Pengenaan Iuran Pengelolaan Irigasi Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian Aji 2005, menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan atau ketidaksediaan petani dalam membayar iuran pengelolaan irigasi secara positif adalah tingkat pelayanan irigasi, peranserta petani dalam operasi dan pemeliharaan OP irigasi, umur petani serta tingkat pendidikan petani. Berdasarkan empat variabel yang berpengaruh tersebut, variabel tingkat pelayanan irigasi yang memiliki peluang terbesar petani bersedia membayar iuran irigasi dilihat dari odd rationya dibandingkan dengan variabel- variabel lainnya, disamping mempunyai pengaruh kuat dalam petani mengambil keputusan dilihat dari taraf nyatanya. Kondisi demikian wajar terjadi karena dengan adanya pelayanan irigasi yang baik, petani merasa aman terhadap perolehan input. Jaminan perolehan input akan berdampak pada tingkat produksi dan pendapatan petani. Berdasarkan nilai tengah WTP maka diperoleh bahwa faktor yang mempengaruhi WTP petani terhadap peningkatan pelayanan irigasi secara negatif adalah kepercayaan petani terhadap P3A dan pengalaman berusahatani, sedangkan secara posiif dipengaruhi oleh tanggungan keluarga, dan umur petani. Kepercayaan terhadap P3A yang tumbuh cenderung menyebabkan menurunnya nilai WTP petani. Kondisi ini terjadi karena menurut petani kinerja pengurus P3A semakin menurun dan ada sebagian petani yang belum merasakan transparasi dana dari iuran irigasi. Penelitian Siwi 2006 menyatakan pola tanam dan intensitas tanam berpengaruh pada tingkat produksi padi dimana pada daerah hulu dan tengah rata- rata produksi padi dalam setahun lebih besar daripada daerah hilir. Hasil penelitian kontribusi penggunaan air irigasi water rent menggunakan analisis usahatani menunjukkan bahwa kontribusi air irigasi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi lebih tinggi di daerah hulu dibandingkan daerah lainnya. Berdasarkan perhitungan, jumlah air pada MT I sebanyak 14.585,2 m 3 ha, MT II sebanyak 14.246,064 m 3 ha dan MT II sebanyak 20.355,84 m 3 ha. Dengan menggunakan metode RIA Residual Imputation Approach diperoleh rata-rata nlai air dalam setahun di daerah hulu sebesar Rp 44m 3 , didaerah tengah dan hilir sebesar Rp 32 m 3 ha dan Rp 23 m 3 ha. Hasil valuasi ini dijadikan acuan dalam implikasinya di lapangan untuk menentukan tarif maksimum air irigasi yang layak dibayar oleh petani berdasarkan jumlah air yang digunakan setiap musimnya.

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Konsep Contingent Valuation Method CVM Contingent Valuation Method CVM merupakan pendekatan yang pada dasarnya menanyakan secara langsung kepada masyarakat berapa besarnya maksimum Willingness to Pay WTP untuk manfaat tambahan danatau berapa besarnya maksimum Willingness to Accept WTA sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan Hanley dan Spash 1993 dalam Aji, 2005. Dalam penelitian ini pendekatan yang akan dibahas adalah WTP. Fungsi dari CVM yaitu menghitung nilai atau penawaran yang mendekati pada hal tersebut jika pasar dari barang-barang tersebut benar-benar ada. Pasar hipotetik kuesioner dan responden oleh karena itu seharusnya sebisa mungkin dapat mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik barang yang ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotetik yang digunakan untuk pembayaran, seperti pajak dan biaya masuk secara langsung. Kuesioner CVM dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1 penulisan detail tentang benda yang dnilai, persepsi penilaian benda publik, jenis kesanggupan dan alat pembayaran, 2 pertanyaan tentang WTP yang diteliti, 3 pertanyaan tentang karakteristik sosial demografi responden, seperti usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Hal yang perlu dilakukan sebelum menyusun kuesioner ini, terlebih dahulu dibuat skenario-skenario yang diperlukan dalam rangka membangun suatu pasar hipotetik benda publik yang menjadi obyek pengamatan. Selanjutnya dilakukan pembuktian pasar hipotetik menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau dibeli. Pada kasus bidding game kuesioner menyarankan penawaran pertama nilai awal dari penawaran dan responden setuju atau tidak setuju jumlah yang akan mereka bayarkan. Prosedur lebih lanjut sebagai berikut: Nilai awal starting point price dinaikkan untuk melihat apakah responden masih mau membayar hal tersebut, dan seterusnya sampai responden menyatakan bahwa ia tidak mau membayar lagi pada tingkat tambahan harga tertentu dalam penawaran yang terus diajukan. Penawaran terakhir yang disetujui oleh responden merupakan nilai maksimum dari WTP mereka.

3.1.2 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method CVM

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi pengoperasian CVM, yaitu Hanley dan Spash 1993 dalam Aji, 2005: 1. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realistik. 2. Alat pembayaran yang digunakan danatau ukuran kesejahteraan WTP sebaiknya tidak kontroversial dengan ethics di masyarakat. 3. Responden sebaiknya disajikan informasi yang cukup mengenai sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka. 4. Responden sebaiknya mengenal sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan mempunyai pengalaman di dalamnya. 5. Jika memungkinkan, ukuran WTP sebaiknya dicari karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan. 6. Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah perolehan selang kepercayaan dan reabilitas. 7. Pengujian kebiasan sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk memperkecil strategic bias secara khusus. 8. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi. 9. Sebaiknya diketahui dengan pasti apakah contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan penyesuaian dibuat jika diperlukan. 10. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali apakah mereka setuju dengan harapan sebelumnya.

3.1.3 Kelebihan dan Kelemahan Contingent Valuation Method CVM

Teknik CVM dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu: 1. Seringkali menjadi hanya satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat. 2. Dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan. Hal terpenting dalam CVM adalah penggunaannya dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. Secara khusus, CVM menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan merupakan hal yang penting untuk diketahui. Kelebihan dari CVM dibandingkan dengan teknik penilaian lainnya adalah CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Melalui CVM seseorang mungkin dapat mengukur utilitasnya dari keberadaan barang lingkungan, bahkan jika mereka sendiri tidak menggunakannnya secara langsung Hanley dan Spash 1993 dalam Aji, 2005.