Berdasarkan sub-model ekologi, wilayah Lubuk Gaung memperlihatkan respon yang cukup berbahaya terhadap polutan minyak meskipun konsentrasi
minyaknya kecil, karena wilayah ini sangat peka terhadap pencemaran minyak. Oleh sebab itu, untuk mencegah potensi kerusakan lingkungan yang disebabkan
oleh pencemaran minyak maka perlu upaya pengendalian yang lebih optimal menggunakan instrumen teknologi dan regulasi.
9.3.2 Validasi model pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat
Pada penelitian ini dilakukan validasi struktur untuk memperoleh keyakinan konstruksi model yang dibuat valid secara ilmiah yang didasarkan pada
keyakinan logika pemikiran. Validasi struktur yang dilakukan adalah uji konstruksi. Uji konstruksi ini berguna untuk membuktikan apakah konstruksi
model yang dikembangkan sesuai dengan teori dan diterima secara akademis. Uji konstruksi ini sifatnya abstrak, tetapi konstruksi model yang benar secara ilmiah
berdasarkan teori yang ada akan terlihat dari konsistensi model yang dibangun Muhammadi et al. 2001.
Validasi struktur ini telah dilakukan melalui wawancara langsung dengan pakar yang yang terkait langsung dengan pengendalian pencemaran minyak di
Selat Rupat meliputi akademisi, praktisi dan birokrat. Akademisi diwakili oleh dosen yang berasal dari perguruan tinggi Wayan, dan Isdrajad. Praktisi diwakili
oleh praktisi pelaku industri Migas PT.CPI, Pertamina dan pengelola kapal Kapt Kapal Tanker. Birokrat diwakili oleh Kepala Bapedalda Kota Dumai.
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa model pengendalian minyak di Selat Rupat yang dirumuskan telah memenuhi persyaratan uji konstruksi.
9.3.3 Skenario pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat
Pada umumnya, pengendalian pencemaran minyak saat ini telah dilakukan, namun masih belum optimal, sehingga konsentrasi minyak di beberapa wilayah
perairan masih melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu perlu upaya pengendalian yang sistematis menggunakan instrumen regulasi dan
teknologi. Pemilihan alternatif pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: skenario I menggunakan instrumen regulasi peraturan perundang-
undangan, skenario II menggunakan teknologi oilboom dan dispersant dan
skenario III menggunakan gabungan instrumen regulasi dan teknologi,
a Skenario I menggunakan regulasi peraturan perundang-undangan
Pada skenario I, instrumen regulasi merupakan hal penting yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh stakeholder yang berpotensi mencemari lingkungan
perairan. Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan bersifat mengikat dan harus diikuti. Apabila tidak diikuti akan dikenakan sanksi hukuman pidana
dan denda. Regulasi yang digunakan pada skenario ini merupakan langkah pencegahan melalui peraturan perundang-undangan yang mampu menurunkan
tingkat pencemaran di perairan melalui penurunan konsentrasi minyak pada sumbernya. Pada penelitian ini yang menjadi sumber pencemar minyak adalah
industri migas, muara sungai dan aktivitas kapal di pelabuhan. Upaya penting yang perlu dilakukan adalah dengan melaksanakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan memberikan sanksi pada pihak yang melanggar. Adapun peraturan perundang-undangan yang relevan dengan upaya pengendalian
pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat ini adalah: 1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat, tentang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup meliputi pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan, pemeliharaan meliputi konservasi, pencadangan dan pelestarian sumberdaya alam, pengawasan dan sanksi administrasi, pidana dan denda
yang tegas bagi pihak yang melanggar 110 halaman. 2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 ini memuat tentang
transportasi air, pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan laut 206 halaman.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran danatau Perusakan Laut, yang memuat perlindungan laut,
pencegahan pencemaran dan kerusakan laut, penanggulangan pencemaran dan perusakan laut, pemulihannya 9 halaman.
4. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di laut yang memuat kewajiban stakeholders
nakhoda, pimpinan kapal, Adpel, Kakanpel, pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi, dan pimpinan lainnya, dan tata cara penanggulangan
keadaan darurat tumpahan minyak di perairan 20 Halaman. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air yang memuat tentang klasifikasi dan kriteria mutu air dan pengendalian pencemaran air 46 halaman
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan yang memuat tentang jenis-jenis angkutan air, pengusahaan angkutan di
perairan, tanggungjawab dan sistem informasi 49 halaman. 7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 tentang
Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi 13 Halaman.
8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 86 Tahun 1990 tentang Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dari Kapal-kapal. Keputusan ini memuat
persyaratan peralatan dan perlengkapan pencegahan pencemaran, sertifikasi peralatan dan perlengkapan pencegahan pencemaran 7 halaman.
9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut yang merupakan penyempurnaan dari Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan, khususnya Bab IV pasal 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 51 ini memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan lampiran I, baku mutu air laut untuk wisata bahari lampiran II dan baku mutu air laut
untuk biota laut - lampiran III 11 halaman. Instrumen regulasi peraturan perundang-undangan merupakan kontrol
bagi berbagai pemerintah untuk mencegah terjadinya pencemaran minyak di lingkungan perairan. Selain itu, dalam menjalankan kegiatannya semua pelaku
industri harus mempunyai prosedur tetap protap untuk mencegah terjadinya berbagai berbagai insiden kecelakaan yang merugikan diri sendiri dan
lingkungan kerjanya. Pada saat ini, industri migas dibawah koordinasi BP Migas juga telah mengeluarkan prosedur tetap protap untuk penanggulangan tumpahan
minyak di perairan. Apabila pemerintah sebagai pelaku kebijakan telah menjalankan instrumen regulasi tersebut dengan baik dan penegakan sanksi
pidana dan denda bagi yang melanggar dilaksanakan, maka pencemaran minyak di perairan dapat dicegah secara dini. Respon lingkungan terhadap penerapan
skenario I dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Penerapan skenario I, respon klas bahaya dan hasil tangkapan nelayan.
Tahun Konsentrasi
Minyak ppm Resiko klas bahaya pencemaran
Tangkapan tontahun
Pendapatan USx1000
Pelintung Lb.Gaung P.Ketam
2010 23.7
1 2
1 2,163.00
5,407.5 2011
23.7 1
2 1
2,163.00 5,407.5
2012 23.7
1 2
1 2,163.00
5,407.5 2013
23.7 1
2 1
2,163.00 5,407.5
2014 23.7
1 2
1 2,163.00
5,407.5 2015
23.7 1
2 1
2,163.00 5,407.5
2016 23.7
1 2
1 2,163.00
5,407.5 2017
23.7 1
2 1
2,163.00 5,407.5
2018 23.7
1 2
1 2,163.00
5,407.5 2019
23.7 1
2 1
2,163.00 5,407.5
2020 23.7
1 2
1 2,163.00
5,407.5 Keterangan: klas 1=sangat aman, 2= aman, 3=cukup berbahaya, 4=berbahaya, 5 sangat berbahaya
Peran regulasi dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat mampu menurunkan respon klas bahaya wilayah Lubuk Gaung menjadi
aman terhadap resiko pencemaran minyak. Penerapan regulasi mampu memberikan tekanan kepada stakeholders terkait. Semenjak diberlakukannya
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007, maka konsentrasi minyak di outlet effluent industri migas telah mengalami penurunan hingga
dibawah baku mutu 20 ppm. Pelaksanaan regulasi ini ternyata hanya efektif untuk mengendalikan
pencemaran minyak di effluent industri, namun untuk wilayah pelabuhan dan muara sungai masih sukar diwujudkan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen
dari stakeholder terkait pengelola kapal dan industri di daratan dalam menekan input pencemaran minyak di perairan.
b Skenario II menggunakan teknologi dispersant dan oilboom.
Pada skenario II digunakan dispersant dan oilboom secara parsial tanpa instrumen regulasi. Pada umumnya oilboom kurang efektif untuk mengendalikan
pencemaran minyak di perairan laut yang memiliki arus dan gelombang yang kuat, namun oilboom mampu merangkap minyak agar tidak menyebar luas di
perairan. Sebaliknya dispersant mempunyai kemampuan dan efektifitas yang tinggi memecah lapisan minyak di perairan laut.
Menurut Lessard dan Demarco 2000,
p
enggunaan dispersant mampu memecah minyak yang menutupi permukaan air menjadi butiran-butiran kecil
droplets yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu terdispersi ke badan air. Hasil dispersi ini menyebabkan semakin besarnya droplet
minyak yang lepas ke badan air sehingga mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan
minyak lebih mudah terdegredasi karena luas permukaannya menjadi lebih kecil. Hal ini mencegah agar minyak tidak sampai ke pantai. Jumlah dispersant yang
digunakan harus disesuai dengan konsentrasi minyak yang mencemari perairan.
K
elebihan penggunaan dispersant ini adalah dapat digunakan dalam segala macam cuaca, dapat diaplikasikan di wilayah yang luas dengan menggunakan helikopter
dan dapat mendegredasi minyak dengan cepat. Efektivitas dispersant tergantung pada jenis minyak, umumnya 1 bahagian dispersant mampu memecah 100
bahagian minyak dan dengan bantuan arus dan gelombang dispersant mampu memecah minyak berat Lessard Demarco
2000
. Penggunan teknologi dispersant
mampu mengurangi resiko bahaya di wilayah Lubuk Gaung yang sangat peka terhadap pencemaran minyak.
Penggunaan dispersant dan oilboom di perairan mampu mengurangi resiko pencemaran minyak di kawasan Selat Rupat. Respon bahaya wilayah pelintung
dan Pulau Ketam mengalami perubahan dari kriteria aman klas 2 menjadi sangat aman klas 1. Wilayah Lubuk Gaung juga mengalami perubahan respon dari
cukup berbahaya klas 3 menjadi aman klas 2 terhadap pencemaran minyak. Respon lingkungan terhadap penerapan skenario II dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Penerapan skenario II, respon klas bahaya dan hasil tangkapan nelayan.
Tahun Konsentrasi
Minyak ppm Resiko klas bahaya pencemaran
Tangkapan tontahun
Pendapatan USx1000
Pelintung Lb.Gaung P.Ketam
2010
22.8 1
2 1
2,184.60 5,461.5
2011
21.6 1
2 1
2,168.70 5,421.8
2012
22.5 1
2 1
2,175.10 5,437.8
2013
21 1
2 1
2,170.00 5,425.0
2014
21.5 1
2 1
2,178.50 5,446.3
2015
20.3 1
2 1
2,175.90 5,439.8
2016
20.5 1
2 1
2,182.50 5,456.3
2017
19.6 1
2 1
2,181.70 5,454.3
2018
19.5 1
2 1
2,186.70 5,466.8
2019
18.8 1
2 1
2,187.20 5,468.0
2020
18.6 1
2 1
2,191.30 5,478.3
Keterangan: klas 1=sangat aman, 2= aman, 3=cukup berbahaya, 4=berbahaya, 5 sangat berbahaya
Dari Tabel 22, penggunaan teknologi mampu mengurangi konsentrasi minyak di perairan secara signifikan sehingga respon lingkungan terhadap resiko
pencemaran minyak di Selat Rupat menjadi aman hingga sangat aman. Kondisi aman, mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan dari 2,058 ton tahun 2005
menjadi 2,184 ton 2010 dan berdasarkan hasil simulasi penggunaan skenario II dapat meningkat hasil tangkapan hingga 2,191,3 ton pada tahun 2020.
Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung akan meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya.
c Skenario III pengendalian gabungan menggunakan teknologi dan regulasi.
Pada skenario III, pengendalian pencemaran minyak dilakukan dengan menggunakan instrumen gabungan teknologi oilboom dan dispersant dan
regulasi peraturan perundang-undangan. Instrumen teknologi yang digunakan adalah oilboom dan dispersant memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan
kondisi lapangan. Oilboom umumnya hanya efektif digunakan pada perairan yang tenang yang berfungsi sebagai perangkap minyak di perairan agar minyak tetap
pada lokasi tertentu sehingga tidak menyebar pada wilayah yang luas, kemudian dilakukan penyedotan. Efektivitas oilboom di perairan laut pada umumnya
dipengaruhi arus dan gelombang. Sebaliknya, penggunaan dispersant lebih efektif pada perairan yang memiliki arus yang kuat dan bergelombang karena
membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur sempurna dengan minyak.
Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan
aktif yang dikenal dengan nama surfactant yang mampu memecahkan minyak menjadi butiran-bituran kecil droplet. Masuknya droplet ke badan air
menyebabkan minyak mudah terdegredasi dan mencegah minyak agar tidak sampai ke pantai sehingga wilayah yang peka diharapkan menjadi lebih aman.
Keberadaan instrumen regulasi dalam bentuk peraturan perundang- undangan meliputi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007
tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004. mampu menekan polutan minyak di perairan. Respon lingkungan terhadap penerapan skenario III dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Penerapan skenario III, respon klas bahaya dan hasil tangkapan.
Tahun Konsentrasi
Minyak ppm Respon klas bahaya pencemaran
Tangkapan tontahun
Pendapatan USx1000
Pelintung Lb.Gaung P.Ketam
2010 17.37
1 2
1 2,230.00
5,575.0 2011
13.51 1
2 1
2,199.40 5,498.5
2012 16.3
1 2
1 2,221.50
5,553.8 2013
14.29 1
2 1
2,205.50 5,513.8
2014 15.74
1 2
1 2,217.10
5,542.8 2015
14.69 1
2 1
2,208.70 5,521.8
2016 15.45
1 2
1 2,214.80
5,537.0 2017
14.9 1
2 1
2,210.40 5,526.0
2018 15.3
1 2
1 2,213.60
5,534.0 2019
15.01 1
2 1
2,211.30 5,528.3
2020 15.22
1 2
1 2,212.90
5,532.3 Keterangan: klas 1=sangat aman, 2= aman, 3=cukup berbahaya, 4=berbahaya, 5 sangat berbahaya
Penggunaan instrumen gabungan teknologi oilboom dan dispersant dan instrumen regulasi mampu menurunkan resiko bahaya wilayah Pelintung dan
Pulau Ketam menjadi sangat aman klas 1 dan wilayah Lubuk Gaung dari tingkat cukup berbahaya klas 3 menjadi aman klas 2. Perubahan status respon ke
kriteria aman menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan nelayan yang diikuti dengan peningkatan pendapatan. Berdasarkan hasil simulasi, hasil tangkapan
nelayan yang sebelumnya 2,058 ton pada tahun 2005 dapat meningkat hingga
2,212,9 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung dapat meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya.
Wilayah Lubuk Gaung tidak mudah mengalami perubahan respon terhadap resiko menjadi sangat aman klas 1, karena wilayah ini merupakan wilayah yang sangat
peka terhadap minyak. Walaupun konsentrasi minyak yang mencemari kecil, namun respon terhadap minyak di wilayah Lubuk Gaung sangat tinggi. Oleh
sebab itu, wilayah ini perlu diprioritaskan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.
9.3.4 Skenario pilihan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat