersebut. Seiler (1995: 141) mengemukakan bahwa bahasa dalam perwujudannya tidak seluruhnya simbol, tidak seluruhnya ikon, dan tidak seluruhnya indeks. Hal tersebut bisa diterapkan pada penandaan yang terdapat pada mural. Tidak setiap mural memiliki teks dan ilustrasi. Ada jenis mural yang hanya terdapat teks dan hanya terdapat ilustrasi gambar.

Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam kode. Pertama melalui paradigma. Paradigma merupakan sekumpulan tanda yang dari dalamnya dipilih satu untuk dipergunakan. Cara kedua adalah sintagmatik. Sintagma merupakan pesan yang dibangun dari paduan tanda-tanda yang dipilih. Saussure


(26)

menegaskan bahwa makna tanda terutama ditentukan oleh relasinya dengan tanda-tanda yang lain (Fiske 1990: 82). Istilah “petanda-tanda” dari Saussure mirip dengan “interpretant” dari Peirce, tetapi Saussure tidak pernah menggunakan istilah “efek” untuk mengaitkan penanda dan petanda. (Fiske 1990: 75)

Semiotika Roland Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki apa hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah kesamaan (equality), tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya (Hawkes, 1977: 130).

Barthes tak sebatas itu memahami proses penandaan, dia juga melihat aspek lain dari penandan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” ini tidak dipahami sebagaimana pengertian klasiknya, tetapi lebih diletakkan dalam proses penandaan itu sendiri. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos. Konstruksi penandaan tingkat kedua ini dipahami Barthes sebagai metabahasa (metalanguage). Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiotikanya yang membuka ranah baru semiotikanya, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat (Kurniawan, 2001: 22-23).

Barthes memberikan gambaran tentang peningkatan makna pada tanda. Sebuah tanda yang sudah memiliki makna, apabila dikaitkan dengan tanda yang lainnya nantinya dapat menghasilkan tanda baru. Tanda-tanda yang bisa digabungkan tersebut sengaja digambarkan dalam mural oleh pembuatnya agar nantinya penonton mural bisa menginterretasinya lebih lanjut.


(27)

Penelitian ini berpusat pada bagaimana cara tanda menjalankan fungsinya (sintaksis semiotik) dan interpretasi yang dihasilkan (semantik semiotika). Tanda visual dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tanda yang dikonstruksi dengan sebuah penanda visual, yang artinya dengan penanda yang dapat dilihat (bukan didengar, disentuh, dikecap, atau dicium). Seperti semua jenis tanda lainnya, tanda visual dapat dibentuk secara ikonis (wajah-wajah yang digambar), indeksikal (anak panah yang menunjukan arah), dan simbolis (logo iklan) (Danesi, 2010: 92).

Mural dibuat bukan karena tanpa alasan, tetapi mural dibuat karena ada pesan yang ingin disampaikan. Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan (Fiske 1990: 68). Dalam skripsi ini penulis mengartikan pesan-pesan yang ada di dalam mural berdasarkan teori semiotika Roland Barthes.


(28)

Foto mural tersebut diambil oleh penulis pada bulan Februari 2012. Mural tersebut dibuat sebelum adanya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan Yogyakarta yang mengatur tentang tata cara penetapan gubernur dan wakil gubernur. Mural tersebut sebagai respon atas peristiwa pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara menyinggung tentang keistimewaan Yogyakarta. SBY mengatakan: “Sistem monarki di Yogyakarta akan bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi”. Ucapan yang dilontarkan SBY terasa mengganggu sebagian besar masyarakat Kota Yogyakarta dan masyarakat lain yang berada di luar Kota Yogyakarta. Pernyataan yang meresahkan banyak pihak ini kemudian memancing emosi para seniman mural. Mural ini dibuat beberapa hari setelah pernyataan SBY dimuat di media. Dalam mural ini terlihat salah satu fungsi mural adalah sarana untuk menyampaikan pesan ke masyarakat. Pembuat mural menunjukan penolakan mereka terhadap pernyataan SBY melalui media mural. Masyarakat yang melihat mural ini tentunya sudah mengerti makna dari mural ini, yaitu perlawanan terhadap SBY. Masyarakat mengerti hal itu karena pada saat itu sedang gencar-gencarnya pemberitaan di media-media mengenai keistimewaan Yogyakarta yang disinggung SBY.

Dalam konteks mural, mural adalah tanda, penanda adalah pembuat mural, dan petanda adalah masyarakat yang melihat mural yang dibuat oleh pembuat mural.Petanda dan penanda tidak saling mengenal dan tidak memiliki ikatan apa pun. Hubungan mereka hanya berdasarkan mural, hubungan mereka tidak lebih dari pembuat pesan dan penerima pesan.


(29)

1.7 Metode penelitian

Dalam metode penelitian dikemukakan jenis penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis ini penelitian termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan wacana mural yang terdapat di Kota Yogyakarta untuk memperoleh makna yang ingin disampaikan mural tersebut. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan konsep semiotika dari Roland Barthes. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan landasan semiotika Barthes memberikan gambaran dan pemahaman tanda-tanda yang muncul dalam mural di Kota Yogyakarta.

1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah makna dan fungsi mural di Kota Yogyakarta. Data dalam penelitian ini adalah mural. Mural yang dianalisis oleh penulis terletak di simpang empat Hotel Melia Purosani, simpang empat Demangan, Jalan Urip Sumohoarjo, gang di daerah Badran, gang-gang sekitar Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Kampus I Universitas Sanata Dharma, dan sepanjang jalan Gejayan Mrican.


(30)

Penulis menyediakan data dalam penelitian dengan cara mengambil foto gambar mural. Jumlah foto mural yang diambil berjumlah 20 gambar.

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Dalam upaya menjawab masalah diperlukan tiga tahap strategis yang berurutan. Penyediaan data, penganalisaan data, dan penyajian hasil data (Sudaryanto, 1995: 5). Data yang dianalisis adalah makna dan fungsi mural. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif digunakan untuk melaporkan dan memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang telah dilakukan. Masalah diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya (Ratna, 2004:53).


(31)

Judul : Mesin Pembunuh Asap

Kategori : Mural dengan menggunakan ikon

yMere

yMerekonstruksi tanda‐tanda yang ditemukan pada mural

Memenggal

menggal

 

teks

 

dan

 

gambar

 

y Tulisan : Mesin Pembunuh Asap

y Gambar : Tukang Becak yang sedang mengayuh becaknya


(32)

Mengamati

 

tanda

tanda

 

secara

 

mendetail

yTukang becak yang  menggunakan masker

yLambang Reduse,  Recycle, & Reuse (3R) 

Mengartikan

 

tanda

tanda

 

yang

 

ditemukan

• Masker

• Fungsi masker

• Polusi udara

• Lambang bendera

berkibar pada becak sama persis dengan lambang 3R

Mengumpulkan poin hasil interpretasi : - Polusi udara

- Gerakan melakukan 3R

- Tukang becak sebagai simbol korban polusi udara - Tukang becak sebagai symbol perlawanan


(33)

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Penulis mendeskripsikan dan mengkategorikan data yang diperoleh kemudian menganalisisnya secara seksama dengan menggunakan tinjauan semiotika milik Barthes. Hasil analisis tersebut kemudian dijelaskan secara mendetail dan juga diberikan tambahan ilustrasi gambar lainnya sebagai pembuktian hasil analisis tinjauan semiotika visual.

1.8 Sistematika Penyajian

Skripsi ini terdiri dari empat bab. Keempat bab tersebut adalah Bab satu berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua berisi pembahasan makna mural yang ada di Kota Yogyakarta dengan konsep semiotika visual. Bab tiga berupa pembahasan tentang fungsi mural di Kota Yogyakarta. Bab empat berupa kesimpulan hasil analisis data dan dilanjutkan dengan saran penelitian lanjutan. Selanjutnya pada bagian akhir berisi daftar pustaka.


(34)

BAB II

MAKNA MURAL DI KOTA YOGYAKARTA

2.1 Proses Pembuatan Mural

Proses pembuatan mural pertama kali adalah melakukan pengeblokan, yaitu memberi warna dasar pada bagian tembok yang nantinya akan dimural. Fungsi melakukan pengeblokan itu sendiri untuk membuat mural lebih terlihat jelas. Pengeblokan tersebut bisa memakai warna sesuai selera si pembuat mural, dalam proses pembuatan mural seringkali warna cat yang digunakan adalah warna putih.

Setelah tahap pengeblokan, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah pembuatan sketsa. Pembuatan sketsa itu bisa berupa garis-garis tipis yang nantinya akan ditebalkan lagi untuk memberi bentuk yang jelas pada mural. Pembuatan mural tanpa sketsa terlebih dahulu bisa juga dilakukan. Pembuat mural yang profesional seringkali langsung membuat gambar pada dinding yang sudah diblok. Setelah sketsa selesai dibuat, barulah si pembuat mural akan memberi warna pada sketsa yang sudah dibuat.


(35)

Foto proses pengeblokan


(36)

Proses akhir pembuatan mural adalah pemberian warna. Selain itu inisial pembuat mural juga dicantumkan. Sebagian besar pembuat mural mencantumkan inisial namanya dengan lambang-lambang tertentu dan nama samaran. Identitas pembuat mural dalam konteks street art seringkali sulit diketahui, karena mereka tidak pernah menunjukkan dengan jelas identitas dirinya. Mereka hanya ingin berkreasi dan menyampaikan apa yang ada di pikiran mereka tanpa ingin diketahui jati dirinya oleh orang lain. Mereka membuat inisial tersebut untuk membuat identitas baru dalam dunia mural.


(37)

2.2 Jenis Mural di Kota Yogyakarta

Berdasarkan penemuan penulis di lapangan, mural-mural yang ada di Kota Yogyakarta dikategorikan oleh penulis menjadi enam jenis. Keenam jenis tersebut yaitu:

1. Mural dengan menggunakan tokoh ternama. 2. Mural dengan menggunakan gambar satwa. 3. Mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru. 4. Mural dengan memakai simbol.

5. Mural dalam menggunakan bentuk tulisan. 6. Mural dengan menggunakan unsur kebudayaan.

2.2.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama

Tokoh ternama yang sering dijadikan gambar dalam mural adalah tokoh pahlawan nasional. Penulis mengkategorikan sebagai tokoh ternama karena tidak semua mural mengunakan tokoh pahlawan nasional dalam ilustrasinya. Selain tokoh pahlawan nasional, terdapat juga tokoh yang banyak dikenal orang sesuai bidangnya. Misalnya adalah Romo Driyarkara, beliau merupakan tokoh pelopor proses belajar mengajar dengan cara yang humanis di Universitas Sanata Dharma. Beliau bukanlah tokoh pahlawan nasional, tetapi beliau cukup dikenal oleh masyarakat. Oleh karena itu, penulis tidak mengkategorikan mural dengan menggunakan tokoh ternama sebagai mural dengan menggunakan tokoh pahlawan nasional.


(38)

Keberhasilan penonton mural menangkap pesan yang ingin disampaikan pembuatnya juga bergantung kepada pembuat mural itu sendiri. Penonton mural mengerti makna yang ingin disampaikan karena adanya interpretasi yang diarahkan pembuat mural yang disampaikan melalui gambarnya. Pembuatan mural dengan memakai tokoh ternama tidak bisa sembarangan dalam penyampaian pesannya, pesan yang ingin disampaikan pembuat mural harus sesuai dengan karakter dan perjalanan hidup tokoh tersebut.

contoh mural dengan menggunakan tokoh ternama

2.2.2 Mural dengan Menggunakan Gambar Satwa

Gambar hewan dalam mural kategori mural dengan menggunakan gambar satwa selalu memiliki makna tersendiri. Fokus makna mural dalam kategori tersebut


(39)

tidak berdasarkan besar atau kecilnya gambar satwa yang terdapat di dalamnya, tetapi lebih ke arah daya tarik penonton mural. Mural kategori ini sengaja memakai gambar satwa agar membuat penonton mural merasa tertarik. Setelah mendapatkan perhatian tentunya selanjutnya diharapkan adanya proses interpretasi dari penonton mural. Karakter satwa mudah dipahami secara umum, sehingga pembuat mural memberikan gambar satwa dalam muralnya agar makna di dalam mural ciptaannya dapat diterima dengan jelas oleh penonton mural.


(40)

2.2.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru

Mural dengan kategori mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru cukup mudah untuk ditemukan keberadaannya. Tokoh ciptaan baru tersebut memiliki ciri khas yang unik secara bentuk di dalam mural. Jumlah tokoh-tokoh baru di dalam mural hanya berjumlah sedikit, oleh karena itu untuk mengidentifikasi mural dengan kategori menggunakan tokoh ciptaan baru lebih mudah.

Tokoh ciptaan baru dalam mural biasanya memiliki bentuk yang unik sehingga mudah untuk diingat. Penulis menginterpretasikan pembuat mural jenis tersebut memiliki pemikiran yang kokoh dan konsisten, hal itu terlihat dari wujud karakter dalam mural buatannya yang konsisten. Mural jenis tersebut terlihat seakan-akan hidup dan berada di mana saja, hal ini terlihat dari keberadaannya yang bisa ditemui di ruang-ruang publik atau mungkin sekedar gang-gang kecil. Mural dengan kategori tersebut adalah wujud eksistensi keberadaan pembuatnya, pembuat mural jenis tersebut membuat tokoh ciptaannya seolah-olah hidup dan mengeluarkan pendapat tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Makna-makna yang terkandung dalam mural dengan tokoh ciptaan baru ini memiliki tujuan tertentu dalam penciptaannya, misalnya memberikan kritik sosial terhadap keadaan yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


(41)

Contoh mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru

2.2.4 Mural dengan Menggunakan Ikon

Mural dengan kategori mural dengan menggunakan ikon lebih mudah ditemukan di mana saja. Sebagian besar mural-mural yang ada di Kota Yogyakarta adalah jenis kategori mural dengan memakai ikon.

Pengertian ikon sendiri adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemble) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagai “kesamaan dalam beberapa kualitas”. (Budiman, 2003)


(42)

Banyak pembuat mural yang memberikan berbagai ikon di dalam mural ciptaannya. Penggunaan ikon tersebut memiliki tujuan tersendiri. Untuk menarik minat penonton mural bisa dijadikan salah satu alasan, setelah penonton mural tertarik dengan salah satu ikon yang dilihatnya tentunya penonton akan lebih tertarik lagi untuk melihat gambar mural tersebut secara keseluruhan. Penonton yang sudah tertarik menonton mural yang dilihatnya secara otomatis akan menginterpretasikannya walaupun itu sekadar menganggapnya sebagai hiasan dinding yang indah. Rasa ketertarikan ini yang membuat pencipta mural memberikan ikon-ikon dalam karyanya karena dengan memicu rasa ketertarikan penonton untuk menonton karyanya.

Mural di Kota Yogyakarta dengan kategori tersebut secara keseluruhan tidak bisa diinterpretasikan dengan mudah hanya dengan melihatnya sekali saja. Mural jenis tersebut tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah karena seringkali pembuat mural sengaja memberikan simbol-simbol yang sulit untuk diinterpretasikan oleh penonton mural. Dengan penginterpretasian lebih mendalam oleh penonton tentunya makna mural dengan pemakaian ikon akan bisa diketahui maknanya dengan jelas.


(43)

contoh mural dengan menggunakan ikon

2.2.5 Mural dengan Menggunakan Bentuk Tulisan

Mural dengan kategori mural dengan menggunakan bentuk tulisan sangat sulit ditemukan. Mural dengan jenis tersebut seringkali dianggap oleh masyarakat tidak menarik karena hanya menonjolkan bentuk tulisan saja. Hanya dengan sekali melihat penonton sudah bisa dengan mudah menginterpretasikannya. Makna mural yang terkandung di dalamnya hampir bisa diinterpretasikan dengan jelas karena secara umum tulisan tersebut langsung berisi makna mural tersebut. Pembuatan mural dengan kategori ini dianggap mudah sehingga menjadikan pembuat mural tidak tertarik membuatnya.


(44)

Perbedaan mural dengan bentuk tulisan dan graffiti terletak pada proses dan hasil jadi. Graffiti dibuat dengan media dinding dan cat semprot, hasil jadi graffiti adalah gambar bentuk huruf yang berbentuk artistik disertai warna-warna menarik yang mencolok perhatian. Proses pembuatan graffiti selalu menggunakan dinding dan cat semprot, sedangkan proses pembuatan mural bisa dengan berbagai media, misalnya cat tembok biasa, kapur, dan berbagai media lainnya. Perbedaan yang lain adalah graffiti lebih mementingkan bentuk menarik yang dihasilkan dari gabungan berbagai huruf, sedangkan mural lebih mementingkan makna yang terdapat di dalamnya yang terdiri dari gabungan tanda-tanda di dalamnya.

Hiasan berupa gambar terkadang juga dimiliki pada mural jenis dengan bentuk tulisan. Keberadaan gambar-gambar tersebut bukan menjadi fokus utama pada mural, hiasan berupa gambar tersebut hanya sekedar membantu penonton mural mengintepretasikan makna yang terdapat di dalamnya. Hiasan berupa gambar pada mural jenis tersebut memiliki fungsi sebagai penghias, ada atau tidaknya gambar-gambar tersebut tidak mempengaruhi makna yang terdapat pada mural.


(45)

contoh mural dengan menggunakan tulisan

2.2.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan

Mural dengan kategori tersebut memiliki unsur-unsur kebudayaan. Dalam bentuknya seringkali yang ditonjolkan adalah gambar dan tidak terdapat adanya tulisan atau penjelasan di dalam mural. Tidak adanya tulisan dalam mural jenis tersebut tidak mengurangi interpretasi penonton mural, tetapi penonton mural dapat semakin menginterpretasi mural tersebut dengan dihubungkan berbagai banyak hal, misalnya memaknai filosofi yang terdapat dalam mural tersebut. Semiotika memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan – baik oleh penyampai mau pun penerima (encoder dan decoder). Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan proses aktif (Fiske, 2007: 68).


(46)

Makna mural dengan unsur kebudayaan sering terkait dengan penyampaian pesan-pesan kedaerahan yang ditujukan kepada masyarakat. Seringkali hal-hal yang bersifat kedaerahan terlupakan oleh masyarakat, misalnya kesenian, adat, dan tradisi. Bahkan pada saat ini hal-hal tersebut memang sengaja dilupakan atas nama modernisasi karena dianggap ketinggalan jaman dan tidak berguna.

Kesenian dan kebudayaan pada jaman dahulu adalah hal yang menarik untuk masyarakat. Bukan sekedar menarik dan hanya menjadi hiburan, tetapi masyarakat bisa memaknai filosofi-filosofi yang terdapat di dalamnya secara tidak langsung. Nilai-nilai moral dalam kebudayaan apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan berdampak baik pada kehidupan bermasyarakat.

Yogyakarta adalah kota yang plural, sehingga terdapat juga mural dengan unsur kebudayaan di luar dari kebudayaan Kota Yogyakarta. Masuknya kebudayaan dari daerah lain di Kota Yogyakarta tidak dianggap akan memudarkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Kota Yogyakarta, tetapi kebudayaan-kebudayaan dari daerah lain tersebut semakin memperlihatkan suasana pluralisme yang ada di Kota Yogyakarta. Untuk mural kategori tersebut yang terdapat di Kota Yogyakarta tidak semata-mata hanya kebudayaan yang ada di Kota Yogyakarta tetapi juga ada mural tentang kebudayaan yang berasal dari derah selain Kota Yogyakarta.


(47)

Dalam skripsi ini penulis menggunakan 20 mural yang akan diteliti. Foto mural-mural tersebut diambil oleh penulis sendiri di simpang empat Hotel Melia Purosani, simpang empat Demangan, gang di daerah Badran, gang-gang sekitar Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Kampus I Universitas Sanata Dharma, dan sepanjang jalan Gejayan Mrican.


(48)

2.3 Makna Mural di Kota Yogyakarta

Dalam bab ini penulis menjabarkan berbagai makna yang ada di dalam mural. Makna mural bisa diinterpretasika begitu banyak karena setiap pembuat mural memiliki maksud tertentu yang bahkan dengan maksud yang belum tentu dipikirkan oleh orang lain pada umumnya. Banyaknya mural yang ada di Kota Yogyakarta tidak memungkinkan peneliti untuk mengartikannya satu persatu, sehingga peneliti membatasi jumlah mural yang dianalisis. Dalam bab ini peneliti menganalisis gambar mural berdasarkan teori semiotika milik Roland Barthes.

Menurut Barthes, suatu karya atau teks, merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa satu kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraf. Dengan memenggal-menggal teks itu maka pengarang tak lagi jadi perhatian. Maksud dari pengarang yang selama ini dijadikan pusat perhatian dalam upaya menginterpretasikan suatu teks sudah ditinggalkan. Teks itu bukan lagi milik pengarang, tetapi sudah menjadi milik pembaca (Kurniawan, 2001: 93).

Dalam proses menginterpretasikan gambar mural, penulis memenggal-menggal teks dan gambar yang ada di dalam mural. Setelah itu penulis mengartikan berbagai makna yang telah ditemukan dalam mural. Kemudian penulis


(49)

menggabungkan makna-makna yang ditemukan dan akan menggabungkannya secara keseluruhan, sehingga kemudian dapat dimengerti makna yang terdapat pada mural yang diteliti. Dalam bab ini ada 20 mural yang dianalisis. Mural-mural tersebut dipilih oleh peneliti karena memiliki makna yang menarik dan menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain itu penempatan pembuatan mural berada di titik-titik tertentu yang dirasa penulis merupakan tempat yang menarik, antara lain di simpang empat, jalan raya, dan di pemukiman warga.

2.3.1 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama

Dalam kategori mural dengan menggunakan tokoh ternama penulis menggunakan tiga mural yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu mural dengan tokoh Soekarno, Bung Tomo, Romo Driyarkara, dan Pramoedya Ananta Toer. Berikut penjelasan makna mural dengan tokoh ternama.


(50)

2.3.1.1Mural dengan Menggunakan Tokoh Soekarno

Gambar tersebut diambil di sekitar jembatan Sayidan, Gondomanan.

Teks yang terdapat dalam mural tersebut adalah “MERDEKA BELUM BUNG?“. Kata MERDEKA dan BUNG? diberi cat dengan warna putih. Apabila dibaca begitu saja maka akan berbunyi “merdeka bung?. Pada mural tersebut juga terdapat kata “belum” yang diberi warna merah. Warna yang berbeda tersebut menurut peneliti memiliki maksud tertentu, yaitu untuk mencuri perhatian penontonnya. Jika dibaca maka bacaan akan berbunyi: merdeka belum bung? Menurut penulis di dalam teks itu terdapat penekanan tentang pertanyaan “sudah atau belum merdeka?”. Pada sisi sebelah kanan teks “MERDEKA BELUM BUNG?”


(51)

terdapat gambar wajah Soekarno. Soekarno adalah salah satu orang hebat yang dikenal dunia. Soekarno adalah presiden pertama Indonesia. Beliau adalah seorang proklamator yang hebat, dapat memimpin dan disegani rakyat. Walaupun penulis belum pernah merasakan kepemimpinan beliau tetapi penulis mengerti benar bahwa Soekarno adalah tokoh besar yang disegani. Gambar wajah dan kata “BUNG” merupakan perlambangan adanya sosok Soekarno di mural tersebut.

Soekarno yang bertanya: “MERDEKA BELUM BUNG?” adalah suatu keanehan. Soekarno adalah sosok yang berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Beliau berperan sebelum Indonesia merdeka dan tetap berperan sesudahnya, yaitu menjadi presiden untuk pertama kali. Menurut penulis mural tersebut merupakan mural yang memiliki makna kritik sosial terhadap keadaan yang ada. Keadaan kehidupan pada saat ini tidak lebih baik dari pada keadaan di masa penjajahan. Pada masa penjajahan kelaparan dan penindasan dalah hal yang selalu ada, jika dibandingkan dengan kehidupan sekarang hal ini masih memiliki kesamaan. Pada masa sekarang ini masih banyak orang miskin yang kelaparan dan juga hidup mereka tertindas. Banyak orang miskin yang sudah bekerja keras tetapi tetap saja miskin, sedangkan orang-orang yang memiliki pangkat dan sudah kaya masih bisa melakukan tindakan korupsi. Orang miskin selalu salah dan orang kaya selalu benar, orang kaya bisa hidup seenaknya sendiri. Hal tersebut menurut penulis adalah suatu penjajahan di mana terlihat jelas kesenjangan sosial seperti masa penjajahan.


(52)

2.3.1.2Mural dengan Menggunakan Tokoh Bung Tomo

Foto ini diambil di simpang empat Demangan

Pada dalam mural tersebut terdapat tulisan “KALAU MAU ANARKIS JANGAN DI JOGJA DAB!”. Menurut penulis mural tersebut adalah wujud peringatan sebelum melakukan tindakan pengusiran untuk orang-orang yang berbuat anarki di Kota Yogyakarta. Terlepas akan atau sudah melakukan tindakan anarkis. Menurut penulis tulisan dalam mural ini bukan ditujukan untuk masyarakat dari luar Kota Yogyakarta. Panggilan “DAB” adalah sebuah panggilan yang akrab ditemui di Kota Yogyakarta. Panggilan tersebut memiliki arti “mas” atau kakak laki-laki di


(53)

Kota Yogyakarta. Pada mural tersebut mengatakan bahwa pelaku tindakan anarki yang dimaksud adalah warga Kota Yogyakarta itu sendiri.

Penulis juga memiliki hasil interpretasi lain, hal yang dimaksud dalam mural tersebut adalah warga pendatang yang tinggal di Kota Yogyakarta. Para pendatang tersebut sudah dianggap menjadi satu dalam bagian masyarakat Kota Yogyakarta tanpa dibeda-bedakan. Selain itu pembuat mural juga ingin menunjukan bahwa betapa baiknya masyarakat Kota Yogyakarta karena sudah menganggap mereka bagian dari Kota Yogyakarta, bukan diluarnya atau digolong-golongkan dengan kedudukan tertentu.

Tulisan ANARKIS kalau diperhatikan secara seksama maka akan terlihat huruf $, lambang dari uang dollar. Penulis menginterpretasikan hal tersebut sebagai kerusuhan yang bermotif uang. Terlepas dari sudah terjadi atau belum terjadi, mural tersebut menjadi peringatan agar jangan berbuat anarki apalagi dengan berlandas motif uang.

Pada sebelah tulisan tersebut juga terdapat gambar seseorang. Seseorang tersebut menutupi wajahnya dan membawa semacam kertas bergambarkan lambang perdamaian. Menurut interpretasi penulis tokoh itu menggambarkan seseorang yang ingin menyampaikan pesan perdamaian. Wajah yang ditutupi adalah wujud bahwa tokoh tersebut bukanlah seorang yang ingin dikenal orang lain. Interpretasi lain dari penulis adalah tokoh tersebut memanglah bukan siapa-siapa. Tokoh dalam mural tersebut tidak ditonjolkan siapa dia, tetapi pembuatnya lebih ingin menonjolkan pesan perdamaian dalam lembaran yang dibawanya.


(54)

Interpretasi lain dari penulis bahwa tokoh tersebut adalah simbol gambar Bung Tomo. Bung Tomo adalah salah satu pejuang pemimpin pertempuran pada tanggal 10 November 1945, pada saat ini hari bersejarah tersebut diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Beliau berhasil menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya pada saat itu. Dengan adanya gambar karakter Bung Tomo berarti mural tersebut memiliki makna agar mural itu dapat menggerakan dan menyemangati masyarakat yang ada di Kota Yogyakarta agar tidak lagi bertindak anarki apalagi jika disertai dengan alasan perekonomian.

Gambar di atas adalah foto Bung Tomo yang dikenal secara luas. Gambar atau foto dengan pose semacam ini sangat mudah ditemukan. Dari mulai buku pelajaran Sekolah Dasar (SD) sampai dengan internet.


(55)

2.3.1.3Mural dengan Menggunakan Tokoh Romo Driyarkara

Gambar di atas diambil di komplek PGSD lama Universitas Sanata Dharma

Romo Nicolaus Driyarkara adalah salah satu tokoh yang cukup ternama dalam dunia pendidikan. Beliau adalah pendiri Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Beliau sangat memegang teguh prinsip humanis dalam pendidikan, visi humanisme bertujuan untuk menyempurnakan kemanusiaan. Ada tiga hal yang dikenal dari wujud implikasi pendidikan homonisasi dan humanisasi yang diperkenalkan beliau di ranah pendidikan yaitu:


(56)

• Mendidik adalah suatu tindakan yang fundamental, yang bukan perbuatan dangkal. Maka perbuatan itu didasari oleh kehendak yang melahirkan cinta dari pendidik kepada “subjek yang sedang menjadi”.

• Pendidikan harus bersifat dialogis, suatu relasi antara subjek dengan subjek. • Pendidikan mencakup nilai. Mendidik berarti memasukan anak ke dalam alam

nilai-nilai atau juga memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak. Oleh karena itu pendidikan tidak pernah netral, orientasi dalam pendidikan nilai itu adalah nilai-nilai pancasila (http://kongrespendidikan.web.id/humanisme-sebagai-prinsip-pendidikan-menurut-driyarkara.html).

Pada mural tersebut terbaca tulisan “Pendidikan Yang: Humanis, Dialogis, Refletif“. Pada sebelah kanan pada tulisan tersebut juga terdapat gambar Romo N. Driyarkara. Penulis menginterpretasikan gambar mural tersebut agar semua yang melihat mural tersebut mengingat mendiang beliau dalam kiprahnya pada dunia pendidikan. Seandainya ada yang belum tahu tentang siapa beliau, tentunya dengan adanya mural tersebut akan membuat penasaran dan memancing penonton mural tersebut akan mencari tahu siapa beliau.

Mural tersebut memiliki makna mengingatkan para pendidik yang ada pada saat ini sedang mendidik dan ”yang sedang menjadi” agar dalam proses ajar-mengajar masih memandang dan menggunakan nilai-nilai humanisme, sehingga nantinya proses ajar-mengajar tidak hanya menjadi proses mata pencaharian saja.


(57)

Makna yang lain adalah mengingatkan relasi antara pendidik dengan “yang sedang menjadi”, wujud relasi tersebut diaktualisasikan dengan dialogis. Selain itu juga terdapat makna agar dalam proses ajar-mengajar terdapat juga proses merefleksi diri. Dengan adanya proses merefleksi diri nantinya akan diperoleh nilai-nilai kehidupan.

2.3.1.4Mural dengan Menggunakan Tokoh Pramoedya Ananta Toer


(58)

Dalam mural tersebut terdapat tulisan :

“KALIAN SUDAH PANDAI BERBAHASA EROPA KALIAN SUDAH PANDAI BERBUSANA EROPA KALIAN SUDAH PANDAI BERVISUAL EROPA TAPI KALIAN TETAP SAJA MONYET”

Kata-kata tersebut serupa dan memiliki arti yang sama dengan tulisan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Bumi Manusia. Wajah Pramoedya juga tergambar pada sebelah kanan tulisan tersebut. Novel tersebut menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Minke, seseorang berdarah Jawa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia bahkan lupa nama aslinya sendiri. Minke adalah nama pemberian guru di sekolahnya. Ayahnya seorang bupati yang menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, tetapi Minke tidak suka akan hal itu dan menganggapnya kolot. Kata-kata pada mural di atas dilontarkan Tuan Mellema seorang berdarah Belanda kepada Minke pada saat berada di rumahnya.

“Kowe kira, kalau sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bahasa Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (Toer, 2002 : 43), kata-kata tersebut dilontarkan kepada Minke sebab Tuan Mellema tidak suka melihat orang pribumi berusaha meniru orang Eropa.


(59)

Pembuat mural menuliskan kalimat tersebut pada muralnya dengan tujuan memperingatkan dan bahkan mungkin menghina orang-orang yang bersifat seperti tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia tersebut. Eropa sudah menjadi tren sejak dulu, Eropa yang dimaksud pada zaman dulu adalah Belanda. Zaman dulu masyarakat menganggap Eropa adalah sesuatu yang hebat. Maka cara pandang orang Eropa juga dianggap sebagai cara pandang yang lebih baik daripada cara pandang orang Indonesia pada waktu itu. Kemudian orang-orang bersifat seperti “Minke” ini mulai mempelajari bahasa Eropa, berbusana seperti orang Eropa, dan berpandangan seperti orang Eropa, dan lupa kepada jati diri bangsa sendiri. Sedangkan Eropa yang dijadikan tren pada saat ini adalah semua hal berkiblat pada kultur Eropa. Contohnya penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah.

Pada sisi sebelah kanan mural terdapat juga gambar wajah Tokoh Pramoedya Ananta Toer. Menurut interpretasi penulis, pembuat mural sengaja memberikan gambar wajah tokoh Pramoedya dengan memiliki alasan-alasan tertentu.

Pramoedya adalah seorang tokoh yang memiliki pemikiran serius dan idealisme yang kuat. Dengan adanya mural dengan gambar wajah Pramoedya bisa jadi adalah salah satu upaya untuk membangkitkan cara berpikir yang kritis seperti cara berpikir Pramoedya.

Tokoh tersebut adalah tokoh ternama pada zamannya. Pada saat ini nama Pramoedya sudah jarang terdengar namanya. Interpretasi penulis yang lainnya adalah pembuat mural berusaha mengenalkan kembali sosok Pramoedya karena memiliki keprihatinan generasi muda pada saat ini. Peralatan elektronik sebagai media


(60)

tulis-menulis sangat mudah didapatkan tetapi generasi muda pada saat ini tidak bisa memanfaatkannya secara positif.

Generasi muda pada saat ini lebih memilih menuliskan sesuatu yang tidak penting dan tidak berguna pada berbagai jejaring sosial yang dimilikinya. Adanya fasilitas seperti gadget canggih dan internet seharusnya dapat memudahkan generasi muda untuk lebih bisa menyalurkan pikiran-pikirannya bukan hanya menyalurkan pola pikir yang labil dan manja. Keadaan hal tersebut sangat berbeda dengan zaman yang dialami oleh Pramoedya. Pramoedya harus menuliskan pemikirannya dengan menggunakan alat tulis manual. Mural dengan tokoh Pramoedya tidak hanya memiliki kritik kepada generasi muda, tetapi juga sebagai sarana membangkitkan semangat agar generasi muda memiliki karakter yang kuat seperti tokoh Pramoedya.

2.3.2 Makna Mural dengan Gambar Satwa

Penulis menemukan dua mural yang masuk dalam kategori mural dengan gambar satwa di Kota Yogyakarta, yaitu mural bergambar monyet dan anjing. Berikut penjelasan mengenai makna mural bergambar satwa.


(61)

2.3.2.1Mural dengan Satwa Monyet

Mural ini diambil di simpang empat Demangan

Dalam mural tersebut terdapat tulisan :

“KALIAN SUDAH PANDAI BERBAHASA EROPA KALIAN SUDAH PANDAI BERBUSANA EROPA KALIAN SUDAH PANDAI BERVISUAL EROPA TAPI KALIAN TETAP SAJA MONYET”

Kata-kata tersebut serupa dan memiliki arti yang sama dengan tulisan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Bumi Manusia.


(62)

Wajah Pramoedya juga tergambar pada sebelah kanan tulisan tersebut. Novel tersebut menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Minke, seseorang berdarah Jawa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia bahkan lupa nama aslinya sendiri. Minke adalah nama pemberian guru di sekolahnya. Ayahnya seorang bupati yang menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, tetapi Minke tidak suka akan hal itu dan menganggapnya kolot. Kata-kata pada mural di atas dilontarkan Tuan Mellema seorang berdarah Belanda kepada Minke pada saat berada di rumahnya.

“Kowe kira, kalau sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bahasa Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (Toer, 2002 : 43), kata-kata tersebut dilontarkan kepada Minke sebab Tuan Mellema tidak suka melihat orang pribumi berusaha meniru orang Eropa.

Pembuat mural menuliskan kalimat tersebut pada muralnya dengan tujuan memperingatkan dan bahkan mungkin menghina orang-orang yang bersifat seperti tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia tersebut. Eropa sudah menjadi tren sejak dulu, Eropa yang dimaksud pada zaman dulu adalah Belanda. Zaman dulu masyarakat menganggap Eropa adalah sesuatu yang hebat. Maka cara pandang orang Eropa juga dianggap sebagai cara pandang yang lebih baik daripada cara pandang orang Indonesia pada waktu itu. Kemudian orang-orang bersifat seperti “Minke” ini mulai mempelajari bahasa Eropa, berbusana seperti orang Eropa, dan berpandangan seperti orang Eropa, dan lupa kepada jati diri bangsa sendiri. Sedangkan Eropa yang dijadikan tren pada saat ini adalah semua hal berkiblat pada kultur Eropa. Contohnya penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah.


(63)

Remaja-remaja zaman sekarang sudah berlomba-lomba menguasai bahasa Inggris untuk kepentingan masa depan mereka, tetapi tidak sedikit juga yang mempelajari bahasa Inggris hanya untuk gengsi. Kegiatan belajar bahasa inggris dilakukan hanya untuk pamer dalam lingkup pergaulannya. Tidak ada salahnya belajar bahasa negara lain, selama masih mau belajar bahasa sendiri. Yang menjadi masalah adalah bukan keinginan untuk belajar, tetapi terlalu memandang baik secara berlebihan bahasa negara lain. Taman kanak-kanak dan sekolah dasar pun sudah ada yang menggunakan bahasa inggris dalam proses belajar mengajar, hal tersebut adalah hal yang tidak masuk akal untuk penulis. Penulis menganggap hal seperti itu adalah hal yang berlebihan dalam cara memandang bahasa negara lain.

Busana masyarakat zaman sekarang sebagian besar yang dijadikan tren adalah Eropa, Kota Paris. Produksi yang berhubungan dengan busana pada saat ini sudah banyak yang menjadikan Kota Paris sebagai acuan. Karena pemberitaan internasional mengatakan Kota Paris adalah pusat mode, kemudian masyarakat percaya begitu saja dan berpandangan bahwa model busana yang ada di Kota Paris adalah model busana yang bagus. Dampak pola pandang tersebut menyebabkan masyarakat kalangan menengah ke atas yang memiliki hobi belanja selalu memburu barang-barang terbaru keluaran Eropa. Mereka kebanyakan mengaku bukan karena tren untuk membeli produk Eropa tersebut, tetapi mereka membeli produk tersebut atas nama kualitas. Salah satu contoh bahwa masyarakat diperdaya oleh Eropa adalah dengan produk merk Hermes. Masyarakat menengah ke atas tidak akan asing mendengar merk tersebut, karena merk tersebut dianggap ternama di kalangan internasional. Harga tas


(64)

tersebut tidak hanya ratusan ribuan tetapi ada yang mencapai ratusan juta. Ketertarikan masyarakat terhadap tas Hermes ini tidak disia-siakan begitu saja oleh pengrajin yang ada di Indonesia. Tas merk Hermes palsu banyak ditemukan di Indonesia, bahkan penjualannya sangat mudah ditemukan secara online.

Tas Hermes dibuat oleh keluarga Hermes yang berasal dari Jerman dan menetap di Prancis. Pada tahun 1837 Thierry Hermes mempublikasikan merk Hermes pertama kalinya, tas tersebut didedikasikan untuk purveying bangsawan Eropa. Pada tahun 1855 memperoleh pujian dari pemerintah karena memenangkan exposition universelle di Paris. Pada tahun 1867 merk Hermes kembali mendapat medali emas pada kontes tersebut. Seandainya di Indonesia ada kontes semacam itu tentunya pengrajin-pengrajin di Indonesia juga memiliki kesempatan lebih agar barang produksinya dikenal oleh masyarakat luas.

Acuan busana Eropa adalah busana yang baik sudah dipahami oleh banyak orang di Indonesia sehingga dijadikan tren, padahal di Indonesia sendiri terdapat banyak busana yang lebih menarik daripada busana Eropa.


(65)

Contoh gambar tas Hermes Original (http://cpopon.blogspot.com/2012/01/cara-membedakan-tas-hermes-asli-dengan.html)

Contoh tas buatan pengrajin di Manding, Bantul, Yoyakarta (http://larasmanding.blogspot.com/2011/12/tas-kulit-6.html)


(66)

Dalam hal keterampilan dan kreatif penciptaan pengrajin Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan pengrajin tas-tas bermerk di luar negeri. Pengrajin tas di Indonesia hanya kalah dalam pola pikir masyarakat Indonesia sendiri yang terlalu menganggap produk Eropa lebih baik dibandingkan produk Indonesia.

Dalam hal cara pandang, cara pandang orang Eropa dianggap lebih baik daripada cara pandang orang Indonesia. Orang Eropa selalu dipandang lebih baik karena keadaan di sana dirasa lebih baik daripada keadaan di Indonesia. Pandangan tersebut menyebabkan banyak orang yang ingin menempuh pendidikan di Eropa. Banyak orang yang tertarik untuk mempelajari budaya orang lain dan melupakan budaya sendiri.

Interpretasi penulis secara keseluruhan tentang gambar tersebut adalah sindiran keras terhadap masyarakat kebanyakan pada zaman sekarang ini yang terlalu mengagung-agungkan Eropa, baik dari segi bahasa, busana, dan cara pandang. Keadaan di Eropa dan di Indonesia tidak bisa dianggap sama karena keadaannya memang benar-benar berbeda, sehingga sangat tidak masuk akal apabila cara pandang mengenai bahasa, busana, dan pemikiran di Eropa dipaksakan di Indonesia. Masyarakat yang memiliki cara pandang berlebihan terhadap Eropa secara tidak langsung dibuat tidak sadar bahwa dirinya adalah seorang warga Negara Indonesia.


(67)

2.3.2.2Mural dengan Menggunakan Satwa Orang Utan dan Anjing

Mural tersebut diambil pada simpang empat Demangan

Dalam mural tersebut terdapat tulisan “WORLD ANIMALS DAY. STOP KEKERASAN TERHADAP SATWA! 4 OCTOBER 2012”. Makna yang ada dalam mural tersebut untuk memperingati hari satwa sedunia yang diperingati secara internasional setiap tanggal 4 Oktober. Selain itu dalam mural tersebut terdapat pesan agar masyarakat menghentikan kekerasan kepada satwa, hal itu sampaikan jelas dengan tulisan “STOP KEKERASAN TERHADAP SATWA”. Hal ini perlu ditulis dalam mural agar masyarakat benar-benar sadar bahwa kekerasan terhadap satwa harus dihentikan. Maraknya satwa yang sengaja dimusnahkan menjadi keprihatinan sendiri pada hari satwa sedunia tersebut. Salah satu contoh kasus kekerasan terhadap


(68)

satwa yang pernah dimuat media massa adalah pembantaian orang hutan di Pulau Kalimantan.

Populasi orang utan sengaja dikurangi secara besar-besaran dengan cara dianiaya dan dibunuh. Orang utan dianggap sebagai hama di kebun kelapa sawit. Bahkan sebuah perusahaan dengan sengaja memberikan hadiah sebesar lima ratus ribu sampai satu juta rupiah bagi orang yang bisa membunuh seekor orang utan. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat bahwa orang utan termasuk satwa yang dilindungi secara hukum. Undang-Undang 5 tahun 1990 mengatur tentang konservasi daya alam hayati di ekosistemnya, adanya undang-undang itu semakin memperlihatkan sesuatu yang ironi ketika terbukti ada yang sengaja melanggarnya.

Foto orang hutan yang dianiaya (http://sosbud.kompasiana.com/2012/08/29/duh-orangutan-disiksa-lagi/)


(69)

Penulisan “4 October 2012” adalah informasi pemberitahuan yang sengaja dituliskan agar masyarakat mengerti bahwa pada setiap tanggal 4 Oktober adalah hari satwa sedunia. Tanggal itu perlu ditulis karena banyak masyarakat yang kurang peduli dengan keberadaan satwa yang ada di dunia, terutama masyarakat di Indonesia sendiri.

Di sebelah kiri tulisan terdapat gambar orang utan, seperti yang interpretasikan sebelumnya bahwa ada tema tertentu yang diangkat yaitu mengenai orang utan. Masalah mengenai orang utan tersebut sudah menjadi perbincangan dunia internasional, sehingga sungguh tidak masuk akal apabila masyarakat di Indonesia tidak tahu dan tidak peduli mengenai hal tersebut.


(70)

Pada sebelah kanan tulisan terdapat gambar anjing. Anjing dalam mural tersebut diinterpretasikan penulis sebagai anjing yang berjenis pitbull. Penulis menginterpretasi sebagai anjing jenis pitbull karena jenis anjing tersebut memiliki hubungan dengan kekerasan seperti yang tertulis dalam mural tersebut. Jenis anjing tersebut seringkali dipelihara bukan sebagai penjaga rumah, tetapi anjing tersebut dipergunakan sebagai anjing aduan. Perlombaan adu pitbull sudah sering dilakukan, adu pitbull tersebut tidak selalu anjing pitbull melawan anjing pitbull tetapi juga anjing pitbull melawan babi hutan.

2.3.3 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru

Saat ini orang bisa dengan mudah menemukan tokoh baru dalam mural-mural yang ada di Kota Yogyakarta. Tokoh tersebut sengaja dibuat untuk menunjukkan identitas perseorangan atau kelompok yang sering melakukan pembuatan mural Yogyakarta.

Tokoh mural yang dikaji oleh penulis adalah tokoh mural yang berinisial “HeRe-HeRe”. “HeRe-HeRe” memiiki ciri khas tokoh dalam mural terebut adalah kepala bundar dengan mulut tertawa. Mural dengan tokoh “HeRe-HeRe” tersebut memiliki sebuah keunikan, tokoh tersebut dapat digambar dengan berbagai macam karakter dan keadaan. Misalnya tokoh tersebut terlihat berpakaian seragam polisi lalu lintas berarti dengan kostum tersebut tokoh “HeRe-HeRe” bisa diinterpretasikan sebagai seorang polisi lalu lintas. Menurut penulis tokoh ciptaan baru tersebut


(71)

menarik untuk diteliti karena makna-makna yang terkandung di dalamnya sarat dengan kritik sosial.

Tokoh ciptaan baru lainnya dalam mural yang ditemukan penulis tampak dalam foto-foto berikut. Ada contoh lain dari tokoh ciptaan baru yaitu “ART PREK” dan “Tuyuloveme”. Tokoh “ART PREK” selalu menampilkan tokoh yang berubah-ubah, tokoh ciptaannya berbentuk abstrak dan tidak bisa dijelaskan itu adalah jenis mahluk apa. “ART PREK” sendiri menurut penulis adalah sebuah komunitas. Tokoh-tokoh yang diciptakan dalam mural bentuknya selalu berbeda-beda dan tidak pernah sama. Ciri-ciri tokoh baru “ART PREK” adalah adanya bintik-bintik dan garis-garis pendek dalam tokohnya.

Selain itu ada tokoh ciptaan baru dari pembuat mural yang menyebut diri sebagai “Tuyuloveme” memiliki ciri tersendiri yaitu berwujud kepala manusia yang berwarna hijau. Sebenarnya tokoh tersebut termasuk dalam kategori graffiti. Penulis menyebutnya tokoh itu termasuk dalam kategori graffiti karena tokoh tersebut selalu menjadi penghias pada gambar-gambar graffiti. Pola pewarnaan tokoh tersebut juga terlihat rumit dan menarik seperti halnya pewarnaan dan bentuk pada graffiti. Tokoh “Tuyuloveme” selalu menjadi penghias sebuah graffiti

Tokoh ciptaan baru dalam mural yang ditemukan penulis tampak dalam foto-foto berikut :


(72)

Gambar 1 tokoh “ART PREK” (http://www.artprek.blogspot.com/)


(73)

Gambar 3 dari “ART PREK” (http://www.artprek.blogspot.com/)


(74)

Gambar 2 tokoh “Tuyuloveme” (http://www.tuyuloveme.com/)

Berikut ini adalah gambar-gambar yang sudah dianalisis oleh penulis. Penulis memilih mural dengan tokoh ciptaan baru “HeRe-HeRe”. Mural dengan bentuk tokoh tersebut memiliki bantuk yang unik dan khas. Tokoh tersebut dapat ditemui hampir di berbagai tempat di Kota Yogyakarta.


(75)

2.3.3.1 HeRe-HeRe : MAU SIDANG ATAU BAYAR DI MUKA!


(76)

Foto polisi yang sedang melakukan razia sepeda motor

Mural tersebut bertuliskan “MAU SIDANG ATAU BAYAR DI MUKA!”. Interpretasi penulis pertama kali pada saat membaca tulisan tersebut adalah mengenai polisi dan tilang karena kalimat tersebut biasanya diucapkan saat seseorang diberi tilang. Penulis pernah mengalami sendiri sewaktu berurusan dengan polisi. Polisi selalu bertanya “mau sidang sendiri atau dititipkan saja?”.

Pertanyaan itu seakan-akan adalah tawaran bantuan yang diberikan polisi kepada seseorang yang diberi tilang karena yang akan mengikuti sidang bukanlah orang yang ditilang tetapi polisi yang akan mewakilinya. Orang yang ditilang tersebut sewajarnya tentu akan merasa terbantu dengan tawaran itu. Adanya ketidakwajaran tersebut yang menjadikan adanya gambar mural tersebut. Polisi dengan sengaja mencari-cari kesalahan kepada pengendara. Pengendara yang tidak melakukan


(77)

pelanggaran di jalan bisa jadi tiba-tiba diminta menepi dan mengikuti ke pos oleh polisi yang sedang bertugas. Kesalahan yang sengaja dibuat-buat antara lain kelengkapan kendaraan misalnya spion, lampu belakang tidak menyala atau bercahaya menyilaukan, lampu sore atau utama yang tidak dinyalakan sewaktu siang hari, tidak adanya sepat bor, dan lain-lain.

Sebenarnya masalah-masalah seperti itu tidak merugikan orang lain. Dari sisi keamanan dan kenyamanan lebih berpengaruh kepada pengguna kendaraan itu sendiri, tetapi polisi yang menilang selalu mengatasnamakan keamanan dan kenyamanan pengendara yang lain dan adanya peraturan yang sudah ditetapkan. Permasalahan seperti ini sering terjadi dan tidak hanya di Kota Yogyakarta.

Letak mural tersebut berada di jembatan Kleringan, dan terlihat sangat jelas sebelum nantinya berada si simpang empat. Di simpang empat tersebut ada pos polisi yang seringkali terlihat menilang pengendara, kebanyakan sepeda motor. Mural tersebut menurut interpretasi penulis memiliki makna memperingati pengendara lebih berhati-hati sebelum ditilang, misalnya pengendara menjadi menghidupkan lampu utama agar nantinya tidak ditilang. Selain itu, mural tersebut memiliki sindiran terhadap pihak kepolisian yang seringkali tidak bekerja secara optimal karena masih terjadi kemacetan di sekitar daerah tersebut. Polisi terlihat sering menilang daripada mengatur lalu lintas di simpang empat tersebut, bahkan polisi yang sedang bertugas di pos tersebut terlihat tidak bekerja dan hanya sekadar duduk-duduk saja.

Mural tersebut adalah wujud keantipatian dan tidak adanya penghargaan kepada pihak kepolisian karena dinilai tidak bekerja dan hanya merugikan


(78)

masyarakat. Polisi yang seharusnya bisa menjadi rekan masyarakat malah seringkali menjadi hal yang dikhawatirkan oleh masyarakat, dalam konteks ini adalah pengendara. Polisi yang sedang berjaga di pos rasanya menjadi sebuah kekhawatiran bagi masyarakat karena masyarakat selalu takut apabila tiba-tiba laju kendaraannya dihentikan dan akan ditilang.

Baju yang dikenakan tokoh dalam mural tersebut persis dengan seragam yang sering digunakan polisi lalu lintas pada saat bertugas. Hal ini menyatakan dengan jelas bahwa tokoh di dalam mural tersebut adalah wujud seorang polisi lalu lintas. “Mau sidang atau bayar di muka!” kalimat tersebut hanya bisa diucapkan seorang polisi lalu lintas, karena tidak ada lagi pihak yang bisa melakukan tilang. Penggunaan tanda seru memiliki makna tersendiri. Lain halnya jika yang digunakan adalah tanda tanya, berarti itu sebuah pertanyaan akan memilih sidang atau bayar di tempat. Penggunaan tanda seru menunjukkan bahwa korban tilang tidak memiliki pilihan lain dan seakan-akan dibentak-bentak semaunya oleh oknum polisi pada saat menjalani proses penilangan.

Pungutan liar yang seringkali disebutkan oknum polisi nakal titipan untuk sidang berjumlah tidak sedikit, nominalnya dimulai dari dua puluh ribu rupiah. Dalam proses pungutan liar tersebut oknum polisi tersebut seringkali pamer kepada korban yang ditilang, oknum tersebut menyatakan bahwa dirinya baik hati. Oknum polisi tersebut memperlihatkan tarif maksimal yang harus dibayar kepada seseorang yang kena tilang, jumlah tarif tilang tersebut mencapai jutaan rupiah dan juga adanya hukuman kurungan penjara. Dengan menunjukkan hal tersebut oknum polisi


(79)

seakan-akan dipandang baik hati dan merasa berjasa karena tidak memberikan sanksi yang berat bagi korban tilang. Seberapa terlihat baik oknum polisi tersebut tetap saja merugikan pengendara yang menjadi korbannya.

2.3.3.2 HeRe-HeRe : TIDAK PERLU ADA SENJATA UNTUK MENGAMANKAN UNJUK RASA

Foto di atas diambil pada simpang empat hotel Melia

Dalam mural tersebut terdapat tulisan “TIDAK PERLU ADA SENJATA UNTUK MENGAMANKAN UNJUK RASA!”. Tulisan dalam mural tersebut sangat jelas dan mudah untuk dimengerti. Penulis menginterpretasikan mural tersebut


(80)

bermakna memperingatkan kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk memegang senjata, yaitu polisi dan tentara. Peringatan tersebut ditujukan kepada mereka berkaitan tentang unjuk rasa yang akan dilakukan oleh masyarakat sewaktu melakukan unjuk rasa.

Pada sebelah kanan tulisan tersebut terdapat sebuah tokoh yang memegang senjata api, menurut interpretasi penulis tulisan tersebut ditujukan kepada semua pihak yang memiliki hak kepemilikan senjata api, dalam konteks ini adalah polisi dan tentara.

Dalam media massa dapat dilihat sudah banyak oknum pemegang senjata yang menyalahgunakan haknya. Pemilik senjata yang seharusnya bisa menggunakan senjatanya secara bijak tetapi sering kali menyalahgunakannya. Para oknum tersebut tidak layak memperoleh hak kepemilikan senjata. Hak kepemilikan senjata terlihat sangat mudah jika kita hanya melihat dari oknum-oknum penyalahgunaan haknya, padahal sebenarnya hak kepemilikan senjata api sangat sulit didapatkan. Banyak syarat yang harus ditempuh terlebih dahulu apabila ingin mendapatkan hak kepemilikan senjata. Penggunakan senjata api secara salah bukan hanya dilakukan oleh pihak pribadi saja, bahkan ada yang dikoordinir terlebih dahulu.

“Polisi melakukan penyerangan dan penembakan terhadap warga bahkan warga yang sudah menyerah kemudian diperlakukan secara tidak manusiawi dengan cara ditembak dari jarak dekat, dipukul, diseret dan ditendang," tutur Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh kepada wartawan di Jakarta, Selasa (3/1).


(81)

(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f02f49c2b172/komnas-ham-polri-bertindak-berlebihan-di-bima).

Hal tersebut hanya salah satu contoh berita yang dimuat media massa nasional. Pada saat itu, akhir 2011, di Bima, Nusa Tenggara Barat, terdapat suatu konflik perihal perizinan usaha tambang, di mana pada saat itu akhirnya melibatkan banyak pengunjuk rasa yang tidak setuju dengan pengeluaran izin tersebut. Kejadian tersebut mengakibatkan korban jiwa. Ada banyak bukti dan saksi yang menunjukkan penggunaan senjata api secara bersama-sama dan memunguti selongsong peluru sesudahnya, dalam kejadian tersebut terlihat bukti penyalahgunaan senjata api secara terkoordinir.

Jika kembali mengingat masa lalu sebelum Soeharto lengser, pada jaman kepemimpinannya terdapat banyak sekali pelanggaran HAM. Penyalahgunaan senjata api banyak sekali dilakukan terutama kepada pihak-pihak yang tidak mendukung jalannya pemerintahan yang ada pada saat itu, contohnya pengunjuk rasa. Hal ini masih jelas teringat karena pada saat itu penyalahgunaan kewenangan dan senjata api sangat ditakuti.

Penulis menginterpretasi makna mural tersebut adalah wujud penolakan terhadap penyalahgunaan senjata api. Mural tersebut mewakili masyarakat dan pengunjuk yang menolak keras penyalahgunaan senjata api pada saat berlangsungnya hak unjuk rasa. Jika hal tersebut terjadi maka pengunjuk rasa yang mewakili suara-suara masyarakat tidak bisa mengeluarkan aspirasinya dengan tenang karena adanya senjata-senjata yang dirasa mengancam karena sudah membuat takut terlebih dahulu.


(1)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dalam skripsi ini penulis mengkategorikan mural menjadi 6 jenis, yaitu mural dengan menggunakan tokoh ternama, mural dengan menggunakan gambar satwa, mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru, mural dengan menggunakan ikon, mural dengan mengunakan bentuk tulisan, dan mural dengan menggunakan unsur kebudayaan. Penulis mengkategorikan mural-mural yang diteliti dengan mempertimbangkan unsur instrinsik yang terdapat pada mural tersebut. Unsur instrinsik tersebut berupa bentuk corak, bentuk, warna

Setelah meneliti makna di dalam mural, kemudian penulis mengkaji fungsi yang terdapat dalam mural. Hal tersebut dikarenakan untuk mengerti tujuan dibuatnya mural, orang harus mengerti terlebih dahulu makna yang terkandung dalam mural.

Mural dibuat dengan berbagai macam alasan. Alasan tersebut harus sesuai dengan fungsi untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai. Dalam satu buah mural bisa terdapat lebih dari satu makna dan fungsi. Makna dan fungsi mural dapat diketahui dengan cara menghubungkan unsur intrinsik mural tersebut dengan lokasi


(2)

penempatan mural dan dengan melihat situasi kondisi kehidupan masyarakat pada saat itu.

Pembacaan makna mural harus disertai dengan melihat situasi kondisi di sekitar lokasi pembuatan mural tersebut. Makna dan fungsi mural dapat diinterpretasikan secara logis berdasarkan tanda-tanda yang terdapat dalam mural. Pembuat mural sudah memikirkan terlebih dahulu makna dan fungsi mural yang akan dibuat, sehingga lokasi pembuatan mural juga sudah dipikirkannya. Lokasi pembuatan mural berperan penting untuk menentukan orang-orang yang ditargetkan untuk melihat mural, agar nantinya pesan yang ingin disampaikan oleh pembuatnya dapat diterima dengan jelas oleh masyarakat yang ditargetkan. Untuk menginterpretasi makna mural masyarakat juga dapat menghubungkan isu yang sedang beredar pada saat dibuatnya mural tersebut. Oleh karena itu masyarakat yang melihat mural tersebut dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan.

Terdapat berbagai macam fungsi yang terdapat dalam mural di Kota Yogyakarta. Fungsi-fungsi tersebut yaitu : menyampaikan kritik kepada masyarakat , mengingatkan agar jangan bertindak anarkis, mengenalkan kembali tokoh-tokoh sastra Indonesia dan karyanya, membantu memperingatkan perlengkapan kendaraan pengguna kendaraan agar nantinya tidak menjadi korban pungutan liar polisi lalu lintas, menyampaikan kritik sosial kepada pihak seluruh polisi lalu lintas yang sering mencari-cari alasan untuk bisa mendapatkan pungutan liar kepada pengguna kendaraan, menyampaikan pesan kepada aparat agar tidak menggunakan senjata pada


(3)

saat terjadi unjuk rasa, wujud penghinaan kepada aparat, penekanan makna pluralisme yang ada di Yogyakarta, wujud ketidakterimaan masyarakat Yogyakarta terhadap pernyataan SBY, pembuktian bahwa masyarakat Yogyakarta berani melawan kepada presiden SBY, membantu iklan suatu produk, media sebagai publikasi acara, mengingatkan pada masyarakat bahwa Indonesia memiliki berbagai macam budaya pada setiap daerah-daerahnya, wujud pengakuan dan mempertahankan kebudayaan, dan menjadi simbol bahwa masyarakat pendatang dari berbagai daerah di Indonesia bisa berada dan hidup berdampingan dengan baik di Yogyakarta.

Mural dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi visual. Tanda-tanda yang diletakkan di dalam mural sengaja dibuat oleh pembuat mural agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh masyarakat yang nantinya akan melihat mural tersebut. Ikon-ikon yang berfungsi untuk menyimbolkan sesuatu yang terdapat dalam mural dapat menjadi interaksi sosial.

 

4.2 Saran

Dalam penelitian ini masih banyak ditemui kekurangan, di antaranya ranah penelitian penulis yang kurang luas. Sebagian besar mural yang dijadikan objek penelitian ditemukan penulis di ruang publik yang sering dilewati oleh khalayak ramai. Untuk penelitian lebih lanjut supaya bisa lebih dikembangkan lagi dengan cara


(4)

mencari objek-objek di perkampungan warga yang kurang memiliki daya tarik masyarakat sebagai ruang publik. Penulis sangat yakin bahwa di tempat tersebut juga terdapat mural yang bisa digunaan sebagai sarana komunikasi ke masyarakat di sekitarnya.

Selain kurang luasnya jangkauan objek penelitian, hasil penelitian tugas akhir ini masih bisa dikembangkan lagi. Kurang luasnya wawasan penulis membatasi kemungkinan-kemungkinan penemuan hasil penelitian. Menurut penulis masih banyak hasil lain berupa makna dan fungsi mural yang bisa dikaji secara lebih mendetail.


(5)

Daftar Pustaka

Baryadi, Praptomo. 2007. Teori Ikon Bahasa : Salah Satu Pintu Masuk ke Dunia

Semiotika. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Barthes, Roland. 1972. Mythologies . Diterjemahkan oleh: Anete Laver. New York :

Hill and Wang.

Berger, Arthur Asa. 2005. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.

Diterjemakhkan oleh: M. Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas. Yogyakarta: Penerbit BukuBaik.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai

Semiotika dan Teori Komunikasi. Diterjemahkan oleh: Evy Setyarini dan

Lusi Lian Piantari.Yogyakarta : Jalasutra

Fiske, John. 2007. Cultural dan Communication Studies. Diterjemahkan oleh: Drs.

Yosal Iriantara, MS. Dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Jalasutra.

Grenz, Stanley J. 2001. A Primer on Postmodernism; Pengantar Untuk Memahami

Postmodernisme. Diterjemahkan oleh: Wilson Suwanto. Yogyakarta:

Yayasan Andi.

Hawkes, Teremce, 1977, Structuralism and Semiotics, Amerika Serikat: University of

California Press.

Jogja Mural Forum. 2008. Kampung Sebelah Art Project. Jogja Mural Forum .

Jogja Mural Forum. 2008. Kode Pos Art Project. Jogja Mural Forum.

Kurniawan, Roland Barthes. 2001. Semiologi .Penerbit Yayasan Indonesiatera.

Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Lingustik. Diterjemahkan oleh: I.Soetikno.


(6)

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Seiler, Handjakob. 1995. “Iconicity between Indicativity and Predicativity.” Dalam

Raffaele Simone (ed.). Iconicyty in Language. Amsterdam/ Philadeplhia:

John Benyamin Publishing Company.

Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.