Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD

commit to user tuturan sengaja dikaburkan oleh penuturnya. Agaknya demikian juga, penafsiran implikatur percakapan anak usia SD yang masih berada dalam proses usaha menguasai bahasa Indonesia. Satu tuturan yang berupa bilingual bahasa Indonesia atau bahasa daerah untuk mengekspresikan suatu satuan pragmatis dimungkinkan dapat menyiratkan satu atau lebih satuan pragmatis lain sebagai implikasi pragmatis yang mewujudkan implikatur percakapan pada mitra tutur. Dengan demikian, kegiatan pemecahan implikatur percakapan dengan pragmatik yang mencakup penafsiran dari sudut pandang penutur maupun mitra tutur adalah kondisi ideal karena pada kenyataannya beberapa kondisi sudah terjalin saling pengertian sebelum hipotesis dibuat karena adanya pengenalan latar dan kebiasaan pelaku tuturan sehingga mudah mengetahui maksud penutur dan lebih konsisten jika dilakukan dengan tahap pemahaman ilokusi yang benar. Jika hal ini dapat dikuasai oleh guru dalam pembelajaran di kelas, maka guru akan dengan mudah mengarahkan arah interaksi di kelas sesuai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selain itu, peserta didik juga dapat belajar memahami ujaran implikatur percakapan melalui kebiasaan yang diterapkan guru saat kegiatan belajar mengajar di kelas.

2. Percakapan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD

a. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD

Ilmu pendidikan merupakan upaya penerapan akal budi, nilai-nilai, norma, etika, dam moral dengan cara yang paling bernalar yang bertujuan membentuk watak dan karakter individu, bukan sekedar pengembangan aspek kognitif melainkan juga mencakup ketajaman olah rasa dan keterampilan Agus Salim, 2007: 77. Hal ini terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang dipandang sebagai suatu proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar bahasa Indonesia dalam suatu lingkungan belajar. Apabila sumber belajar dipilih berdasarkan pertimbangan prinsip pengembangan standar kompetensi dan kompetensi dasar, maka pembelajaran bahasa Indonesia dapat berfungsi sebagai pengembang potensi peserta didik dan bahasa Indonesia. Pendekatan pembelajaran terpadu menjadi salah satu alternatif yang dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tingkat sekolah dasar commit to user yang lebih menekankan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran Toho Motahir dkk., 2001: 7. Hanya saja terdapat perbedaan cara pengembangan sumber belajar berdasarkan kompetensi yang terdapat pada masing-masing jenjang kelas di SD. Pertama, pengembangan sumber belajar untuk peserta didik kelas rendah kelas I, II, dan III yang masih memandang segala sesuatu sebagai satu keutuhan fisik, mental, sosial dan emosional melalui pembelajaran tematik misalnya tema lingkungan menjadi sumber belajar peserta didik kelas I untuk mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, IPS dan IPA. Kedua, sumber belajar untuk peserta didik sekolah dasar kelas tinggi kelas IV, V, dan VI berdasarkan tuntutan kompetensi dan pengalaman belajar yang dilaksanakan dengan merumuskan kompetensi dasar, indikator dan pengalaman belajar kemudian sumber belajar. Sehingga sumber belajar dikembangkan untuk memberikan pengalaman belajar yang memiliki beberapa indikator kompetensi dasar, misalnya peserta didik dapat menggunakan kata ‘transportasi’ dalam kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan baik secara lisan berbicara maupun tertulis menulis. Karakteristik pembelajaran bahasa adalah sarana komunikasi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan Markhamah, 2004: 58. Artinya, pembelajaran bahasa menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi sekaligus menjadi pendekatan yang menekankan aspek kemahiran dan fungsi bahasa. Sehingga tak heran jika sejak sekolah dasar, peserta didik telah diajari keterampilan suatu bahasa baik bahasa pertama daerah maupun bahasa kedua bahasa Indonesia, hanya saja tak jarang terjadi ”kesalahan berbahasa” dengan mencampur, bahkan menyederhanakan ragam baku akibat pengaruh bahasa nonbaku sehari-hari Sumarsono, 2009: 148. Untuk itu, pragmatik diperlukan dalam pembelajaran berbahasa kelas V seharusnya mencakup empat macam kompetensi yaitu kompetensi gramatikal grammatical competence, kompetensi sosiolinguistik sociolinguistic competence sebagai pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana discourse competence sebagai kemampuan menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategi strategi competence sebagai kemampuan pengungkapan gagasan sesuai aturan bahasa. Sehingga “kesalahan commit to user ragam baku” tersebut dapat hilang setelah peserta didik mengetahui cara menyampaikan maksud dengan bahasa yang baik dan benar sekaligus sopan. Paparan di atas juga sesuai dengan pendapat Jack C. Richard 1995:103 yang menyatakan bahwa perkembangan dari kompetensi gramatikal menjadi komunikatif dalam pembelajaran bahasa formal adalah pengaturan belajar mengajar dengan menciptakan konteks sebagai perwujudan dan penafsiran tuturan. Sehingga, pembelajaran bahasa seharusnya mengakomodasi kebutuhan berbahasa secara praktis sesuai dengan kondisi yang nyata lingkungan fisik maupun kultural. Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik, proses pembelajaran bahasa yang diterima oleh peserta didik secara otomatis akan mengacu pada suatu kondisi praktis tindak komunikasi yang tetap menekankan perlunya kesopanan berbahasa. Untuk itu, orientasi pembelajaran yang seperti ini juga akan menuntut penyesuaian pada berbagai aspek pembelajaran, dari kurikulum sampai tataran praktis pembelajaran. Sekaligus semua warga sekolah dikondisikan dan didisiplinkan untuk berbahasa dengan sopan. Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran bahasa adalah peserta didik memiliki keterampilan berbahasa. Prestasi belajar berbahasa peserta didik merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses kegiatan yang merupakan interaksi sejumlah komponen belajar-mengajar dengan diri peserta didik. Kemudian dihubungkan dengan norma tertentu yang distandarisasi serta terukur sesuai tujuan pembelajaran berbahasa. Secara singkat, seseorang dikatakan terampil berbahasa apabila ia terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Terkhusus untuk keterampilan berbicara, St. Y. Slamet 2008: 35 menjelaskan bahwa keterampilan ini merupakan tingkah laku yang harus dipelajari terlebih dahulu, kemudian baru bisa dikuasai. Untuk menguasai keterampilan ini, peserta didik dituntut penguasaan kosakata yang cukup memadai, pengetahuan dan penguasaan ucapan dan ejaan bahasa yang baku, dan pengetahuan tentang penggunaan kalimat, klausa, dan frasa yang tepat dalam pembelajaran bahasa Indonesia sejak sekolah dasar. Senada dengan pendapat di atas Deborah Schiffrin 2007: 567 menegaskan bahwa pengetahuan penutur dan mitra tutur dalam hal ini adalah guru dan peserta commit to user didik sangat penting dalam komunikasi karena saling terkait dengan situasi ujaran atau dapat juga disebut konteks. Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di kelas V sekolah dasar tidak menjamin kontribusi dan korelasi maksimal untuk menumbuhkan kesadaran penggunaan bahasa secara sopan, sistematis, teratur, mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus diakui belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari jika pembelajaran tersebut masih bersifat kurang komunikatif dan kognitif yang berakibat perilaku berbahasa menjadi tidak mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi monoton sehingga membuat peserta didik merasakan gejala kejenuhan saat belajar bahasa Indonesia. Padahal, suatu pembelajaran bahasa dapat dikatakan telah berorientasi pada penggunaan bahasa pada tataran praktik jika dari program, materi bahan, ragam bahasa, dan penciptaan situasi atau konteks serta target akhir dari pembelajaran bahasa adalah “peserta didik mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis” BSNP, 2006: 376-377. Hal yang sama juga diutarakan E. Mulyasa 2003: 149 bahwa pembelajaran efektif yang ditandai pemberdayaan peserta didik secara aktif dan melatih sekaligus menanamkan sikap demokratis bagi peserta didik. Sebagaimana yang telah dipaparkan, membuktikan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar terutama kelas V yang telah memperhatikan kesantunan berbahasa seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik baik lisan maupun tulisan dalam berbagai fungsi dan konteks yang bermakna atau tidak dalam bentuk kalimat-kalimat lepas. Di sinilah guru menjadi komponen pembelajaran yang penting untuk contoh konkret berbahasa peserta didik kelas V yang tercermin dalam delapan keterampilan mengajar yaitu keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kecil, mengelola kelas, serta mengajar kelompok kecil dan perorangan. Aspek nonlinguistik yang harus diperhatikan guru saat bertutur dalam commit to user pembelajaran bahasa yaitu sosial jenis kelamin, umur dan status sosial, ideologi agama dan kepercayaan, latar belakang kultural kebiasaan dan adat istiadat, partisipan dan pendidikan Markhamah, 2004: 61. Guru seharusnya dapat mengarahkan peserta didik untuk menyadari adanya faktor-faktor penentu tersebut saat tindak berbahasa. Dalam hal ini, Jack C. Richard 1995: 31 menegaskan jika terjadi kesalahan penggunaan kemampuan gramatikal, ilokusioner dan sosial dalam komunikasi maka akan menimbulkan kesalahpahaman atau konflik komunikasi. James M. Heslin 2006: 44 juga mengungkapkan bahwa ketidaktahuan tentang faktor penentu bahasa akan mengakibatkan penutur tidak berhasil mencapai kesederhanaan komunikasi sekaligus beresiko menyinggung perasaan mitra tutur. Untuk itu, kemampuan mengkaji hal-hal di luar bahasa akan sangat membantu peserta didik kelas V dalam mengaplikasikan kompetensi berbahasa yang dimiliki secara praktis dalam kondisi senyatanya. Komunikasi kelas yang terjadi saat di sekolah dasar perlu diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat pragmatis yaitu pengguna dalam hal ini guru dan peserta didik dapat menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian, diharapkan peserta didik akan lebih dapat mengaktualisasikan kemampuan berbahasa yang sopan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

b. Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD

Dokumen yang terkait

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

44 305 144

Implikatur Percakapan pada Novel "99 Cahaya di Langit Eropa" Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

3 19 126

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDARLAMPUNG

1 11 207

Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia studi kasus di SD negeri Pondok 03 kecamatan Nguter kabupaten Sukoharjo

0 4 317

METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SD NEGERI Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Role Playing Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Negeri Drajitan Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Tahun Pel

0 3 10

PENDAHULUAN Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 8

PENUTUP Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 5

Implikatur percakapan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5 sd Ta'mirul Islam Surakarta 1. COVER

0 0 17

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

0 2 13

Implikatur dalam Percakapan Tertulis Bahasa Inggris SMA

0 0 17