Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan

commit to user bahwa fungsi dan tujuan ini sering diujarkan dengan bahasa Jawa dan didominasi pelanggaran maksim kuantitas. Berdasar uraian fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa fungsi bekerja sama dan bertentangan tidak ditemukan karena kedua fungsi tersebut tidak mengandung unsur kesopanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Geoffrey Leech 1995: 163 yang mengungkapkan bahwa fungsi bekerja sama tidak relevan dengan sopan santun dan biasanya ditemukan dalam wacana tulis, sedangkan fungsi bertentangan tidak mengandung unsur kesopanan. Begitu pula dengan tujuan asertif dan deklarasi juga tidak ditemukan dalam penelitian ini karena tidak mengandung unsur kesopanan. Ketidaktemuan ini sesuai pendapat Geoffrey Leech 1995: 164-165 yang menjelaskan bahwa asertif lebih bersifat netral dan deklarasi hanya sekadar ujaran bersifat kelembagaan tanpa mementingkan unsur kesopanan.

3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan

Secara garis besar dalam penelitian ini, prinsip sopan santun dianggap sebagai piranti ‘alat’ untuk menjelaskan alasan penutur sering menggunakan tuturan yang mengandung maksud tersembunyi agar lebih santun dapat dilihat pada pernyataan wali kelas lampiran 5. Tetapi, hal tersebut masih terbagi sesuai kemampuan mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan konteks yang melingkupnya untuk mengetahui alasan penutur menggunakan tuturan berimplikatur. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech 1993: 19-21 yang membagi unsur situasi ujar dibagi atas lima bagian yaitu: 1 penutur dan mitra tutur; 2 konteks tutur; 3 tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan; 4 tujuan tuturan; dan 5 tuturan sebagai produk tindak verbal. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tiga unsur konteks yang menjadi alasan penutur melanggar prinsip kerjasama yang secara keseluruhan mementingkan prinsip sopan santun yaitu: 1 unsur konteks tutur, 2 penutur dan mitra tutur, serta 3 tujuan tuturan. Ketiga alasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. commit to user a. Konteks tutur Konteks tutur ialah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Dengan kata lain, setiap implikatur percakapan yang digunakan guru maupun peserta didik secara tidak langsung memperhatikan latar pengetahuan atau budaya masyarakat masing-masing peserta tutur. Hal ini sesuai pendapat Syaiful Bahri Djamarah 2005:11 mengungkapkan bahwa proses interaktif edukatif dalam pembelajaran haruslah menggambarkan percakapan dua arah antara guru dan peserta didik yang mengandung norma pengantar tingkah laku yang sesuai pengetahuan peserta didik. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tuturan penutur yang melanggar maksim gabungan hubungan dan cara jika pengetahuan mitra tutur yang mendukung tujuan pembelajaran, dan melanggar maksim kuantitas dan kualitas jika pengetahuan mitra tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran. Kesamaan pengetahuan penutur dan mitra tutur sangat mempengaruhi penutur dalam mengarahkan mitra tutur untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satunya pada data [9] saat guru memperingatkan peserta didik untuk tidak songgo uwang ‘bertopang dagu’. Masyarakat jawa menganggap songgo uwang mencerminkan kesusahan menerima sesuatu atau sikap yang mengacuhkan mitra tutur sehingga dianggap tidak menghargai orang lain. Untuk itu, guru mengunakan tuturan yang tidak berhubungan dengan mitra tutur dan bersifat umum agar tidak terkesan memerintah, menyakinkan, dan memperingatkan mitra tutur. Uraian tersebut sesuai dengan penelitian Alan H. Monroe dalam Jalaluddin Rakhmat 2001: 298 bahwa cara pertama yang perlu dilakukan penutur untuk mempengaruhi mitra tutur adalah mengujarkan hal menarik perhatian mitra tutur dan diakhiri dengan usaha menyisipkan dorongan untuk melakukan tindakan. E. Mulyasa 2006: 115 juga mengungkapkan bahwa cara menarik perhatian peserta didik dengan memberi selingan sesuai kehidupan peserta didik bahkan sesekali dengan humor yang menunjang pembelajaran. Sedangkan saat penutur menghadapi konteks pengetahuan mitra tutur tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan tuturan yang seolah-olah commit to user menyetujui dan dilanjutkan pengetahuan baru yang diakhiri jeda panjang untuk memastikan mitra tutur menyetujuinya. Secara singkat, guru menggunakan tuturan yang melanggar dua maksim sekaligus yaitu maksim kuantitas dan kualitas saat menghadapi konteks ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cohen dalam Jalaluddin Rakhmat 2001: 298 yang menyimpulkan urutan tuturan yang pro-kontra lebih efektif dalam memperhalus nasihat, jaminan dan sindiran pada mitra tutur dibanding kritik langsung. Untuk itulah guru biasanya bekerja sama dengan wali murid agar materi yang diajarkan di kelas mudah diterima karena juga diajarkan di lingkungan keluarga. Uraian tersebut sesuai pendapat Mulyasa 2005: 54 yang menyatakan bahwa salah satu peran guru dalam pembelajaran adalah “pemindah kemah” yang secara tidak langsung menuntut guru untuk mampu mengetahui masalah peserta didik, kepercayaan, dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan, serta membantu menjauhinya untuk mandapatkan cara baru yang lebih sesuai tujuan pembelajaran. b. Penutur dan mitra tutur Hasil data penelitian yang didapat mengenai alasan penggunaan implikatur percakapan di kelas V sangat berkaitan dengan kondisi mental penutur dan mitra tutur. Hal ini terlihat saat guru menggunakan bahasa Jawa krama terutama dalam penggunaan kata kerja untuk menghormati pendapat peserta didik. Desi Ratnasari 2007: 3 menerangkan bahwa aturan tingkat tutur bentuk karma dalam kata kerja digunakan untuk menyebutkan tindakan orang yang posisinya lebih tinggi dihormati sehingga tidak boleh meninggikan diri sendiri. Markhamah 2004: 61 juga menguraikan bahwa penutur juga perlu memperhatikan aspek nonlinguistik yaitu sosial, ideologi, latar belakang kultural, partisipan dan pendidikan mitra tutur. Hal ini dapat terlihat pada data [67] saat peserta didik mencoba menuturkan pendapatnya dalam bahasa Indonesia “anak kecil” disbanding kata cah cilik.. Masyarakat Jawa mengganggap kata cah ‘anak’ hanya sopan jika diucapkan oleh orang yang lebih tua dari mitra tutur. Secara rinci, penutur takut menyinggung perasaan mitra tutur dengan melanggar maksim hubungan, dan penutur merasa tidak percaya dengan mitra tutur dengan melanggar maksim kualitas. commit to user Peserta didik kelas V dianggap memiliki perasaan halus sehingga perlu dijaga “muka” agar tidak tersinggung. Hal ini sesuai pendapat Ronald L. Partin 2009: 19 yang memberikan salah satu cara mengajak peserta didik aktif dalam pembelajaran adalah mengurangi iklim kelas kompetitif yang destruktif dan mengkritik secara langsung di depan peserta didik lain. Oleh karena itu, satu cara yang sering ditemukan dalam penelitian ini adalah melanggar maksim hubungan yang berusaha mengaitkan tuturan yang dianggap orang lain pihak ketiga tidak berhubungan agar penutur terkesan memerintah, memaksa, menyalahkan, sombong atau mengekang mitra tutur. Karaktistik peserta didik kelas V ini juga sangat antusias dalam merespon tuturan guru sehingga membuat guru merasa tidak sopan untuk memerintah, memaksa, atau menyalahkan pendapat peserta didik. Karena itulah dalam penelitian ini, guru sering menggunakan tuturan yang melanggar maksim kualitas dengan menyamakan tuturan peserta didik yang “memancing pembetulan pengetahuan yang dimiliki mitra tutur. Hal ini membuat mitra tutur lebih merasa dihargai meskipun sebenarmya penutur tidak mempercayai tuturan mitra tutur. Hasil penelitian Torane dalam Jack C. Richard 1995: 21 juga menyimpulkan salah satu cara yang digunakan untuk membetulkan konsep yang belum sesuai dengan penutur adalah menghindarkan topik melalui tuturan yang membuat mitra tutur menyadari konsep yang benar untuk memancing pembetulan dari mitra tutur. c. Tujuan Tuturan Ujaran berimplikatur percakapan menjadi suatu hal yang penting dibandingkan ujaran langsung dalam suatu pembelajaran. Hal ini karena berkaitan pencapaian tujuan tuturan terhadap mitra tutur dengan pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Dalam penelitian ini ditemukan alasan penutur menggunakan implikatur percakapan adalah penutur mengacu pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang ingin dicapai yang biasanya ditandai dengan melanggar maksim kuantitas. Yang kedua karena penutur memperhatikan keefektifan pembelajaran melalui pelanggaran maksim cara. commit to user Pelanggaran maksim kuantitas berdasarkan tuturan atau tujuan yang telah diketahui kedua belah pihak penutur dan mitra tutur sebagai keterangan maksud tuturan yang tersirat. Hal ini sesuai dengan hasil penyelidikan Pawley dalam Jack C. Richard 1995: 23 yang menemukan bahwa percakapan yang tidak bertata bahasa lengkap berisi klausa yang menunjukkan konsep atau fungsi percakapan yang dikenali melalui kebenaran kultural dan reaksi sebelumnya. Kaitannya dengan pembelajaran, E. Mulyasa 2006: 43 menyebutkan bahwa guru merupakan orang kepercayaan bagi peserta didik sehingga setiap tuturan guru dianggap sebagai suatu kebenaran oleh peserta didik. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat Jawa yang masih memegang “jarwa dhosok” guru iku digugu lan ditiru yang sangat mempercayai guru dan menganggap guru adalah teladan bagi peserta didik. Contohnya pada data [72], guru memberikan nasihat yang sebenarnya hanya memperjelas tuturan salah satu peserta didik sebelumnya, tetapi justru disepakati oleh seluruh peserta didik. Pelanggaran maksim tersebut sangat mementingkan kejujuran, meskipun informasi yang disampaikan kurang atau melebihi yang diinginkan mitra tutur sehingga tetap sopan. Dalam penelitian ini, keefektifan pembelajaran merupakan alasan yang digunakan penutur untuk melanggar maksim cara saat menjelaskan suatu hal agar tidak terkesan memerintah, memaksa, menyombongkan diri, dan mengekang mitra tutur. Pelanggaran maksim ini berhubungan dengan keefektifan waktu dan strategi pembelajaran yang didukung tuturan guru atau peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Grice dalam Geoffrey Leech 1993: 11 bahwa tujuan dapat tidak tercapai jika informasi yang diberikan terkesan menggurui atau cara bertutur kurang menarik. Sependapat dengan pendapat tersebut, Made Wena 2009: 12 menyatakan bahwa guru dituntut mampu merancang waktu dan strategi sesuai kondisi pembelajaran. Selain menggunakan implikatur percakapan, dalam pembelajaran ini juga ditemukan tuturan berbahasa Jawa untuk lebih memudahkan pemahaman mitra tutur terhadap tuturan mitra tutur. Hal ini sesuai hasil penelitian Siregar dalam Markhamah 2004: 62 yang menemukan perbedaan sikap seseorang yang commit to user diajak berbicara dengan bahasa Jawa mengenai persoalan dinas yang seharusnya dibicarakan dengan bahasa Indonesia dan sebaliknya, persoalan yang seharusnya dibicarakan dengan bahasa Jawa, tetapi dibicarakan dengan bahasa Indonesia. Begitu halnya dengan peserta didik yang lebih mudah memahami materi pembelajaran dengan penjelasan bahasa Jawa terutama jika materi tersebut masih asing bagi peserta didik. Sri Suwarni selaku wali kelas V juga mengakui penggunaan bahasa Jawa sangat dominan dalam tuturan berimplikatur percakapan saat pembelajaran bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara guru dan peserta didik yang menggunakan tuturan berimplikatur percakapan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa alasan penggunaan tuturan tersebut dilakukan untuk menjaga perasaan mitra tutur berdasar kompetensi yang diingin dicapai. Hal ini terbukti setelah peneliti menggunakan wawancara dengan 6 peserta didik dan wali kelas V yang berperan sebagai penutur sekaligus mitra tutur secara keseluruhan memaklumi dan mengerti maksud tersembunyi tuturan berimplikatur percakapan hanya dengan mengaitkan tuturan berimplikatur percakapan tersebut dengan tuturan sebelumnya. Dari pernyataan enam peserta didik tersebut juga dapat diketahui bahwa implikatur percakapan yang digunakan guru membuat keenam peserta didik tersebut tidak merasa takut untuk mengungkapkan pendapatnya, meskipun pernah dimarahi atau disindir saat melakukan kesalahan. Dan jika ditemukan beberapa peserta didik sebagai mitra tutur tidak mengerti maksud tersembunyi tersebut lebih dikarenakan peserta didik tersebut yang tidak masuk sekolah, sehingga guru kesulitan untuk menyamakan stimulus yang akan diberikan kepada peserta didik. Untuk itulah jika seorang penutur belum mengetahui karakteristik dan kebiasaan mitra tutur sebaiknya penggunaan implikatur percakapan dihindari. Hal ini agar tidak terjalin kesalahpahaman yang justru membuat mitra tutur tersinggung. Selain penggunaan implikatur percakapan dan bahasa campuran bahasa Jawa dan Indonesia mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan peserta didik yang empat peserta didik dari enam peserta didik yang diwawancarai menjawab dengan bahasa campuran dan melanggar prinsip kerjasama seperti pelanggaran maksim kuantitas. commit to user

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data penelitian terhadap adanya implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo seperti yang dijelaskan pada bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Wujud implikatur percakapan yang ditemukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagian besar dituturkan dalam bahasa Jawa dan terdiri atas enam pelanggaran prinsip kerja sama yang didominasi oleh pelanggaran maksim kuantitas berdasar respon mitra tutur baik berupa ujaran maupun tindakan. Keterkaitan penggunaan implikatur percakapan dengan penerapan maksim sopan santun dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: 1 penerapan maksim kearifan didominasi pelanggaran maksim cara; 2 penerapan maksim kedermawanan didominasi pelanggaran maksim kualitas; 3 penerapan maksim pujian didominasi pelanggaran maksim kualitas; 4 penerapan maksim kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim hubungan; 5 penerapan maksim kesepakatan didominasi pelanggaran maksim kuantitas; 6 penerapan maksim gabungan kearifan dan pujian didominasi pelanggaran maksim gabungan kuantitas dan kualitas; 7 penerapan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan didominasi pelanggaran gabungan kuantitas dan kualitas; 8 penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara; dan 9 penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan didominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara. 2. Pelanggaran prinsip kerja sama dalam penerapan prinsip sopan santun saat interaksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V memiliki beberapa fungsi dan tujuan antara lain: 1 implikatur percakapan yang berfungsi 156

Dokumen yang terkait

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

44 305 144

Implikatur Percakapan pada Novel "99 Cahaya di Langit Eropa" Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

3 19 126

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDARLAMPUNG

1 11 207

Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia studi kasus di SD negeri Pondok 03 kecamatan Nguter kabupaten Sukoharjo

0 4 317

METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SD NEGERI Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Role Playing Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Negeri Drajitan Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Tahun Pel

0 3 10

PENDAHULUAN Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 8

PENUTUP Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 5

Implikatur percakapan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5 sd Ta'mirul Islam Surakarta 1. COVER

0 0 17

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

0 2 13

Implikatur dalam Percakapan Tertulis Bahasa Inggris SMA

0 0 17