Model pengendalian pencemaran minyak di perairan

comparative performance index, prioritas penggunaan dispersant untuk pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat merupakan pilihan utama, kemudian diikuti oilboom dan bioremediasi. Pada umumnya dispersant dan oilboom masih populer digunakan di perairan karena pertimbangan waktu dan biaya dalam pemulihan lingkungan perairan terhadap pencemaran minyak. Berdasarkan analisis ISM interpretive structural modelling, pemerintah merupakan elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat. Stakesholder ini memiliki kekuatan penggerak driver power yang besar dalam pengendalian pencemaran minyak terutama dari aspek legal formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Pelayaran, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Peraturan perundang-undangan ini merupakan instrumen yang berkaitan langsung dengan usaha dan atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan terjadi pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Pemerintah melalui instansi teknis berperan dalam pembinaan, pengawasan dan pengendalian terjadinya pencemaran minyak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas industri migas dan aktivitas transportasi kapal di pelabuhan yang berada di sekitar Selat Rupat. Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah melalui instrumen regulasi terhadap industri migas PermenLH No.04 Tahun 2007 ternyata cukup efektif menurunkan konsentrasi minyak di effluent industri migas hingga dibawah baku mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, dengan berlakukannya Undang- undang No.17 Tahun 2007 tentang pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal maka semua kapal yang berlayar dan berlabuh di Pelabuhan Dumai harus mengikuti prosedur yang telah berlaku.

b. Model pengendalian pencemaran minyak di perairan

Upaya perlindungan potensi sumberdaya alam Selat Rupat yang peka terhadap minyak perlu dilakukan, di sisi lain pembangunan Kota Dumai sebagai ujung tombak ekonomi Propinsi Riau juga perlu dijalankan. Oleh sebab itu diperlukan suatu model pengendalian agar kelestarian sumberdaya alam dapat terjaga untuk generasi yang akan datang. Berdasarkan kondisi eksisting di Selat Rupat, tingkat pencemaran perairan Pulau Ketam Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Lubuk Gaung merupakan wilayah yang memberikan respon cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak karena memiliki karakteristik lingkungan yang sangat peka. Sedangkan wilayah Pulau Ketam dan Pelintung merupakan wilayah yang aman terhadap pencemaran minyak. Apabila kondisi lingkungan di perairan ini tidak mengalami perubahan, berdasarkan hasil simulasi hingga tahun 2020 wilayah Lubuk Gaung masih beresiko cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak. Oleh sebab itu, untuk mengatasi resiko ancaman kerusakan lingkungan terhadap wilayah Selat Rupat yang sangat peka ini, perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak dengan menggunakan instrumen teknologi dan regulasi. Pada umumnya pengendalian pencemaran minyak saat ini telah dilakukan, namun masih belum optimal, sehingga konsentrasi minyak di beberapa wilayah perairan masih melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu diperlukan upaya pengendalian yang sistematis dengan menggunakan instrumen regulasi dan teknologi. Pemilihan alternatif pengendalian yang efektif dapat dilakukan dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: skenario I menggunakan instrumen regulasi peraturan perundang-undangan secara parsial, skenario II menggunakan teknologi oilboom dan dispersant, dan skenario III menggunakan gabungan instrumen regulasi dan teknologi. Pengendalian skenario III pengendalian gabungan menggunakan teknologi dan regulasi mampu menurunkan konsentrasi minyak di perairan hingga 63.6 sehingga respon wilayah terhadap pencemaran minyak di wilayah Pelintung dan Pulau Ketam menjadi sangat aman klas 1 dan Lubuk Gaung dari tingkat cukup berbahaya klas 3 menjadi aman klas 2. Perubahan status respon ke kriteria aman menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan nelayan. Berdasarkan hasil simulasi, hasil tangkapan nelayan yang sebelumnya 2,058 ton pada tahun 2005 dapat meningkat menjadi 2,212,9 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung diikuti dengan peningkatan pendapatan nelayan. Wilayah Lubuk Gaung tidak mudah mengalami perubahan resiko menjadi sangat aman klas 1, karena merupakan wilayah yang sangat peka terhadap minyak. Walaupun konsentrasi minyak yang mencemari kecil, namun respon terhadap minyak di wilayah Lubuk Gaung sangat tinggi. Oleh sebab itu, wilayah ini perlu diprioritaskan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat. Instrumen teknologi yang digunakan adalah oilboom dan dispersant memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan kondisi lapangan. Oilboom efektif digunakan pada perairan yang tenang yang berfungsi sebagai perangkap minyak di perairan agar tidak menyebar pada wilayah yang luas, kemudian dilakukan penyedotan. Sebaliknya, penggunaan dispersant lebih efektif pada perairan yang memiliki arus yang kuat dan bergelombang karena membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant bisa tercampur sempurna dengan minyak. Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan aktif yang dikenal dengan nama surfactant yang mampu memecahkan minyak menjadi butiran-bituran kecil droplet. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi dan mencegah minyak agar tidak menyebar luas hingga ke pantai sehingga wilayah yang peka diharapkan dapat menjadi lebih aman. Keberadaan instrumen regulasi dalam bentuk peraturan perundang- undangan terutama Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi dapat menekan konsentrasi polutan minyak di perairan. Pada skenario II penggunaan teknologi, penggunaan dispersant mampu memecah minyak yang menutupi permukaan air menjadi butiran-butiran kecil droplets yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu terdispersi ke badan air Lessard dan Demarco 2000. Hasil dispersi ini menyebabkan semakin besarnya droplet minyak yang lepas ke badan air sehingga mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi karena luas permukaannya menjadi lebih kecil sehingga bisa dicegah agar minyak tidak sampai ke pantai. Kelebihan penggunaan dispersant ini adalah dapat digunakan dalam segala macam cuaca, dapat diaplikasikan di wilayah yang luas dengan menggunakan helikopter dan dapat mendegredasi minyak dengan cepat. Efektivitas dispersant tergantung pada jenis minyak, umumnya 1 bahagian dispersant mampu memecah 100 bahagian minyak dan dengan bantuan arus dan gelombang dispersant mampu memecah minyak berat Lessard Demarco 2000. Penggunan teknologi dispersant mampu mengurangi resiko bahaya di wilayah Lubuk Gaung yang sangat peka terhadap pencemaran minyak. Penggunaan instrumen teknologi dispersant dan oilboom mampu mengurangi konsentrasi minyak hingga 55.7 di perairan sehingga dapat menurunkan resiko pencemaran minyak di Selat Rupat. Respon lingkungan di wilayah Pelintung dan Pulau Ketam mengalami perubahan dari kriteria aman klas 2 menjadi sangat aman klas 1. Wilayah Lubuk Gaung juga mengalami perubahan respon lingkungan dari cukup berbahaya klas 3 menjadi aman klas 2 terhadap pencemaran minyak. Perubahan resiko lingkungan menjadi aman dan sangat aman menggunakan skenario II di Selat Rupat, mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan dari 2,058 ton tahun 2005 menjadi 2,184 ton 2010 dan meningkat lagi hingga 2,191,3 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung akan meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya. Pengendalian dengan skenario I penggunaan regulasi secara parsial merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh stakeholder untuk mengendalikan pencemaran minyak di perairan. Skenario I mampu menurunkan konsentrasi minyak di perairan hingga 43.6 . Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan bersifat mengikat dan harus diikuti oleh stakeholder terkait. Apabila tidak diikuti akan dikenakan sanksi hukuman pidana dan denda. Regulasi yang digunakan pada skenario ini merupakan langkah pencegahan melalui penerapan peraturan perundang- undangan agar mampu menurunkan tingkat pencemaran minyak pada sumbernya sebelum masuk ke perairan. Adapun peraturan perundang-undangan yang relevan dengan upaya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat ini adalah: 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat, tentang perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan, pemeliharaan meliputi konservasi, pencadangan dan pelestarian sumberdaya alam, pengawasan dan penindakan berupa pemberian sanksi administrasi, pidana dan denda yang tegas bagi pihak yang melanggar 110 halaman. 2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 ini memuat tentang transportasi air, pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan laut 206 halaman. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran danatau Perusakan Laut, yang memuat perlindungan laut, pencegahan pencemaran dan kerusakan laut, penanggulangan pencemaran dan perusakan laut, pemulihannya 9 halaman. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, yang memuat pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal, perlindungan laut, pencegahan pencemaran dari kegiatan di pelabuhan, tanggung jawab pemilik atau operator kapal dan pemberian sanksi administratif bagi yang melanggar. 5. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi 13 Halaman. 6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 04 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal. Peraturan ini memuat tentang pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal, peralatan penanggulangan awal pencemaran minyak oleh kapal, tanggung jawab pemilik atau operator kapal,dan pencucian tangki kapal dan dumping. a Pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal dilakukan dengan mewajibkan semua kapal memenuhi persyaratan: Tangki-tangki dan pipa-pipa yang berkaitan dengan pemasangan peralatan pencegahan pencemaran dirancang dan dibangun dengan konstruksi yang kuat. Sistem pipa balast di kapal terpisah dari sistem pipa minyak bahan bakar, minyak muatan dan minyak pelumas. Tangki penampungan minyak kotor dari ruang permesinan berkapasitas memadai. Pipa saluran pembuangan dari kapal ke darat dipasang melalui sambungan pembuangan. Peralatan pemisah air berminyak oily water separator yang dipasang di ruang mesin harus efektif dengan effluent tidak boleh melebihi 15 ppm. Menyediakan buku catatan minyak oil record book untuk mencatat kegiatan-kegiatan di kapal meliputi: buku catatan minyak untuk ruang permesinan, pencucian tangki minyak bahan bakar, pembuangan air bilga melalui alat pemisah air dan minyak, penyaluran limbah berminyak dari tangki penampungan minyak kotor tank slop ke fasilitas penampungan di darat dan buku catatan minyak untuk pembuangan air bilga ke luar kapal melalui alat pemisah air dan minyak, pencucian tangki minyak bahan bakar serta penyaluran limbah berminyak dari kapal ke fasilitas penampungan di darat. b Peralatan dan bahan untuk pengendalian pencemaran minyak adalah: Bahan kimia dispersant 100 liter, untuk kapal tangki minyak dengan tonase kotor 150 GT - 1000 GT. Bahan kimia dispersant 60 liter, untuk kapal selain dari kapal tanker dengan tonase 400 GT hingga 1000 GT. Oilboom berukuran panjang 140 meter, dispersant 400 liter, alat penyemprot, dan 100 kg bahan penyerap absorber minyak, untuk kapal tanker 1000 GT hingga 5000 GT. Dispersant 400 liter dan bahan penyerap absorber minyak 100 kg, untuk kapal selain dari kapai tanker dengan tonase 5000 GT hingga 1000 GT. Oilboom berukuran panjang sekurang-kurangnya 200 meter, dispersant 600 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap absorber minyak 200 kg untuk kapal tanker dengan tonase 5000 GT hingga 10 000 GT. Dispersant 600 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap absorber minyak 200kg, untuk kapal selain dari kapal tangki minyak dengan tonase 5000 GT hingga 10 000 GT. Oilboom yang panjangnya sekurang-kurangnya 300 meter, dispersant 1000 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap absorber minyak 300 kg untuk kapal tanker dengan tonase 10.000 GT. Dispersant 1000 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap absorber minyak 300 Kg, untuk kapal selain dari kapal tangker dengan tonase lebih 10 000 GT. Kapal-kapal yang dilengkapi dengan oilboom harus dilengkapi pula dengan sekoci kerja. 7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut yang memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan lampiran I, baku mutu air laut untuk wisata bahari lampiran II dan baku mutu air laut untuk biota laut - lampiran III 11 halaman. Instrumen regulasi merupakan kontrol bagi berbagai stakeholders untuk mencegah terjadinya pencemaran minyak di lingkungan perairan. Selain itu, dalam menjalankan kegiatannya semua pelaku industri harus memiliki prosedur tetap protap untuk mencegah terjadinya berbagai insiden kecelakaan yang merugikan diri sendiri dan lingkungan kerja. Pada saat ini, industri migas dibawah koordinasi BP Migas telah mengeluarkan prosedur tetap protap untuk penanggulangan tumpahan minyak di perairan. Apabila pemerintah sebagai pelaku kebijakan telah menjalankan instrumen regulasi tersebut dengan baik dan pemberian sanksi tegas pidana dan denda bagi yang melanggar dilaksanakan, maka pencemaran minyak di perairan dapat dicegah secara dini. Peran regulasi dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat dapat menurunkan klas bahaya wilayah Lubuk Gaung menjadi aman terhadap resiko pencemaran minyak. Penerapan regulasi dapat memberikan tekanan kepada stakeholders terkait. Semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2007, maka konsentrasi minyak di outlet effluent industri migas telah mengalami penurunan hingga dibawah baku mutu 20 ppm. Pelaksanaan regulasi ini ternyata hanya efektif untuk mengendalikan pencemaran minyak di effluent industri, namun untuk wilayah pelabuhan dan muara sungai masih sukar diwujudkan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen dari stakeholder terkait pengelola kapal dan industri di daratan dalam menekan input pencemaran minyak di perairan. Berdasarkan ketiga skenario tersebut, skenario III lebih efektif dibandingkan skenario I dan skenario II. Skenario III memilki kemampuan mengurangi minyak di perairan hingga 63.8 . Kombinasi teknologi dan regulasi mampu mengendalikan pencemaran minyak di Selat Rupat sehingga menjadikan lingkungan yang peka aman terhadap pencemaran minyak. Status aman mampu meningkatkan tangkapan dan pendapatan nelayan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk penerapan regulasi secara tegas dalam pengendalian pencemaran minyak. Pemerintah selaku stakeholder kunci juga harus mampu memberikan insentif kepada stakeholder yang taat dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap penyelamatan lingkungan dan memberikan sanksi tegas bagi pihak yang melanggar demi kelestarian lingkungan. 157

XI. KESIMPULAN DAN SARAN 11.1 Kesimpulan