Metode Pengukuran Gross Tonnage GT Kapal Perikanan
35
laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan
perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal
World Development 2003 menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.
Sejak lama sebetulnya pemerintah telah mengembangkan beberapa pola yang secara langsung mengatur sub-sektor perikanan tangkap. Surat Keputusan
SK Menteri Pertanian No. 607KptsUm91976 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan untuk mereduksi konflik perikanan. SK ini diperkuat dengan
beberapa SK lain dan pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK 392KptsIK.12041999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru beserta
karakter kapal dan alat tangkapnya. Pemerintah juga mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan ”total allowable catch”, TAC melalui SK Menteri Pertanian
No. 473KptsIK.25061985 untuk perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesie ZEEI. Kebijakan ini juga secara tegas tertuang dalam Undang-Undang
UU Perikanan yang baru No. 312004 pasal 7. Selain perijinan perikanan yang diperkenalkan sejak lahirnya UU Perikanan No. 91985, registrasi kapal ikan juga
telah menjadi salah satu alat pengelolaan. Sayangnya, efektivitas pengelolaan perikanan yang dikembangkan selama ini tidak memuaskan. Dalam banyak kasus,
dominasi negara yang berlebihan justru menghilangkan berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Walaupun
UU perikanan No. 312004 menyebutkan keharusan memperhatikan hukum adat dan pentingnya memperhatikan peran-serta masyarakat pasal 6 ayat 2, namun
tidak ditemukan penjelasan lain lebih jauh dan nampak peran pemerintah dalam pengelolaan perikanan masih mendominasi.
Pada saat ini pemerintah telah memperbaharui tentang jalur penangkapan ikan melalui Peraturan Menteri Permen Kelautan dan Perikanan RI Nomor
Per.02MEN2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan
36
Perikanan NRI. Dimana jalur penangkapan ikan dimaksud diatur dalam pasal 3 yang terdiri dari:
1 Jalur penangkapan ikan I
Jalur penangkapan ikan I dimaksud dalam pasal 3 diuraikan dalam pasal 4 menjadi:
a Jalur penangkapan ikan IA, meluputi perairan pantai sampai dengan 2
dua mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. b
Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 dua mil laut sampai dengan 4 empat mil laut
2 Jalur penangkapan ikan II
Jalur penangkapan ikan II dimaksud dalam pasal 3, diuraikan pada pasal 4 yaitu meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12
dua belas mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah 3
Jalur penangkapan ikan III Jalur penangkapan ikan III sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, diuraikan
pada pasal 4 yaitu meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II
Pada pasal 5 jalur penangkapan ikan di WPP-NRI ditetapkan berdasarkan karakteristik kedalam perairan yaitu perairan dangkal
≤ 200 meter dan perairan laut dalam 200 meter, perairan tersebut meliputi:
1 Perairan dangkal ≤ 200 meter terdiri dari:
a WPP-NRI 571, yang meliputi periaran Selat Malaka dan Laut
Andaman; b
WPP-NRI 711, yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan;
c WPP-NRI 712, yang meliputi Perairan Laut Jawa;
d WPP-NRI 713, yang meliputi Perairan Selat Makassar, Teluk Bone,
Laut Flores, dan Laut Bali;
37
e WPP-NRI 718, yang meliputi Perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan
Laut Timor Bagian Timur 2
Perairan laut dalam 200 meter yang terdiri dari: a
WPP-NRI 572, yang meliputi Paerairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda;
b WPP-NRI 573, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah
Selatan Jawa sampai dengan sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor Bagian Barat.
c WPP-NRI 714, yang meliputi Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda;
d WWP-NRI 715, yang meliputi Perairan Teluk Tomini, Laut Maluku,
Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; e
WPP-NRI 716, yang meliputi Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera;
f WPP-NRI 717, yang meliputi Perairan Teluk Cendrawasih dan
Samudera Pasifik. Pembagian WPP-NRI berdasarkan Permen No.2MEN2011 dapat dilihat pada
Gambar 9 berikut ini
Gambar 9 Pembagian WPP-NRI Permen KP No.2MEN2011
38
Pengelolaan sumberdaya perikanan ke depan perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah
dalam tradisi masyarakat pesisir. Pemerintah Belanda menguatkan model ini misalnya dalam pengaturan perikanan bunga karang dan mutiara tahun 1916 dan
ketentuan ”territoriale zee en maritene kringen ordonantie” TZMKO tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan mengkonservasi sumberdaya ikan. UU Pokok
Agraria No. 51960 juga menjelaskan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan pasal 47, walaupun peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan ini tidak
ada. Belajar dari perikanan Jepang, adanya hak perikanan tidak hanya melindungi aktivitas kenelayanan, tetapi juga upaya ini mampu memberikan kontribusi yang
besar dalam pembiayaan pengelolaan perikanan khususnya yang menyangkut ”transaction cost” dalam pengumpulan informasi, pemantauan sumberdaya, dan
program pengkayaan stok ikan.
39
40
3 METODOLOGI UMUM