Analisis data identifikasi kasus IUU Fishing

61 dan input tidak terkontrol yang akan menghasilkan output yang diharapkan maupun output yang tidak diharapkan Gaspersz, 1992 Terdapat tiga input yang berbeda dalam sistem registrasi kapal ikan di Provinsi Aceh, yaitu input lingkungan, input terkontrol dan input tidak terkontrol. Input lingkungan merupakan input yang berasal dari luar sistem, yaitu berupa kebijakan pemerintah pusat, di antaranya berupa Peraturan Menteri Perhubungan Permenhub Nomor KM 6 Tahun 2005 tentang Pengukuran Kapal, yang pelaksanaannya melalui Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Nomor PY.67113-1990 diperbaharui dengan Nomor PY.67116-2002 tentang cara pengukuran dalam negeri untuk menghitung gross tonase kapal. UU No 45 tahun 2009 tentang perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.14MEN2008 tentang Tim Pemeriksa Fisik Kapal, Alat Penangkap Ikan, dan Dokumen Kapal Penangkap Ikan danatau Kapal Pengangkut Ikan, Jaringan Internet Input terkontrol antara lain berupa 1 jumlah tenaga pelaksana registrasi, 2 peraturan daerah, 3 metode pengukuran, 4 keterampilan dan pengetahuan tenaga pelaksana registrasi, 5 kesadaran pemilik kapal, 6 penggunaan alat tangkap. Faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan secara mandiri oleh Pemda serta melalui peraturan-peraturan daerah yang ada. Faktor-faktor input yang tidak dapat dikontrol diantaranya adalah 1 Kebijakan lokalperaturan adat, 2 Pembuat kapal, 3 Pengawasan terhadap Unit Pelaksana Teknis UPT pusat Syahbandar. Input-input ini sulit dan bahkan tidak dapat dikontrol oleh pemerintah daerah. Output yang ada berupa output dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki di antaranya adalah 1 kapal dapat beroperasi secara legal, 2 proses pengurusan dokumen dalam waktu singkat, 3 biaya proses sesuai peraturantransparan, 4 pelaksanaan perijinan dalam satu atap, 5 informasi pelaksanaan proses perijinan dapat diketahui dan ditelusuri dengan mudah. Output yang tidak dikehendaki adalah 1 proses pengurusan dokumen tidak dapat dipastikan waktunya, 2 biaya proses pengurusan dokumen tidak sesuai dengan 62 aturan, 3 proses penyelesaian dokumen terdapat pada masing-masing instansi, 4 dokumen yang dihasilkan tidak sesuai dengan kondisi fisik kapal sebenarnya. Diagram input-output disajikan pada Gambar 15 berikut. Gambar 15 Diagram input-output Input tidak terkontrol : Peraturan adat Pembuat kapal UPT pusat Syahbandar Manajemen Pengendalian Input terkontrol : Keterampilan dan pengetahuan pelaksana registrasi Jumlah tenaga registrasi Peraturan daerah Kesadaran pemilik kapal Metode pengukuran Penggunaan Alat tangkap Output yang tidak dikehendaki : Waktu proses dokumen tidak pasti Biaya proses tidak jelas Proses dokumen pada masing-masing instansi Dokumen tidak sesuai fisik Output yang dikehendaki : Kapal dapat beroperasi legal Proses dokumen singkat Biaya transparan Perijinan satu atap Proses perijinan dapat ditelusuri PROSES LINGKUNGAN Aturan Pusat Jaringan Internet 63

4.6 Kesimpulan

Hasil kajian permasalahan registrasi kapal ikan saat penelitian dapat dikelompokan menjadi permasalahan Administrasi , peraturan dan kelembagaan, serta pelayanan. Permasalahan tersebut antara lain: 1 Dokumen yang tidak akurat dan tidak terdaftar di pusat; 2 Penerapan aturan yang tidak transparan baik secara administrasi maupun pembiayaan; 3 Informasi pelaksanaan proses perijinan tidak dapat diketahui dan ditelusuri dengan mudah; 4 Terdapat pemahaman yang berbeda terhadap peraturan yang berhubungan dengan registrasi kapal; 5 Pelayanan yang diberikan oleh instansi terkait tidak terpadu. 6 Pada diagram lingkar sebab akibat menunjukkan bahwa ketidak seimbangan dampak negatif yang terjadi, sehingga kesisteman tidak berjalan secara baik bahkan lama kelamaan sistem akan berhenti. 64 5 KAJIAN KUANTITATIF PENGUKURAN DIMENSI DAN PERHITUNGAN VOLUME KAPAL IKAN 5.1 Pendahuluan Awalnya pengukuran dan perhitungan dimensi kapal ikan di setiap negara berbeda-beda. Hal ini yang menimbulkan masalah bagi kapal-kapal yang mempunyai rute pelayaran lintas negara. Atas dasar permasalahan tersebut, maka pada tahun 1927 dibuat kesepakatan tentang pengukuran kapal di Oslo, Norwegia, adapun kesepakatan tersebut adalah memberlakukannya cara mengukur MOORSOM, aturan ini berlaku juga untuk Indonesia maka dikeluarkanlah Ordinansi PengUkuran Kapal Sceepmentie Ordonantie 1927. Karena pentingnya suatu sistem yang berlaku secara internasional, maka pada tanggal 27 Mei hingga 23 Juni 1969 diadakanlah konferensi bertempat di London untuk merumuskan konvensi tentang pengukuran yang berlaku internasional. Pada konferensi tersebut dihasilkan 3 tiga rekomendasi yaitu: 1 Disahkannya International Convention on Tonnage Measurement of Ship 1969; 2 Penggunaan isi kotor gross tonnage dan isi bersih net tonnage sebagai paramenter pengukuran; dan 3 Adanya penafsiran yang seragam terhadap definisi dan istilah. Pemerintah Indonesia kemudian mengikuti hasil konvensi tersebut dan dituangkan dalan Kepres Nomor 5 tahun 1990 tentang International Convention on Tonnage Measurement of Ship . Kemudian kita kenal dengan istilah TMS 1969 untuk pengukuran kapal. Pentingnya pengukuran dan penghitungan volume kapal ikan adalah agar dapat mengetahui dengan pasti kapasitas kapal itu sendiri terkait data produksi ikan dan produksi ini nantinya akan berguna untuk pendugaan stok ikan yang ada tentunya untuk keberlanjutan kegiatan penangkapan itu sendiri, disamping itu untuk keperluan data statistik yang valid. Untuk saat ini mungkin yang lebih terfikir adalah terkait penerimaan negara bukan pajak melalui perijinan usaha perikanan yang masih berdasarkan pada besar kecil angka gross tonase. 65

5.2 Tujuan

Menentukan cara pengkuran dimensi dan perhitungan volume kapal yang dapat diterima baik oleh pemilik kapal maupun instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan kapal perikanan

5.3 Manfaat

Mendapatkan hasil ukuran yang sesuai dengan fiisk kapalnya dan mempermudah bagi petugas lapangan dalam mengidentifikasi dimensi kapal.

5.4 Metodologi

Data primer yang dikumpulkan berupa pengukuran langsung di lapangan terhadap yang berukuran 30 GT. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif komparatif, dengan menggunakan formula seperti pada Tabel 14. Untuk metode pengukuran panjang kapal berdasarkan TMS 1969, dan panjang geladak utama masing-masing dijabarkan pada Gambar 14 dan Gambar 15. Tabel 15 Perbandingan antara dua cara pengukuran Internasional dan Dalam Negeri No Parameter Cara pengukuran Kapal dengan panjang ≤ 24 meter diukur dengan cara internasional Kapal dengan panjang ≤ 24 meter diukur dengan cara pengukuran dalam negeri 1 Definisi GT Ukuran besarnya kapal secara keseluruhan dengan memperhitungkan jumlah isi semua ruangan tertutup baik di atas geladak utama maupun di bawah geladak utama Ukuran isi dari ruangan di bawah geladak utama ditambah dengan ukuran isi dari semua ruangan di atas geladak utama yang tetutup secara sempurna dan yang dapat digunakan untuk muatan, atau pengangkutan kuatan 2 Rumus GT = 0,353 x V Nomura GT = 0,25 x V Perla 3 Konstanta K 1 = 0,353 K 1 = 0,25 4 Cara pengukuran Volume 1 Untuk ruangan tertutup dengan bentuk teratur, merupakan hasil perkalian majemuk antara panjang, lebar, dan tinggi ruangan Metode sesuai ordinansi pengukuran kapal 1927, dimana : 1 Untuk ruangan di atas geladak atas merupakan perkalian majemuk