Kondisi eksisting Selat Rupat

c. Skenario III, pengendalian pencemaran minyak dengan menggunakan instrumen gabungan teknologi dispersant dan oilboom dan regulasi. 3. Pemilihan skenario terbaik dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan

9.3.1 Kondisi eksisting Selat Rupat

Kondisi eksisting merupakan karakteristik lingkungan Selat Rupat pada saat dilakukannya penelitian. Simulasi kondisi eksisting Selat Rupat berawal dari input minyak ke Selat Rupat oleh adanya kegiatan industri di daratan yang masuk melalui muara sungai Sungai Buluhala, Sungai Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung, effluent industri migas dan pelabuhan pelabuhan umum dan pelabuhan migas. Keberadaan arus dan gelombang di perairan memberikan kontribusi langsung terhadap penguraian minyak secara alami di perairan. Besarnya jumlah minyak yang terurai secara alami oleh arus dan gelombang di pengaruhi oleh jenis minyak, karakteristik minyak, kuat arus dan gelombang di perairan tersebut. Respon minyak dapat diamati pada tiga lokasi yang dapat mewakili tingkat kepekaan sensitivitas perairan di Selat Rupat yaitu Perairan Lubuk Gaung sangat peka, Perairan Pulau Ketam peka dan Perairan Pelintung kurang peka. Hasil perhitungan tingkat pencemaran berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD 5 di ketiga perairan tersebut menunjukkan, bahwa Perairan Pulau Ketam, Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Berdasarkan tingkat resikonya, maka Lubuk Gaung merupakan wilayah yang cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak karena daerah ini memiliki karakteristik lingkungan yang sangat peka. Sedangkan wilayah Pulau Ketam dan Pelintung merupakan wilayah yang aman terhadap pencemaran minyak. Struktur model dinamik kondisi eksisting perairan Selat Rupat dapat dilihat pada Gambar 33. Gambar 33. Struktur model dinamik kondisi eksisting perairan Selat Rupat Dari Gambar 33, apabila tidak dilakukan perubahan terhadap lingkungan Selat Rupat dan kondisi alamnya masih seperti saat ini, artinya tidak terjadi peningkatan input minyak ke lingkungan perairan, maka simulasi model kondisi eksisting kawasan Selat Rupat dapat diuraikan sebagai berikut. a Sub-model sumber pencemaran muara sungai, industi migas dan pelabuhan Sumber pencemaran minyak di perairan Selat Rupat berasal dari aktivitas daratan dan aktivitas transportasi kapal di pelabuhan. Input minyak dari daratan berasal dari muara sungai dan industri migas di pesisir pantai. Pada umumnya kepadatan aktivitas masyarakat Kota Dumai di daratan dapat diketahui dari konsentrasi minyak pada muara sungai yang bermuara ke Selat Rupat.Ada lima sungai yang memberikan input minyak melalui muara, yaitu Sungai Buluhala, Sungai Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung. Input minyak dari aktivitas transportasi kapal di pelabuhan di Selat Rupat berasal dari pelabuhan umum dan pelabuhan migas. Sub-model sumber pencemaran minyak di perairan Selat Rupat dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sub-model sumber pencemaran minyak di Selat Rupat Tahun Muara Sungai ppm Pelabuhan ppm Industri migas ppm Minyak ppm 1 2 3 4 5 Umum migas 2005 0.6 0.8 3.3 3.7 0.6 6.68 6.1 22 42 2006 0.4 1.2 3.5 3.6 0.8 6.68 5.3 21.9 41 2007 0.7 0.9 3.3 3.9 0.9 6.62 4.7 22 32.99 2008 0.3 0.7 2.9 3.4 0.5 3.79 5.9 19.2 34.69 2009 0.5 0.9 3.5 3.8 0.7 3.73 5.5 19 33.92 2010 0.41 0.81 3 3.8 0.67 3.65 5.32 19.9 27.99 2011 0.38 0.78 2.92 3.82 0.66 3.65 5.26 19.4 30.28 2012 0.35 0.75 2.84 3.84 0.65 3.63 5.2 18.9 29.68 2013 0.32 0.72 2.76 3.86 0.64 3.57 5.14 18.4 29.09 2014 0.29 0.69 2.68 3.88 0.63 3.53 5.08 17.9 28.55 2015 0.26 0.66 2.6 3.9 0.61 3.49 5.02 17.4 27.94 2016 0.23 0.63 2.52 3.92 0.6 3.45 4.96 16.9 27.38 2017 0.2 0.6 2.44 3.94 0.59 3.38 4.9 16.4 26.79 2018 0.17 0.57 2.36 3.96 0.58 3.34 4.84 15.9 26.21 2019 0.14 0.54 2.28 3.98 0.57 3.3 4.78 14.6 25.6 2020 0.11 0.51 2.2 4 0.56 3.26 4.72 14.4 25.03 Keterangan: 1=S.Buluhala, 2=S.Mampu, 3=S.Mesjid, 4=S.Dumai, 5=S.Pelintung Minyak yang berasal dari muara sungai, industri migas dan pelabuhan sebahagian akan mengalami proses penguraian secara alami oleh adanya arus dan gelombang, sisanya akan masuk ke laut sebagai input polutan. Pada saat ini sebenarnya pengendalian pencemaran minyak telah dilakukan, namun ternyata masih belum optimal, karena . konsentrasi minyak di muara Sungai Mesjid, muara Sungai Dumai serta pelabuhan pelabuhan umum dan migas telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Berdasarkan simulasi tersebut terlihat bahwa terjadi penurunan konsentrasi minyak dari 42 ppm 2005 hingga 25.03 ppm 2020. Sebelum tahun 2007, industri migas masih menggunakan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 lampiran IV sebagai standar baku mutu dengan batas maksimal untuk minyak adalah 25 ppm. Pada saat ini pemerintah telah berupaya meningkatkan pengendalian pencemaran minyak dengan mengeluarkan regulasi PerMenLH No.04 Tahun 2007 untuk industri migas. Kebijakan ini diikuti oleh upaya industri migas untuk menurunkan konsentrasi minyak di efluentnya agar dibawah baku mutu. Pada tahun 2008-2009, konsentrasi minyak di efluent industri migas telah menurun hingga dibawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan 20 ppm, namun tanpa pengendalian input minyak di muara sungai dan pelabuhan upaya pengendalian yang dilakukan belum lagi optimal. b Sub-model pencemaran minyak di Selat Rupat Faktor hidrooseanografi, khususnya arus dan gelombang dapat mempengaruhi konsentrasi minyak di perairan. Pola arus arah dan kecepatan merupakan mekanisme penting dalam distribusi dan transportasi polutan minyak di sepanjang perairan Selat Rupat. Perairan yang memiliki kecepatan arus yang tinggi mampu menguraikan minyak lebih banyak dibandingkan dengan wilayah perairan yang tenang. Konsentrasi minyak yang tinggi di perairan akan menyebabkan tingginya pemakaian oksigen terlarut untuk proses penguraian degradasi sehingga konsentrasi oksigen terlarut di perairan menurun Clark 2003. Menurut Lee et al. 1978, tingkat pencemaran perairan oleh bahan organik termasuk minyak dapat dievaluasi berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD 5 di perairan tersebut. Indikator BOD 5 merupakan faktor penting yang dapat menentukan tingkat pencemaran minyak organik pada suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD 5 semakin tinggi pencemaran di perairan tersebut. BOD 5 merupakan indikator untuk mengetahui besarnya pemakaian oksigen terlarut oleh mikroorganisme dalam proses penguraian minyak secara biologi. Makin banyak jumlah minyak yang diuraikan oleh mikroorganisme akan semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan dan nilai BOD 5 akan semakin tinggi. Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD 5 perairan Pulau Ketam, Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan, namun karena adanya dinamika perairan, maka setelah tahun 2009 kualitas perairan Pulau Ketam mulai membaik karena konsentrasi minyaknya berada di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Posisi Pulau Ketam yang cukup jauh dari sumber pencemar dan tingginya kecepatan arus dan gelombang memungkinkan tingginya proses penguraian minyak di wilayah ini. Namun apabila pengendalian pencemaran minyak tidak dilakukan sedini mungkin, maka wilayah ini berpotensi untuk tercemar. c Sub-model karakteristik kepekaan lingkungan sub-model ekologi Kawasan Selat Rupat memiliki kepekaan yang berbeda terhadap polutan minyak sesuai karakteristik lingkungan di wilayah tersebut. Berdasarkan tingkat kepekaannya, maka pada penelitian ini wilayah Selat Rupat dibagi atas tiga, yaitu wilayah yang sangat peka wilayah Lubuk Gaung, wilayah yang peka perairan Pulau Ketam dan wilayah kurang peka perairan pelintung. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan lingkungan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap input polutan minyak. Pada 2006 resiko pencemaran minyak terhadap wilayah Pelintung dan Pulau Ketam termasuk kriteria aman klas 2, namun wilayah Lubuk Gaung termasuk kriteria cukup berbahaya klas 3. Lubuk Gaung memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap pencemaran minyak dibandingkan dengan wilayah Pulau Ketam dan Pelintung. Seiring dengan berkurangnya konsentrasi pencemar minyak di Selat Rupat secara alami oleh gelombang dan arus, tahun 2007 wilayah Pelintung memperlihatkan perubahan resiko pencemaran minyak dari aman menjadi sangat aman. Kawasan Pulau Ketam mengalami perubahan ke resiko sangat aman setelah tahun 2010. Apabila kondisi lingkungan tetap dipertahankan seperti saat ini dan karakteristik lingkungan tidak berubah maka diprediksi wilayah Lubuk Gaung hingga tahun 2020 masih memperlihatkan resiko cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak Tabel 20. Oleh sebab itu, untuk mengatasi resiko ancaman kerusakan lingkungan kawasan yang sangat peka terhadap polutan minyak, perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak dengan menggunakan instrumen teknologi dan regulasi. d Sub-model ekonomi tangkapan dan pendapatan nelayan Kondisi lingkungan yang aman terhadap resiko pencemaran minyak memberikan pengaruh besar terhadap jumlah tangkapan nelayan yang secara langsung berdampak terhadap pendapatan nelayan di sekitarnya. Berdasarkan data lapangan dengan berkurangnya resiko pencemaran minyak terhadap wilayah perairan, maka hasil tangkapan mengalami peningkatan dari 2 058 ton pada tahun 2005 menjadi 2.104,93 ton tahun 2010. Seiring dengan itu, pendapatan nelayan juga meningkat dari US 5.145.000 menjadi US 5.262.000 pada tahun 2010. Uraian ketiga sub-model tersebut dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sub-model kondisi eksisting perairan Selat Rupat Tahun Sub-model pencemaran Sub-model ekologi Sub-model ekonomi DO BOD Kepekaan lingkungan Resiko bahaya Tangkapan ton Pendapatan US x 1000 A B C A B C A B C A B C 2005 2 2 2 2 2 2 1 3 2 2 3 2 2,058 5,145 2006 2 2 2 2 2 2 1 3 2 2 3 2 2,059 5,147 2007 1 2 1 2 2 2 1 3 2 1 3 2 2,064 5,161 2008 1 2 1 2 2 2 1 3 2 1 3 2 2,110 5,276 2009 1 2 1 2 2 2 1 3 2 1 3 2 2,101 5,251 2010 1 1 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,105 5,262 2011 1 2 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,139 5,347 2012 1 2 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,126 5,314 2013 1 2 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,129 5,323 2014 1 1 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,133 5,331 2015 1 1 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,136 5,339 2016 1 1 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,139 5,348 2017 1 1 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,142 5,356 2018 1 1 1 2 2 1 1 3 2 1 3 1 2,146 5,364 2019 1 1 1 1 2 1 1 3 2 1 3 1 2,149 5,372 2020 1 1 1 1 2 1 1 3 2 1 3 1 2,152 5,381 Keterangan: A=Perairan Pelintung, B= Perairan Lubuk Gaung, C= Perairan Pulau Ketam; Tingkat pencemaran: 1=tidak tercemar, 2=tercemar ringan, 3=tercemar sedang, 4=tercemar berat. Tingkat kepekaan: 1=kurang peka, 2=peka, 3=sangat peka; Resiko bahaya: 1=sangat aman, 2=aman, 3=cukup berbahaya Berdasarkan sub-model ekologi, wilayah Lubuk Gaung memperlihatkan respon yang cukup berbahaya terhadap polutan minyak meskipun konsentrasi minyaknya kecil, karena wilayah ini sangat peka terhadap pencemaran minyak. Oleh sebab itu, untuk mencegah potensi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran minyak maka perlu upaya pengendalian yang lebih optimal menggunakan instrumen teknologi dan regulasi.

9.3.2 Validasi model pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat