1. Faktor Intrinsik Pekerjaan
Terlalu banyak pekerjaan terlalu sedikit pekerjaan juga terkadang dapat menyebabkan stres pada seorang individu. Terlalu banyak
pekerjaan berkaitan dengan kemampuan untuk menyelesaikan semua pekerjaan tersebut dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sedangkan
terlalu sedikit berkaitan dengan tidak adanya pekerjaan yang dapat dikerjakan. Sejauhmana hal ini dapat menyebabkan seorang individu
menjadi stres, tergantung bagaimana dia dapat mengatasi keadaan tersebut Nasution,2002.
a. Beban Kerja
Schultz 1998 menyebutkan bahwa beban kerja terbagi atas dua macam, dimana beban kerja berlebih atau over load dan
beban kerja yang kurang atau under load. Pada beban kerja yang berlebih dapat dilihat dari banyaknya pekerjaan yang harus
dikerjakan dengan waktu yang terbatas ditentukan atau suatu pekerjaan yang sangat sulit untuk dikerjakan karena kurangnya
kemampuan. Sedangkan beban kerja kurang under load diakibatkan oleh adanya pekerjaan yang dilakukan secara
rutinitasmonoton yang pada akhirnya mengakibatkan kebosanan pada pekerja. Walaupun pekerjaan yang dilakukan mempunyai
resiko tinggi untuk terjadi kecelakaan.
Sedangkan menurut French dan Caplan 1970 dalam Munandar 2008 beban kerja sebagai sumber stres disebabkan
karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif. Pada beban kerja kuantitatif yaitu beban
kerja yang timbul sebagai akibat dari tugas yang diberikan harus diselesaikan dalam waktu tertentu. Sedangkan beban kerja
kualitatif terjadi jika seseorang tidak mampu untuk melakukan suatu tugas yang tidak menggunakan keterampilan atau potensi
dari tenaga kerja. Jika Beban kerja kuantitatif dan kualitatif ini berlebih dan menambah waktu kerja yang lebih banyak, maka
sumber terjadinya stres akan lebih banyak. Selanjutnya beban kerja terlalu banyak maupun sedikit
tersebut timbul selain sebagai akibat dari tugas-tugas yang diberikan kepada pekerja dan dirasakan oleh pekerja sebagai
beban kerja yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, juga merupakan manifestasi dari ketidakmampuan pekerja untuk
melakukan suatu tugas yang diberikan Munandar, 2008. Lebih jauh menurut Permenaker No 13 Tahun 2011
menyatakan bahwa beban kerja merupakan beban yang dialami oleh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaan yang dilakukan
olehnya. Penilaian beban kerja dengan mengamati aktivitas tenaga kerja dan menghitung kebutuhan kalori berdasarkan
pengeluaran energi sesuai tabel perhitungan beban kerja, hal ini
dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2.1
Penilaian pekerjaan No
Pekerjaan Posisi Badan
1 2
3 4
Duduk 0,3
Berdiri 0,6
Berjalan 3,0
Berjalan mendaki
3,8
1 Pekerjaan dengan
tangan Katagori I contoh:
menulis, merajut 0,30
0,60 0,90
3,30 4,10
Katagori II contoh: menyetrika
0,70 1,00
1,30 3,70
4,50
Katagori III Contoh : mengetik
1,10 1,40
1,70 4,10
4,90
2 Pekerjaan dengan satu
tangan Katagori I contoh:
menyapu lantai 0,90
1,20 1,50
3,90 4,70
Katagori II contoh: menggergaji
1,60 1,90
2,20 4,60
5,40
Katagori III Contoh: memukul paku
2,30 2,60
2,90 5,30
6,10
3 Pekerjaan dengan dua
lengan Katagori I
contoh:menambal logam, mengemas
barang dalam dus 1,25
1,55 1,85
4,25 5,05
No Pekerjaan
Posisi Badan 1
2 3
4 Duduk
0,3 Berdiri
0,6 Berjalan
3,0 Berjalan
mendaki 3,8
Katagori II contoh: memompa, menempa
besi 2,25
2,55 2,85
5,25 6,05
Katagori III contoh: mendorong kereta
bermuatan 3,25
3,55 3,85
6,25 7,05
4 Pekerjaan dengan
menggunakan gerakan tangan
Katagori I contoh: pekerjaan
administrasi 3,75 4,05
4,35 6,75
7,55
Katagori II contoh: membersihkan karpet,
mengepel 8,75 9,05
9,35 11,75
12,55
Katagori III contoh: menggali lubang,
menebang pohon 13,75
14,05 14,35
16,75 17,55
Keterangan : Aktivitas kerja: kategori pekerjaan + posisi badan
Contoh: Kategori 1.1 pekerjaan dengan tangan pada posisi badan duduk, maka aktivitas kerja+ 0,3+0,3= 0,6
Sumber: Permenaker No 13 Tahun 2011 Hasil pengukuran total beban kerja tersebut akan dibandingkan
dengan pengelompokan beban kerja menurut Permenaker No 13 Tahun 2011 yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.2 Pengelompokan Beban Kerja Sesuai Dengan Kebutuhan Kalori
Per Jam
Beban Kerja Jumlah Kalori
Beban Kerja Ringan 200 Kilo KaloriJam
Beban Kerja Sedang 200- 350 Kilo KaloriJam
Beban Kerja Berat 350 - 500 Kilo KaloriJam
Menurut hasil penelitian Vinallia 2011 terbukti dari hasil uji chi-square bahwa pengaruh antara beban kerja terhadap stres
kerja menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna dengan nilai p = 0,008 atau p0,05 berarti ada hubungan yang
signifikan antara beban kerja terhadap stres kerja. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siswanti 2004 mengatakan
bahwa dari 170 responden yang diteliti, 75 diantaranya menyatakan bahwa beban kerja mereka sangat berat sehingga
menyebabkan stres.
b. Shift Kerja Kerja malam Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift kerja malam
merupakan sumber utama dari stres bagi pekerja pabrik Monk dan Tepas 1985 dalam Munandar 2008. Para pekerja shift lebih
sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi siang dan dampak dari kerja shift terhadap
kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan- gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biological,
karena gangguan ritme sirkadian dari tidur daur keadaan bangun wake cycle, pola suhu dan ritme pengeluaran adrenalin.
Menurut Monk dan Folkard 1983 dalam Munandar 2008 ada tiga faktor yang harus baik keadaannya agar dapat
berhasil menghadapi kerja shift : tidur, kehidupan social dan keluarga, dan ritme sirkadian. Faktor-faktor tersebut sangat
berkaitan, sehingga salah satu dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang telah dicapai dengan kedua faktor lain.
Menurut Selye 1976 dalam Munandar 2008 para pekerja yang biasa bekerja shift lama kelamaan akan merasa
berkurang stresnya secara fisik. Namun perlu diingatkan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan shift dimana tidak akan timbul kebiasaan-
kebiasaan ini, yaitu pada pekerja rig lepas pantai yang bekerja bergantian shift siang dan malam selama 7 atau 14 hari berturut-
turut tanpa adanya istirahat, dan kemuadian memperoleh istirahat 7 atau 14 hari cuti rumah Sutherland dan Cooper 1986 dalam
Munandar 2008. Bagi seseorang pekerja, shift kerja berarti berada pada
lokasi kerja yang sama, baik teratur pada saat yang sama shift kerja kontinyu atau pada waktu yang berlainan shift kerja rotasi.
Shift kerja berbeda dengan hari kerja biasa, dimana pada hari kerja
biasa, pekerjaan dilakukan secara teratur pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan shift kerja dapat dilakukan
lebih dari satu kali untuk memenuhi jadwal 24 jamhari. Biasanya perusahaan yang berjalan secara kontinyu yang menerapkan
aturan shift kerja ini Nurmianto, 2004. Menurut Fish 2000 mengemukakan bahwa efek bekerja
pada shift malam hari pada pekerja antara lain: 1. Efek Fisiologis
a. Kualitas tidur: tidur siang tidak seefektif tidur malam, banyak gangguan dan biasanya diperlukan waktu istirahat
untuk menebus kurang tidur selama kerja malam. b. Menurunnya kapasitas fisik kerja akibat timbulnya
perasaan mengantuk dan lelah. c. Menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan.
2. Efek Psikososial Efek ini menunjukkan masalah lebih besar dari efek
fisiologis, antara lain adanya gangguan kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang, kecil kesempatan untuk berinteraksi
dengan teman, dan gangguan aktivitas kelompok dalam masyarakat.
3. Efek Kinerja Kinerja menurun selama kerja malam yang diakibatkan
oleh efek fisiologis dan efek psikolsosial. Menurutnya kinerja dapat mengakibatkan kemampuan mental menurun yang
berpengaruh terhadap perilaku kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kendali dan pemantauan.
4. Efek Terhadap Kesehatan Kerja malam menyebabkan gangguan gastrointestinal,
masalah ini cenderung terjadi pada usia 40-45 tahun. Kerja malam juga dapat menjadi masalah terhadap keseimbangan
kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes.
c. Jam Kerja
Menurut standar HIPERKES, rata-rata jam kerja adalah 8 jam per hari. Sehingga penambahan jam kerja diluar standar
dapat meningkatkan usaha adaptasi pekerja, yang kemudian dapat meningkatkan ekskresi katokholamin yaitu hormon
adrenalin dan non-adrenalin Munandar, 2008. Menurut Breslow dan Buell 1960 yang dikutip dalam
Suprapto 2008 melaporkan penemuannya yang mendukung hubungan antara jam kerja dengan stres yang kemudian
menyebabkan sakit jantung. Dalam sebuah investigasi terhadap kematian pria di California, mereka melakukan observasi pada
pekerja di industry kecil yang berusia kurang dari 45 tahun, yang bekerja selama lebih dari 48 jam per minggu, memiliki resiko 2
kali lipat untuk terkena stres yang berakibat pada Penyakit Jantung Koroner PJK dibandingkan dengan pekerja yang
bekerja 40 jam atau kurang dalam seminggunya. Menurut penelitian Muhammad 2004 diketahui bahwa
responden yang bekerja 12 jam menunjukkan gejala stres sedang. Hasil uji statistik menunjukkan ada kecenderungan
hubungan yang bermakna antara jam kerja dengan stres kerja. Namun, menurut Desy 2002 mengatakan tidak ada hubungan
yang bermakna antara waktu dalam bekerja dengan stres kerja.
d. Rutinitas
Rutinitas adalah pekerjaan rutin yang berulang-ulang sehingga menimbulkan kejenuhan karena bersifat monoton
Cooper dan Kelly, 1984 dalam Munandar, 2008. Pada pekerjaan yang sederhana dimana banyak terjadi pengulangan
gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya
tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya
perhatian. Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Airmayanti 2009 diketahui bahwa sebagian besar responden atau 55,2
menyatakan rutinitas pekerjaan membosankan dan berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh responden yang menyatakan
membosankan memiliki peluang 2.615 kali untuk mengalami stres kerja berat dibandingkan dengan responden yang
menyatakan tidak membosankan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Desy 2002 dari
penelitiannya ditemukan ada hubungan yang bermakna antara rutinitas dalam bekerja dengan tingkatan stres kerja. Sedangkan
menurut Soebakti 2006 dari hasil penelitian menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan stres kerja.
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad 2004 dari hasil penelitiannya juga disimpulkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan timbulnya stres kerja. Hal ini perlu diketahui bahwa tidak adanya
hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan stres kerja dapat disebabkan karena stressor yang sama dapat dipersepsikan
secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan
mengancam. Penilaian individu dalam hal ini sangat menentukan
apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan
muncul Selye, 1956 dalam Widyasari, 2005.
Menurut Wantoro 1999 selain tuntutan kerja yang termasuk dalam faktor intrinsik pekerjaan adalah kondisi lingkungan fisik yang terdiri dari :
a. Kebisingan Kebisingan merupakan suara-suara yang tidak dikehendaki.
Kebisingan sangat mengganggu pekerja dalam bekerja, baik dalam hal pemusatan perhatian terhadap pekerjaannya maupun berkomunikasi
dengan orang lain. Keadaan ini dapat mengganggu pendengaran, terjadinya kecelakaan kerja, menimbulkan terjadinya gangguan atau
pengaruh psikologis dari pekerja dalam bentuk gangguan emosi, temperamen dan lain-lain. Paparan kebisingan dengan intensitas yang
tinggi melebihi Nilai Ambang Batas yang ditetapkan pemerintah melalui Permenakertrans No. Per 13MENX2011 Tahun 2011 85 dB untuk
paparan 8 jam kerja sehari akan membahayakan kesehatan pada telinga tenaga kerja Yanri, 2002 dalam Nawawinetu dan Adriyani, 2007.
Menurut Nawawinetu dan Adriyani 2007 efek kebisingan dengan intensitas tinggi terhadap pendengaran berupa ketulian syaraf Noise
Induced Hearing Loss telah banyak diteliti. Namun kebisingan selain
memberikan efek terhadap pendengaran Auditory Effects juga dapat menimbulkan efek buka pada pendengaran Non Auditory Effects dan
efek ini bisa terjadi karena bising dianggap sebagai suara yang mengganggu sehingga respon yang timbul adalah stres akibat bising
tersebut. Beberapa penelitian menunjukan bahwa absenteisme pada tenaga kerja yang terpapar bising lebih tinggi di banding yang tidak
terpapar bising, namun belum jelas apakah ini disebabkan oleh efek psikologis dari stres CCOHS, 2007 dalam Nawawinetu dan Adriyani,
2007. Adapun menurut Kohen 1967 dalam Suprapto 2008 menemukan
ada hubungan antara bising sebesar 95db dengan kelelahan dan stres dalam bekerja. Namun menurut Nugroho 2004 diketahui bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan stres kerja.
b. Suhu panas atau dingin Pada suhu panas dan dingin, dapat menyebabkan pekerja mudah
terkena kelelahan disamping pengaruh kesehatan lainnya. Efek suhu tempat kerja di dalam atau di luar ruangan, status kesehatan pekerja,
kelembaban, kecepatan aliran udara, jenis pakaian yang digunakan dan lama pemaparan. Keadaan ini bila terjadi berlarut-larut menyebabkan
pekerja tidak mampu bekerja dengan baik karena menurunnya gairah bekerja atau bila terpaksa bekerja maka dapat mengakibatkan stres
Munandar,2008. Standar suhu lingkungan kerja menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405MenkesSKXI2002 yaitu 18-300C.
Suatu penelitian diperoleh bahwa hasil produktivitas kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24 derajat
Celcius sampai 27 derajat Celcius Wigjosoebrato, 2003. Menurut penelitian Siswanti 2004 yang dilakukan di PT. Pandu
Dayatama Patria, dilaporkan bahwa 70 responden menyatakan bermasalah dengan panas, sehingga menyebabkan stres dan 39
menyatakan stres walaupun tidak mempermasalahkan panas. Hasil statistik menyatakan Pvalue sebesar 0,039 sehingga ada hubungan yang
bermakna antara panas dengan stres kerja. Selain itu hasil OR sebesar 3,82 hal ini berarti pekerja yang merasakan panas, memiliki
kecenderungan untuk terkena stres 3 kali lebih besar daripada pekerja yang tidak mempermasalahkan panas.
c. Pencahayaan Terlalu kuatnya cahaya penerangan dapat menimbulkan dampak
psikologis pada pekerja, seperti kelelahan dan pusing. Bahkan dapat menimbulkan kecelakaan kerja akibat silaunya penerangan di ruang
kerja, begitu pula sebaliknya dengan penerangan yang suram Munandar, 2008. Pencahayaan yang kurang atau terlalu berlebihan di
tempat kerja menyulitkan pekerja untuk bekerja secara optimal, sehingga apabila hal ini terjadi dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan seorang pekerja mengalami stres dan ketidaknyamanan dalam bekerja Suprapto, 2008.
d. Radiasi Sumber daya radiasi adalah sinar gamma, yaitu gelombang
elektromagnet yang mampu menembus permukaan kulit tanpa terlihat oleh mata. Energi itu mampu merusak sel-sel hidup. Pemaparan radiasi
tergantung dari dosis, waktu pemaparan dan jarak sumber ke pekerja. Selain memberi pengaruh buruk, radiasi juga menyebabkan rasa kurang
aman bagi pekerja yang bekerja di tempat yang mengandung radiasi. Apabila hal ini tidak diperhatikan, maka dalam waktu-waktu tertentu hal
tersebut tidak hanya berbahaya bagi pekerja, namun dapat menimbulkan keresahan dan stres dalam bekerja Munandar, 2008.
2. Peran Individu dalam Organisasi