138
9 PEMBAHASAN UMUM
Registrasi kapal ikan adalah suatu kegiatan menata administerasi kapal- kapal ikan, sehingga kapal dinyatakan layak secara fisik dan legal secara hukum.
Maksud dari kegiatan ini adalah agar pemilik kapal ikan berhak mendapatkan dokumen-dokumen kapal seperti: a Gross Akte, b Surat Ukur, c Pas
Tahunan, d Sertifikat Kelaiklautan, e Surat Ijin Usaha Perikanan, f Surat Ijin Penangkapan Ikan. Tujuannya adalah agar kapal terhindar dari praktik IUU
Fishing , melaksanakan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan serta
mematuhi semua peraturan yang berlaku seperti: UU 312004 Tentang Perikanan, UU 172008 Tentang Pelayaran. Manfaatnya terciptanya pengelolaan perikanan
yang lebih baik, mempermudah dalam pengawasan, dan dapat memberikan kepercayaan jaminan kepada lembaga keuangan untuk mendapatkan skim kredit.
Dalam perjalanannya registrasi kapal ikan seringkali menjadi sebuah polemik karena pelaksanaannya dilakukan oleh dua institusi yang berbeda, banyak
terjadi permasalahan dan didera dengan isu markdown yang sangat merugikan baik bagi pemilik kapal maupun pemerintah, isu biaya tinggi dalam pemrosesan
dokumen yang sangat memberatkan para pemilik kapal. Permasalahan yang ada dapat diidentifikasi dari data ulang didapat dari lapangan baik survey langsung
maupun data sekunder yang didapat instansi terkait .
9.1 Kajian Registrasi Kapal Ikan Saat Penelitian
Setiap kapal dengan besaran GT lebih besar dari 7 proses registrasi yang harus dilalui adalah, pemilik kapal mengajukan permohonan untuk diregistrasi,
proses dilakukan di AdpelSyahbandar kemudian harus di kirim ke Pusat Subdit Pengukuran dan Pendaftaran Kebangsaan Kapal di Jakarta setelah mendapat
pengesahan kemudian dikembalikan ke daerah Syahbandar untuk diterbitkan Surat Ukur, Sertifikat Kelaiklautan, Gross Akte, dan Pas Tahunan. Sebagai
penerbit Gross Akte dan Pas Tahuanan Pertama adalah Syahbandar dengan kelas tertinggi untuk di Provinsi Aceh adalah AdpelSyahbandar Sabang dan
AdpelSyahbandar Lhokseumawe. UU No.17 tahun 2008. Namun pada
139
kenyataannya banyak proses yang tidak sesuai dan tidak sampai ke pusat, dengan demikian dokumen yang diterbitkan menjadi cacat secara hukum.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data, bahwa pada data ada perbedaan antara jumlah kapal yang terdaftar di pusat dengan yang terdaftar pada masing-
masing Kantor Administrasi Pelabuhan KANPELSyahbandar di Provinsi Aceh.
9.2 Kajian Pengukuran Dan Perhitungan Dimensi Kapal Ikan
Awalnya pengukuran di setiap negara berbeda-beda, hal ini yang menimbulkan masalah bagi kapal-kapal yang mempunyai rute pelayaran lintas
negara. Atas dasar permasalahan tersebut, maka pada tahun 1927 dibuat kesepakatan tentang pengukuran kapal di Oslo, Norwegia, adapun kesepakatan
tersebut adalah memberlakukannya cara mengukur MOORSOM, aturan ini berlaku juga untuk Indonesia maka dikeluarkanlah Ordinansi Pengkuran Kapal
Sceepmentie Ordonantie 1927. Pengkuruan kapal di Indonesia terdapat dua jenis pengkuruan yaitu pengukuran dalam negeri untuk kapal dengan panjang kurang
dari 24 meter dan pengukuran internasional untuk kapal dengan panjang lebih dari 24 meter Permenhub No.5 tahun 2006.
Hasil kajian berdasarkan pengkuruan yang dilakukan langsung di lapangan membuktikan bahwa pada kapal di atas 10 GT didominasi oleh selang panjang 14
– 19 meter di Aceh Timur karena kapal-kapal tersebut dianggap kapal yang paling cocok untuk mengoperasikan alat tangkap purse seine, dan Aceh Timur
memepunyai Pelabuhan Perikanan Pantai PPP Idie dengan kolam pelabuhan yang luas untuk menampung kapal-kapal ukuran besar.
Kemudian dilakukan pula perhitungan ratio antara panjang keseluruhan LOA terhadap dimensi lainnya L, B, D, dan superstructure hal ini hanya dapat
diterapkan di Provinsi Aceh. Bila ingin melakukan perhitungan ratio antara LOA dengan dimensi yang lain untuk di daerah lain, sebaiknya terlebih dahulu
mengambil sampel ukuran kapal-kapalnya kemudian menghitung rationya. Hal ini dilakukan karena di setiap daerah mempunyai spesifikasi kapal yang berbeda.
Hasil perhitungan GT berdasarkan panjang LOA menunjukkan bahwa perhitungan menggunakan formularumus yang digunakan oleh Perla, maka
semakin panjang kapal akan semakin banyak kehilangan besaran GT.
140
9.3 Rancangan Pengelolaan Registrasi Kapal Ikan Terpadu
Pada kajian sebelumnnya tentang kondisi sistem registrasi kapal ikan yang ada, terdapat berbagai permasalahan baik yang sifatnya teknis dan non teknis,
permasalahan teknis seperti cara pengukuran dan perhitungan GT yang masih banyak kesimpang siuran dan non teknis yang lebih cenderung kepada hal
adminitratif seperti penyelesaianproses dokumen yang mengalami perjalanan sangat panjang. Dengan sistem registrasi kapal ikan terpadu diharapkan tidak lagi
terjadi kesimpangsiuran dalam pengukuran dan perhitungan dimensi kapal ikan, karena sistem ini dirancang keterpaduan antara instansi yang terkait lansung
dalam ini adalah DKP, Syahbandar, Dishub. Dalam melaksanakan tugasnya secara bersamaan dan telah melalui pembekalanpelatihan sebelumnya sehingga
pada implementasinya sudah ada kesepakatan baik dari sisi pengukuran maupun penghitungan nilai GT.
Sistem registrasi kapal ikan terpadu dapat dilaksanakan efektif sesuai dengan konsepnya yaitu pada kapal dengan volume di bawah 7 GT, kerena kapal-
kapal dengan volume di bawah 7 GT tidak melibatkan instansi pusat, sehingga daerah dapat mengeksekusi secara langsung, sedangkan untuk kapal-kapal di atas
7 GT masih dilakukan secara offlinemanual terutama untuk berurusan dengan pusat.
9.4 Sistem Informasi Registrasi Kapal Ikan
Sub-sektor perikanan tangkap dalam pengambilan keputusannya sudah saatnya didukung oleh sistem informasi yang terintegrasi dan terpadu serta bisa
diandalkan, mengingat juga perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Serta saat ini penerapan teknologi informasi berbasis internet yang sudah
memasyarakat dan berbiaya murah. Kehadiran sistem informasi berbasis internet ini diharapkan mampu
mempermudah penyampaian informasi dari daerah ke pemerintah pusat atau sebaliknya dalam waktu yang relatif jauh lebih singkat serta dengan biaya murah.
Manfaat lain yang diperoleh yakni mempermudah pemerintah dalam pembenahan adminstrasi dan database, serta adanya transparansi data. Dengan demikian, maka
dapat meningkatkan upaya pengembangan sub-sektor perikanan tangkap.
141
Dinas Kelautan Perikanan DKP Provinsi Aceh sebagai salah satu institusi pelayanan umum membutuhkan keberadaan suatu sistem informasi yang
akurat dan andal, serta cukup memadai untuk meningkatkan pelayanannya kepada para masyarakat perikanan terutama pemilik kapal. Dengan lingkup
pelayanan yang begitu luas, tentunya banyak sekali permasalahan kompleks yang terjadi dalam proses pelayanan di DKP. Banyaknya variabel di Registrasi Kapal
Ikan turut menentukan kecepatan arus informasi yang dibutuhkan oleh stakeholder
dan lingkungan DKP sendiri. Pengelolaan data di DKP merupakan salah satu komponen yang penting
dalam mewujudkan suatu sistem informasi Registrasi Kapal ikan. Pengelolaan data secara manual, mempunyai banyak kelemahan, selain membutuhkan waktu
yang lama, keakuratannya juga kurang dapat diterima, karena kemungkinan kesalahan sangat besar. Dengan dukungan teknologi informasi yang ada sekarang
ini, pekerjaan pengelolaan data dengan cara manual dapat digantikan dengan suatu sistem informasi dengan menggunakan komputer. Selain lebih cepat dan
mudah, pengelolaan data juga menjadi lebih akurat. Secara teknis sistem ini dirancang untuk intranet maupun internet dan
dapat memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan baik oleh instansi perhubungan maupun perikanan, dari sisi tampilan dapat memperlihatkan data
seperti: spesisifikasi kapal, pemilik, dan alat tangkap, dan juga menampilkan foto kapal, foto pemilik dan foto alat tangkap. Sisten ini juga dirancang untuk bisa
terhubung dengan subsistem lain seperti pihak penegak hukum. Namun disisi lain sistem ini mempunyai kelemahan, belum dapat mencetak langsung dokumen, juga
sistem ini belum mempunyai sistem proteksi, sehingga masih rentan terhadap gangguan dari luar. Di waktu yang akan datang apabila meng-aplikasi perlu
dibuat sistem proteksi yang lebih aman.
9.4 Rancangan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Sistem
Registrasi Kapal Ikan
Pengelolaan perikanan tangkap berbasis registrasi kapal ikan harus dilakukan secara komprehensif, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring,
142
evaluasi, dan kegiatan lainnya harus melibatkan stakeholders terutama para nelayan, pengusaha perikanan bakul, pengolah dan pedagang, kelembagaan
daerah, instansi terkait kelembagaan dinas diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam mengadakan forum koordinasi dengan semua stakeholder yang terlibat
sehingga kebutuhan masing-masing stakeholder dapat terakomodasi. Komunikasi yang efektif dengan semua stakeholder akan berdampak pada terciptanya tata
hubungan yang serasi dan seimbang, sehingga kegiatan pengelolaan dapat dilakukan dengan lebih terencana dan dapat mencapai tujuan konservasi yang
telah ditetapkan, dengan tetap memperhatikan aspek pemanfaatan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Karena pengelolaan perikanan tangkap berbasis registrasi kapal ikan merupakan hal baru, sehingga semua stakeholder yang terlibat baik dalam
pengelolaan perikanan tangkap maupun pengelola sistem registrasi harus saling mendukung dan memahami akan tujuan pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan. Dalam kaitan ini kebijakan pemerintah agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan anatar
tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kabijakan ekonomi dalam hal ini kebijakan perikanan tangkap yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah,
pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam konteks hubungan antara
tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta.
143
10 KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan dalam penelitian ini, serta uji coba di beberapa PPP dan PPI strategis di Aceh bahwa:
1 Rancangan pengelolaan registrasi kapal ikan yang efektif dapat dijalankan
dan terkomputerisasi, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil ujicoba dilapangan yang dilakukan oleh tim terpadu di pelabuhan-pelabuhan
strategis, untuk kapal di atas 10 GT dan kapal-kapal di bawah 10 GT. 2
Keterpaduan sistem registrasi kapal pada lembaga-lembaga terkait SyahbandarDinas Perhubungan dan Dinas Kelautan Perikanan sudah
terbangun hal ini dapat dibuktikan dengan menggunakan satu data data base
dapat dipergunakan untuk penerbitan dokumen-dokumen langsung di lokasi atau pelabuhantempat pendaratan ikan. namun masih terbatas
pada kapal-kapal dengan besaran dibawah 7 GT, karena kapal-kapal ini dalam proses penyelesaian dokumen tidak terkait dengan instansi pusat,
untuk kapal-kapal di atas 7 GT dalam proses penyelesaiannya masih mengikuti aturan perundangan-undangan yang berlaku pada Kementerian
Perhubungan. 3
Rancangan pengelolaan perikanan tangkap berbasis registrasi kapal ikan mempunyai daya kendali yang lebih efektif terhadap pengelolaan
perikanan tangkap ke depan.
10.2 Saran
1 Berdasarkan hasil kajian pada penelitian ini disarankan kepada Dinas
Kelautan Perikanan Aceh agar dalam memverifikasi dimensi kapal cukup dengan mengukur panjangnya LOA kapal.
2 Sistem informasi registrasi kapal ikan terpadu di Provinsi Aceh kedepan
sebaiknya mempunyai sistem yang terhubung dengan instansi terkait Kementrian Perhubungan melalui Ditjen Hubla Subdit pengukuran dan
144
pendaftaran kebangsaan kapal agar proses penyelesaian dokumen menjadi lebih singkat.
3 Demikian juga sistem informasi registrasi kapal ikan ini sebaiknya dapat
terhubung dengan Kementrian Kelautan Perikanan pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sebagai laporan.
4 Rancangan pengelolaan registrasi kapal ikan terpadu ini formulasi dan
sistem informasi disarankan dapat direplikasi di provinsi lain. 5
Jaringan keterpaduan sistem registrasi kapal kedepan diharapkan dapat terhubung ke sub-sistem lainnya seperti di tunjukkan pada Gambar 48.
Gambar 51 Rencana Skema jaringan sistem informasi registrasi kapal ikan SIRKI
6 Rancangan pengelolaan perikanan tangkap berbasis registrasi kapal ikan
pengelolaan perikanan tangkap yang berdasarkan input dan merupakan hal baru sehingga masih diperlukan aturanperundang-undangan sebagai dasar
hukum agar pengelolaan berjalan lebih baik.
BP2T ACEH
SKEMA JARINGAN SISTEM INFORMASI REGISTRASI KAPAL IKAN DI ACEH
DITJEN HUBLA ADPELKANPEL
Syahbandar di
seluruh Aceh DKP
KabupatenKot a di seluruh
DJPT -KKP
Dishub KabupatenKota
di seluruh Aceh Kantor
Gubernur Gubernur
145
DAFTAR PUSTAKA
Abdul-Rahman, A., Morakot, P. 2008. Spatial Data Modelling for 3D GIS 5th ed.. Berlin:Springer.
Agnew DJ, Pearce J, Pramod G, Peatman T, Watson R. 2009. Estimating the Worldwide Extent of Illegal Fishing. PLoS ONE 42: e4570.
doi:10.1371journal.pone.0004570. Ahmed M., Salayo N. D., Viswanathan K. K., Garces L. R., Pido M.D. 2006.
Management of Fishing Capacity and Resource Use Conflicts in Southeast Asia: A Policy Brief . The WorldFish Center Malaysia.
Arthur J.B., Effects of Human Resource Systems on Manufacturing Performance and Turnover .The Academy of Management Journal Vol. 37, No. 3
Jun., 1994, pp. 670-687 Awwaluddin, Hussadee P., Aung N.O., and. Velasco P.L. 2011, Consolidating
Regional and Sub-regional Cooperation to Combat IUU Fishing in Southeast Asia. Fish for the People SEAFDEC Vol.9 No.1.2011.
Burch, J.G. 1992. System Analysis, Design, and Implementation, Boyd Frasher Publishing Company.
Canada Ministry of Transportation CMT. 2007, Simplified Self-Measurement of Tonnage Based on Length. Canada.
Charles, AT. 2001 Sustaineble Fishery System. Blackwell Science Ltd. Oxford. 370p
Checkland P., Poulter J. 2006. Learning for Action, A short Definitive Account of Soft System Methodology and its use for Practioners, Teachers and
Students. John Wiley Sons Ltd. England. 200. Craggs J.; Bloor D.; Tanner B.; Bullen H. 2003. Methodology Used to Calculate
Naval Compensated Gross Tonnage Factors. Society of Naval Architects and Marine Engineers SNAME, Journal of Ship
Production, Volume 19, Number 1, 22-28.
Christa S., Blauwens G.,Omey E., Van de Voorde E., Witlox F. 2008. In Search of the Link between Ship Size and Operations. Transportation
Planning and Technology, 31:4, 435-463. Coast Guard Marine Safety Center CGMSC. 2004. Tonnage Guide for
Simplified Measurement. United State Coast Guard Darmawan. 2005. Analisis Kebijakan Penanggulanagn IUU-Fishing di Indonesia,
Buletin PSP. No. XIV. No. 2. Hal. 73-88 Davis J.M. 2000. Monitoring Control Surveillance and Vessel Monitoring
System Requirments to Combat IUU- Fishing. The Government of Australia in Cooperation with FAO, Sydney, Australia.
146
Demers, Michael N. 1997. Fundamentals of Geographic Information System . New York: John Wiley Sons, Inc.
Departemen Kelautan Perikanan. 2004. Sistem Informasi Sarana Registrasi Kapal di Bawah 30 GT, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan COFISH
Project Departemen Kelautan Perikanan. 2008. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor : KEP.14MEN2008 tentang Tim Pemeriksa Fisik Kapal, Alat Penangkap Ikan, dan Dokumen Kapal Penangkap Ikan
danatau Kapal Pengangkut Ikan.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Jo Undang Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan Departemen Perhubungan. 2002. Surat Keputusan Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut Nomor PY.67113-1990 diperbaharui dengan Nomor PY.67116-2002 tentang cara pengukuran dalam negeri untuk
menghitung gross tonase kapal.
Departemen Perhubungan. 2005. Peraturan Menteri Perhubungan Permenhub Nomor KM 6 Tahun 2005 tentang Pengukuran Kapal.
Departemen Perhubungan. 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan. Peraturan Perundangan Bidang Transportasi.
Jakarta. Departemen Perhubungan. 2006. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun
2005 Teantang Pendidikan, Pelatihan, Ujian dan Sertifikasi Pelaut Perikanan. Peraturan Perundangan Bidang Transportasi. Jakarta.
De Monie G. 2005. Consequences of the Gross Tonnage GT measurement, Sub- commitee on Stability and load line and of Fishing vessel Safety,
London.
Den Hartog DN., De Hoogh AHB. 2009. Empowering behaviour and leader
fairness and integrity: Studying perceptions of ethical leader behaviour from a levels-of-analysis perspective. European Journal of Work and
Organizational Psychology Volume 18, Issue 2.
Duzgunes E, Erdogan N., 2008. Fisheries Management in the Black Sea Countries. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 8: 181-
192. Eriyatno, 1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.
IPB Press. 147 hal. F.A.O. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, FAO, 41 p
F.A.O. 2001. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome, FAO. 24p.
F.A.O. 2003. Port State Control of Foreign Fishing Vessels. FAO Fisheries Circular No. 987.
147
Fauzi A dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal.
Fauzi S., Iskandar B.H., Murdiyanto B., Wiyono E.S. 2011, Prioritas Strategi Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lestari Berbasis
Otonomi Daerah Di Kawasan Selat Bali. Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut Marine Fisheries Vol. 2, No. 1, 101-110.
Fyson J. 1985. Design of Small Fishing Vessel. Fishing News. LTD. London. England.
Garcia S. M., Charles A. T. 2008. Fishery systems and linkages: Implications for science and Governance. Journal Ocean Coastal Management 51
505 –527.
Hardjana AM. 2001. Trainning SDM yang Efektif. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 123 hal.
Harvey EJ. 1959. Bacis Design Concepts. Journal of the American Society for Naval Engineers. Volume 71, Issue 4, 671
–678. Hoegl M., Gemuenden HG. 2001. Teamwork Quality and the Success of
Innovative Projects: A Theoretical Concept and Empirical Evidence. Organization Science Vol. 12, No. 4. 435-449.
International Labor Organization, and Food Agriculture Organization, 2006. Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels 2005. Part B. Safety and
Health Requirements for the Construction and Equipment of Fishing Vessels. London.
International Maritime Organization. 2001. Document for Guidance on Training and Certification of Fishing Vessel Personnel. 2001 Edition. FAO of
United Nations,ILO and IMO, International Labor Organization, and Food Agriculture Organization, 2006. Code of Safety for Fishermen
and Fishing Vessels 2005.
International Maritime Organization. 1995. 1993 Torremolinos Protocol and Torremolinos International Convention for the Safety of Fishing
Vessels, Consolidated Edition, 1995. London. International Maritime Organization. 1996. International Convention on Satandars
of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995. London.
International Maritime Organization. 2005. IMO Model Course 1.33. Safety of Fishing Operations Support Level. 2005 Edition. Course +
Compedium. London. International Maritime Organization. 2005. IMO Model Course 7.05. Skipper on a
Fishing Vessel. 2008 Edition. London. International Maritime Organization, International Labor Organization, and Food
Agriculture Organization. 2006. Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels 2005. Part B. Safety and Health Requierements for
The Construction and Equipment of Fishing Vessel. London.