Operasi Kapal Penangkap Ikan Standar Teknologi Kapal Penangkap Ikan

31 3 Ruang kemudi merupakan ruangan tertutup pada kapal ikan yang berada di atas geladak ukur yang berfungsi sebagai ruang untuk mengemudikan kapal ikan; 4 Ruang mesin merupakan ruangan tertutup pada kapal ikan yang berfungsi sebagai tempat mesin penggerak kapal; 5 Ruang Bahan bakar minyak merupakan ruangan tertutup pada kapal ikan yang berfungsi sebagai penyimpanan bahan bakar minyak BBM kapal; 6 Tangki air tawar merupakan ruangan tertutup pada kapal ikan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan persediaan air tawar yang diperlukan para ABK untuk keperluan makan, minum, dan MCK. Biasanya tangki air tawar ini berbentuk silinder atau tabung.

2.7 Sistem Informasi Registrasi Kapal Perikanan

Pada tahun 2004 sistem informasi kapal perikanan telah dikaji oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap bersama COFISH Project de ngan judul ” Sistem Informasi Sarana Registrasi Kapal di bawah 30 GT”, lokasi ujicoba di Kota Pekalongan, Jakarta, dan Medan. Namun sangat disayangkan sistem informasi ini menurut informasi DKP Kota Pekalongan tidak berlanjut dengan baik. Adapun tampilan dari sistem informasi dimaksud adalah seperti ditampilkan pada Gambar 6, 7 dan 8 berikut ini. Gambar 6 Halaman utama sistem informasi sarana registrasi kapal 32 Gambar 7 Sistem informasi pada tampilan halaman RTPPP Pada tampilan halaman RTPPP di atas, menampilkan struktur data mulai dari kode RTP, nama RTPPP, alamat, KotaKabupaten, Jumlah kapal, dan keterangan. Gambar 8 Sistem informasi pada tampilan halaman Kapal Ikan 33 Gambar 8 menampilkan halaman Kapal Ikan dengan struktur data mulai dari No Reg, Nama Kapal, Nama RTPPP, Jumlah ABK, GT, Alat tangkap, Pangkalan, WPP I, dan KotaKabupaten.

2.8 Sumberdaya Manusia Tim Terpadu Registrasi Kapal Ikan

Menurut Hardjana 2001, bila pada suatu lembaga sudah menyiapkan fasilitas seperti gedung yang nyaman, peralatan modern, namun bila tidak didukung oleh sumberdaya manusia yang bermutu maka lembaga tersebut sangat sulit untuk mencapai tujuannya secara optimal. Bahkan banyak lembaga yang beranggapan bahwa tenaga kerjanya akan lebih tahu tentang pekerjaannya, termotivasi dan lebih cakap dalam pekerjaannya hanya dengan bertambahnya masa kerja. Paradigma seperti ini harus segera diubah sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini, untuk mempercepat peningkatan mutu tenaga kerja dapat dilakukan dengan mengikuti pelatihan pada bidang yang dibutuhkan disertai dengan masukan untuk memotivasi tenaga kerja tersebut. Menurut Ulh-Bien, 2002. dalam organisasi modern saat ini mekanisme utama adalah kerjasama tim untuk menginovasi dan melakukan perubahan secara cepat. Dengan demikian, dirancang untuk memanfaatkan kepemimpinan dan keterpaduan lintas fungsional kerja tim dan meniadakan subordinasi dan permainan individu. Sayangnya, penelitian tentang lintas fungsional tim terpadu langka dan sebagian besar bersifat teoritis. Meningkatnya penggunaan tim-tim terpadu oleh organisasi modern, seiring berjalannya waktu akan terbentuk pengembangan teori dalam sistem yang terpadu. Awalnya mengembangkan manajemen diri dan kemudian dibuat model tim terpadu. Pembuatan model tim terpadu pada desain proyek lintas fungsional dalam rangka mengembangkan kerangka teori untuk meneliti efektivitas kerja sama tim, terintegrasi lintas fungsional. Efektifitas kerja tim akan terwujud oleh tim yang dibentuk dengan sumberdaya manusia yang mempunyai latar pendidikan sesuai dengan pekerjaan yang akan dijalani bila bidang pekerjaan yang akan dilakukan adalah bidang eksakta dan memerlukan tingkat keilmuan yang rumit, maka anggota tim diutamakan berlatar belakang eksakta dan berpendidikan minimal sarjana strata 34 1, dan terjadi komunikasi yang harmonis sesama anggota tim tentunya karena didukung oleh sikap dan pola pikir dari masing-masing anggota tim.

2.9 Pengelolaan Perikanan Tangkap

Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan dunia hanya tinggal 4 yang belum dieksploitasi, 21 dieskploitasi pada tingkat sedang, 65 dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9 rusak, dan tidak lebih dari 1 yang pulih Garcia Moreno, 2001. Intensifnya penangkapan ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah pantai. Kini, ciri dasar perikanan sedang mengikuti perikanan hipotetik Ricker 1975 dimana pada fase awal populasi ikan tumbuh sampai ukuran maksimum dan perubahannya hanya diatur oleh pertumbuhan dan kematian alami. Ketika tekanan ekploitasi semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher 2004 dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850- 2000”. Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65 sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih dari 10 per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar trawl dan purse-seine melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT 2005 pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2 per tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP 2003 nelayan tumbuh di atas 2 per tahun dan melebihi 35 laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World Development 2003 menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan. Sejak lama sebetulnya pemerintah telah mengembangkan beberapa pola yang secara langsung mengatur sub-sektor perikanan tangkap. Surat Keputusan SK Menteri Pertanian No. 607KptsUm91976 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan untuk mereduksi konflik perikanan. SK ini diperkuat dengan beberapa SK lain dan pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK 392KptsIK.12041999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru beserta karakter kapal dan alat tangkapnya. Pemerintah juga mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan ”total allowable catch”, TAC melalui SK Menteri Pertanian No. 473KptsIK.25061985 untuk perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesie ZEEI. Kebijakan ini juga secara tegas tertuang dalam Undang-Undang UU Perikanan yang baru No. 312004 pasal 7. Selain perijinan perikanan yang diperkenalkan sejak lahirnya UU Perikanan No. 91985, registrasi kapal ikan juga telah menjadi salah satu alat pengelolaan. Sayangnya, efektivitas pengelolaan perikanan yang dikembangkan selama ini tidak memuaskan. Dalam banyak kasus, dominasi negara yang berlebihan justru menghilangkan berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Walaupun UU perikanan No. 312004 menyebutkan keharusan memperhatikan hukum adat dan pentingnya memperhatikan peran-serta masyarakat pasal 6 ayat 2, namun tidak ditemukan penjelasan lain lebih jauh dan nampak peran pemerintah dalam pengelolaan perikanan masih mendominasi. Pada saat ini pemerintah telah memperbaharui tentang jalur penangkapan ikan melalui Peraturan Menteri Permen Kelautan dan Perikanan RI Nomor Per.02MEN2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan