Model pengendalian pencemaran minyak di Perairan Selat Rupat Riau

(1)

SYAHRIL NEDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Riau” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bahagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2010

Syahril Nedi NRP. P062070071


(3)

ABSTRACT

SYAHRIL NEDI. Control Model of Oil Pollution in Rupat Strait of Riau. Under the Supervision of B A M B A N G PRAMUDYA. N, ETTY RIANI and MANUWOTO.

Rupat Strait is a small strait in the Strait of Malacca that lies between the coastal of Dumai City and Rupat island in Riau province. Rupat Strait has an important role in ecological because it has various types of mangrove for fish live and spawn, and also protect the coast from wind waves. Conversely, Rupat Strait also have an economic role as a strategic transportation routes that support the economy of Dumai. Oil industry in Dumai can processing raw oil into fuels with capacity of 170 000 barrels per day. Various economic activities were causing the Rupat Strait vulnerable to oil pollution. Oil pollution in sea waters was a complex problem that the solution must be done holistically using dynamical system analysis with software Stella 9:02. Oil response was observed at three sites that representing different levels of sensitivity in the waters of the Rupat Strait i.e. Lubuk Gaung Waters (very sensitive), Ketam Island Waters (sensitive) and Pelintung Waters (less sensitive). The calculation of pollution level based on the dissolved oxygen concentration and BOD5. Ketam Island, Lubuk Gaung and

Pelintung included to light polluted criteria. Lubuk Gaung region showed a fairly dangerous response to oil pollution than other regions, because it was very sensitive to oil pollution. Instruments of technology (oilboom and dispersant) and regulation (legislation), either jointly (combination) or partially were needed to control the environmental impacts. Oil pollution control in the scenario III that using combination instruments (technology and regulation) was more effective than scenario I and scenario II usage of regulation and technology partially. The combination of technology and regulation can controlling the oil pollution in the area of Lubuk Gaung that secure to oil pollution. Secure status to oil pollution can increase the catch of fishermen in the Rupat Strait.


(4)

RINGKASAN

SYAHRIL NEDI. Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Riau. Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA.N, ETTY RIANI dan MANUWOTO.

Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka yang terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan Pulau Rupat di Propinsi Riau. Selat ini memiliki panjang ± 72.4 km dan lebar (dari garis pantai Dumai hingga pantai Pulau Rupat) 3.8 – 8.0 km. Pulau Rupat termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis dan pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat. Oleh sebab aktivitas di Kota Dumai sangat mempengaruhi ekosistim perairan Selat Rupat.

Selat Rupat memiliki peran penting dari segi ekologis karena memiliki keanekaragaman hayati berbagai jenis mangrove yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan, melindungi pantai dari terjangan angin gelombang laut. Banyak dari masyarakat di wilayah ini yang berprofesi sebagai nelayan.

Selat Rupat juga memiliki peran ekonomis sebagai jalur transportasi strategis dan merupakan pilihan rute kapal yang produktif yang mendukung perekonomian Kota Dumai. Kunjungan kapal setiap tahunnya di Pelabuhan Dumai berkisar 4089 – 7332 kali dengan jumlah penumpang berkisar 731.188 hingga 1.012.529 orang (ADPEL 2009).

Dumai merupakan pangakalan utama dua perusahaan minyak terbesar (PT.CPI dan Pertamina UP II Dumai) yang mengeksploitasi minyak mentah dari berbagai sumur minyak di Propinsi Riau dan mengolahnya menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM). Industri minyak di Kota Dumai mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM dengan kapasitas 170.000 barel perhari (Pertamina 2002). Dumai juga sebagai lokasi penimbunan minyak mentah dengan tanki timbun yang mampu menampung minyak dengan kapasitas 5.1 juta barel (CPI & PPLH UNRI 2005).

Berbagai aktivitas transportasi dan industri pengolahan minyak di pesisir Pantai Dumai menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran minyak. Posisi Selat Rupat yang semi tertutup berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem perairan termasuk ekosistem mangrove. Dilain pihak, informasi ilmiah tentang kerusakan ekosistem di wilayah ini akibat pencemaran minyak dan pengendaliannya masih sangat minim.

Pencemaran minyak di perairan laut merupakan masalah kompleks dan penting untuk dipecahkan, sehingga penyelesaiannya harus dilakukan secara holistik dengan membuat suatu model pengendalian pencemaran minyak di perairan laut khususnya Selat Rupat yang merupakan suatu perairan yang sangat berpotensi terhadap pencemaran minyak.

Tujuan penelitian ini adalah merumuskan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat yang dilakukan melalui tahap: 1) mempelajari karakteristik lingkungan perairan Selat Rupat, 2) mengevaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat, 3) Menentukan prioritas teknologi dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat, 4) Menentukan

stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak.

Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April hingga Nopember 2009. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Metode analisis


(5)

data yang digunakan meliputi analisis deskriptif, perbandingkan dengan referensi dan bakumutu, analisis interpretatif structural modeling (ISM), analisis perbandingan indeks kinerja (comparative performa index, CPI) dan analisis sistem dinamik. Metode analisis sistem dilakukan dengan menggabungkan atau mengkompilasi sub-model sebelumnya menjadi sebuah model pengendalian pencemaran minyak di perairan mengunakan sistem dinamis dengan software Stella 9.02.

Wilayah Lubuk Gaung merupakan wilayah yang sangat peka terhadap pencemaran minyak. Wilayah Pulau Ketam peka dan Pelintung merupakan wilayah yang kurang peka terhadap pencemaran minyak. Pencemaran laut dapat membahayakan ekosistem perairan.

Sungai Mesjid dan Sungai Dumai merupakan dua sungai yang memiliki kontribusi besar terhadap input minyak di perairan Selat Rupat. Konsentrasi minyak rata-rata di muara Sungai Mesjid dan Sungai Dumai masing-masing adalah 3.8 ppm dan 3.5 ppm dan telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Sedangkan tiga sungai lainnya (Sungai Buluhala, Sungai mampu dan sungai Pelintung) konsentrasi minyaknya masih di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Industri migas yang berada di pesisir pantai Dumai memiliki kontribusi besar terhadap input minyak dari daratan.

Konsentrasi minyak di Pelabuhan Migas dan Pelabuhan Umum dengan konsentrasi rata-rata masing-masing 5.7 ppm dan 5.9 ppm, nilai ini telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran I). Pelabuhan Migas dan Pelabuhan Umum merupakan sumber polutan minyak utama di perairan. Semakin jauh dari pelabuhan, konsentrasi minyaknya semakin berkurang. Konsentrasi minyak terkecil terdapat di wilayah perairan Pulau Ketam. Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD5

Perairan Pulau Ketam, Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan.

Pengendalian pencemaran minyak di perairan dapat dilakukan dengan cara mekanik (oilboom), kimia (dispersant) dan biologi (bioremediasi). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode CPI, prioritas penggunaan dispersant

untuk pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat merupakan pilihan utama, kemudian diikuti oilboom dan bioremediasi. Pada umumnya dispersant dan

oilboom masih populer digunakan di perairan laut hingga saat ini karena pertimbangan waktu dan biaya dalam pemulihan lingkungan perairan terhadap pencemaran minyak.

Menurut Lessard dan Demarco (2000), penggunaan dispersant mampu memecah minyak yang menutupi permukaan air menjadi butiran-butiran kecil (droplet) yang yang mampu terdispersi di badan air sehingga mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi karena luas permukaannya menjadi lebih kecil.

Pemerintah merupakan stakeholder kunci dalam pengendalian pencemaran karena mempunyai kemampuan yang besar untuk mengendalikan pencemaran minyak di Selat Rupat dengan berbagai instrumen regulasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang meliputi: Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4


(6)

Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2007 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi, dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, dan memiliki kekuasaan untuk memberikan sanksi bagi stakesholder yang melanggar.

Industri Migas dan pengelola kapal juga berperan penting dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan dengan melaksanakan prosedur tetap (Protap) yang telah ada. LSM dan masyarakat merupakan stakeholders yang memiliki kekuatan bersuara vokal untuk mendorong pemerintah dalam upaya mencegah kerusakan ekosistem perairan Selat Rupat dari pencemaran minyak. Nelayan (N) merupakan stakesholder yang terkena dampak akibat pencemaran minyak.

Konsep dasar dalam membangun model bersumber dari beban pencemaran yang berasal dari daratan dan transportasi laut yang masuk ke lingkungan laut yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda. Keberadaan polutan minyak di wilayah yang sangat peka (meskipun dalam konsentrasi rendah) dapat memberikan resiko yang membahayakan ekosistem di sekitarnya. Sebaliknya, polutan minyak yang masuk ke wilayah yang kurang peka tidak memberikan pengaruh yang berarti (aman) terhadap ekosistem di sekitarnya. Respon minyak dapat diamati pada tiga lokasi yang mewakili tingkat kepekaan perairan di Selat Rupat yaitu Perairan Lubuk Gaung (sangat peka), Perairan Pulau Ketam (peka) dan Perairan Pelintung (kurang peka).

Simulasi kondisi eksisting Selat Rupat berawal dari input minyak ke Selat Rupat oleh adanya kegiatan industri di daratan yang masuk melalui muara sungai, effluent

industri migas dan pelabuhan (Pelabuhan Umum dan Pelabuhan Migas). Keberadaan arus dan gelombang di perairan memberikan kontribusi langsung terhadap penguraian minyak secara alami. Hasil perhitungan tingkat pencemaran berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD5 maka perairan Pulau Ketam,

Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan.

Berdasarkan sub-model ekologi, wilayah Lubuk Gaung memperlihatkan respon yang cukup berbahaya terhadap polutan minyak, karena wilayah ini sangat peka terhadap pencemaran minyak. Oleh sebab itu, untuk mencegah potensi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran minyak maka perlu dilakukan pengendalian yang lebih optimal dengan menggunakan instrumen teknologi dan regulasi.

Pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen teknologi (oilboom dan dispersant) dan regulasi (peraturan perundang-undangan) baik dilakukan secara bersama-sama (gabungan) maupun parsial. Pengendalian pencemaran minyak dengan skenario III menggunakan instrumen gabungan (teknologi dan regulasi) lebih efektif dari skenario I dan skenario II penggunaan regulasi dan penggunaan teknologi secara parsial. Kombinasi teknologi dan instrumen regulasi mampu mengendalikan pencemaran minyak di wilayah Lubuk Gaung sehingga aman terhadap pencemaran minyak. Status aman terhadap pencemaran minyak mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan di kawasan Selat Rupat.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebahagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

SYAHRIL NEDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(9)

NRP : P062070071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya.N, M.Eng

Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, MS Prof.Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro.MS


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc Dr.Ir. I. Wayan Nurjaya, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Ning Purnomohadi, MS Dr. Syaiful Bahri, M.Sc


(11)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul “Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Riau” yang merupakan salah satu syarat penyelesaian Pendidikan Program Doktoral (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian disertasi ini merupakan sumbangsih materi maupun pemikiran berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis terutama kepada Yth:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya.N, M.Eng., Dr. Ir. Etty Riani, M.S., Dr.Ir. Manuwoto, M.Sc, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan saran selama ini sejak dari penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi ini.

2. Bapak Prof.Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahyo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) atas bantuan, perhatian dan motivasinya yang telah diberikan melalui semboyan TEMPA DIRI (tanggungjawab, etos kerja, mandiri, percaya diri, ambisi/cita-cita, disiplin, inisiatif, respon/tanggap atau peka dan integritas/iman dan ikhlas) selama mengikuti pendidikan di PSL-IPB sehingga penulis dapat mengikuti seluruh rangkaian proses pendidikan S3 ini dengan baik.

3. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.

4. Rektor dan seluruh Pembantu Rektor Universitas Riau yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Demikian pula kepada seluruh teman-teman di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, atas segala dukungan, dorongan yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di IPB.


(12)

5. Pemerintah Propinsi Riau (khususnya Badan Lingkungan Hidup Propinsi Riau) dan Pemerintah Kota Dumai (khususnya Kantor Lingkungan Hidup Kota Dumai dan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Dumai) atas dukungan yang diberikan kepada penulis selama penelitian.

6. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, khususnya Administrator Pelabuhan Kelas I Dumai beserta seluruh stafnya yang telah membantu penulis dalam penyediaan data dan informasi yang dibutuhkan selama penelitian.

7. Seluruh teman-teman seperjuangan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan terutama angkatan 2007 yang turut membantu penulis baik dalam memberikan saran-saran perbaikan maupun dalam pengolahan data.

8. Sembah sujud kepada ibunda “Rosma” yang telah membesarkan, mendidik dan

doanya yang tiada putus-putusnya untuk keberhasilan putranya. Demikian pula

kepada ibu mertua “Hj. Armayulis” atas pengertian, perhatian dan motivasinya

selama penulis menempuh studi.

9. Secara khusus kepada istri tercinta “Yuneita Anisma, SE. MSi Ak dan anak

-anakku tersayang “ Fauzan Hidayat, Mulya Ikhsan dan Syandi Ramadhan” atas

perhatian, pengertian dan pengobanannya yang tulus dan semangat serta doa-nya yang selalu diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini dengan lancar.

10.Kepada semua pihak yang turut membantu penulis demi suksesnya penyelesaian studi di Institut Pertanian Bogor ini.

Penulis berdoa kepada Allah SWT, semoga semua amal kebaikan yang telah

diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah. “Tiada gading yang tak retak” penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, 8 Juni 2010 Syahril Nedi


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 18

Agustus 1966 dari pasangan Sya’bani (alm) dan Rosma. Pada tahun 1995 penulis

menikah dengan Yuneita Anisma, SE. MSi. Ak dan dikarunia 3 orang putra yang bernama Fauzan Hidayat (lahir: 13-08-1996) , Mulya Ikhsan (lahir: 18-09-1999) dan Syandi Ramadhan (lahir: 10-08-2007).

Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) Jurusan Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan Strata Dua (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pada tahun 1992, penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau hingga sekarang. Karya ilmiah terbaru yang telah ditulis dan merupakan bahagian dari disertasi ini adalah: Karakteristik Lingkungan Selat Rupat. Jurnal Ilmu Lingkungan Vol.4 No.6, Maret 2010, Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Riau.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ... 5

1.4. Perumusan Masalah ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

1.6. Novelty (Kebaruan Gagasan) ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Pencemaran Minyak di Perairan ... 10

2.2. Karakteristik Minyak di Perairan ... 13

2.2.1 Karakteristik Fisika Minyak ... 14

2.2.2 Komposisi Minyak ... 15

2.2.3 Prilaku Minyak di Perairan ... 18

2.3. Dampak Pencemaran Minyak di Perairan ... 24

2.3.1 Dampak terhadap Ekosistim Mangrove ... 25

2.3.2 Dampak terhadap Ekosistim Terumbu Karang ... 27

2.3.3 Dampak terhadap Sumberdaya Perikanan ... 28

2.3.4 Dampak terhadap Satwa lain ... 30

2.3.5 Dampak terhadap Manusia ... 30

2.4. Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan ... 31

2.4.1 Aspek Regulasi ... 31

2.4.2 Aspek Teknologi ... 33

2.5. Pendekatan Sistem ... 38

2.5.1 Modeling (Pemodelan) ... 39


(15)

III. METODE PENELITIAN ... 45

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

3.2. Bahan dan Alat ... 47

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.4. Metode Analisis Data ... 49

3.4. Definisi Operasional ... 51

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 53

4.1. Kondisi Geografis ... 53

4.2. Iklim ... 54

4.2.1 Curah Hujan ... 54

4.2.2 Suhu Udara ... 55

4.3. Hidrologi ... 55

4.4. Perekonomian Kota Dumai ... 56

4.5. Kependudukan... 57

V. KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SELAT RUPAT ... 59

Abstract ... 59

5.1. Pendahuluan ... 59

5.2. Metode Penelitian... 60

5.2.1 Metode Pengumpulan Data ... 60

5.2.2 Metode Analisis Data ... 61

5.3. Hasil dan Pembahasan ... 61

5.3.1 Hidrooseanografi ... 61

5.3.2 Dispersi Polutan Minyak di Perairan ... 66

5.3.3 Vegetasi Mangrove ... 67

5.3.4 Aktivitas di Sekitar Selat Rupat ... 68

5.3.5 Kepekaan Lingkungan Selat Rupat ... 73

5.5. Kesimpulan ... 76

VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT ... 77

Abstract ... 77

6.1. Pendahuluan ... 77


(16)

6.2.1 Metode Pengumpulan Data ... 79

6.2.2 Metode Analisis Data ... 79

6.3. Hasil dan Pembahasan ... 81

6.3.1 Sumber Minyak dari Industri Migas ... 81

6.3.2 Sumber Minyak dari Sungai ... 83

6.3.3 Sumber Minyak dari Pelabuhan ... 85

6.3.4 Evaluasi Tingkat Pencemaran Minyak di Selat Rupat ... 88

6.4. Kesimpulan ... 90

VII. PRIORITAS TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT ... 91

Abstract ... 91

7.1. Pendahuluan ... 91

7.2. Metode Penelitian... 93

6.2.1 Metode Pengumpulan Data ... 93

6.2.2 Metode Analisis Data ... 93

7.3. Hasil dan Pembahasan ... 95

7.3.1 Penilaian Kriteria Teknologi Pengendalian Pencemaran Minyak ... 95

7.3.2 Prioritas Teknologi Pengendalian Pencemaran Minyak di Selat Rupat ... 101

7.4. Kesimpulan ... 103

VIII.STAKEHOLDER YANG DOMINAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT ... 104

Abstract ... 104

8.1. Pendahuluan ... 104

8.2. Metode Penelitian... 106

8.2.1 Metode Pengumpulan Data ... 106

8.2.2 Metode Analisis Data ... 107

8.3. Hasil dan Pembahasan ... 108

8.4. Kesimpulan ... 115

IX. MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT ... 116


(17)

Abstract ... 116

9.1. Pendahuluan ... 116

9.2. Metode Penelitian... 118

9.2.1 Metode Pengumpulan Data ... 119

9.2.2 Metode Analisis Data ... 119

9.3. Hasil dan Pembahasan ... 124

9.3.1 Kondisi Eksisting Selat Rupat ... 126

9.3.2 Validasi Model Pengendalian Pencemaran Minyak ... 132

9.3.3 Skenario Pengendalian Pencemaran Minyak di Selat Rupat ... 132

9.3.4 Skenario Pilihan dalam Pengendalian Pencemaran Minyak di Selat Rupat ... 139

9.4. Kesimpulan ... 141

X. PEMBAHASAN UMUM ... 142

10.1 Sumber Pencemaran Minyak di Selat Rupat ... 143

10.2 Tingkat Pencemaran Minyak di Selat Rupat ... 145

10. 3 Respon Lingkungan Wilayah Terhadap Pencemaran Minyak di Selat Rupat ... 147

10.4 Pengendalian Pencemaran Minyak yang Efektif di Selat Rupat ... 148

XI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 157

11.1 Kesimpulan ... 157

11.2 Saran ... 158

DAFTAR PUSTAKA ... 159


(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Kriteria kualitas air berdasarkan kandungan DO ... 12

2 Kriteria kualitas air berdasarkan nilai BOD5 ... 13

3 Kelarutan hidrokarbon didalam air (mg. L-1) pada 25 °C ... 21

4 Lokasi pengumpulan data di sumber minyak dan perairan Selat Rupat ... 47

5 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ... 48

6 Nama-nama sungai di Kota Dumai yang bermuara ke Selat Rupat ... 55

7 Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan di Kota Dumai ... 57

8 Produksi industri minyak di kilang Migas Pesisir pantai Dumai ... 69

9 Kunjungan kapal dan penumpang di Pelabuhan Dumai ... 70

10 Jumlah nelayan tradisional dan jumlah tangkapan ... 71

11 Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan tradisional di Kota Dumai .... 72

12 Kriteria kualitas air berdasarkan kandungan DO ... 79

13 Kriteria kualitas air berdasarkan nilai BOD5 ... 79

14 Konsentrasi minyak rata-rata di air dan sedimen muara sungai ... 84

15 Konsentrasi minyak di air dan sedimen Pelabuhan Dumai ... 87

16 Tabulasi untuk pembobotan setiap kriteria ... 94

17 Penilaian kriteria teknologi pengendalian pencemaran minyak... 95

18 Analisis kebutuhan model pengelolaan pencemaran minyak ... 120

19 Sub-model sumber pencemar minyak di Selat Rupat ... 128

20 Sub-model kondisi eksisting perairan Selat Rupat... 131

21 Penerapan skenario I, respon klas bahaya dan hasil tangkapan ... 135

22 Penerapan skenario II, respon klas bahaya dan hasil tangkapan ... 137

23 Penerapan skenario III, respon klas bahaya dan hasil tangkapan ... 138


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka pemikiran pengendalian pencemaran minyak di perairan

Selat Rupat ... 6

2 Kerusakan mangrove akibat pencemaran minyak di Dumai ... 27

3 Pengendalian pencemaran minyak menggunakan oil boom ... 34

4 Aktivitas surfactant dan dispersi minyak menjadi droplet ... 35

5 Pengendalian pencemaran minyak menggunakan dispersant ... 36

6 Peta lokasi penelitian (lokasi sampling) ... 46

7 Tahapan penelitian dan analisis data ... 50

8 Sektor perekonomian Dumai (BPS Dumai 2007) ... 56

9 Kecepatan arus di lokasi penelitian Perairan Selat Rupat ... 61

10 Tinggi gelombang di lokasi penelitian Perairan Selat Rupat ... 63

11 Peta kondisi hidrooseanografi Selat Rupat ... 65

12 Simulasi gerakan polutan minyak pada jam ke 4 jam saat surut ... 66

13 Simulasi gerakan polutan minyak pada jam ke 10 jam saat pasang ... 67

14 Jumlah bongkar-muat kapal di Pelabuhan Dumai ... 71

15 Peta kepekaan lingkungan Selat Rupat ... 75

16 Peta lokasi pengambilan sampel air... 80

17 Debit dan konsentrasi minyak rata-rata effluent industri migas di pesisir Dumai tahun 1999-2009 ... 81

18 Input polutan minyak (ton/bulan) dari industri migas di pesisir pantai Dumai yang masuk ke Selat Rupat ... 82

19 Input minyak (ppm) dari muara sungai ke Selat Rupat ... 83

20 Debit rata-rata air sungai yang bermuara ke Selat Rupat (m3/jam) ... 84

21 Konsentrasi minyak di Pelabuhan Dumai ... 86

22 Tingkat pencemaran di perairan Selat Rupat berdasarkan DO ... 88

23 Tingkat pencemaran di perairan Selat Rupat berdasarkan BOD5 ... 89

24 Penyemprotan dispersant untuk pengendalian pencemaran minyak ... 96


(20)

26 Penggunaan oilboom dalam pengendalian pencemaran minyak ... 98 27 Prioritas pemilihan teknologi pengendalian pencemaran minyak ... 101 28 Distribusi ke empat sektor pada matriks driver power-dependence ... 108 29 Matriks driver power-dependence stakeholder pengendalian

pencemaran minyak ... 109 30 Struktur hirarki stakeholders yang dominan dalam pengendalian

pencemaran minyak ... 112 31 Diagram sebab akibat (causal loop diagram) model pengendalian

pencemaran minyak di perairan laut ... 121 32 Diagram input-output model pengendalian pencemaran minyak di

perairan ... 122 33 Struktur model dinamik kondisi eksisting perairan Selat Rupat ... 127


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Data rata-rata curah hujan bulanan Stasiun Bandara Pinang Kampai... 166

2 Data Suhu udara di Stasiun Bandara Pinang Kampai ... 167

3 Peta penggunaan lahan Kota Dumai tahun 1991 ... 168

4 Peta penggunaan lahan Kota Dumai tahun 2002 ... 169

5 Peta penggunaan lahan Kota Dumai tahun 2008 ... 170

6 Penggunaan metode CPI untuk menentukan prioritas teknologi pengendalian pencemaran minyak ... 171

7 Penggunaan metode interpretive structural modelling (ISM) ... 172

8 Kriteria kepekaan lingkungan, tingkat pencemaran dan tingkat bahaya kawasan terhadap pencemar minyak ... 174

9 Asumsi model kondisi eksisting Selat Rupat ... 175

10 Asumsi model skenario I ... 179

11 Asumsi model skenario II ... 183


(22)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laut merupakan ekosistem yang kaya akan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Sebagian besar wilayah permukaan bumi (70%) terdiri atas lautan dan lebih dari 90% kehidupan biomasa di bumi, hidup di laut (Dahuri 2001). Oleh karena itu lautan merupakan bagian penting dari kelangsungan hidup manusia.

Laut memiliki peran strategis dalam bidang ekonomi dan ekologi bagi pengembangan jasa-jasa lingkungan. Secara ekonomi laut memiliki potensi besar sebagai penghasil komoditi, karena memiliki sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (ikan, rumput laut dan lain-lain) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (bahan tambang, minyak bumi, gas dan lain-lain).

Secara ekologi, wilayah laut merupakan bentang alam yang di tempati oleh berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat bagi biota untuk hidup dan merupakan sumber nutrien bagi organisme perairan, termasuk ikan. Pelestarian wilayah laut merupakan upaya yang harus dilakukan, karena menyangkut kelestarian sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang (Anwar & Gunawan 2007).

Pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan besarnya pengembangan wilayah kota ke arah pantai menyebabkan terjadinya pembukaan wilayah tersebut untuk berbagai aktivitas industri dan pemukiman yang memicu terjadinya pencemaran laut (Ashley 2005). Pencemaran laut diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (PP No.19/1999)

Pencemaran laut dapat memberikan pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan ekosistem laut, kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut (Clark 2003). Pencemaran laut juga dapat mengurangi nilai estetika dan nilai lingkungan laut intrinsik yang penting untuk rekreasi. Apabila laut tercemar maka sebagian dari biomasa juga akan turut tercemar.


(23)

Salah satu polutan yang berpotensi mencemari laut adalah minyak. Pencemaran minyak merupakan penyebab utama pencemaran laut. Pencemaran minyak dapat membahayakan ekosistem laut karena ekosistem perairan sangat rentan terhadap minyak (Mukhtasor 2007).

Pencemaran minyak berpengaruh besar terhadap ekosistem laut, penetrasi cahaya matahari akan menurun akibat tertutup lapisan minyak. Proses fotosintesis akan terhalang pada zona euphotik, sehingga rantai makanan akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya perairan tidak mampu lagi untuk mendukung kehidupan laut yang aerob (IPIECA 2000).

Ancaman utama pencemaran minyak terhadap biota perairan adalah terjadinya penutupan permukaan perairan. Hewan dan tumbuhan sangat beresiko kontak dan terkontaminasi di permukaan laut yang telah terkontaminasi minyak. Kura-kura, reptil laut, dan burung yang hidup mencari makan dengan menyelam terkena dampak utama dari pencemaran minyak, begitu juga halnya dengan biota laut lain termasuk ikan (Mukhtasor 2007).

Menurut Darmono (2001), komponen hidrokarbon aromatis dari minyak bumi seperti senyawa benzen dan toluen merupakan senyawa toksik yang lansung membunuh biota perairan saat terjadinya pencemaran minyak di perairan. Senyawa ini pada konsentrasi tertentu, dapat mematikan organisme laut yang hidupnya menetap seperti kerang, larva ikan karena tidak mampu melarikan diri dengan cepat. Efek sub-letal dari minyak bumi adalah dapat mengganggu kemampuan organisme laut untuk berproduksi, tumbuh dan mencari makan karena terjadinya perpanjangan paparan konsentrasi minyak.

Hewan yang tinggal menetap di perairan dangkal (kerang dan remis) yang secara rutin menyaring sejumlah besar air laut untuk mengekstrak makanan, biasanya akan mengakumulasi komponen minyak. Keberadaan minyak dalam tubuh organisme dapat menyebabkan hewan tersebut menjadi tidak enak dikonsumsi, karena adanya rasa atau aroma minyak. Hal ini merupakan masalah penting yang berhubungan dengan kehidupan nelayan dan masyarakat yang mengkonsumsi hewan laut, termasuk ikan hingga kembali ke kondisi normal.


(24)

Pencemaran minyak telah terjadi di berbagai lokasi perairan Indonesia, salah satu diantaranya adalah perairan Selat Rupat.

Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan Pulau Rupat Propinsi Riau yang memiliki panjang ± 72.4 km dan lebar (dari garis Pantai Dumai hingga pantai Pulau Rupat) 3.8 – 8.0 km. Pulau Rupat merupakan sebuah pulau yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis dan pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat. Oleh sebab aktivitas di Kota Dumai sangat mempengaruhi ekosistim perairan Selat Rupat.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran III) tentang Baku Mutu Air Laut, konsentrasi maksimum kandungan minyak pada air laut untuk kegiatan budidaya adalah 1 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di lokasi studi konsentrasi minyak di perairan Selat Rupat telah melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan.

Selat Rupat memiliki arti penting baik dan segi ekonomis, maupun ekologis. Dari segi ekologis, perairan Selat Rupat memiliki keanekaragaman hayati berbagai jenis mangrove yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan, melindungi pantai dari terjangan angin dan gelombang laut. Oleh sebab itu, banyak dari masyarakat di wilayah ini yang berprofesi sebagai nelayan, sekaligus sebagai pencari kayu bakau.

Berdasarkan kedalamannya (3.0–27 m), Selat Rupat dapat dilayari oleh berbagai kapal-kapal berbobot besar, termasuk kapal tanker. Selat ini berpotensi penting sebagai pelabuhan utama yang mampu menunjang perekonomian Propinsi Riau. Seiring dengan terbentuknya Propinsi Kepulauan Riau, maka Kota Dumai telah diprogramkan sebagai ujung tombak sentra bisnis Propinsi Riau menggantikan Kota Batam. Sehubungan dengan hal itu, maka di beberapa lokasi tertentu di sekitar kawasan Pesisir Dumai telah ditetapkan sebagai kawasan industri (Pelintung dan Lubuk Gaung), sehingga berpotensi meningkatkan pencemaran di Perairan Selat Rupat.

Berdasarkan survei lapangan, pencemaran perairan Selat Rupat berasal dari dua sumber utama, yaitu aktivitas industri di daratan dan aktivitas transportasi di pelabuhan, seiring dengan pengembangan Kota Dumai sebagai Kota Industri.


(25)

Selat Rupat, merupakan jalur transportasi strategis dan pilihan rute kapal yang produktif. Pelabuhan Dumai banyak dikunjungi oleh kapal-kapal penumpang, baik antar pulau di wilayah Indonesia maupun manca negara. Kunjungan kapal setiap tahunnya (2002-2008) berkisar 4089–7332 kali dengan jumlah penumpang berkisar 731.188 hingga 1.012.529 orang (ADPEL 2009).

Kota Dumai merupakan pangkalan utama dua perusahaan minyak terbesar (PT.CPI dan Pertamina UP II Dumai) yang mengeksploitasi minyak mentah dari berbagai sumur minyak di Propinsi Riau dan mengolahnya menjadi produk bahan bakar minyak (BBM). Industri minyak di Kota Dumai mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM dengan kapasitas 170.000 barel perhari yang didukung oleh tangki timbun dan pelabuhan (Pertamina 2002). Dumai juga sebagai lokasi penimbunan minyak mentah dengan tangki timbun yang mampu menampung minyak dengan kapasitas 5.1 juta barel (CPI & PPLH UNRI 2005).

Berbagai aktivitas transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak maupun kegiatan industri di pesisir Pantai Dumai menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran minyak. Posisi Selat Rupat yang semi tertutup berpotensi bagi polutan minyak untuk terakumulasi di perairan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Oleh karena itu maka kajian mengenai pencemaran minyak di perairan Selat Rupat sangat menarik untuk dilakukan. Mengingat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat merupakan masalah kompleks yang sangat penting untuk diselesaikan. Kompleksnya masalah ini menyebabkan penyelesaiannya harus dilakukan secara holistik dengan terlebih dahulu membuat model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat yang sangat berpotensi untuk tercemar minyak.

1.2 Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat Riau. Selanjutnya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai maka secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mempelajari karakteristik lingkungan perairan Selat Rupat.

2 Mengevaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat.

3 Menentukan prioritas teknologi pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.


(26)

4 Menentukan stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.

5 Merumuskan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat.

1.3 Kerangka Pemikiran

Kebutuhan akan energi bagi masyarakat secara dominan masih menggunakan sumber energi bahan bakar fosil (hidrokarbon). Seiring dengan peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kotamadya Dumai berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999, maka pertumbuhan industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Berbagai kegiatan transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak di Selat Rupat selalu menyisakan polutan minyak ke lingkungan perairan.

Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha dan/atau Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal merupakan konsep umum yang digunakan dalam pengendalian pencemaran minyak di laut hingga saat ini. Pada kenyataannya, penerapan instrumen regulasi di lapangan ada indikasi belum berjalan secara optimal sebagaimana yang diharapkan.

Selat Rupat merupakan jalur transportasi strategis. Padatnya lalu lintas berbagai kapal (kapal tanker, kargo dan penumpang) di perairan ini berpotensi memberikan kontribusi besar terhadap peningkaan polutan minyak di perairan Selat Rupat. Di lain pihak, karakteristik lingkungan perairan Selat Rupat sangat peka terhadap pencemaran minyak. Pencemaran minyak dapat mengakibatkan gangguan terhadap ekosistem. Upaya pengendalian pencemaran minyak di


(27)

perairan Selat Rupat memerlukan suatu kajian yang menyeluruh (holistic) termasuk aspek kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Berdasarkan hal itu, diperlukan suatu model pengendalian pencemaran minyak di perairan sebagai upaya mencegah kerusakan ekosistem di sekitarnya. Pendekatan pengendalian pencemaran minyak di perairan memerlukan kajian permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik lingkungan perairan, tingkat pencemaran minyak di Selat Rupat, teknologi yang tepat untuk pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat dan stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak. Model pengendalian ini diharapkan dapat digunakan sebagai arahan bagi pengambilan kebijakan dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pemikiran pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat

UU No. 17/2007, PP No.21/ 2010, PP No. 19/1999, PerMenHub No.4/2005, UU No.32 / 2009,

KepMenLH No.51/2004, PerMenLH No.04/2007.

Konsep umum

pengendalian pencemaran minyak di perairan laut

Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat UU No.16 Tahun 1999,

pertumbuhan industri dan lalu lintas kapal di Selat Rupat

Peningkatan beban pencemaran minyak di Selat Rupat

Evaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat Pemodelan umum

pengendalian pencemaran minyak di perairan

Karakteristik lingkungan di Selat Rupat hidrooseanografi, mangrove, kepekaan lingkungan.

Kondisi eksisting aktifitas (di daratan dan laut) sekitar perairan Selat Rupat sebagai sumber pencemar minyak

Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat

Teknologi pengendalian pencemaran minyak (oilboom, dispersant dan bioremediasi)

Stakeholders yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat


(28)

1.4 Perumusan Masalah

Selat Rupat merupakan selat kecil di Selat Malaka yang terletak antara pesisir pantai Kota Dumai dengan Pulau Rupat. Pada kawasan ini terdapat vegetasi mangrove dan wilayah tangkapan yang sangat peka terhadap pencemaran minyak. Selain itu, Selat Rupat merupakan perairan yang semi tertutup yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya. Kondisi pergerakan arus pasang-surut setiap selang waktu enam jam akan memberikan pengaruh yang besar terhadap penyebaran polutan minyak di Selat Rupat. Tipe pasang-surut ini menyebabkan polutan minyak di perairan Selat Rupat terperangkap dan tidak mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka). Minyak yang memiliki molekul resisten (sukar terurai) berpotensi untuk terakumulasi dan menyebabkan kerusakan ekosistem perairan.

Karakteristik lingkungan merupakan hal penting untuk mengetahui kondisi eksisting lingkungan dan responnya terhadap pencemaran minyak. Karakteristik lingkungan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Kepekaan lingkungan adalah gambaran suatu ekositem yang digunakan sebagai prioritas respon terhadap pencemaran, khususnya minyak. Dampak pencemaran minyak berimplikasi terhadap tingkat kepekaan ekosistem Selat Rupat. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, akan memberikan respon negatif yang membahayakan ekosistem di sekitarnya walaupun konsentrasi minyaknya relatif rendah. Sebaliknya, wilayah yang kurang peka akan memberikan respon yang tidak membahayakan ekosistem di sekitarnya.

Pulau Rupat pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat, namun aktivitas di Kota Dumai sangat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan Selat Rupat. Seiring dengan peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kotamadya Dumai berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999, maka pertumbuhan industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat.

Dumai juga dikenal sebagai kota minyak karena di kota ini terdapat dua perusahaan minyak terbesar yang bergerak dalam bidang eksploitasi, pengolahan dan distribusi minyak (PT.Chevron Pacific Indonesia dan PT.Pertamina UP II


(29)

Dumai). Dumai juga merupakan pelabuhan utama di Propinsi Riau yang mampu melayani pergerakan regional maupun internasional.

Berbagai aktivitas industri dan transportasi laut mampu memicu terjadinya pencemaran minyak sehingga menambah tekanan ekologis terhadap Selat Rupat. Berdasarkan hal itu, untuk menurunkan potensi ancaman terhadap sumberdaya alam di Selat Rupat dan mengembangkan Kota Dumai sebagai ujung tombak ekonomi Propinsi Riau perlu suatu solusi model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Sehubungan dengan konteks pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat, diajukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu:

1 Bagaimana kondisi eksisting lingkungan di perairan Selat Rupat dan sumber pencemar minyak di Selat Rupat?

2 Bagaimana kondisi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat?

3 Model apa yang tepat diterapkan untuk pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat?

1.5 Manfaat Penelitian

Model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Propinsi Riau dalam menentukan arahan kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak.

1.6 Novelty (Kebaruan Gagasan)

Penelitian ini merupakan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan berkaitan dengan pengendalian pencemaran minyak di perairan selat, khususnya Selat Rupat yang disebabkan oleh aktivitas di daratan dan transportasi di laut. Pada penelitian ini digunakan pendekatan sistem dengan mengintegrasikan secara holistik kepentingan para pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian pencemaran minyak. Berdasarkan hal itu, kebaruan utama penelitian ini terdapat pada konsep penggunaan model dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan selat agar kerusakan ekosistem laut dapat dikendalikan. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh:


(30)

1 PERTAMINA UP II Dumai dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. 2002. Sedimentasi dan Dispersi Limbah Cair Pertamina Dumai.

2 PT.Chevron Pacific Indonesia dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. 2005. Studi Sensitivitas Tumpahan Minyak di Selat Rupat.

Selat Rupat merupakan wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda terhadap pencemaran minyak. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap pencemaran minyak. Wilayah sangat peka akan memberikan respon yang cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak. Sebaliknya, wilayah yang ekosistemnya kurang peka tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap pencemaran minyak di sekitarnya. Berdasarkan hal itu, untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan di Selat Rupat akibat pencemaran minyak di wilayah yang sangat peka, perlu dilakukan pengendalian. Penggunaan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat belum pernah dilakukan. Untuk itu, penulis bermaksud merumuskan suatu model dalam upaya mengendalikan pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat Riau.


(31)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Minyak di Perairan

Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri (Odum 1993). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

Menurut UNCLOS (2007) pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat buruk sehingga dapat merugikan sumber daya laut hayati (marine living resources), membahayakan kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, menurunkan kualitas air laut, mutu kegunaan dan manfaatnya. Pengendalian pencemaran laut merupakan salah satu wujud pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam yang dikandungnya (Clark 2003).

Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut diklasifikasikan atas senyawa konservatif (senyawa yang sukar terurai) dan senyawa non konservatif (senyawa yang mudah terurai di perairan). Polutan yang masuk ke perairan laut seringkali mengandung senyawa konservatif dan non-konservatif, salah satu diantaranya adalah polutan minyak. Minyak merupakan polutan yang memiliki potensi besar mencemari air laut. Pencemaran minyak merupakan penyebab utama pencemaran laut yang dapat membahayakan ekosistem laut karena laut dan biota perairan sangat rentan terhadap minyak (Mukhtasor 2007).

Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak adalah terjadinya kerusakan pada membran sel biota laut oleh molekul-molekul hidrokarbon minyak yang mengakibatkan keluarnya cairan sel dan meresapnya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan berbau minyak, sehingga menyebabkan turun mutunya. Secara langsung minyak dapat menyebabkan


(32)

kematian ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon monoksida, dan keracunan langsung oleh bahan toksik. Dampak jangka panjang dari pencemaran minyak dialami oleh biota laut yang masih muda. Minyak dapat teradsobsi dan termakan oleh biota laut, sebagian akan terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan (Sumadhiharga 1995).

Secara fisik, pencemaran minyak akan terlihat jelas pada lingkungan laut seperti pantai menjadi kotor akibat permukaan air laut tertutup oleh lapisan minyak atau karena gumpalan ter dipermukaan air laut. Secara kimia, minyak bumi mengandung senyawa aromatik hidrokarbon yang bersifat toksik dan dapat mematikan organisme laut. Secara biologi, adanya pencemaran minyak dapat mengganggu kehidupan organisme termasuk ikan, oleh karena itu perlu suatu usaha yang intensif untuk meminimalkan pencemaran minyak di laut. Pengaruh spesifik dampak dari pencemaran minyak terhadap lingkungan perairan laut dan pantai tergantung pada jumlah minyak yang mencemari, lokasi kejadian, dan waktu kejadian (Syakti 2004).

Menurut Supriharyono (2000), tingkat kerusakan akibat pencemaran minyak bergantung pada jumlah dan konsentrasi minyak di perairan, jenis dan sifat kimia minyak yang mencemari serta kepekaan ekosistem terhadap dampak pencemaran minyak tersebut. Pencemaran minyak di laut dapat menyebabkan dampak yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut.

Pencemaran minyak secara langsung dapat mengganggu lingkungan laut di lokasi pantai. Secara tidak langsung, pencemaran minyak dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu produktifitas di dasar laut. Ikan yang hidup di kitarnya akan tercemar, mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan hidup (Chahaya 2003).

Pengukuran kualitas perairan dari pencemaran minyak merupakan evaluasi untuk menilai ekosistem mangrove dan potensi perikanan di suatu perairan. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat pada penelitian ini adalah kandungan oksigen terlarut dan nilai BOD5.


(33)

1 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan gas oksigen yang terlarut dalam air dan berperan penting bagi metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton (Manahan 1983).

Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang. Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik termasuk minyak (Connel & Miller 1995).

Menurut Lee et al.(1978), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan (Tabel 1 ).

Tabel 1 Kriteria kualitas air berdasarkan kandungan DO

No Kadar oksigen terlarut (mg/l) Kriteria kualitas air

1 ≥ 6,5 Tidak tercemar

2 4,5 – 6,4 Tercemar ringan

3 2,0 – 4,4 Tercemar sedang

4 < 2,0 Tercemar berat

Sumber: Lee et al. (1978)

2 Kebutuhan oksigen biokimia (biochemical oxygen demand, BOD5)

BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu

perairan. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut

tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Menurut Lee et al.


(34)

Tabel 2 Kriteria kualitas air berdasarkan nilai BOD5

No Nilai BOD5 (mg/l) Kriteria Kualitas Air

1 ≤ 2,9 Tidak tercemar

2 3,0 – 5,0 Tercemar ringan

3 5,1 - 14,9 Tercemar sedang

4 ≥ 15 Tercemar berat

Sumber: Lee et al. (1978)

Berdasarkan jenis muatannya, secara umum kapal sebagai media transportasi laut pada penelitian ini dapat dikategorikan atas kapal penumpang (kapal ferry), kapal barang (kapal kargo) dan kapal tanker (oil tanker). Menurut Mukhtasor (2007), kegiatan pengoperasian kapal pada umumnya dapat menghasilkan polutan minyak dari sumber:

a) Air bilga kamar mesin adalah akumulasi air laut dalam kapal dari kebocoran normal permesinan, pengembunan pada dinding plat kapal, pembilasan air tawar, kebocoran normal dari sistem stern-tube bertipe pelumasan air laut. b) Air ballast adalah air laut yang dimasukkan ke dalam kapal tanker atau tanki

bahan bakar yang berguna untuk menjaga stabilitas kapal. Sebuah tanker didesain layak berlayar pada saat tanki terisi. Setelah bongkar minyak di pelabuhan akibatnya tanker menjadi kosong, untuk kestabilan kapal tanker kembali berlayar, maka tanki diisi air laut 25 – 30 % dari total kapasitas tanker. Air ballast dalam tanki ini harus dibuang kembali ke laut sebelum tanki diisi kembali dengan minyak. Pada saat bongkar, tanki minyak masih tersisa minyak (pada dasar dan sisi tanki) dengan kisaran 0,1 – 1,5 % dari volume total tanki. Air ballast yang masih mengandung minyak ini umumnya dibuang ke laut. Oleh sebab itu air ballast merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran minyak di perairan.

c) Minyak pelumas adalah minyak pelumasan (oli) yang berasal dari bantalan-bantalan poros propeller dan sistem hidrolik, minyak pelumas untuk bantalan-bantalan kemudi dibawah air.

2.2 Karakteristik Minyak di Perairan

Minyak adalah istilah umum yang digunakan untuk menyatakan produk petroleum yang komposisi utamanya terdiri dari hidrokarbon. Minyak bumi merupakan campuran yang sangat kompleks dari hidrokarbon-hidrokarbon


(35)

penyusunnya. Minyak terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan organik (sel-sel dan jaringan hewan dan tumbuhan) yang tertimbun selama jutaan tahun yang lalu di dalam tanah baik di daerah daratan maupun di daerah lepas pantai (Mukhtasor 2007).

Minyak mentah (crude oil) yang baru keluar dari sumur eksplorasi mengandung bermacam-macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair maupun padatan. Lebih dari separoh (50-98%) dari zat-zat tersebut adalah merupakan hidrokarbon. Senyawa utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah alifatik, alisiklik dan aromatik (Supriharyono 2000).

Komponen hidrokarbon aromatik jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan komponen hidrokarbon lainnya yaitu berkisar 2–4 %. Komponen hidrokarbon aromatik yang paling sederhana adalah benzen. Secara umum senyawa aromatik bersifat mudah menguap (folatil) dan lebih beracun dari senyawa lainnya (Darmono 2001).

Penyebaran minyak yang masuk ke perairan tergantung pada jumlah, karakteristik dan tipe minyak, kondisi cuaca, gelombang, arus dan jika minyak tertinggal di laut atau terbawa ke darat. Polutan yang berasal dari minyak bumi (petroleum hydrocarbon) telah memperoleh perhatian yang sangat besar secara internasional, politik dan keilmuan apabila mencemari perairan. Hal ini disebabkan karena pengaruh minyak terhadap ekosistem perairan mampu menurunkan kualitas air laut (Mukhtasor 2007).

2.2.1 Karakteristik Fisika Minyak

Karakteristik fisik minyak yang mempengaruhi prilaku minyak di laut yang penting adalah densitas, viskositas, titik ubah (pour point) dan kelarutan air. a. Densitas.

Densitas diekspresikan sebagai specific gravity dan American Petroleum Institute (API) gravity. Specific gravity adalah rasio berat massa minyak dan berat massa air pada temperature tertentu. API gravity dinyatakan dalam angka 10° pada air murni 10°C. Minyak mentah mempunyai specific gravity pada kisaran 0,79-1,00. Densitas minyak memegang peranan penting untuk memprediksi prilaku minyak di perairan (BP Migas 2002).


(36)

b. Viskositas

Viskositas adalah sifat yang menunjukkan ketahanan dalam perubahan bentuk dan pergerakan. Viskositas rendah berarti mudah mengalir. Faktor viskositas adalah komposisi minyak dan temperature. Viskositas ini penting untuk memprediksi penyebaran minyak di air.

c. Titik ubah

Titik ubah adalah tingkatan suhu yang mengubah minyak menjadi memadat atau berhenti mengalir. Titik ubah minyak mentah berkisar –57°C hingga 32°C. Tititk ubah ini juga penting untuk prediksi prilaku minyak di perairan. d. Kelarutan

Kelarutan minyak dalam air adalah rendah sekitar 30 mg/L dan tergantung kepada komposisi kimia dan suhu. Besaran kelarutan itu dicapai oleh minyak aromatis dengan berat molekul kecil seperti benzena, toluena, ethylbenzena, dan xylena (BTEX). Sifat kelarutan ini penting untuk prediksi prilaku minyak di air, proses bioremediasi, dan ekotoksisitas minyak (NAS 1985).

2.2.2 Komposisi Minyak

Minyak adalah suatu campuran yang sangat kompleks yang terutama terdiri dari senyawa-senyawa hidrokarbon,yaitu senyawa-senyawa organik yang setiap molekulnya hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja. Komposisi kimia minyak mentah berbeda dengan minyak hasil olahan.

1. Minyak mentah

Minyak bumi ditemukan bersama-sama dengan gas alam. Minyak bumi yang telah dipisahkan dari gas alam disebut juga minyak mentah (crude oil). Minyak mentah dapat dibedakan atas:

a) Minyak mentah ringan (light crude oil), mengandung kadar logam dan belerang rendah, berwarna terang dan bersifat encer (viskositas rendah). b) Minyak mentah berat (heavy crude oil), mengandung kadar logam dan

belerang tinggi, memiliki viskositas tinggi sehingga harus dipanaskan agar meleleh.

Minyak mentah merupakan campuran yang kompleks dengan komponen utama alkana dan sebagian kecil alkena, alkuna, siklo-alkana, aromatik, dan senyawa anorganik. Minyak mentah mengandung sekitar 50–98 % senyawa


(37)

hidrokarbon dan sisanya merupakan senyawa non-hidrokarbon (sulfur, nitrogen, oxigen, dan beberapa logam berat seperti V, Ni dan Cu). Air dan garam hampir selalu terdapat dalam minyak bumi dalam keadaan terdispersi. Bahan-bahan bukan hidrokarbon ini biasanya dianggap sebagai kotoran karena pada umumnya akan memberikan gangguan dalam proses pengolahan minyak dalam kilang dan mempengaruhi kualitas minyak yang dihasilkan.

Berdasarkan kelarutannya dalam pelarut organik, minyak dapat diklasifikasikan atas hidrokarbon jenuh, Hidrokarbon aromatis, dan resin (Ryabinin 1998).

a. Hidrokarbon jenuh (saturated hydrocarbons)

Hidrokarbon jenuh adalah kelompok minyak yang dicirikan dengan adanya rantai atom karbon (bercabang atau tidak bercabang atau membentuk siklik) berikatan dengan atom hidrogen, dan merupakan rantai atom jenuh. Hidrokarbon jenuh meliputi senyawa alkana dengan struktur CnH2n+2

(aliphatis) dan CnH2n (alicyclis), dimana n > 40. Hidrokarbon jenuh merupakan kandungan terbanyak dalam minyak mentah, termasuk dalam kelompok ini adalah golongan alkana (paraffin), yang mewakili 10-40 % komposisi minyak mentah (BP Migas 2002).

b. Hidrokarbon aromatis

Hidrokarbon aromatis meliputi monocyclis aromatis benzene, toluene, etil toluene dan xilena (BTEX) dan polisik aromatis hidrokarbons (PAHs) yang meliputi naphthalene, anthracene, dan phenanthrene (BP MIGAS 2002). Senyawa aromatik ini merupakan komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa memberi dampak kronik (menahun, berjangka lama) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Hampir kebanyakan aromatik bermassa rendah (low-weight aromatics), dapat larut dalam air sehingga meningkatkan bioavaibilitas yang dapat menyebabkan terpaparnya organisma didalam matrik tanah ataupun pada badan air. Jumlah relatif hidrokarbon aromatis didalam mnyak mentah bervariasi dari 10-30 % (Syakti 2004).

c. Resin dan aspal.

Komponen penyusun minyak tersebut juga terdiri atas aspal (asphalt) dan resin dengan komposisi 5-20 % yang merupakan komponen berat dengan struktur


(38)

kimia yang kompleks berupa senyawa siklik aromatik dengan lebih dari lima cincin aromatik dan napthenoaromatik dengan gugus-gugus fungsional sehingga senyawa-senyawa tersebut memiliki polaritas yang tinggi.

Resin merupakan senyawa polar yang mengandung senyawa nitrogen, sulfur, oksigen (pyridines dan thiophenes), sehingga disebut pula sebagai senyawa NSO. Aspal adalah senyawa dengan berat molekul besar dan pada umumnya mengandung logam berat nikel, vanadium, dan besi. Aspal sukar larut dalam air dan mempunyai sifat fisik padat (BP Migas 2002).

2. Minyak hasil olahan (minyak)

Minyak hasil olahan seperti gasolin, kerosen dan minyak jett adalah produk olahan minyak mentah melalui proses catalitic cracking dan fractional distilation. Distilation adalah pemisahan fraksi-fraksi minyak bumi berdasarkan perbedaan titik didihnya. Mula-mula minyak mentah dipanaskan dalam aliran pipa dalam furnace (tanur) sampai dengan suhu ±370°C. Hasil olahan berupa minyak mempunyai sifat fisik kimia yang berbeda dengan minyak mentah. Senyawa baru dapat muncul dalam minyak olahan yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak mentah. Minyak hasil olahan mempunyai kandungan senyawa hidrokarbon tak jenuh seperti olefins (alkena dan cycloalkena) dari proses catalytic cracking. Kandungan olefins dapat mencapai 30% dalam

gasoline dan sekitar 1% dalam jet fuel (NAS 1985).

Secara umum toksisitas minyak mentah meningkat dengan memanjangnya rantai hidrokarbon. Selanjutnya hidrokarbon aromatik lebih toksik apabila dibandingkan dengan sikloalkana dan alkana. Selain hidrokarbon, minyak bumi juga mengandung senyawa lain seperti nitrogen dengan kisaran 0,0-0,9%, belerang 0,0-1%, dan oksigen 0,0-2% (Neff 1976).

Semua minyak mentah dan produk minyak kilang lainnya beracun terhadap organisme laut. Efek lethal semakin menurun dengan meningkatnya lama waktu. Pada tahap jentik dan larva efek lethalnya terhadap minyak terjadi pada konsentrasi 0,1-1,0 mg/l dan organisme dewasa terjadi pada kisaran 1,0-10 mg/l (Bishop & Paul 1983).

Fraksi minyak bumi yang tidak larut dapat menyebabkan kerusakan karena dapat menempel pada organisme dan menyebabkan organisme tersebut mati


(39)

lemas. Selain itu, minyak juga dapat menyebabkan terkontaminasinya organisme perairan yang biasanya dikonsumsi. Hidrokarbon aromatik pada titik didih rendah seperti benzena, toluena, xilena, nafthalena dan phenantrena merupakan fraksi yang paling toksik dan penyebab utama kematian organisme (BP Migas 2002).

Senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam minyak bumi seperti benzena, toluena, etil benzena dan isomer xilena (BTEX) mempunyai sifat mutagenik dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini sulit mengalami perobakan di alam sehingga akan mengalami proses akumulasi pada rantai makanan (biomagnifikasi) pada ikan maupun biota laut lainnya (Mukhtasor 2007).

2.2.3 Prilaku Minyak di Perairan

Pada saat terjadi pencemaran minyak di perairan, minyak akan mengalami serangkaian perubahan atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun sebahagian minyak tersebut terurai oleh lingkungan laut, namun waktu yang dibutuhkan untuk proses penguraian itu tergantung pada karakteristik fisika dan kimiawi minyak dan proses penguraiannya secara alamiah. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah:

a. Karaterisik fisika minyak (densitas, viskositas, dan kelarutannya). b. Komposisi dan karakteristik kimia minyak.

c. Kondisi sinar matahari (fotooksidasi), kondisi oseanografi dan suhu udara. d. Karakteristik air laut (pH, arus, suhu, keberadaan bakteri, nutrien, dan

oksigen terlaut).

Pada saat minyak masuk ke lingkungan laut sebagai pencemar, minyak segera mengalami perubahan fisik dan kimia melalui proses penyebaran (spreading), penguapan (evaporation), dispersi (dispersion) emulsifikasi (emulsification), pelarutan (dissolution), oksidasi (oxidation) dan sedimentasi (sedimentation) dan penguraian secara biologis (biodegredation). Semua proses ini merupakan proses pelapukan (weathering) yang menguraikan komponen minyak di perairan (IPIECA 2001).

Proses penyebaran minyak akan menyebabkan lapisan menjadi lebih tipis serta tingkat penguapan meningkat. Hilangnya sebahagian material yang volatil


(40)

menyebabkan minyak lebih padat, berat dan tenggelam (GAO 2007). Prilaku minyak di perairan tersebut diuraikan sebagai berikut.

a. Penyebaran (spreading)

Pada saat masuk ke perairan laut, minyak akan tersebar ke seluruh permukaan laut dalam satu lapisan. Kecepatan penyebarannya tergantung pada tingkat viskositas minyak. Minyak yang viskositasnya rendah dan berbentuk cair akan menyebar lebih cepat dari minyak yang viskositasnya tinggi. Lapisan minyak ini akan menyebar dengan cepat dan menutupi wilayah permukaan laut. Penyebaran minyak tersebut pada umumnya tidak merata. Setelah beberapa jam, lapisan tersebut akan pecah dan karena pengaruh angin, aksi gelombang dan turbulensi air laut, akan membentuk buih tipis. Tingkat penyebaran minyak juga ditentukan oleh kondisi fisik perairan seperti temperatur, arus laut, pengaruh pasang dan kecepatan angin (Reed et al. 1999).

Gelombang dan turbulensi di permukaan laut dapat mengakibatkan seluruhnya atau sebagian dari lapisan minyak pecah menjadi beberapa bagian dan tetesan yang ukurannya bervariasi. Ini akan tercampur ke dalam lapisan atas pada kolom air. Beberapa dari tetesan yang lebih kecil akan tertinggal dan tersuspensi pada air laut sementara tetesan yang lebih besar akan cenderung naik ke permukaan, dimana tetesan-tetesan ini kemungkinan tidak bergabung dengan tetesan lain dan membentuk lapisan atau tersebar membentuk lapisan tipis (NOOA 2002). Penyebaran ini merupakan proses terpenting selama awal ekspose minyak dalam air. Proses ini akan memperluas sebaran minyak sehingga meningkatkan perpindahan massa melalui proses evaporasi, pelarutan dan biodegradasi.

b. Penguapan (evaporation)

Proses penguapan adalah mekanisme utama hilangnya sebahagian fraksi minyak dari permukaan laut. Laju dan jangkauan proses penguapan banyak tergantung pada proporsi fraksi bertitik-didih rendah dari lapisan minyak yang tumpah. Proses penguapan juga bergantung pada proses penyebaran awal yang telah berlangsung, sebab makin luas dan tipis ketebalan tutupan daerah penyebaran minyak, makin cepat fraksi minyak ringan untuk menguap. Faktor lingkungan yang mempengaruhi penguapan minyak adalah angin, gelombang


(41)

air dan suhu. Proses penguapan menyebabkan minyak yang mengalami peningkatan densitas dan viskositas (Mangkoedihardjo 2005). Minyak ringan seperti bensin dapat menguap hingga 90 % dari total volumenya selama dua hari, sedangkan minyak mentah ringan dapat menguap hingga 40%. Sebaliknya minyak mentah berat (residu) melepaskan tidak lebih dari 10% dari volume awalnya beberapa hari setelah terjadi pencemaran minyak. Penguapan senyawa alkana (< C15) dan aromatik berlangsung 1 – 10 hari (Xueqing et al. 2001). c. Dispersi (dispertion)

Dispersi adalah mekanisme fraksinasi dari lapisan minyak menyebar dalam bentuk gumpalan (droplet) dan pergerakannya di dalam badan air dapat secara vertikal dan horizontal. Dispersi vertikal berkaitan dengan pergerakan droplet

yang memiliki dimensi kurang dari 100 μm. Fenomena ini lebih dianggap

sebagai pergerakan polutan dari satu tempat ketempat lain dan bukan sebagai mekanisme degradasi. Formasi gumpalan minyak ukuran kecil secara signifikan mampu meningkatkan kontak antara air laut dan minyak dan penguraian minyak oleh mikroorganisme akan semakin besar. Gumpalan minyak akan menyebar melalui lapisan atas air laut dan akan terapung kembali ke permukaan laut tergantung pada densitas dan ukuran gumpalan minyak tersebut (Syakti 2004).

d. Emulsifikasi (emulsification)

Emulsifikasi adalah proses perubahan status butiran minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak. Gerakan gelombang menyebabkan lapisan permukaan minyak bergerak ke bagian atas permukaan air sehingga menyebabkan formasi minyak yang tidak larut dalam air akan teremulsi dengan cepat. Emulsi mampu mengubah karakteristik minyak secara signifikan. Emulsi yang stabil mengandung 65-80 % air. Emulsi perangkap air dapat meningkatkan volume minyak menjadi 3-5 kali lebih besar (Mukhtasor 2007). e. Pelarutan (dissolution)

Proses pelarutan berperan penting bagi proses biodegradasi minyak di perairan. Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh komposisi kimiawi hidrokarbon minyak bumi, luasan penyebaran, dan kondisi hidrooseanografi perairan (arus, angin dan gelombang) dan viskositasnya. Senyawa aromatik dengan berat


(42)

molekul kecil seperti benzena dan toluena lebih mudah larut dalam air dibanding senyawa minyak yang berberat molekul besar (NAS 1985). Kelarutan berbagai jenis hidrokarbon minyak di dalam air dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelarutan hidrokarbon didalam air (mg. L-1) pada 25 °C

n-alkana Kelarutan (ppm) Senyawa Aromatik Kelarutan (ppm)

nC5 40 Benzena 1700

nC6 10 Toluena 530

nC7 3 Ethylbenzena 170

nC8 1 p-Xylena 150

nC12 0.01 Naphtalena 30

nC30 0.002 Phénanthrène 1

Sumber: (Syakti 2004).

Berdasarkan Tabel 3, senyawa aromatis memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa alkana. Benzena memiliki kelarutan yang lebih tinggi, kemudian diikuti oleh toluene, ethylbenzena, xylena dan naphtalena. Pada umumnya makin berat molekul dari senyawa hidrokarbon minyak semakin kecil kelarutannya dalam air.

f. Oksidasi

Proses oksidasi mampu mengubah minyak menjadi senyawa-senyawa baru berdasarkan kemampuan oksidasinya. Pada proses ini, hidrokarbon dapat teroksidasi menjadi alkohol, keton dan asam-asam organik. Hasil oksidasi merupakan senyawa yang lebih mampu larut dibandingkan dengan senyawa hidrokarbon sebelumnya. Oksidasi minyak mentah dapat terjadi melalui dua proses yaitu foto-oksidasi dan mikrobial-oksidasi. Saat minyak di perairan terkena sinar matahari melalui bantuan oksigen maka terjadilah fotooksidasi dan diikuti dengan oksidasi mikrobial secara aerob. Hal yang mempengaruhi fotooksidasi adalah spektrum dan intensitas cahaya matahari, serta karakteristik permukaan air. Radiasi matahari yang sampai ke lapisan minyak dapat meningkatkan proses oksidasi (photo-oxidation), namun laju penguraian ini tidak lebih dari 0.1% per hari meskipun dibawah intensitas sinar matahari yang tinggi. Disamping itu, aksi gelombang yang dapat mengakibatkan pecahnya minyak menjadi komponen-komponen kecil dapat mempercepat proses oksidasi, karena luas bidang kontak antara minyak dan oksigen semakin besar.


(1)

185 Skor_BOD_P_Pelitung = 125-25*Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Pelitung

Skor_DO_P_Gaung = 125-25*Kriteria__DO_Kualitas_Air_Gaung Skor_DO_P_Ketam = 125-25*Kriteria__DO_Kualitas_Air_Ketam Skor_DO_P_Pelitung = 125-25*Kriteria__DO_Kualitas_Air_Pelitung Tingkat_BOD_P_Gaung = 0.118*Pencemaran_Minyak

Tingkat_BOD_P_Ketam = 0.0856*Pencemaran_Minyak Tingkat_BOD__P_Pelitung = 0.106*Pencemaran_Minyak Tingkat_DO_p_Ketam = 7.61-0.035*Pencemaran_Minyak Tingkat_DO__P_Gaung = 7.03-0.027*Pencemaran_Minyak Tingkat_DO__P_Pelitung = 7.778-0.040*Pencemaran_Minyak Klas_Bahaya_P_Pelitung =

GRAPH(Skor_Bahaya_Pencemaran_Sekitar_P_Pelitung)

(75.0, 5.00), (97.5, 5.00), (120, 5.00), (143, 4.00), (165, 4.00), (188, 3.00), (210, 3.00), (233, 2.00), (255, 2.00), (278, 1.00), (300, 1.00)

Klas_Bahaya__P_Gaung =

GRAPH(Skor_Bahaya_Pencemaran__Sekitar_P_Gaung)

(75.0, 5.00), (97.5, 5.00), (120, 5.00), (143, 4.00), (165, 4.00), (188, 3.00), (210, 3.00), (233, 2.00), (255, 2.00), (278, 1.00), (300, 1.00)

Klas_Bahaya__P_Ketam =

GRAPH(Skor_Bahaya_Pencemaran_Sekitar_P_Ketam)

(75.0, 5.00), (97.5, 5.00), (120, 5.00), (143, 4.00), (165, 4.00), (188, 3.00), (210, 3.00), (233, 2.00), (255, 2.00), (278, 1.00), (300, 1.00)

Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Gaung = GRAPH(Tingkat_BOD_P_Gaung) (1.00, 1.00), (1.50, 1.00), (2.00, 1.00), (2.50, 1.00), (3.00, 2.00), (3.50, 2.00), (4.00, 2.00), (4.50, 2.00), (5.00, 2.00), (5.50, 3.00), (6.00, 3.00), (6.50, 3.00), (7.00, 3.00), (7.50, 3.00), (8.00, 3.00), (8.50, 3.00), (9.00, 3.00), (9.50, 3.00), (10.0, 3.00), (10.5, 3.00), (11.0, 3.00), (11.5, 3.00), (12.0, 3.00), (12.5, 3.00), (13.0, 3.00), (13.5, 3.00), (14.0, 3.00), (14.5, 3.00), (15.0, 4.00), (15.5, 4.00), (16.0, 4.00), (16.5, 4.00), (17.0, 4.00), (17.5, 4.00), (18.0, 4.00), (18.5, 4.00), (19.0, 4.00), (19.5, 4.00), (20.0, 4.00)

Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Ketam = GRAPH(Tingkat_BOD_P_Ketam) (1.00, 1.00), (1.50, 1.00), (2.00, 1.00), (2.50, 1.00), (3.00, 2.00), (3.50, 2.00), (4.00, 2.00), (4.50, 2.00), (5.00, 2.00), (5.50, 3.00), (6.00, 3.00), (6.50, 3.00), (7.00, 3.00), (7.50, 3.00), (8.00, 3.00), (8.50, 3.00), (9.00, 3.00), (9.50, 3.00), (10.0, 3.00), (10.5, 3.00), (11.0, 3.00), (11.5, 3.00), (12.0, 3.00), (12.5, 3.00), (13.0, 3.00), (13.5, 3.00), (14.0, 3.00), (14.5, 3.00), (15.0, 4.00), (15.5, 4.00), (16.0, 4.00), (16.5, 4.00), (17.0, 4.00), (17.5, 4.00), (18.0, 4.00), (18.5, 4.00), (19.0, 4.00), (19.5, 4.00), (20.0, 4.00)

Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Pelitung = GRAPH(Tingkat_BOD__P_Pelitung) (1.00, 1.00), (1.50, 1.00), (2.00, 1.00), (2.50, 1.00), (3.00, 2.00), (3.50, 2.00), (4.00, 2.00), (4.50, 2.00), (5.00, 2.00), (5.50, 3.00), (6.00, 3.00), (6.50, 3.00), (7.00, 3.00), (7.50, 3.00), (8.00, 3.00), (8.50, 3.00), (9.00, 3.00), (9.50, 3.00), (10.0, 3.00), (10.5, 3.00), (11.0, 3.00), (11.5, 3.00), (12.0, 3.00), (12.5, 3.00), (13.0, 3.00), (13.5, 3.00), (14.0, 3.00), (14.5, 3.00), (15.0, 4.00), (15.5, 4.00), (16.0, 4.00), (16.5, 4.00), (17.0, 4.00), (17.5, 4.00), (18.0, 4.00), (18.5, 4.00), (19.0, 4.00), (19.5, 4.00), (20.0, 4.00)


(2)

186 (1.00, 4.00), (1.50, 4.00), (2.00, 4.00), (2.50, 3.00), (3.00, 3.00), (3.50, 3.00), (4.00, 3.00), (4.50, 3.00), (5.00, 2.00), (5.50, 2.00), (6.00, 2.00), (6.50, 1.00), (7.00, 1.00), (7.50, 1.00), (8.00, 1.00), (8.50, 1.00), (9.00, 1.00), (9.50, 1.00), (10.0, 1.00)

Kriteria__DO_Kualitas_Air_Ketam = GRAPH(Tingkat_DO_p_Ketam) (1.00, 4.00), (1.50, 4.00), (2.00, 4.00), (2.50, 3.00), (3.00, 3.00), (3.50, 3.00), (4.00, 3.00), (4.50, 3.00), (5.00, 2.00), (5.50, 2.00), (6.00, 2.00), (6.50, 1.00), (7.00, 1.00), (7.50, 1.00), (8.00, 1.00), (8.50, 1.00), (9.00, 1.00), (9.50, 1.00), (10.0, 1.00)

Kriteria__DO_Kualitas_Air_Pelitung = GRAPH(Tingkat_DO__P_Pelitung) (1.00, 4.00), (1.50, 4.00), (2.00, 4.00), (2.50, 3.00), (3.00, 3.00), (3.50, 3.00), (4.00, 3.00), (4.50, 3.00), (5.00, 2.00), (5.50, 2.00), (6.00, 2.00), (6.50, 1.00), (7.00, 1.00), (7.50, 1.00), (8.00, 1.00), (8.50, 1.00), (9.00, 1.00), (9.50, 1.00), (10.0, 1.00)

Nelayan_Total(t) = Nelayan_Total(t - dt) + (In_Nelayan - Out_Nelayan) * dtINIT Nelayan_Total = 490

INFLOWS:

In_Nelayan = -1.360*Pencemaran_Minyak+547.3 OUTFLOWS:

Out_Nelayan = Nelayan_Total

Pendapatan_Total = 25000*Tangkapan Tangkapan = 4.20*Nelayan_Total Dispersan = 0.8

Oil_Boom = 0.9 Not in a sector


(3)

187 Lampiran 12 Asumsi skenario III

Sensitifitas Lingkungan Sekitar_P_Gaung = 3 Sekitar_P_Ketam = 2 Sekitar_P_Pelitung = 1

Skor_P_Gaung = 125-25*Sekitar_P_Gaung Skor_P_Ketam = 125-25*Sekitar_P_Ketam Skor_P_Pelitung = 125-25*Sekitar_P_Pelitung

Kapal(t) = Kapal(t - dt) + (In_Kapal - Out_Kapal) * dtINIT Kapal = 7322 INFLOWS:

In_Kapal = Kapal_Masuk OUTFLOWS:

Out_Kapal = Kapal

Migas(t) = Migas(t - dt) + (In_migas - Out_Migas) * dtINIT Migas = 22 INFLOWS:

In_migas = Industri_Migas-Data_awal_ppm3 OUTFLOWS:

Out_Migas = Penguraian_3

Muara_Sungai(t) = Muara_Sungai(t - dt) + (In_sungai - Out_Sungai) * dtINIT Muara_Sungai = 9

INFLOWS:

In_sungai = Total_Sungai-Data_ppm_awal_1 OUTFLOWS:

Out_Sungai = Penguraian1

Pelabuhan_Kapal(t) = Pelabuhan_Kapal(t - dt) + (In_Pelabuhan - Out_Pelabuhan) * dtINIT Pelabuhan_Kapal = 10

INFLOWS:

In_Pelabuhan = Total_pelabuhan-Data_ppm_awal_2 OUTFLOWS:

Out_Pelabuhan = Penguraian_2 arus = 0.608

Data_awal_ppm3 = Migas

Data_ppm_awal_1 = Muara_Sungai Data_ppm_awal_2 = Pelabuhan_Kapal gelombang = 0.23

Pel_Umum = 0.000912*Kapal

Penguraian1 = (Muara_Sungai*(1.1-0.49*arus)+Muara_Sungai*(1.1-0.49*gelombang))*0.12

Penguraian_2 = (Pelabuhan_Kapal*(1.5-0.3*arus)+Pelabuhan_Kapal*(1.1-0.49*gelombang))*0.12

Penguraian_3 = (Migas*(1.5-0.3*arus)+Migas*(1.1-0.49*gelombang))*0.12 Total_pelabuhan = Pel_Umum+Pel_Migas

Total_Sungai = S_Bulu_Hala+S_Dumai+S_Mampu+S_Mesjid+S_Pelintung Industri_Migas = GRAPH(TIME)


(4)

188 (2005, 22.0), (2006, 21.9), (2007, 22.0), (2008, 19.2), (2009, 19.0), (2010, 19.9), (2011, 19.4), (2012, 18.9), (2013, 18.4), (2014, 17.9), (2015, 17.4), (2016, 16.9), (2017, 16.4), (2018, 15.9), (2019, 14.6), (2020, 14.4)

Kapal_Masuk = GRAPH(TIME)

(2005, 7322), (2006, 7256), (2007, 4153), (2008, 4089), (2009, 4000), (2010, 4000), (2011, 3980), (2012, 3917), (2013, 3874), (2014, 3831), (2015, 3788), (2016, 3702), (2017, 3659), (2018, 3616), (2019, 3573), (2020, 0.00)

Pel_Migas = GRAPH(TIME)

(2005, 6.10), (2006, 5.30), (2007, 4.70), (2008, 5.90), (2009, 5.50), (2010, 5.32), (2011, 5.26), (2012, 5.20), (2013, 5.14), (2014, 5.08), (2015, 5.02), (2016, 4.96), (2017, 4.90), (2018, 4.84), (2019, 4.78), (2020, 4.72)

S_Bulu_Hala = GRAPH(TIME)

(2005, 0.6), (2006, 0.4), (2007, 0.7), (2008, 0.3), (2009, 0.5), (2010, 0.41), (2011, 0.38), (2012, 0.35), (2013, 0.32), (2014, 0.29), (2015, 0.26), (2016, 0.23), (2017, 0.2), (2018, 0.17), (2019, 0.14), (2020, 0.11)

S_Dumai = GRAPH(TIME)

(2005, 3.30), (2006, 3.50), (2007, 3.30), (2008, 2.90), (2009, 3.50), (2010, 3.00), (2011, 2.92), (2012, 2.84), (2013, 2.76), (2014, 2.68), (2015, 2.60), (2016, 2.52), (2017, 2.44), (2018, 2.36), (2019, 2.28), (2020, 2.20)

S_Mampu = GRAPH(TIME)

(2005, 0.8), (2006, 1.20), (2007, 0.9), (2008, 0.7), (2009, 0.9), (2010, 0.81), (2011, 0.78), (2012, 0.75), (2013, 0.72), (2014, 0.69), (2015, 0.66), (2016, 0.63), (2017, 0.6), (2018, 0.57), (2019, 0.54), (2020, 0.51)

S_Mesjid = GRAPH(TIME)

(2005, 3.70), (2006, 3.60), (2007, 3.90), (2008, 3.40), (2009, 3.80), (2010, 3.80), (2011, 3.82), (2012, 3.84), (2013, 3.86), (2014, 3.88), (2015, 3.90), (2016, 3.92), (2017, 3.94), (2018, 3.96), (2019, 3.98), (2020, 4.00)

S_Pelintung = GRAPH(TIME)

(2005, 0.6), (2006, 0.8), (2007, 0.9), (2008, 0.5), (2009, 0.7), (2010, 0.67), (2011, 0.66), (2012, 0.65), (2013, 0.64), (2014, 0.63), (2015, 0.61), (2016, 0.6), (2017, 0.59), (2018, 0.58), (2019, 0.57), (2020, 0.56)

Pencemaran_Minyak(t) = Pencemaran_Minyak(t - dt) + (In_Pencemaran - Out_Pencemaran) * dtINIT Pencemaran_Minyak = 42

INFLOWS:

In_Pencemaran = Muara_Sungai+Pelabuhan_Kapal+Migas OUTFLOWS:

Out_Pencemaran = Pencemaran_Minyak Skor_Bahaya_Pencemaran_Sekitar_P_Ketam =

Skor_BOD_P_Ketam+Skor_DO_P_Ketam+Skor_P_Ketam Skor_Bahaya_Pencemaran_Sekitar_P_Pelitung =

Skor_BOD_P_Pelitung+Skor_DO_P_Pelitung+Skor_P_Pelitung Skor_Bahaya_Pencemaran__Sekitar_P_Gaung =

Skor_BOD_P_Gaung+Skor_DO_P_Gaung+Skor_P_Gaung

Skor_BOD_P_Gaung = 125-25*Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Gaung Skor_BOD_P_Ketam = 125-25*Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Ketam Skor_BOD_P_Pelitung = 125-25*Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Pelitung Skor_DO_P_Gaung = 125-25*Kriteria__DO_Kualitas_Air_Gaung


(5)

189 Skor_DO_P_Ketam = 125-25*Kriteria__DO_Kualitas_Air_Ketam

Skor_DO_P_Pelitung = 125-25*Kriteria__DO_Kualitas_Air_Pelitung Tingkat_BOD_P_Gaung = 0.118*Pencemaran_Minyak

Tingkat_BOD_P_Ketam = 0.0856*Pencemaran_Minyak Tingkat_BOD__P_Pelitung = 0.106*Pencemaran_Minyak Tingkat_DO_p_Ketam = 7.61-0.035*Pencemaran_Minyak Tingkat_DO__P_Gaung = 7.03-0.027*Pencemaran_Minyak Tingkat_DO__P_Pelitung = 7.778-0.040*Pencemaran_Minyak Klas_Bahaya_P_Pelitung =

GRAPH(Skor_Bahaya_Pencemaran_Sekitar_P_Pelitung)

(75.0, 5.00), (97.5, 5.00), (120, 5.00), (143, 4.00), (165, 4.00), (188, 3.00), (210, 3.00), (233, 2.00), (255, 2.00), (278, 1.00), (300, 1.00)

Klas_Bahaya__P_Gaung =

GRAPH(Skor_Bahaya_Pencemaran__Sekitar_P_Gaung)

(75.0, 5.00), (97.5, 5.00), (120, 5.00), (143, 4.00), (165, 4.00), (188, 3.00), (210, 3.00), (233, 2.00), (255, 2.00), (278, 1.00), (300, 1.00)

Klas_Bahaya__P_Ketam =

GRAPH(Skor_Bahaya_Pencemaran_Sekitar_P_Ketam)

(75.0, 5.00), (97.5, 5.00), (120, 5.00), (143, 4.00), (165, 4.00), (188, 3.00), (210, 3.00), (233, 2.00), (255, 2.00), (278, 1.00), (300, 1.00)

Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Gaung = GRAPH(Tingkat_BOD_P_Gaung) (1.00, 1.00), (1.50, 1.00), (2.00, 1.00), (2.50, 1.00), (3.00, 2.00), (3.50, 2.00), (4.00, 2.00), (4.50, 2.00), (5.00, 2.00), (5.50, 3.00), (6.00, 3.00), (6.50, 3.00), (7.00, 3.00), (7.50, 3.00), (8.00, 3.00), (8.50, 3.00), (9.00, 3.00), (9.50, 3.00), (10.0, 3.00), (10.5, 3.00), (11.0, 3.00), (11.5, 3.00), (12.0, 3.00), (12.5, 3.00), (13.0, 3.00), (13.5, 3.00), (14.0, 3.00), (14.5, 3.00), (15.0, 4.00), (15.5, 4.00), (16.0, 4.00), (16.5, 4.00), (17.0, 4.00), (17.5, 4.00), (18.0, 4.00), (18.5, 4.00), (19.0, 4.00), (19.5, 4.00), (20.0, 4.00)

Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Ketam = GRAPH(Tingkat_BOD_P_Ketam) (1.00, 1.00), (1.50, 1.00), (2.00, 1.00), (2.50, 1.00), (3.00, 2.00), (3.50, 2.00), (4.00, 2.00), (4.50, 2.00), (5.00, 2.00), (5.50, 3.00), (6.00, 3.00), (6.50, 3.00), (7.00, 3.00), (7.50, 3.00), (8.00, 3.00), (8.50, 3.00), (9.00, 3.00), (9.50, 3.00), (10.0, 3.00), (10.5, 3.00), (11.0, 3.00), (11.5, 3.00), (12.0, 3.00), (12.5, 3.00), (13.0, 3.00), (13.5, 3.00), (14.0, 3.00), (14.5, 3.00), (15.0, 4.00), (15.5, 4.00), (16.0, 4.00), (16.5, 4.00), (17.0, 4.00), (17.5, 4.00), (18.0, 4.00), (18.5, 4.00), (19.0, 4.00), (19.5, 4.00), (20.0, 4.00)

Kriteria__BOD_Kualitas_Air_Pelitung = GRAPH(Tingkat_BOD__P_Pelitung) (1.00, 1.00), (1.50, 1.00), (2.00, 1.00), (2.50, 1.00), (3.00, 2.00), (3.50, 2.00), (4.00, 2.00), (4.50, 2.00), (5.00, 2.00), (5.50, 3.00), (6.00, 3.00), (6.50, 3.00), (7.00, 3.00), (7.50, 3.00), (8.00, 3.00), (8.50, 3.00), (9.00, 3.00), (9.50, 3.00), (10.0, 3.00), (10.5, 3.00), (11.0, 3.00), (11.5, 3.00), (12.0, 3.00), (12.5, 3.00), (13.0, 3.00), (13.5, 3.00), (14.0, 3.00), (14.5, 3.00), (15.0, 4.00), (15.5, 4.00), (16.0, 4.00), (16.5, 4.00), (17.0, 4.00), (17.5, 4.00), (18.0, 4.00), (18.5, 4.00), (19.0, 4.00), (19.5, 4.00), (20.0, 4.00)

Kriteria__DO_Kualitas_Air_Gaung = GRAPH(Tingkat_DO__P_Gaung) (1.00, 4.00), (1.50, 4.00), (2.00, 4.00), (2.50, 3.00), (3.00, 3.00), (3.50, 3.00), (4.00, 3.00), (4.50, 3.00), (5.00, 2.00), (5.50, 2.00), (6.00, 2.00), (6.50, 1.00),


(6)

190 (7.00, 1.00), (7.50, 1.00), (8.00, 1.00), (8.50, 1.00), (9.00, 1.00), (9.50, 1.00), (10.0, 1.00)

Kriteria__DO_Kualitas_Air_Ketam = GRAPH(Tingkat_DO_p_Ketam) (1.00, 4.00), (1.50, 4.00), (2.00, 4.00), (2.50, 3.00), (3.00, 3.00), (3.50, 3.00), (4.00, 3.00), (4.50, 3.00), (5.00, 2.00), (5.50, 2.00), (6.00, 2.00), (6.50, 1.00), (7.00, 1.00), (7.50, 1.00), (8.00, 1.00), (8.50, 1.00), (9.00, 1.00), (9.50, 1.00), (10.0, 1.00)

Kriteria__DO_Kualitas_Air_Pelitung = GRAPH(Tingkat_DO__P_Pelitung) (1.00, 4.00), (1.50, 4.00), (2.00, 4.00), (2.50, 3.00), (3.00, 3.00), (3.50, 3.00), (4.00, 3.00), (4.50, 3.00), (5.00, 2.00), (5.50, 2.00), (6.00, 2.00), (6.50, 1.00), (7.00, 1.00), (7.50, 1.00), (8.00, 1.00), (8.50, 1.00), (9.00, 1.00), (9.50, 1.00), (10.0, 1.00)

Nelayan_Total(t) = Nelayan_Total(t - dt) + (In_Nelayan - Out_Nelayan) * dtINIT Nelayan_Total = 490

INFLOWS:

In_Nelayan = -1.360*Pencemaran_Minyak+547.3 OUTFLOWS:

Out_Nelayan = Nelayan_Total

Pendapatan_Total = 25000*Tangkapan Tangkapan = 4.20*Nelayan_Total Not in a sector