Faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada polisi lalu lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013

(1)

BULAN APRIL-AGUSTUS TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH : DIANA AULYA NIM : 109101000028

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H / 2013 M


(2)

(3)

ii

Skripsi, Agustus 2013

Diana Aulya, NIM : 109101000028

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STRES KERJA PADA POLISI LALU LINTAS DI POLRES METRO JAKARTA PUSAT BULAN APRIL-AGUSTUS TAHUN 2013

(xxi + 129 halaman, 19 tabel, 1 gambar, 2 bagan, 3 lampiran)

ABSTRAK

Pekerjaan sebagai Polisi Lalu Lintas merupakan pekerjaan yang mencakup banyak aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull. Selain itu lingkungan pekerjaan yang tidak nyaman, seperti bising, debu, panas, asap dan udara kotor yang semuanya ini dapat menjadi penyebab meningkatnya stres dalam bekerja. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April – Agustus tahun 2013.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah Polisi Lalu Lintas yang berjumlah 65 responden. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari instansi terkait dan data primer yang diperoleh melalui wawancara dan observasi kepada responden.

Dari hasil penelitian diperoleh sebesar 52,3% responden mengalami stres kerja ringan dan 23,1% tidak mengalami stres kerja. Kemudian dari hasil analisis bivariat dengan tingkat kemaknaan 5%, diperoleh tiga faktor yang berhubungan dengan stres kerja yakni beban kerja dengan p value 0,030, promosi dengan p value 0,046, dan umur dengan p value 0,012.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka saran yang dapat diberikan kepada instansi dan polisi lalu lintas khususnya di Polres Metro Jakarta Pusat yaitu instansi mampu mengoptimalkan pelatihan dan pendidikan terkait resiko dan bahaya pekerjaan yang dilakukan oleh polisi lalu lintas, sehingga resiko bahaya psikososial dapat dikurangi dan juga untuk polisi lalu lintas agar membiasakan diri untuk nyaman dengan pekerjaan yang dilakukan dan bisa mengatur waktu secara efektif dan efisien.

Kata Kunci : Faktor-Faktor Stres Kerja, Polisi Lalu Lintas, Cross Sectional


(4)

iii

Undergraduated Thesis, Agustus 2013

Diana Aulya, NIM: 109101000028

FACTORS ASSOCIATED WITH JOB STRESS ON TRAFFIC POLICE IN METRO CENTRAL JAKARTA POLRES MONTH OF APRIL-AUGUST 2013

(xxi + 129 pages, 19 tables, 1 pictures, 2 Chart, 3 attachments)

ABSTRACT

A job as traffic police was occupation is to encompass many aspects, difficult, dangerous, and stressfull. In addition, the environment work that is uncomfortable as a noisy, dust, heat, smoke and dirty air all this may be the cause of the increasing stress in work. From this the researchers interested in conducting research on factors related with job stress on traffic police in Central Jakarta Metro Polres month of April-August 2013.

This research is research quantitative with a design the study of cross-sectional. The sample in this research is the traffic police who were 65 respondents. The Data used in this study is secondary data from related institutions and primary data obtained through interviews and observations to the respondent.

The results were obtained by 52,3 % of respondents subjected to job stress light and 23.1 % not subjected to job stress. Then from the results of the bivariate analysis to the level significance of 5%, obtained three factors related with job stress that workload with a Pvalue: 0.030, promotions with a Pvalue: 0.046, and age by Pvalue: 0.012.

Based on the results of the research, then a suggestion that is can be given to institutions and traffic police especially in Central Jakarta police is able to optimize training and education institutions related to the risks and dangers of the work done by traffic police, so the risk of psychosocial hazards can be reduced and also to traffic police in order to familiarize yourself with the work performed and can adjust time effectively and efficiently.

Keywords: Job Stress Factors, Traffic Police, Cross Sectional Reading List: 57 (1984-2012)


(5)

(6)

(7)

vi

Nama : Diana Aulya

TTL : Jakarta, 14 Juli 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah Agama : Islam

Alamat : Jl. Kemayoran Gempol RT. 009/ RW.04 No.3 Kel. Kebon Kosong Kec. Kemayoran Jakarta Pusat 10630

No. Telp : 087882046410

Email : aulyadiana@gmail.com

Riwayat Pendidikan Formal

Jenjang Pendidikan Tahun Ajaran

SDN Kebon Kosong 14 Pagi 1997-2003

SMPN 78 Jakarta 2003-2006

SMAN 5 Jakarta 2006-2009

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan- Kesmas)

2009-Sekarang

Pengalaman Organisasi

Organisasi Jabatan Periode

Rohis SMPN 78 Jakarta Anggota 2004-2005

English Club SMPN 78 Jakarta Anggota 2004-2005 Rohis SMAN 5 Jakarta Anggota 2006-2007 Bemj Kesehatan Masyarakat

UIN Jakarta

Anggota Divisi Dana Usaha

2009-2011 Bemj Kesehatan Masyarakat

UIN Jakarta

Staf Ahli Divisi Pengembangan Ekonomi

2012- 2013

Panitia Pengawas Pemilu Wilayah Tangerang Selatan (Tangsel)


(8)

vii

Tiada Kasih Sayang yang paling indah dalam hidup

kecuali kasih sayang ibu. Tiada perjuangan paling tangguh

demi menghidupi keluarga kecuali perjuangan ayah. Terima kasih

ya Allah, Engkau telah memberikan ku seorang ayah ibu yang

sempurna kasih sayangnya kepadaku. Tidaklah kesuksesan seorang

anak itu atas ridho orang tua, sebab ridho Allah adalah

ridho orang tua.

Dengan mengharap ridho Allah kupersembahkan skripsi ini

untuk keluargaku tercinta yang selalu mendoakan, memotivasi dan

menyemangatiku, teruntuk Ibundaku tersayang Sopuroh,

Ayahandaku tercinta H. Abdul Rozak, Adik-adikku terkasih

(Nisrina Ulfah, M.Dhofir Tamam, & Shabrina Zata Amni),

serta kakek dan nenekku. Terima kasih keluargaku atas segalanya,

hanya inilah yang bisa aku persembahkan kepada semuanya.


(9)

viii Bismillahirrahmanirrahiim

هتاكربوهاةمحرو كي ع اسلا

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang telah memberikan

limpahan rahmat dan nikmat-Nya yang tak terbatas bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad SAW semoga kelak kita mendapat syafa‟at nya.

Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013” ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini banyak kesulitan yang dihadapi, tapi dengan bantuan dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dari itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Allah SWT, atas berkah dan rahmatnya sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Untuk kedua orang tua aku umi dan bapak yang senantiasa mendoakan, memberikan segala sesuatu yang terbaik untukku dan buat adik-adikku Nisrina Ulfah, Muh. Dhofir Tamam dan Shabrina Zata Amni.

3. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And.; selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(10)

ix

bimbingan, arahan serta kesediaan untuk memberikan waktu konsultasi selama penyusunan skripsi..

5. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM dan Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes; selaku dosen pembimbing pertama, terima kasih ibu atas bimbingan, nasihat, ilmu, motivasi, saran-saran, dan doa yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Fase Badriah, Ph.D, Bapak M. Farid Hamzens, M.Si dan ibu Reti Riseti, M.Si; selaku penguji sidang skripsi, terima kasih ibu atas bimbingan, arahan serta kesediaan untuk memberikan waktu konsultasi selama penyusunan skripsi.

7. Bapak Sutisna selaku Kaurmintu (Kepala Urusan Administrasi dan Tata Usaha), yang telah memberikan izin, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian di Polres Metro Jakarta Pusat.

8. Bapak Komandan Sugianto selaku ketua Natiturjalali (Pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan Patroli) Ditlantas Polres Metro Jakarta Pusat, terimakasih atas kebaikan dan kesediaan waktunya untuk mendampingi, membimbing dan membantu jalannya proses pengumpulan data.

9. Para Bapak Polisi Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Pusat, terimakasih atas kerjasamanya dalam proses pengumpulan data.

10. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(11)

x

udah bikin aku selalu tertawa lepas klo dikelas,hehe pokonya kalian semua Is The Best. I Love U all.

12. Sahabatku (Alfiyah dan Fauziah) terima kasih yaa udah selalu memberikan semangat dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga kita sukses dibidang kita masing-masing ya.. Aamiin..

13. Sahabat-sahabat Kesmas angkatan 2009 FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tetap semangat untuk masa depan yang lebih baik !!!

14. Dan seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian dan dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak penulis sebutkan secara keseluruhan. Hormat penulis kepada semuanya.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari

Allah Subhanahu Wata‟ala. Penulis dengan penuh kesadaran menyadari bahwa skripsi ini masih cacat dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

TERIMA KASIH.

هتاكربوهاةمحرو كي ع اَسلاو

Jakarta, Agustus 2013


(12)

xi

LEMBAR PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iv

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP vi

LEMBAR PERSEMBAHAN vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR BAGAN xx

DAFTAR SINGKATAN xxi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang 1

B.Rumusan Masalah 8

C.Pertanyaan Penelitian 9

D.Tujuan Penelitian 11

1. Tujuan Umum 11

2. Tujuan Khusus 11

E. Manfaat Penelitian 13

F. Ruang Lingkup Penelitian 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.Definisi Stres 15


(13)

xii

E. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja 24

1. Faktor Intrinsik Pekerjaan ... 25

a. Beban kerja ... 25

b. Shift kerja... 29

c. Jam kerja ... 32

d. Rutinitas ... 33

2. Peran Individu dalam Organisasi ... 38

3. Pengembangan Karir ... 39

a. Promosi ... 41

b. Kepuasan gaji ... 42

4. Hubungan dalam Pekerjaan ... 43

5. Struktur dan Iklim Organisasi ... 45

F. Tahapan Stres Kerja ... 51

G.Dampak Stres Kerja ... 54

H.Pengukuran Stres Kerja ... 56

I. Pencegahan Stres kerja ... 62

J. Penanggulangan Stres Kerja ... 63

K.Polisi Lalu Lintas ... 64

1. Ruang Lingkup ... 64

2. Kondisi Kerja ... 64

L. Kerangka Teori ... 65

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A.Kerangka Konsep ... 68

B.Definisi Operasional ... 71

C.Hipotesis Penelitian ... 76

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A.Desain Penelitian ... 77


(14)

xiii

E. Pengolahan Data ... 82

1. Data Editing ... 82

2. Data Coding ... 82

3. Data Entry ... 84

4. Data Cleaning ... 84

F. Analisa Data ... 85

1. Univariat ... 85

2. Bivariat ... 85

BAB V HASIL A.Analisis Univariat ... 87

1. Gambaran Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013 ... 87

2. Gambaran Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan ... 88

a. Beban Kerja ... 89

b. Rutinitas ... 89

3. Gambaran Peran individu dalam Organisasi ... 89

4. Gambaran Pengembangan Karir (Promosi dan Kepuasan Gaji) ... 90

a. Promosi ... 91

b. Kepuasan gaji ... 91

5. Gambaran Hubungan dalam Pekerjaan ... 92

6. Gambaran Struktur dan Iklim Organisasi ... 92

7. Gambaran Faktor Individu (Umur dan Masa Kerja) ... 93

a. Umur ... 93

b. Masa kerja ... 94

B.Analisis Bivariat ... 94

1. Gambaran Stres Kerja Berdasarkan Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan (Beban kerja dan Rutinitas) ... 94


(15)

xiv

3. Gambaran Stres Kerja Berdasarkan Pengembangan Karir (Promosi dan

Kepuasan Gaji) ... 97

a. Promosi... 97

b. Kepuasan Gaji ... 98

4. Gambaran Stres Kerja Berdasarkan Hubungan dalam pekerjaan ... 98

5. Gambaran Stres Kerja Berdasarkan Struktur dan Iklim Organisasi ... 99

6. Gambaran Stres Kerja Berdasarkan Faktor Individu (Umur dan Masa Kerja) ... 100

a. Umur... 100

b. Masa Kerja ... 101

BAB VI PEMBAHASAN A.Keterbatasan Penelitian ... 103

B.Gambaran Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas ... 103

C.Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja ... 106

1. Faktor Intrinsik Pekerjaan (Beban kerja dan Rutinitas) ... 106

a. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres Kerja ... 106

b. Hubungan antara Rutinitas dengan Stres Kerja ... 109

2. Hubungan antara Peran individu dalam Organisasi dengan Stres Kerja ... 112

3. Pengembangan Karir (Promosi dan Kepuasan Gaji) ... 113

a. Hubungan antara Promosi dengan stres kerja ... 113

b. Hubungan antara Gaji dengan stres kerja ... 115

4. Hubungan antara Hubungan dalam pekerjaan dengan Stres Kerja ... 117

5. Hubungan antara Struktur dan Iklim Organisasi dengan Stres Kerja ... 119

6. Faktor Individu (Umur dan Masa Kerja) ... 120

a. Hubungan antara Umur dengan Stres Kerja ... 120


(16)

xv

B. Saran ... 127

1. Bagi Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat ... 128

2. Bagi Instansi ... 128

3. Bagi penelitian Selanjutnya ... 129

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(17)

xvi

Tabel 2.1 Penilaian Pekerjaan ... 27

Tabel 2.2 Pengelompokan Beban Kerja ... 29

Tabel 2.3 Daftar Pertanyaan untuk Metode life event scale ... 57 Tabel 4.1 Hasil Penghitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda Dua

Proporsi Terhadap Hasil Penelitian Terdahulu ... 78 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres

Metro Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013 ... 87 Tabel 5.2 Distribusi Responden menurut Faktor Intrinsik Pekerjaan pada

Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-

Agustus Tahun 2013 ... 88 Tabel 5.3 Distribusi Responden menurut Peran individu dalam Organisasi pada

Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013 ... 90 Tabel 5.4 Distribusi Responden menurut Faktor Pengembangan Karir pada

Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-

Agustus Tahun 2013 ... 91 Tabel 5.5 Distribusi Responden menurut Struktur dan Iklim Organisasi

pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-

Agustus Tahun 2013 ... 92 Tabel 5.6 Distribusi Responden menurut Faktor Individu pada

Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-

Agustus Tahun 2013 ... 93 Tabel 5.7 Distribusi Responden menurut Beban Kerja terhadap Stres Kerja

pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-


(18)

xvii

pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-

Agustus Tahun 2013 ... 95 Tabel 5.9 Distribusi Responden menurut Peran individu dalam Organisasi

terhadap Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro

Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013 ... 96 Tabel 5.10 Distribusi Responden menurut Promosi terhadap Stres Kerja

pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan

April-Agustus Tahun 2013 ... 97 Tabel 5.11 Distribusi Responden menurut Kepuasan Gaji terhadap Stres Kerja

pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan April-

Agustus Tahun 2013 ... 98 Tabel 5.12 Distribusi Responden menurut Hubungan dalam Pekerjaan

terhadap Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro

Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013 ... 99 Tabel 5.13 Distribusi Responden menurut Struktur dan Iklim Organisasi

terhadap Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro

Jakarta Pusat Bulan April-Agustus Tahun 2013 ... 100 Tabel 5.14 Distribusi Responden menurut Umur terhadap Stres Kerja

pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan

April-Agustus Tahun 2013 ... 101 Tabel 5.15 Distribusi Responden menurut Masa Kerja terhadap Stres Kerja

pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Bulan


(19)

xviii


(20)

xix

Bagan 2.1 Kerangka Teori 67


(21)

xx

ACLU : American Civil Liberties Union

EWCS : European Working Condition Survey ILO : International Labour Organization

NIOSH : NationalInstitue of Occupational Health and Safety

Polres : Polisi Resort Polsek : Kepolisian Sektor


(22)

xxi

Lampiran 1 : Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian Lampiran 2 : Kuesioner Penelitian


(23)

1 A. Latar Belakang Masalah

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu masalah dunia. Menurut Joint ILO/ WHO Committee on Ocupational Health (1995) Kesehatan kerja bertujuan untuk promosi dan pemeliharaan tingkat tertinggi kesehatan fisik, mental dan sosial dari pekerjaan dalam berbagai jenis pekerjaan, mencegah penyakit yang diakibatkan dari kondisi pekerjaan mereka ditempat kerja dari risiko yang diakibatkan faktor-faktor yang mengganggu kesehatan; menempatkan dan memelihara lingkungan pekerjaan pekerja baik kemampuan fisiologis maupun psikologis pekerja dan menerapkannya kepada pekerja disetiap pekerjaannnya.

Pada tahun 1996, jauh sebelum stres kerja dan faktor psikososial menjadi ungkapan sehari-hari, suatu laporan khusus yang berjudul ”Perlindungan Kesehatan dari Delapan Puluh Juta Pekerja Suatu Tujuan Nasional bagi Kesehatan Kerja” telah diterbitkan. Laporan tersebut menyebutkan bahwa stres yang disebabkan oleh faktor psikologis meningkat secara nyata. Tiga puluh tahun kemudian, laporan ini telah membuktikan ramalan secara luar biasa. stres kerja telah menjadi penyebab kelainan terdepan di Amerika Utara dan Eropa. Pada tahun 1990, 13 % dari seluruh kasus ketidakmampuan pekerja, disebabkan oleh gangguan yang berhubungan dengan stres kerja (Rahayu, 2003).


(24)

Pada tahun 2000 European Working Condition Survey (EWCS), stres kerja merupakan kasus nomor dua terbesar di Eropa yang berkaitan dengan pekerjaan, masalah kesehatan diantaranya yaitu, mengalami sakit punggung, penyakit jantung, dan gangguan musculoskeletal (European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions, 2005).

Dua penelitian stres di tempat kerja di Amerika yang dilaporkan oleh

National Institue of Occupational Health and Safety (NIOSH, 2002). Pertama adalah sebuah survey yang dilakukan oleh Familier and Work Institute

melaporkan bahwa 26% sering dan sangat stres akibat dari pekerjaannya. Sedangkan penelitian yang kedua dilakukan oleh Yale University melaporkan bahwa 20% pekerja mengalami stres saat bekerja.

Dengan besarnya masalah stres kerja, dapat memakan biaya yang sangat tinggi. Di Swedia, pekerjaan yang berhubungan dengan sakit punggung dan otot menghabiskan biaya yang lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan untuk Departemen Pertahanan Nasional. Dan penyakit tersebut sebagian besar disebabkan karena stres (ILO, 2003).

Berikut adalah pekerjaan yang dianggap paling dapat membuat stres menurut National Safety Council dikutip dari Gaffar (2012) yakni : pegawai pos, perawat, jurnalis, pilot pesawat, manajer tingkat menengah, sekretaris, polisi, petugas medis, paramedis, guru, pemadam kebakaran, petugas customer service

dan pelayan. Apapun profesi seseorang dapat mengalami stres kerja.

Pada tahun 1995, sebuah peristiwa menimpa para polisi di Paris. Sekitar 60 orang anggota polisi melakukan bunuh diri masal beserta keluarganya (Suprapto,


(25)

2008). Hal ini terjadi karena para polisi di Paris menganggap pekerjaan mereka semakin berat setiap tahunnya. Penyebab lainnya adalah dukungan yang sangat kurang dari pemimpin mereka. Hal tersebut diperparah dengan image polisi yang buruk di masyarakat. Sedangkan di sekolah, anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai polisi sangat sering diejek dan diperlakukan kasar karena pekerjaan orang tuannya. Selain itu, gaji mereka juga dipotong tanpa adanya kesepakatan dan pemberitahuan kepada mereka. Kemudian dengan penghasilan yang sedikit, mereka harus bertahan hidup di kota yang memiliki biaya hidup yang tinggi. Sehingga berdasarkan hal tersebut, maka para polisi tersebut mengalami stres yang sangat berat dan terjadilah hal tersebut (New York Times, 1996 dalam Suprapto, 2008).

Sedangkan di New York, sebuah kecelakaan lalu lintas parah dan beruntun terjadi pada tahun 90-an. Diduga jumlah korbannya mencapai 50 orang. Penyebabnya adalah akibat kelalaian petugas polisi lalu lintas yang berjaga ketika itu. Para polisi yang bertugas, menurut investigasi mengalami stres kerja. Mereka mengaku stres yang mereka rasakan karena pekerjaan mereka yang sangat berat, selain itu tuntutan pekerjaan yang tinggi, gaji yang tidak memadai untuk biaya hidup mereka hidup dan mereka harus bekerja lebih dari 10 jam (New York Times, 2001 dalam Suprapto 2008).

Masalah yang berkaitan dengan stres kerja juga banyak ditemukan di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad (2004) terhadap beberapa faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada polisi Lalu Lintas di terminal Kampung Melayu menemukan bahwa, faktor usia dan masa kerja memiliki


(26)

pengaruh yang sangat besar (> 60%) sebagai pemicu terjadinya stres. Sedangkan rutinitas dan waktu dalam bekerja menyebabkan 80% dari stres yang mereka alami. Para polisi tersebut mengatakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sangat berat dan bersifat monoton. Penelitian tersebut juga mengatakan bahwa 50% gaji dan promosi yang diberikan kepada mereka belum memuaskan. Sehingga hal tersebut juga memicu timbulnya stres. Namun, para polisi tersebut tidak memiliki masalah dengan rekan kerja maupun atasan, justru mereka menganggap bahwa rekan kerja dan atasan dapat mengurangi stres yang mereka rasakan, karena banyak dari teman dan atasan mereka dapat dijadikan teman untuk berbicara dan bercerita.

Sedangkan penelitian lain, yang dilakukan Suprapto (2008) terhadap beberapa faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada polisi lalu lintas di kawasan Puncak-Cianjur menyatakan bahwa dari faktor pengembangan karir diperoleh sebanyak 66,7% Polantas merasa bahwa gaji yang mereka terima belum sesuai. Sedangkan Polantas yang merasa bahwa promosi yang diberlakukan sudah memuaskan sebanyak 52,5 %, hal tersebut menjadi pemicu terjadinya stres kerja.

Penelitian lain yang pernah dilakukan mengenai stres kerja dengan sampel polisi mendapatkan hasil penelitian bahwa derajat stres kerja polisi secara keseluruhan berada pada tingkat menengah (Jayanegara, 2007). Selain itu, direktur utama ACLU (American Civil Liberties Union), Ira Glasser (dalam Amaranto, 2003) juga menyatakan bahwa polisi adalah pekerjaan yang mencakup banyak aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull.


(27)

Menurut Fincham dan Rhodes (1988) dalam Munandar (2008) stres kerja merupakan gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik, adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya,dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagi tuntutan terhadap dirinya secara efektif.

Polisi Lalu Lintas merupakan kesatuan lalu lintas yang bertugas membina, dan dalam batas kewenangan yang ditentukan, menyelenggarakan fungsi lalu lintas yang meliputi kegiatan pendidikan masyarakat, penegakan hukum dan identifikasi pengemudi kendaraan bermotor, pengakajian masalah lalu lintas, serta patroli jalan raya yang bersifat antar wilayah hukum negara Republik Indonesia (Jayanegara, 2007).

Dampak yang ditimbulkan dari stres kerja sangat besar pengaruhnya. Hal pertama yang terjadi adalah gangguan psikis dan emosi, bila terus berlanjut maka akan mengakibatkan gangguan fisik. Dampak stres ini tidak hanya mengganggu tubuh si pekerja saja, akan tetapi secara pasti akan mempengaruhi produktivitas kerja yang juga memberi pengaruh pada kinerja perusahaan secara keseluruhan hingga dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan (Hawari, 2001).

Menurut Hurrel dalam Munandar (2008) stres kerja dapat disebabkan karena lima faktor, faktor-faktor tersebut yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi. Selain faktor intrinsik pekerjaan, menurut Cooper


(28)

dan Davidson (1987) dalam Miller (2000) stres kerja juga dapat terjadi karena faktor hubungan atau dukungan sosial yang diterima seseorang baik dari rekan kerja, atasan, maupun bawahan. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi stres kerja adalah kepuasan pekerjaan, dimana bahwa salah satu cara untuk mempertimbangkan potensi stres kerja adalah dengan mempertimbangkan kepuasan kerja, karena ketidakpuasan kerja dapat menimbulkan terjadinya stres kerja. Teori Cooper dan Davidson dalam Munandar (2008) menyatakan bahwa kepuasan bayaran atau gaji merupakan faktor yang berhubungan dengan stres kerja. Selain faktor struktur dan iklim organisasi berdasarkan modifikasi model stres kerja Cooper (1989) oleh Munandar (2008) terdapat faktor individu seperti umur, masa kerja, kepribadian dan lain-lain juga berkontribusi terhadap terjadinya stres kerja.

Penelitian stres kerja dilakukan di instansi kepolisian dengan alasan bahwa dilihat dari kondisi kerja polisi lalu lintas yang sangat berbahaya yang menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya stres. Stres juga dapat muncul di lingkungan kerja polisi, yang dituntut untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah atasan, cepat dan tanggap mengatasi segala permasalahan yang ada (Vesdiawati, 2008). Didapatkan juga dari hasil penelitian bahwa derajat stres kerja pada polisi secara keseluruhan berada pada tingkat menengah (Jayanegara, 2007).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat pada bulan April 2013, dengan menggunakan metode life event scale didapatkan 65% dari 20 responden yang diteliti sering


(29)

merasakan dan mengalami gejala stres antara lain pusing, jantung berdebar, gugup/gelisah, sesak nafas, kurang percaya diri, susah tidur, kurang konsentrasi dan beberapa indikator lainnya yang mengakibatkan stres kerja pada polisi lalu lintas. Hasil tersebut diperoleh melalui pemberian kuesioner kepada para petugas polisi lalu lintas.

Penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Pusat sebab didapatkan bahwa dari seluruh kesatuan wilayah di Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat memiliki jumlah personil anggota polisi lalu lintasnya sedikit, yang bertugas disetiap pos jaganya sehingga membuat beban kerja yang diterimanya berat, selain itu juga polisi lalu lintas di Polres Metro Jakarta Pusat dituntut untuk bekerja secara cepat dan tepat, selalu berdisiplin tinggi serta patuh pada peraturan yang berlaku.

Dari hasil uraian di atas dapat diketahui bahwa stres kerja merupakan tahap awal terjadinya penyakit individu yang rentan. Sebagai akibat, stres dapat menimbulkan gangguan psikosomatik, neurotik, dan psikosis yang dapat dilihat dengan meningkatnya angka absenteisme, angka terlambat kerja yang tinggi, pergantian karyawan, kecelakaan kerja dan besarnya angka kerugian sehubungan dengan ketidakhadiran pekerja. Disamping itu, stres kerja selain dapat menurunkan tingkat kesehatan dapat pula mempengaruhi tingkat produktivitas kerja yang akhirnya mempengaruhi kualitas dan performa kerja sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap stres kerja. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan proses pencegahan dapat lebih mudah dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk


(30)

meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat.

B. Rumusan Masalah

Pekerjaan sebagai Polisi Lalu Lintas merupakan pekerjaan yang mencakup banyak aspek, sulit, berbahaya, dan stressfull. Selain itu lingkungan pekerjaan yang tidak nyaman, seperti bising, debu, panas, asap dan udara kotor yang semuanya ini dapat menjadi penyebab meningkatnya stres dalam bekerja. Sehingga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik akibat stres, seperti nyeri punggung, sakit kepala, tukak lambung, insomnia, ansietas, penyakit jantung, hipertensi dan gangguan gastrointestinal. Serta gangguan psikis akibat stres, seperti mudah tersinggung, marah-marah, kurang konsentrasi, malas bekerja dan depresi. Stres yang dirasakan oleh Polisi disebabkan oleh faktor-faktor stres kerja, antara lain faktor-faktor dari pekerja, faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran individu dalam organisasi, faktor pengembangan karir, faktor hubungan dalam pekerjaan, serta iklim dan struktur organisasi.

Studi pendahuluan yang dilakukan pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat pada bulan April 2013, diketahui bahwa 13 Polisi mengalami stres kerja atau sebesar 65% dari 20 responden yang diteliti sering merasakan dan mengalami gejala stres antara lain lain pusing, jantung berdebar, gugup/gelisah, sesak nafas, kurang percaya diri, susah tidur, kurang konsentrasi dan beberapa indikator lainnya yang mengakibatkan stres kerja pada polisi lalu lintas. Oleh karena itu berdasarkan fakta dan studi pendahuluan tersebut, peneliti


(31)

ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Tahun 2013.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

2. Bagaimana gambaran faktor intrinsik pekerjaan (beban kerja dan rutinitas) pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat tahun bulan April- Agustus tahun 2013 ?

3. Bagaimana gambaran peran individu dalam organisasi pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April-Agustus tahun 2013 ? 4. Bagaimana gambaran pengembangan karir (promosi dan kepuasan gaji) pada

Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

5. Bagaimana gambaran hubungan dalam pekerjaan pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

6. Bagaimana gambaran struktur dan iklim organisasi pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

7. Bagaimana gambaran faktor individu (umur dan masa kerja) pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ? 8. Apakah ada hubungan antara faktor intrinsik pekerjaan (beban kerja dan

rutinitas) dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?


(32)

9. Apakah ada hubungan antara peran individu dalam organisasi dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

10. Apakah ada hubungan antara pengembangan karir (promosi dan kepuasan gaji) dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

11. Apakah ada hubungan antara hubungan dalam pekerjaan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

12. Apakah ada hubungan struktur dan iklim organisasi dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?

13. Apakah ada hubungan antara faktor individu (umur dan masa kerja) dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013 ?


(33)

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

b. Diketahuinya gambaran faktor intrinsik pekerjaan (beban kerja dan rutinitas) pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

c. Diketahuinya gambaran peran individu dalam organisasi pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

d. Diketahuinya gambaran pengembangan karir (promosi dan kepuasan gaji) pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

e. Diketahuinya gambaran hubungan dalam pekerjaan pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013. f. Diketahuinya gambaran struktur dan iklim organisasi pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.


(34)

g. Diketahuinya gambaran faktor individu (umur dan masa kerja) pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

h. Diketahuinya hubungan antara faktor intrinsik pekerjaan (beban kerja dan rutinitas) dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

i. Diketahuinya hubungan antara peran individu dalam organisasi dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April-Agustus tahun 2013.

j. Diketahuinya hubungan antara pengembangan karir (promosi dan kepuasan gaji) dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

k. Diketahuinya hubungan antara hubungan dalam pekerjaan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

l. Diketahuinya hubungan antara struktur dan iklim organisasi dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.

m. Diketahuinya hubungan antara faktor individu (umur dan masa kerja) dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April- Agustus tahun 2013.


(35)

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan secara nyata dari teori-teori yang telah didapat semasa perkuliahan dan dapat mengembangkan kemampuan dalam bidang penelitian dan penyusunan karya tulis serta penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai stres kerja.

2. Bagi Perusahaan

Sebagai bahan informasi dan masukan untuk memperhatikan kesehatan kerja dalam hal ini Polisi Lalu Lintas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dan sebagai acuan dalam program peningkatan performa dan produktifitas kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat.

3. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Sebagai informasi penelitian dan dokumentasi data penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat.


(36)

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat bulan April-Agustus tahun 2013.

Waktu penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2013. Populasi penelitian adalah Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat yang berjumlah 65 orang. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 20 orang Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat, diketahui 13 Polisi mengalami stres kerja. Data-data yang dikumpulkan dalam bentuk pertanyaan yang kemudian dianalisa untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja.


(37)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan pustaka ini akan memahas tentang definisi stres, definisi stres kerja, sumber-sumber stres kerja, indikator stres kerja, faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja, tahapan stres kerja, dampak stres kerja, pengukuran stres kerja, pencegahan stres kerja serta penanggulangan stres kerja.

A. Definisi Stres

Menurut Nasution (2002) stres menunjuk pada keadaan internal individu yang menghadapi ancaman terhadap kesejahteraan fisik maupun psikisnya. Penekanannya adalah pada persepsi dan evaluasi individu terhadap stimulus yang memiliki potensi membahayakan bagi dirinya. Sehingga ada perbandingan antara tuntutan yang menekan individu dan kemampuannya untuk mengatasi tuntutan tersebut. Keadaan yang tidak seimbang dalam mekanisme ini akan meningkatkan respon stres, bagi fisiologi maupun perilakunya.

Sedangkan menurut (Taylor, 2006) dan (Cook, 1997) Stres adalah emosi negatif, kognitif, tingkah laku dan proses fisiologi yang terjadi pada individu

untuk mencoba menyesuaikan atau menawar dengan stressor yang ada. Dimana,

dapat mengganggu atau mengancam fungsi sehari-hari individu dan

menyebabkan individu tersebut untuk membuat penyesuaian. Dalammenghadapi

stresor tersebut dapat ditandai dengan adanya adanya respon fisik,psikologis dan tingkah laku.


(38)

Selain itu ada tiga pendekatan teori mengenai stres yaitu:

1. Response Based Orientation, menurut Seyle (1976) dalam Hawari (2001),

yaitu stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan.

2. Stimulus, menurut Holmes dan Rahe (1967) dalam Hawari (2001), yaitu stres muncul sewaktu-waktu berdasarkan atas kejadian yang dialami individu dimana kejadian itu menimbulkan coping dan respon adaptif.

3. Transactional, menurut Lazarus (1966) dalam Gustiarti (2002) yaitu stres merupakan proses dua arah, yaitu lingkungan yang menghasilkan stres dan individu yang dapat menemukan cara mengatasinya.

Dari berbagai pendapat yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah respon biologis dan psikologis pada individu yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik.

B. Definisi Stres Kerja

Fincham dan Rhodes (1988) dalam Munandar (2008) mengasumsikan bahwa stres kerja dapat disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik, adalah hasil dari tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagi tuntutan terhadap dirinya secara efektif.


(39)

Rahayu (2003) secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka di katakan individu itu mengalami stres kerja.

Robbins (1998) dalam Supardi (2007) memberikan definisi stres kerja sebagai suatu kondisi dinamis dimana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapatdipastikan.

Stres kerja juga bisa didefinisikan sebagai respon baik secara fisik maupun emosional yang berbahaya yang muncul atau terjadi ketika tuntutan pekerjaan tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber atau kebutuhan pekerja (NIOSH, 2002).

Dalam konteks stres di tempat kerja menurut Levi (1984) peran psychososial stimuli yang berasal dari proses sosial akan mempengaruhi individu. Proses interaksi yang tidak seimbang antara demands dan resources pada individu akan cenderung menjadi precursors of disease. Selama proses tersebut berlangsung akan ada variabel interaktif yang akan berperan didalamnya seperti variabel intrinsik dan ekstrinsik.

Lebih jauh Cooper (1989) dalam Munandar (2008) menjelaskan konsep stres ditempat kerja beserta faktor yang berpengaruh didalamnya secara komprehensif. Menurutnya stres di tempat kerja dapat bersumber dari beberapa hal, yaitu work area, home area, sosial area dan individual area. Sementara manifestation area

adalah mengamati perubahan akibat stres secara tidak langsung pada fisik, perilaku dan emosi pada pekerja. Berikut teori stres kerja Cooper yang dimodifikasi oleh Munandar (2008) yang dapat dilihat pada gambar 2.1.


(40)

Sumber: Munandar, Psikologi Industri dan Organisasi. Modifikasi dari Model Stres Kerja Cooper, CL (1989)

Gambar 2.1 Modifikasi Model Stres Kerja Cooper

C. Sumber - Sumber Stres Kerja

Dalam teori yang diungkapkan Sarafino (1990) bahwa sumber stres dapat dibedakan menjadi sumber stres yang berasal dari dalam diri seseorang, komunitas, dan masyarakat.


(41)

1) Sumber stres di dalam diri seseorang

Sumber stres dalam diri sendiri pada umumnya dikarenakan konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam hal ini adalah sebagai permasalahan yang terjadi yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu diatasi, maka dapat menimbulkan suatu stres (Hidayat, 2004).

Dalam pengamatan pada kehidupan manusia sehari-hari, ternyata pria memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami stres dibandingkan oleh wanita. Disamping itu, semakin jauh seorang wanita mengerjakan pekerjaan-pekerjaann yang biasa dianggap sebagai pekerjaan kaum pria, semakin besar pula kecenderungan mengalami stres. Jadi pada dasarnya pria dan wanita mempunyai kecenderungan yang sama untuk mengalami stres, dan dapat ditambahkan bahwa jenis kesibukan sehari-hari menentukan besarnya kemungkinan mengalami stres. Para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya wanita bekerja ini menghambat konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga (Anoraga, 2005).


(42)

2) Sumber stres dalam keluarga

Stres dapat bersumber dari interaksi antara para anggota keluarga seperti: perselisihan, masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan-tujuan yang berbeda antara anggota keluarga.

3) Sumber stres dalam komunitas dan lingkungan, interaksi subjek dilingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres. Contohnya, pengalaman stres anak-anak disekolah dan beberapa kejadian kompetitif, seperti olah raga. Sementara beberapa pengalaman stres orang tua bersumber dari pekerjaannya, dan lingkungannya yang sifatnya stressfull.

Lingkungan kerja juga dapat berperan sebagai faktor penyebab terjadinya stres kerja (sumber stres), seperti tuntutan pekerjaan, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik kerja, hubungan antar manusia yang buruk, kurang pengakuan dan peningkatan jenjang karir, rasa kurang aman dalam bekerja dan sebagainya (Nasution, 2002).

D. Indikator Stres Kerja

Cary Cooper dan Alison Straw (1995) dalam Yunus (2011) menyatakan bahwa indikator stres yaitu :

1. Fisik

a. Nafas memburu

b. Mulut dan kerongkongan kering c. Tangan lembab


(43)

d. Merasa panas e. Otot-otot tegang f. Pencernaan terganggu g. Sembelit

h. Letih yang tidak beralasan i. Sakit kepala

j. Salah urat dan gelisah

Sedangkan menurut Braham (Handoyo, 2001) indikator stress fisik yaitu:

a. Sulit tidur atau tidur tidak teratur b. Sakit kepala

c. Sulit buang air besar

d. Adanya gangguan pencernaan e. Radang usus

f. Kulit gatal-gatal g. Punggung terasa sakit

h. Urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang i. Keringat berlebihan

j. Berubah selera makan

k. Tekanan darah tinggi atau serangan jantung l. Kehilangan energi


(44)

2. Perilaku

a. Perasaan bingung b. Cemas dan sedih c. Jengkel

d. Salah paham e. Tidak berdaya

f. Tidak mampu berbuat apa-apa g. Gelisah

h. Gagal

i. Tidak menarik j. Kehilangan semngat k. Sulit konsentrasi l. Sulit berpikir jernih m. Sulit membuat keputusan n. Hilangnya kreatifitas

o. Hilangnya gairah dalam penampilan p. Hilangnya minat terhadap orang lain

Sedangkan menurut Braham (Handoyo, 2001) indikator stres perilaku yaitu

a. Mudah lupa b. Kacau pikirannya c. Daya ingat menurun


(45)

d. Sulit untuk berkonsentrasi e. Suka melamun berlebihan

f. Pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja

3. Emosional

a. Sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan b. Cemas menjadi lekas panik

c. Kurang percaya diri menjadi rawan d. Penjengkel menjadi meledak-ledak

Sedangkan menurut Braham (Handoyo, 2001) indikator stress emosional yaitu :

a. Marah-marah

b. Mudah tersinggung dan terlalu sensitif

c. Gelisah dan cemas

d. Suasana hati mudah berubah-ubah

e. Sedih

f. Mudah menangis dan depresi


(46)

h. Agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang

i. Kelesuan mental

Menurut Kalimo (1987) bahwa manifestasi daripada stres kerja adalah dapat berupa hal-hal sebagai berikut:

a. Ketidakpuasan kerja

b. Berhubungan dengan harga diri

c. Penggunaan alkohol, peningkatan frekuensi merokok d. Ketidakpuasaan berumah tangga

e. Bercerai atau pisah f. Penggunaan obat-obatan g. Kegemukan

h. Tekanan darah tinggi, migrain, asma, depresi i. Kecelakaan didalam atau di luar tempat kerja

E. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja

Menurut Hurrell, dkk (1988) yang dikutip dalam Munandar (2008) Faktor-faktor dipekerjaan yang dapat menimbulkan stres yaitu, faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi, dan karakteristik individu.


(47)

1. Faktor Intrinsik Pekerjaan

Terlalu banyak pekerjaan/ terlalu sedikit pekerjaan juga terkadang dapat menyebabkan stres pada seorang individu. Terlalu banyak pekerjaan berkaitan dengan kemampuan untuk menyelesaikan semua pekerjaan tersebut dengan hasil yang sebaik-baiknya. Sedangkan terlalu sedikit berkaitan dengan tidak adanya pekerjaan yang dapat dikerjakan. Sejauhmana hal ini dapat menyebabkan seorang individu menjadi stres, tergantung bagaimana dia dapat mengatasi keadaan tersebut (Nasution,2002).

a. Beban Kerja

Schultz (1998) menyebutkan bahwa beban kerja terbagi atas dua macam, dimana beban kerja berlebih atau over load dan beban kerja yang kurang atau under load. Pada beban kerja yang berlebih dapat dilihat dari banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan dengan waktu yang terbatas/ ditentukan atau suatu pekerjaan yang sangat sulit untuk dikerjakan karena kurangnya kemampuan. Sedangkan beban kerja kurang (under load) diakibatkan oleh adanya pekerjaan yang dilakukan secara rutinitas/monoton yang pada akhirnya mengakibatkan kebosanan pada pekerja. Walaupun pekerjaan yang dilakukan mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kecelakaan.


(48)

Sedangkan menurut French dan Caplan (1970) dalam Munandar (2008) beban kerja sebagai sumber stres disebabkan karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif. Pada beban kerja kuantitatif yaitu beban kerja yang timbul sebagai akibat dari tugas yang diberikan harus diselesaikan dalam waktu tertentu. Sedangkan beban kerja kualitatif terjadi jika seseorang tidak mampu untuk melakukan suatu tugas yang tidak menggunakan keterampilan atau potensi dari tenaga kerja. Jika Beban kerja kuantitatif dan kualitatif ini berlebih dan menambah waktu kerja yang lebih banyak, maka sumber terjadinya stres akan lebih banyak.

Selanjutnya beban kerja terlalu banyak maupun sedikit tersebut timbul selain sebagai akibat dari tugas-tugas yang diberikan kepada pekerja dan dirasakan oleh pekerja sebagai beban kerja yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, juga merupakan manifestasi dari ketidakmampuan pekerja untuk melakukan suatu tugas yang diberikan (Munandar, 2008).

Lebih jauh menurut Permenaker No 13 Tahun 2011 menyatakan bahwa beban kerja merupakan beban yang dialami oleh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaan yang dilakukan olehnya. Penilaian beban kerja dengan mengamati aktivitas tenaga kerja dan menghitung kebutuhan kalori berdasarkan


(49)

pengeluaran energi sesuai tabel perhitungan beban kerja, hal ini dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Penilaian pekerjaan

No Pekerjaan Posisi Badan

1 2 3 4

Duduk (0,3) Berdiri (0,6) Berjalan (3,0) Berjalan mendaki (3,8)

1 Pekerjaan dengan tangan

Katagori I (contoh: menulis, merajut (0,30)

0,60 0,90 3,30 4,10

Katagori II (contoh: menyetrika) (0,70)

1,00 1,30 3,70 4,50

Katagori III (Contoh : mengetik) (1,10)

1,40 1,70 4,10 4,90

2 Pekerjaan dengan satu tangan

Katagori I (contoh: menyapu lantai) (0,90)

1,20 1,50 3,90 4,70

Katagori II (contoh: menggergaji) (1,60)

1,90 2,20 4,60 5,40

Katagori III (Contoh: memukul paku) (2,30)

2,60 2,90 5,30 6,10

3 Pekerjaan dengan dua lengan

Katagori I

(contoh:menambal logam, mengemas barang dalam dus) (1,25)


(50)

No Pekerjaan Posisi Badan

1 2 3 4

Duduk (0,3) Berdiri (0,6) Berjalan (3,0) Berjalan mendaki (3,8)

Katagori II (contoh: memompa, menempa

besi) (2,25)

2,55 2,85 5,25 6,05

Katagori III (contoh: mendorong kereta bermuatan) (3,25)

3,55 3,85 6,25 7,05

4 Pekerjaan dengan menggunakan gerakan tangan

Katagori I (contoh: pekerjaan

administrasi) (3,75)

4,05 4,35 6,75 7,55

Katagori II (contoh: membersihkan karpet, mengepel) (8,75)

9,05 9,35 11,75 12,55

Katagori III (contoh: menggali lubang, menebang pohon) (13,75)

14,05 14,35 16,75 17,55

Keterangan :

Aktivitas kerja: kategori pekerjaan + posisi badan

Contoh: Kategori 1.1 (pekerjaan dengan tangan pada posisi badan duduk, maka aktivitas kerja+ (0,3)+(0,3)= 0,6

Sumber: Permenaker No 13 Tahun 2011

Hasil pengukuran total beban kerja tersebut akan dibandingkan dengan pengelompokan beban kerja menurut Permenaker No 13 Tahun 2011 yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(51)

Tabel 2.2

Pengelompokan Beban Kerja Sesuai Dengan Kebutuhan Kalori Per Jam

Beban Kerja Jumlah Kalori Beban Kerja Ringan < 200 Kilo Kalori/Jam Beban Kerja Sedang 200- < 350 Kilo Kalori/Jam Beban Kerja Berat 350 - < 500 Kilo Kalori/Jam

Menurut hasil penelitian Vinallia (2011) terbukti dari hasil uji chi-square bahwa pengaruh antara beban kerja terhadap stres kerja menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna dengan nilai p = 0,008 atau (p<0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara beban kerja terhadap stres kerja. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siswanti (2004) mengatakan bahwa dari 170 responden yang diteliti, 75% diantaranya menyatakan bahwa beban kerja mereka sangat berat sehingga menyebabkan stres.

b. Shift Kerja/ Kerja malam

Penelitian menunjukkan bahwa kerja shift/ kerja malam merupakan sumber utama dari stres bagi pekerja pabrik Monk dan Tepas (1985) dalam Munandar (2008). Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/ siang dan dampak dari kerja shift terhadap


(52)

kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biological, karena gangguan ritme sirkadian dari tidur/ daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu dan ritme pengeluaran adrenalin.

Menurut Monk dan Folkard (1983) dalam Munandar (2008) ada tiga faktor yang harus baik keadaannya agar dapat berhasil menghadapi kerja shift : tidur, kehidupan social dan keluarga, dan ritme sirkadian. Faktor-faktor tersebut sangat berkaitan, sehingga salah satu dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang telah dicapai dengan kedua faktor lain.

Menurut Selye (1976) dalam Munandar (2008) para pekerja yang biasa bekerja shift lama kelamaan akan merasa berkurang stresnya secara fisik. Namun perlu diingatkan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan shift dimana tidak akan timbul kebiasaan-kebiasaan ini, yaitu pada pekerja rig lepas pantai yang bekerja bergantian shift siang dan malam selama 7 atau 14 hari berturut-turut tanpa adanya istirahat, dan kemuadian memperoleh istirahat 7 atau 14 hari cuti rumah (Sutherland dan Cooper 1986 dalam Munandar 2008).

Bagi seseorang pekerja, shift kerja berarti berada pada lokasi kerja yang sama, baik teratur pada saat yang sama (shift kerja kontinyu) atau pada waktu yang berlainan (shift kerja rotasi). Shift kerja berbeda dengan hari kerja biasa, dimana pada hari kerja


(53)

biasa, pekerjaan dilakukan secara teratur pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan shift kerja dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk memenuhi jadwal 24 jam/hari. Biasanya perusahaan yang berjalan secara kontinyu yang menerapkan aturan shift kerja ini (Nurmianto, 2004).

Menurut Fish (2000) mengemukakan bahwa efek bekerja pada (shift) malam hari pada pekerja antara lain:

1. Efek Fisiologis

a. Kualitas tidur: tidur siang tidak seefektif tidur malam, banyak gangguan dan biasanya diperlukan waktu istirahat untuk menebus kurang tidur selama kerja malam.

b. Menurunnya kapasitas fisik kerja akibat timbulnya perasaan mengantuk dan lelah.

c. Menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan. 2. Efek Psikososial

Efek ini menunjukkan masalah lebih besar dari efek fisiologis, antara lain adanya gangguan kehidupan keluarga, hilangnya waktu luang, kecil kesempatan untuk berinteraksi dengan teman, dan gangguan aktivitas kelompok dalam masyarakat.


(54)

3. Efek Kinerja

Kinerja menurun selama kerja malam yang diakibatkan oleh efek fisiologis dan efek psikolsosial. Menurutnya kinerja dapat mengakibatkan kemampuan mental menurun yang berpengaruh terhadap perilaku kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kendali dan pemantauan.

4. Efek Terhadap Kesehatan

Kerja malam menyebabkan gangguan gastrointestinal, masalah ini cenderung terjadi pada usia 40-45 tahun. Kerja malam juga dapat menjadi masalah terhadap keseimbangan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes.

c. Jam Kerja

Menurut standar HIPERKES, rata-rata jam kerja adalah 8 jam per hari. Sehingga penambahan jam kerja diluar standar dapat meningkatkan usaha adaptasi pekerja, yang kemudian dapat meningkatkan ekskresi katokholamin yaitu hormon adrenalin dan non-adrenalin (Munandar, 2008).

Menurut Breslow dan Buell (1960) yang dikutip dalam Suprapto (2008) melaporkan penemuannya yang mendukung hubungan antara jam kerja dengan stres yang kemudian


(55)

menyebabkan sakit jantung. Dalam sebuah investigasi terhadap kematian pria di California, mereka melakukan observasi pada pekerja di industry kecil yang berusia kurang dari 45 tahun, yang bekerja selama lebih dari 48 jam per minggu, memiliki resiko 2 kali lipat untuk terkena stres yang berakibat pada Penyakit Jantung Koroner (PJK) dibandingkan dengan pekerja yang bekerja 40 jam atau kurang dalam seminggunya.

Menurut penelitian Muhammad (2004) diketahui bahwa responden yang bekerja > 12 jam menunjukkan gejala stres sedang. Hasil uji statistik menunjukkan ada kecenderungan hubungan yang bermakna antara jam kerja dengan stres kerja. Namun, menurut Desy (2002) mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara waktu dalam bekerja dengan stres kerja.

d. Rutinitas

Rutinitas adalah pekerjaan rutin yang berulang-ulang sehingga menimbulkan kejenuhan karena bersifat monoton (Cooper dan Kelly, 1984 dalam Munandar, 2008). Pada pekerjaan yang sederhana dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya


(56)

perhatian. Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Airmayanti (2009) diketahui bahwa sebagian besar responden atau 55,2% menyatakan rutinitas pekerjaan membosankan dan berdasarkan perhitungan risk estimate diperoleh responden yang menyatakan membosankan memiliki peluang 2.615 kali untuk mengalami stres kerja berat dibandingkan dengan responden yang menyatakan tidak membosankan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Desy (2002) dari penelitiannya ditemukan ada hubungan yang bermakna antara rutinitas dalam bekerja dengan tingkatan stres kerja. Sedangkan menurut Soebakti (2006) dari hasil penelitian menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan stres kerja. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad (2004) dari hasil penelitiannya juga disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan timbulnya stres kerja. Hal ini perlu diketahui bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan stres kerja dapat disebabkan karena stressor yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian individu dalam hal ini sangat menentukan


(57)

apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956 dalam Widyasari, 2005).

Menurut Wantoro (1999) selain tuntutan kerja yang termasuk dalam faktor intrinsik pekerjaan adalah kondisi lingkungan fisik yang terdiri dari :

a. Kebisingan

Kebisingan merupakan suara-suara yang tidak dikehendaki. Kebisingan sangat mengganggu pekerja dalam bekerja, baik dalam hal pemusatan perhatian terhadap pekerjaannya maupun berkomunikasi dengan orang lain. Keadaan ini dapat mengganggu pendengaran, terjadinya kecelakaan kerja, menimbulkan terjadinya gangguan atau pengaruh psikologis dari pekerja dalam bentuk gangguan emosi, temperamen dan lain-lain. Paparan kebisingan dengan intensitas yang tinggi melebihi Nilai Ambang Batas yang ditetapkan pemerintah melalui Permenakertrans No. Per 13/MEN/X/2011 Tahun 2011 (85 dB untuk paparan 8 jam kerja sehari) akan membahayakan kesehatan pada telinga tenaga kerja (Yanri, 2002 dalam Nawawinetu dan Adriyani, 2007).

Menurut Nawawinetu dan Adriyani (2007) efek kebisingan dengan intensitas tinggi terhadap pendengaran berupa ketulian syaraf (Noise Induced Hearing Loss) telah banyak diteliti. Namun kebisingan selain


(58)

memberikan efek terhadap pendengaran (Auditory Effects) juga dapat menimbulkan efek buka pada pendengaran (Non Auditory Effects) dan efek ini bisa terjadi karena bising dianggap sebagai suara yang mengganggu sehingga respon yang timbul adalah stres akibat bising tersebut. Beberapa penelitian menunjukan bahwa absenteisme pada tenaga kerja yang terpapar bising lebih tinggi di banding yang tidak terpapar bising, namun belum jelas apakah ini disebabkan oleh efek psikologis dari stres (CCOHS, 2007 dalam Nawawinetu dan Adriyani, 2007).

Adapun menurut Kohen (1967) dalam Suprapto (2008) menemukan ada hubungan antara bising sebesar 95db dengan kelelahan dan stres dalam bekerja. Namun menurut Nugroho (2004) diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan stres kerja.

b. Suhu panas atau dingin

Pada suhu panas dan dingin, dapat menyebabkan pekerja mudah terkena kelelahan disamping pengaruh kesehatan lainnya. Efek suhu tempat kerja di dalam atau di luar ruangan, status kesehatan pekerja, kelembaban, kecepatan aliran udara, jenis pakaian yang digunakan dan lama pemaparan. Keadaan ini bila terjadi berlarut-larut menyebabkan pekerja tidak mampu bekerja dengan baik karena menurunnya gairah bekerja atau bila terpaksa bekerja maka dapat mengakibatkan stres


(59)

(Munandar,2008). Standar suhu lingkungan kerja menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu 18-300C. Suatu penelitian diperoleh bahwa hasil produktivitas kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24 derajat Celcius sampai 27 derajat Celcius ( Wigjosoebrato, 2003).

Menurut penelitian Siswanti (2004) yang dilakukan di PT. Pandu Dayatama Patria, dilaporkan bahwa 70% responden menyatakan bermasalah dengan panas, sehingga menyebabkan stres dan 39% menyatakan stres walaupun tidak mempermasalahkan panas. Hasil statistik menyatakan Pvalue sebesar 0,039 sehingga ada hubungan yang bermakna antara panas dengan stres kerja. Selain itu hasil OR sebesar 3,82 hal ini berarti pekerja yang merasakan panas, memiliki kecenderungan untuk terkena stres 3 kali lebih besar daripada pekerja yang tidak mempermasalahkan panas.

c. Pencahayaan

Terlalu kuatnya cahaya penerangan dapat menimbulkan dampak psikologis pada pekerja, seperti kelelahan dan pusing. Bahkan dapat menimbulkan kecelakaan kerja akibat silaunya penerangan di ruang kerja, begitu pula sebaliknya dengan penerangan yang suram (Munandar, 2008). Pencahayaan yang kurang atau terlalu berlebihan di tempat kerja menyulitkan pekerja untuk bekerja secara optimal, sehingga apabila hal ini terjadi dalam waktu yang lama dapat


(60)

menyebabkan seorang pekerja mengalami stres dan ketidaknyamanan dalam bekerja (Suprapto, 2008).

d. Radiasi

Sumber daya radiasi adalah sinar gamma, yaitu gelombang elektromagnet yang mampu menembus permukaan kulit tanpa terlihat oleh mata. Energi itu mampu merusak sel-sel hidup. Pemaparan radiasi tergantung dari dosis, waktu pemaparan dan jarak sumber ke pekerja. Selain memberi pengaruh buruk, radiasi juga menyebabkan rasa kurang aman bagi pekerja yang bekerja di tempat yang mengandung radiasi. Apabila hal ini tidak diperhatikan, maka dalam waktu-waktu tertentu hal tersebut tidak hanya berbahaya bagi pekerja, namun dapat menimbulkan keresahan dan stres dalam bekerja (Munandar, 2008).

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah.


(61)

Peranan dalam organisasi meliputi :

a. Pekerja tidak dapat berbuat banyak untuk mempengaruhi keputusan perusahaan yang menyangkut diri mereka sendiri, hal ini berakibat pada performa kerja dan menyebabkan timbulnya ketidaknyamanan dalam bekerja, contohnya pada kasus pemotongan gaji karyawan.

b. Pekerja tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan bersama-sama supervisor dan manajer perusahaan terhadap masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama-sama antara perusahaan dan karyawan.

Menurut Frenh dan Chaplan (1970) dalam Suprapto (2008) apabila seorang karyawan tidak diikut sertakan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan dirinya, maka hal tersebut dapat menyebabkan karyawan tersebut menjadi tidak betah dalam bekerja. Dari hasil penelitian diketahui bahwa seorang pekerja yang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memiliki hasil kerja yang lebih baik dan mengurangi tekanan dalam bekerja yang dapat menyebabkan stres.

3. Pengembangan Karir

Dalam praktek pengembangan karir lebih merupakan suatu pelaksaan rencana karir seperti yang diungkapkan oleh Handoko


(62)

(1985) bahwa pengembangan karir adalah peningkatan-peningkatan pribadi yang dilakukan seseorang untuk mencapai suatu rencana karir. Pengembangan karir karyawan menurut Andersen (1982) yang dikutip oleh Bida (1995) adalah memacu kepada aktivitas pekerjaan yang terus menerus, kelebihan jam kerja ketika melakukan berbagai pekerjaan dan berbagai macam pelatihan yang diberikan.

Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:

a. Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya b. Peluang mengembangkan keterampilan yang baru

c. Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karir

d. Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih dan promosi yang kurang. Pengembangan karir karyawan terkait dengan pembangkit stres, diantaranya(Munandar,2008) :

1. Kesempatan mendapat promosi kerja

2. Kesempatan mengembangkan bakat dan kreatifitas dengan menyalurkan ide dan usul atau saran pada perusahaan


(63)

3. Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan atau kursus di dalam atau di luar perusahaan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja

4. System reward, meliputi pemberian gaji, tunjangan dan penghargaan pada karyawan berprestasi tidak dijalankan perusahaan dengan baik.

a. Promosi

Promosi merupakan salah satu usaha perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pekerjanya. Peluang pekerja untuk mendapatkan promosi berbeda-beda tergantung kepada kebutuhan perusahaan (Munandar,2008). Adanya promosi untuk menghasilkan kepuasan kerja dan mencegah timbulnya stres pada tenaga kerja yang bertujuan mengurangi turn over. Dengan promosi kerja, mereka tidak hanya mencari peningkatan pendapatan, tetapi juga mencari peningkatan status dan tantangan yang ada dari pekerjaan yang baru. Bentuk promosi pada pekerja bermacam-macam, seperti kenaikan pangkat/jabatan, mendapatkan pendidikan atau pelatihan, mengikuti seminar atau simposium, dan lain-lain.

Menurut penelitian Siswanti (2004) diperoleh bahwa 64% responden menyatakan bahwa mereka merasakan stres, akibat dari ketidakpuasan terhadap promosi yang diberlakukan dan 43% menyatakan mengalami stres walaupun mereka sudah merasa puas


(64)

terhadap promosi yang diberlakukan. Hasil statistik menyatakan Pvalue sebesar 0,039, artinya ada hubungan yang bermakna antara kepuasan terhadap sistem promosi dengan stres kerja. Selain itu hasil OR sebesar 10,588 hal ini berarti pekerja yang tidak puas terhadap promosi yang diberlakukan, memiliki potensi terkena stres 10 kali lebih besar daripada pekerja yang merasa puas.

b. Kepuasan gaji

Gaji merupakan kompensasi yang diterima oleh pekerja apabila ia telah menyelesaikan pekerjaannya (Munandar, 2008). Sedangkan menurut Schultz (1998) salah satu penyebab tingginya turn over

pekerja disebabkan gaji yang mereka terima sewaktu bekerja tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Selain itu gaji dapat mempengaruhi motivasi pekerja. Berdasarkan teori dua faktor oleh Heizberg (1990) dalam Munandar (2008) menyatakan kepuasan bekerja sangat menentukan motivasi untuk bekerja, salah satu komponennya adalah upah.

Berdasarkan penelitian pada masyarakat di AS diketahui adanya diskriminasi dalam pemberian upah seperti pekerja golongan minoritas atau pekerja wanita mendapatkan gaji sedikit lebih rendah daripada pekerja golongan mayoritas atau pekerja laki-laki (Schultz, 1998). Menurut Nugroho (2004) dari penelitiannya disimpulkan bahwa 74,6% responden menyatakan bahwa mereka


(65)

tidak puas terhadap gaji yang diterima, sehingga menyebabkan stres dan 52,6% menyatakan mengalami stres walaupun puas terhadap gaji yang diterima. Hasil statistik menyatakan Pvalue sebesar 0,045 sehingga ada hubungan antara kepuasan pemberian gaji dengan stres kerja.

4. Hubungan dalam Pekerjaan

Harus hidup dengan orang lain, menurut Selye (1976) dalam Munandar (2008), merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang penuh stress. Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi (Argyris, 1964; Cooper, 1973 dalam Munandar 2008).

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketatalaksanaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerjaan dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurun dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya (Munandar, 2008).

Selain itu Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa hubungan baik pekerja di tempat kerja memiliki potensi penyebab terjadinya stres kerja, hal ini dimungkinkan karena adanya kecurigaan antara pekerja,


(66)

kurangnya komunikasi dan ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan sehingga memicu terjadinya stres kerja. Hal ini mengisyaratkan bahwa kemungkinan munculnya stres kerja pada hubungan interpersonal yang baik dapat terjadi, walaupun perlu ada pengkajian lebih lanjut lagi mengenai faktor ini.

Penelitian yang paling memperhatikan tentang masalah hubungan interpersonal dalam pekerjaan dilakukan oleh Kahn dkk. (1964), French dan Chaplan (1970) dan Buck (1972) dalam Suprapto (2008). Studi yang dilakukan Kahn dkk. dan French dan Chaplan menghasilkan sebuah kesimpulan yang sama, bahwa ketidakpercayaan seorang pekerja secara positif berhubungan dengan tingginya role ambiguity, kurangnya berkomunikasi dengan rekan kerja, ketegangan psikologi yang ditunjukkan dengan rendahnya kepuasan dalam bekerja dan tidak adanya perasaan menghilangkan ancaman dalam pekerjaan sebagai kesuksesan bersama.

Menurut penelitian Bida (1995) yang dilakukan pada karyawan Conoko dan Kontraktor di Blok B Kepulauan Natuna, dilaporkan bahwa 53,2% responden merasakan hubungan kerja yang buruk dengan atasan, sehingga menyebabkan stres dan 33,1% menyatakan stres tetapi memiliki hubungan kerja yang baik dengan atasan. Hasil statistik menyatakan Pvalue sebesar 0,00081 sehingga ada hubungan yang bermakna antara hubungan interpersonal dalam pekerjaan dengan stres kerja.


(67)

5. Struktur dan Iklim Organisasi

Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauhmana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada

support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik (Munandar, 2008).

Struktur dan iklim organisasi yang tidak baik dan kurang mendukung karyawan, biasanya dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam bekerja, yang akhirnya dapat menyebabkan stres Cooper (1989) dalam Munandar (2008). Struktur dan iklimtersebut meliputi: a. Kebijakan perusahaan yang terlalu ketat

b. Administrasi dan manajemen perusahaan yang terlalu birokratis c. Peraturan-peraturan perusahaan yang terlalu mengikat pekerja. Struktur dan iklim organisasi bukan termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja dapat disebabkan (Ivancevich, 1975 dalam Gibson dkk, 1996) :

a) Stresor pada pekerja berkaitan dengan perubahan fisik, psikologis dan emosional di dalam individu.

b) Tanggapan penyesuaian terhadap stresor pada pekerjaan telah ditentukan dengan mengukur diri (self-rating), penampilan prestasi dan pengujian biokimia


(68)

c) Tidak ada daftar stresor yang dapat diterima secara universal. Setiap organisasi memiliki penetapan sendiri yang unik.

d) Perbedaan-perbedaan individual menjelaskan mengapa suatu stresor yang mengganggu dan menggocang bagi seseorang berubah pada orang yang lain.

Menurut penelitian Putri (1998) yang dilakukan di PT. Bakrie dan Brothers, dilaporkan bahwa 61,1% responden menyatakan menganggap struktur dan iklim organisasinya buruk, sehingga menyebabkan stres dan 48,4% menyatakan stres tetapi iklim dan struktur organisasinya baik. Hasil statistik menyatakan Pvalue sebesar 0,0459 sehingga ada hubungan yang bermakna antara iklim dan struktur organisasi dengan stres kerja.

Sedangkan menurut Munandar (2008) faktor-faktor lain yang menyebabkan stress (stesor) berdasarkan model stres yang dikemukakan oleh Cooper (1989) adalah :

1. Tuntutan dari luar pekerjaan

Faktor ini menyangkut segala aspek kehidupan pekerja sehari-hari, mulai dari keluarga, orang tua, istri, anak, sahabat sampai dengan masyarakat disekitarnya. Isu-isu tentang keluarga, kesulitan ekonomi, keyakinan, konflik dalam keluarga, konflik dengan tetangga di sekitarnya dan konflik dengan orang tua, dapat menjadi pemicu timbulnya stres yang berakibat pada performa dalam bekerja.


(69)

2. Ciri-ciri Individu

Banyak literatur yang mengatakan bahwa stres lebih sering diakibatkan oleh lingkungan disekitar individu. Menurut pandangan interaktif dari stres, terkadang stres ditentukan pula oleh individunya sendiri dan sejauh mana ia melihat situasinya sebagai stres (Munandar, 2008). Menurut Cooper (1989) dalam Munandar (2008) dalam faktor-faktor individu yang dapat mempengaruhi stres, antara lain:

a. Kepribadian

Ketika berbicara tentang stres pada pekerja, maka kita akan melihat bagaimana seseorang memandang stres sebagai suatu gangguan, sehingga stres sangat bergantung kepada kepribadian individu yang terkena stres tersebut. Seseorang yang berkepribadian

introvert bereaksi lebih negatif dan memilki ketegangan lebih besar daripada individu yang berkepribadian ekstrovert.

b. Kecakapan

Kecakapan merupakan variabel yang ikut menentukan stres tidaknya sesuatu yang ia hadapi. jika seseorang menghadapi masalah yang ia rasakan tidak mampu ia pecahkan sedangkan situasi tersebut penting, maka hal tersebut akan dirasakan sebagai sesuatu yang mengancam sehingga dapat memicu terjadinya stres. Ketidakmampuan individu dalam menyelesaikan masalah sehingga


(70)

menyebabkan stres berkaitan dengan kecakapan dan kemampuan seseorang dalam menghadapi stres.

c. Nilai dan kebutuhan

Setiap organisasi dan perusahaan memiliki budaya dan nilai masing-masing. Para tenaga kerja diharapkan dapat mengikuti nilai dan budaya yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Proses sosialisasi pekerja dalam mengikuti nilai dan budaya tidak sepenuhnya berhasil. Bagi pekerja yang gagal biasanya akan mengundurkan diri. Dan bila ada yang tidak mengundurkan diri karena tidak adanya pekerjaan lain atau karena sebab lain maka tenaga kerja tersebut akan mengalami stres (Munandar, 2008).

3. Umur

Hubungan antara umur dengan stres memiliki kesamaan dengan hubungan antara masa kerja dengan stres. Namun, tidak selamanya umur dengan stres kerja dihubungkan dengan masa kerja. Ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan umur, terutama yang berhubungan dengan sistem indera dan kekuatan fisik. Biasanya pekerja yang memiliki umur lebih muda memiliki penglihatan dan pendengaran yang lebih tajam, gerakan yang lebih lincah dan daya tahan tubuh yang lebih kuat. Namun, untuk beberap jenis pekerjaan lain, faktor umur yang


(71)

lebih tua, biasanya memiliki pengalaman dan pemahaman bekerja yang lebih banyak. Sehingga pada jenis pekerjaan tertentu umur dapat menjadi kendala dan dapat memicu terjadinya stres (Munandar, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cardiff University (2000) yang dikutip dalam Suprapto (2008) terhadap faktor-faktor demografi yang mempengaruhi timbulnya stres kerja, disimpulkan bahwa umur memiliki hubungan dengan timbulnya stres kerja. Dalam penelitian ini, umur dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu usia 18-32 tahun, 33-40 tahun, 41-50 tahun dan diatas usia 51 tahun. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kategori usia 41-50 tahun memiliki persentase terbesar untuk terkena stres tingkat tinggi (20,8%). Sedangkan untuk kategori umur yang memiliki persentase terbesar yang mengalami stres tingkat rendah adalah usia 18-32 tahun dan usia 51 tahun keatas (83%). Hal ini disebabkan pada usia awal perkembangan keadaan emosi seseorang masih lebih labil. Sedangkan pada usia lanjut biasanya daya tahan tubuh seseorang sudah mulai berkurang sehinga sangat berpotensi untuk terkena stres.

Selain itu menurut Minner (1992) dalam Luthfiyah (2011) pekerja mungkin menjadi kurang kompeten setelah usia mereka menginjak 40 tahun atau lebih. Pengurangan itu cenderung pada tugas yang menekankan kecepatan, seperti misalnya kecepatan respon otot atau persepsi visual. Berhubungan dengan kematangan seseorang secara psikologis maupun fisik. Pekerja yang umurnya lebih tua sering gagal untuk mempelajari keahlian baru secara besar karena mereka tidak


(72)

percaya pengetahuan diperlukan, daripada karena kurangnya kemampuan mereka.

Berdasarkan penelitian Airmayanti (2009) yang dilakukan pada pekerja bagian produksi PT ISM Bogasari Flour Mills Tbk diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan stres kerja.

4. Masa Kerja

Masa kerja mempunyai potensial terjadinya stres kerja sesuai pendapat Robbins (1998) dalam Supardi (2007) berdasarkan teori pola hubungan U terbalik yang memberikan reaksi terhadap stres sepanjang waktu dan terhadap perubahan intensitas stres baik masa kerja yang lama maupun sebentar dapat menjadi pemicu terjadinya stres kerja dipeberat dengan beban kerja yang besar.

Menurut Munandar (2008) bahwa masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja sangat berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja di atas 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja.

Selain itu menurut Cook (1997) bahwa stres dapat dipicu oleh buruknya hubungan antara sesama pekerja, meskipun seorang atasan, atau hanya staf. Apabila hubungan antar sesama pekerja telah dibangun


(1)

4.

Promosi

PromKat * StresKerBr Crosstabulation StresKerBr

Total Stres Berat Stres Ringan Tidak Stres

PromKat Tidak memuaskan Count 13 17 6 36

% within PromKat 36.1% 47.2% 16.7% 100.0%

Memuaskan Count 3 17 9 29

% within PromKat 10.3% 58.6% 31.0% 100.0%

Total Count 16 34 15 65

% within PromKat 24.6% 52.3% 23.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 6.168a 2 .046

Likelihood Ratio 6.587 2 .037

Linear-by-Linear Association 5.344 1 .021

N of Valid Cases 65

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,69.


(2)

5.

Gaji

GajiKat * StresKerBr Crosstabulation StresKerBr

Total Stres Berat Stres Ringan Tidak Stres

GajiKat Tidak sesuai Count 13 18 9 40

% within GajiKat 32.5% 45.0% 22.5% 100.0%

Sesuai Count 3 16 6 25

% within GajiKat 12.0% 64.0% 24.0% 100.0%

Total Count 16 34 15 65

% within GajiKat 24.6% 52.3% 23.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 3.703a 2 .157

Likelihood Ratio 3.967 2 .138

Linear-by-Linear Association 1.538 1 .215

N of Valid Cases 65

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,77.

6.

Hubungan dalam Pekerjaan

HubKerjaKat * StresKerBr Crosstabulation StresKerBr

Total Stres Berat Stres Ringan Tidak Stres

HubKerjaKat Baik Count 16 34 15 65

% within HubKerjaKat 24.6% 52.3% 23.1% 100.0%

Total Count 16 34 15 65


(3)

Chi-Square Tests Value

Pearson Chi-Square .a

N of Valid Cases 65

a. No statistics are computed because HubKerjaKat is a constant.

7.

Struktur dan Iklim Organisasi

StrukturKat * StresKerBr Crosstabulation StresKerBr

Total Stres Berat Stres Ringan Tidak Stres

StrukturKat Buruk Count 12 18 6 36

% within StrukturKat 33.3% 50.0% 16.7% 100.0%

Baik Count 4 16 9 29

% within StrukturKat 13.8% 55.2% 31.0% 100.0%

Total Count 16 34 15 65

% within StrukturKat 24.6% 52.3% 23.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4.010a 2 .135

Likelihood Ratio 4.152 2 .125

Linear-by-Linear Association 3.814 1 .051

N of Valid Cases 65

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,69.


(4)

8.

Umur

Ranks

StresKerBr N Mean Rank

Umur Stres Berat 16 44.78

Stres Ringan 34 27.84

Tidak Stres 15 32.13


(5)

Test Statisticsa,b Umur

Chi-Square 8.809

df 2

Asymp. Sig. .012

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: StresKerBr


(6)

Ranks

StresKerBr N Mean Rank

MasaKer Stres Berat 16 38.91

Stres Ringan 34 30.19

Tidak Stres 15 33.07

Total 65

Test Statisticsa,b MasaKer

Chi-Square 2.325

df 2

Asymp. Sig. .313

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: StresKerBr