Penafsiran Penggunaan Implikatur Percakapan

commit to user fungsi yang ketiga, yaitu fungsi ilokusi bekerja sama, tidak melibatkan sopan santun karena pada fungsi ini sopan santun kurang relevan. Sebagian besar wacana tulisan masuk dalam kategori ini. Dalam jenis fungsi ilokusi yang keempat, yaitu fungsi bertentangan, unsur sopan santun tidak ada sama sekali karena fungsi ini bertujuan untuk menimbulkan kemarahan. Mengecam atau menyumpahi orang misalnya, tidak mungkin dilakukan dengan sopan, kecuali penutur menggunakan eufemisme penghalus atau ironi sehingga penutur menggantikan komunikasi yang konfliktif dengan jenis komunikasi lain, khususnya dengan jenis kompetitif. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam situasi yang normal, pengaruh linguistik yang konfliktif cenderung bersifat marginal dan tidak memegang peranan yang penting.

d. Penafsiran Penggunaan Implikatur Percakapan

Bahasa sebagai sarana komunikasi digunakan dalam fungsi tertentu dan disajikan dalam konteks yang bermakna, tidak dalam bentuk kalimat lepas. Dengan kata lain, pengkajian bahasa yang didasarkan pada alasan penggunaan bahasa bukan hanya struktural semata. Untuk memudahkan hal tersebut, Dwi Purnanto 2003: 95 menyimpulkan bahwa orientasi penelitian bahasa yang menekankan pada tujuh butir yaitu: 1 Struktur atau sistem tutur la parole 2 Fungsi daripada struktur 3 Bahasa sebagai tatanan yang banyak mengandung fungsi dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda 4 Ketepatan unsur linguitik dengan pesan yang hendak disampaikan 5 Keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat komunikasi lainnya 6 Komunitas atau konteks sosial sebagai titik tolak penggunaan dan pemahaman 7 Fungsi itu sendiri dikuatkan dalam konteks dan biasanya tempat batas, tatanan bahasa serta alat komunikasi lain sebagai problematika. Berdasarkan orientasi penelitian bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa setiap peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan, melainkan juga commit to user mengkhususkan dengan mengutamakan tuturan daripada kode, fungsi daripada struktur dan ketepatan daripada kemungkinan. Analisis wacana dalam penelitian bahasa perlu dilakukan untuk memperoleh pemecahan masalah makna pada tuturan yang bermuatan implikatur. Hal ini agar satuan pragmatis suatu implikatur percakapan dapat dideskripsikan melalui proses analisis atas masalah yang dihadapi antara penutur dan mitra tutur tatkala penutur mengucapkan tuturan sehingga pada gilirannya dapat ditarik implikasi pragmatis yang menjadi implikatur percakapan dari suatu tuturan. Wacana sendiri merupakan satuan bahasa terlengkap yang dapat berupa rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Hal ini sesuai pendapat Hasan Alwi dkk. 2003: 41 yang menyatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan atau sering disebut sebagai penyebab munculnya kalimat berikutnya sehingga memiliki koherensi dan kohesi tinggi baik dalam wacana lisan maupun wacana tulis. Sehubungan dengan hal tersebut, wacana juga disebut satuan bahasa terlengkap baik lisan maupun tertulis, yang jika dilihat dari struktur lahirnya bentuk bersifat kohesif, saling terkait, dan dari struktur batinnya makna bersifat koheren dan terpadu Sumarlan dkk., 2005: 15. Wacana berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi dibagi menjadi wacana lisan dan tulisan dengan penjelasan sebagai berikut. a. Wacana Tulisan adalah sebuah teks yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang menggunakan sesuatu secara berururtan dan utuh, misalnya sebuah cerita, sepucuk surat dan lainnya b. Wacana lisan adalah sebuah percakapan atau yang lengkap dari awal sampai akhir seperti satu percakapan singkat dalam satu situasi; atau penggalan ikatan percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap dan telah menggambarkan situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa. Wacana lisan juga dibagi menjadi wacana dialog dan monolog Yoce Aliah Darma, 2009: 10. Hal ini sedikit berbeda dengan Junaiyah H.M. dan E. Zaenal Arifin 2010: 72 yang membagi wacana lisan berdasarkan keaktifan mitra tutur menjadi tiga bagian yaitu wacana monolog yang terjadi jika dalam suatu komunikasi hanya ada commit to user satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari mitra tutur. Kedua wacana dialog yang terjadi jika dalam komunikasi terdapat dua pihak penutur dan mitra tutur dan terjadi pergantian peran. Ketiga wacana polilog yang jika dalam komunikasi lebih dari dua pihak dengan pergantian peran melalui pertukaran tiga jalur atau lebih dan biasa terjadi pada saat bermain drama atau ngobrol santai di pos kamling. Namun, beberapa ahli wacana lebih sering menyamakan dialog dan polilog berdasarkan kesamaan tujuan dan tugas pendengar dan pembicara. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya menggunakan istilah wacana lisan yang dibagi menjadi monolog dan dialog. Secara garis besar, penafsiran wacana lisan mempunyai keuntungan dibanding wacana tulis yaitu meskipun lebih rumit prosedurnya, data bersumber lisan dengan unsur paralingualnya lebih dapat dipertanggungjawabkan ketepatan penafsirannya jika rekontruksi bentuk lisannya dapat pula dipertangungjawabkan I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 130. Selain itu, dalam wacana lisan, penutur dapat diketahui membuat berbagai macam efek ekspresi, isyarat atau sikap tubuh untuk mengendalikan pengaruh tuturannya, dapat mengetahui keseragaman maksud yang diinginkan penutur dengan maksud yang dipahami mitra tutur, memantau kefektifan tuturan dan memperhatikan penerimaan mitra tutur sehingga penafsiran tuturan tersebut juga lebih sesuai konteks Brown dan Yule dalam Sumarlan dkk, 2005: 248. Di samping itu, dalam buku yang sama, Labov dan Chave juga mengutarakan kekurangan wacana lisan adalah sintaksis bahasa lisan kurang terstruktur, tidak menggunakan penanda metalingual antar klausa, dimungkinkan menggunakan isyarat untuk merujuk referen, mengulangi bentuk sintaksis yang sama, dan sering menggunakan ungkapan ”pengisi” seperti ”em”, ”anu”, atau ”itu”. Berdasar paparan di atas pengkajian alasan penggunaan implikatur percakapan dapat tercermin pada koteks lingkungan fisik tuturan dan konteks lingkungan sosial tuturan terutama latar belakang pengetahuan serta tanggapan verbal maupun nonverbal mitra tutur saat tuturan diujarkan yang menandai prinsip kerjasama. Apalagi jika partisipan baik guru maupun peserta didik melakukan percakapan atau interaksi dengan bertatap muka dua pihak atau lebih sehingga commit to user tujuan tuturan dimungkinkan lebih dari sekedar pertukaran informasi Jack C. Richard, 1995: 3. Penelitian ini menggunakan analisis wacana lisan karena wacana tersebut disampaikan dengan bahasa lisan yang jika ingin memahami wacana tersebut, mitra tutur harus menyimak secara langsung. Jika dilihat dari sifat dan jenis pemakaiannya, analisis penelitian ini disebut wacana dialog atau percakapan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih guru dan peserta didik secara langsung dan bersifat dua arah. Sehingga masing-masing partisipan secara aktif ikut berperan dalam komunikasi tersebut komunikasi interaktif. Secara singkat penelitian ini menggunakan analisis wacana lisan yang ditranskrip terlebih dahulu untuk menganalisis implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Peranan wacana sangat penting dalam menginterpretasikan makna dan maksud tuturan karena mitra tutur harus dapat memahami aspek-aspek proses komunikasi seperti pengetahuan atau perhatian berhubungan secara tidak langsung dan bertentangan terhadap bahasa itu sendiri Deborah Schiffrin, 2007: 582. Pendapat yang sama juga diutarakan George Yule 2006: 143 bahwa saat menerapkan analisis wacana pada masalah tentang pokok linguistik, maka analisis tersebut akan memfokuskan pada catatan proses lisan atau tertulis dengan memperhatikan konteks untuk menyatakan keinginan. Sedangkan analisis wacana merupakan ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa, mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan teks tertulis. Hal ini seperti pendapat Michael Stubb dalam Eriyanto 2001: 23 mendefinisikan analisis wacana sebagai suatu usaha untuk mengkaji organisasi bahasa diatas kalimat klausa. Dengan kata lain, analisis wacana merupakan studi yang lebih luas daripada unit-unit linguistik, yakni kajian pertukaran percakapan dan kajian teks-teks tertulis sehingga mampu meneliti bahasa lebih dari sekedar menggambarkannya dan dapat pula membantu memahami aturan berbahasa yang menjadi bagian dari pengetahun pengguna bahasa yang tercermin dalam komunikasi sehari-harinya. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa analisis wacana adalah ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa untuk commit to user mengetahui pesan komunikasi baik dalam bentuk gambar, kata, tulisan atau lainnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Konteks mempunyai kedudukan yang penting dalam penafsiran makna tuturan yang disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit oleh penutur. Dalam hal ini, wacana yang berkaitan dengan proses komunikasilah yang akan dikaji lebih jauh ke dalam keterampilan berkomunikasi praktis pada segala situasi yang mendasari interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat. Kemampuan analisis wacana ini tergantung pada kemampuan mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan situasi ujar yang melingkupnya untuk mengetahui alasan tuturan. Unsur-unsur situasi ujar dibagi atas lima bagian yaitu: 1 penutur dan mitra tutur; 2 konteks tutur; 3 tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan; 4 tujuan tuturan; dan 5 tuturan sebagai produk tindak verbal Geoffrey Leech, 1993: 19-21. Unsur-unsur tersebut antara lain: 1 Penutur dan Mitra tutur Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pentuturan. Di dalam peristiwa tutur peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, yang semula berperan penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, demikian sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan komponen penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban. 2 Konteks Tuturan Dalam tata bahasa konteks tuturan itu mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut koteks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur. commit to user 3 Tujuan Tuturan Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadikan hal yang melatarbelakangi tuturan. Karena semua tuturan memiliki suatu tujuan. 4 Tindak Tutur sebagai bentuk Tindakan atau Aktivitas Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas adalah bahwa tindak tutur itu merupakan tindakan juga. Tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan mencubit dan menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan mencubit tanganlah yang berperan, pada tindakan menendang kakilah yang berperan, sedangkan pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan. 5 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia itu dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Berbicara atau bertutur itu adalah tindakan verbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Tindakan verbal adalah tindak mengekpresikan kata-kata atau bahasa. Unsur-unsur di atas dapat dimungkinkan menjadi kendala penggunaan maksim percakapan jika tidak saling dimengerti peserta tutur. Secara rinci konteks yang juga perlu diketahui dalam setiap komunikasi bahasa sekaligus sebagai alasan kepatutan appropriateness penutur dalam bertutur yaitu setting atau scene latar, participants peserta tutur, ends hasil, act sequences urutan tindak, key cara, Instrumentalities sarana, norms norma, dan genre jenis atau sering dirangkum menjadi jembatan kedelai “SPEAKING” Hymes dalam Asim Gunarwan, 2007: 103. Konteks yang pertama adalah setting atau scene latar. Latar yang dimaksud di sini berhubungan dengan tempat dan waktu. Konteks participants peserta tutur yaitu atribut penutur dan mitra tutur status sosial mereka, hubungan mereka secara pribadi maupun secara dinas dan lainnya. Konteks topik yaitu dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi dapat berjalan dengan lancar. Konteks saluran yang dipergunakan, misalnya: tulisan, lisan, isyarat, kentongan, peluit, dan sebagainya. Interaksi dengan menggunakan commit to user saluran tulisan dengan lisan tentunya berbeda, terutama dari segi kalimat yang digunakan. Pada saluran tulis, kalimat yang digunakan lebih teratur dan resmi, sesuai dengan kaidah ketatabahasaan, sedangkan dalam bahasa lisan lebih santai. Konteks kode yang digunakan dalam mengungkapkan isi hati, biasanya pengungkapan dalam bahasa daerah kepada orang lain akan merasa lebih bebas, akrab, dan mudah berkembang ke arah hubungan pribadi jika dibanding dengan bahasa Indonesia, kecuali dalam situasi resmi. Konteks bentuk pesan melalui parikan, khotbah, puisi, drama, dan sebagainya. Suatu pengajian misalnya, dapat berisi ajaran-ajaran yang diselingi dengan anekdot-anekdot. Konteks selanjutnya adalah ends hasil atau tujuan yang selalu memuat tujuan yang hendak dicapai oleh penutur. Tujuan dapat berupa tujuan personal, seperti yang dicerminkan oleh proposisi pengacuan prediksi pada tuturan dan dapat berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik yang berupa PK dan PS. Konteks berikutnya adalah nada pembicaraan atau dalam hal ini genre, yang dapat dilakukan dengan serius, sinis, sarkastik, rayuan, dan sebagainya. Berdasarkan berbagai unsur komunikasi di atas terutama pada unsur konteks memberikan patokan bahwa dalam meneliti bahasa atau tuturan harus mengambil konteks suatu komunitas. Konteks menjadi sangat penting karena sebagai pengetahuan latar belakang tuturan yang sama-sama dimiliki baik oleh penutur maupun oleh mitra tutur dan yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan tuturan penutur. Untuk memahami pemakaian bahasa dapat dilakukan dengan analisis wacana dan mempertimbangkan konteks baik yang mengacu pada tuturan sebelum dan sesudah tuturan yang dimaksud, mengacu kepada keadaan sekitar yang berkaitan dengan kebiasaan partisipan, adat istiadat, dan budaya masyarakat Brown dan Yuke dalam Abdul Rani dkk., 2006: 167. Konteks pun dapat mengacu pada kondisi fisik, mental, serta pengetahuan yang ada di benak penutur maupun mitra tutur. Unsur waktu dan tempat terkait erat dengan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, konteks sangat besar andilnya memuat tujuan yang hendak dicapai oleh penutur. Tujuan dapat berupa tujuan personal yang dicerminkan oleh proposisi pada tuturan atau berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik commit to user yang berupa PK dan prinsip sopan santun PS. Setelah diketahui konteksnya, kemudian dilanjutkan dengan meneliti kegiatan komunikasi secara menyeluruh bahkan tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi adalah bagian komunitas tersebut. Sehingga tata cara bertutur akan mengacu pada kemampuan dan peran penutur, konteks, institusi, kepercayaan, nilai, dan sikap. Analisis wacana juga merupakan pendekatan yang mengkaji relasi antara bahasa dengan konteks yang melatarbelakanginya Salah satu kesulitan dalam analisis wacana adalah bahwa ujaran melakukan tindakan pada tingkatan pada tingkatan penafsiran yang berbeda-beda yang bisa diurutkan secara hierarkis melalui pendekatan pragmatik. Meskipun begitu, Abdul Rani dkk. 2006: V menegaskan bahwa dalam melakukan studi wacana tidak mengabaikan pemanfaatan pendekatan linguistik karena komponen yang membangun suatu wacana adalah bunyi, kata, kalimat dan makna. Oleh karena itu, tahap pemahaman implikatur percakapan dapat dilakukan sebagai berikut: 1 Pemahaman proposisi pengacuan prediksi eksplikatur 2 Mencocokkan dengan konteks jika proposisi pada eksplikatur tidak cocok atau tidak memuaskan dilanjutkan tahap selanjutnya 3 Mengubah pemahaman proposisi sesuai dengan konteks terutama respon yang dikehendaki penutur dengan cara mencari: a Makna ujaran kelanjutannya b Makna asosiasinya c Makna ironinya dan d Makna yang hilang Dengan demikian, pemahaman mengenai implikatur percakapan tetap didasar pada kompetensi gramatikal eksplikatur dan kompetensi sosial tentang hal yang diketahui dengan hal yang dilakukan oleh mitra tutur terhadap ujaran penutur. Hal in karena, setiap individu yang melakukan percakapan selalu memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu dengan berbagai cara ujaran. Sedikit berbeda dengan Geoffrey Leech 1993:55 yang menyatakan bahwa prosedur pemahaman implikatur percakapan membutuhkan inteligensi manusia yang dapat mencari dan menemukan pilihan-pilihan kemungkinan bardasarkan commit to user bukti kontekstual. Prosedur pemahaman implikatur percakapan dapat dipandang dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang penutur dan dari sudut pandang mitra tutur. Dari sudut pandang penutur, dapat digunakan analisis cara-tujuan yang menggambarkan keadaan awal sebagai masalah, keadaan tengahan, dan keadaan akhir sebagai tujuan penutur untuk mengatasi masalah melalui cara yang terletak di dalam rangkaian antara masalah dan tujuan. Analisis cara-tujuan itu dapat diperjelas dengan Gambar 1. Contoh dengan mengujarkan tuturan “Udaranya panas” yang berilokusi menginformasikan fakta yang meminta atau menyuruh mitra tutur untuk menyalakan alat pendingin. Untuk menyuruh mitra tutur menyalakan alat pendingin, penutur tidak secara terus- terang langsung menyuruh mitra tutur, tetapi berputar dulu dengan mengujarkan tuturan “Udaranya panas” sebagai tuturan tidak langsung untuk sampai pada keadaan akhir yang menjadi tujuan penutur mengujarkan tuturan. Gambar 1. Analisis Cara-tujuan Geoffrey Leech, 1993:58 Dengan keterangan: 1 = keadaan awal penutur merasa panas 2 = keadaan tengahan pertama mitra tutur mengerti bahwa penutur merasa panas 3= keadaan tengahan kedua mitra tutur mengerti bahwa penutur ingin alat pendingin dinyalakan 4= keadaan akhir penutur merasa dingin TU = tujuan utama percakapan untuk mencapai keadaan 4 TPK = tujuan untuk menaati PK TPS = tujuan untuk menaati PS commit to user TL = tujuan lain a= tindakan penutur berupa tuturan “Udaranya panas” b= tindakan penutur berupa ilokusi memintamenyuruh mitra tutur untuk menyalakan alat pendingin c= tindakan mitra tutur menyalakan alat pendingin Dari sudut pandang mitra tutur, Geoffrey Leech 1993:40 menawarkan pemakaian analisis heuristik bagian dari teknik analisis pragmatik untuk menginterpretasi sebuah tuturan berimplikatur percakapan. Dengan analisis heuristik, dapat diidentifikasi daya pragmatis sebuah tuturan. Dalam analisis heuristik, bertolak dari problema, dilengkapi proposisi, informasi latar belakang konteks, dan asumsi dasar bahwa penutur menaati prinsip-prinsip pragmatis, mitra tutur lalu merumuskan hipotesis tujuan tuturan. Berdasarkan data yang tersedia hipotesis diuji kebenarannya. Bila hipotesis sesuai dengan bukti kontekstual, berarti pengujian berhasil dan hipotesis diterima kebenarannya. Keberhasilan pengujian hipotesis pertama menghasilkan interpretasi baku default interpretation yang menunjukkan bahwa tuturan memuat satuan pragmatis. Jika pengujian gagal karena hipotesis tidak sesuai dengan bukti yang ada, mitra tutur perlu membuat hipotesis baru untuk selanjutnya. diuji dengan data yang tersedia sampai diperoleh hipotesis yang berterima. Hasil pengujian lanjutan akan memberikan interpretasi implikasi pragmatis suatu tuturan dan itu berarti bahwa tuturan bermuatan implikatur percakapan. Alur analisis heuristik itu dapat digambarkan dengan Gambar 2 berikut. Gambar 2. Alur Analisis Heuristik Geoffrey Leech, 1993:62 commit to user Hipotesis pada Gambar 2 dapat diformulasikan secara sederhana dengan memakai P sebagai lambang makna tuturan. Hipotesis tuturan dapat dituliskan dengan formulasi: 1 penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa P Hipotesis mengenai daya P yang menjadi tujuan pemecahan masalah dirampat; 2 tujuan penutur ialah agar mitra tutur mengetahui bahwa P Bertolak dari prinsip-prinsip pragmatik yang relevan, hipotesis itu diuji apakah taat asas dan sesuai dengan bukti kontekstual yang ada dengan konsekuensi- konsekuensi seperti: a penutur yakin bahwa P Maksim Kualitas b Penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui bahwa P Maksim Kuantitas c penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui bahwa P Maksim Hubungan Jika konsekuensi a, b, dan c selaras dengan bukti konteks, hipotesis dapat diterima; tetapi jika satu konsekuensi saja bertentangan, hipotesis harus ditolak. Lalu disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan bukti yang sudah diamati dan diuji lagi. Dalam analisis heuristik, jika hipotesis pertama dapat diterima, kebenaran hipotesis itu akan menghasilkan interpretasi baku atas tuturan bahwa tuturan termasuk tindak tutur langsung. Jika hipotesis pertama ditolak karena tidak selaras dengan bukti kontekstual, misalnya ada pelanggaran maksim, hipotesis lain akan diterima untuk menghasilkan implikasi pragmatis dari tuturan dan tuturan tersebut termasuk tindak tutur tak langsung yang tidak berhubungan semantik atau berimplikatur percakapan Stephen C. Levinson, 1983: 115. Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih konkret, berikut ini disajikan sebuah contoh analisis heuristik. Analisis ini dilakukan terhadap implikatur percakapan X yang diciptakan oleh Ani pada data berikut ini. Situasi : Hari minggu, pukul 06.00 biasanya Ani sudah bangun dan shalat subuh. Sambil menanti ayahnya siap untuk lari pagi bersama, Ani sering mendengarkan radio commit to user sambil bersepatu. Selesai bersepatu, ia ke kamar mendekati ayahnya yang masih belum bangun dari tempat tidur, meskipun matanya telah terbuka dan tadi shalat subuh. Ani memiliki kebiasaan setelah bersepatu, ia selalu mencium ayahnya. Pagi ini setelah bersepatu, ia pun melakukan hal itu, dan sebaliknya. Percakapan: Ani : Pa, cium, Pa Papa: Heem… Ani :mencium pipi kanan, kiri, dan dahi ayahnya dan begitu pula sebaliknya si ayah. Sudah siang, Pa. X Papa : Ya. Ani : Papa belum bersepatu Y Implikasi: Ani menyuruh ayahnya bangun. Ani menyuruh ayahnya bersepatu. Hipotesis tuturan berbunyi: 1 penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa P Penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa hari sudah siang 2 Hipotesis daya P : Tujuan penutur agar mitra tutur mengetahui bahwa P Tujuan penutur ialah agar mitra tutur mengetahui bahwa hari sudah siang Hipotesis daya P itu menyatakan bahwa tuturan penutur yang menginformasikan fakta kepada mitra tutur. Kemudian dilakukan pengkajian hipotesis berdasarkan PK apakah sesuai atau tidak dengan bukti kontekstual yang ada dengan mencocokkannya pada konsekuensi a, b, dan c berikut Kunjana Rahardi, 2008: 16. a penutur yakin bahwa P = penutur yakin bahwa hari sudah siang Maksim Kualitas b penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui bahwa P = penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui bahwa hari sudah siang Maksim Kuantitas commit to user c penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui bahwa P = penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui bahwa hari sudah siang Maksim Hubungan Ternyata konsekuensi a didukung bukti yang ada dalam data bahwa memang benar hari sudah siang: pukul 06.00. Tetapi, konsekuensi b tidak demikian, karena data yang ada menunjukkan bahwa si ayah telah mengetahui bahwa hari sudah siang, ia sudah sembahyang, tidak tidur lagi, sudah bangun, dan sudah mencium Ani. Ani mengetahui semua itu sehingga penutur tidak yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui bahwa hari sudah siang. Dengan demikian penutur melanggar maksim kuantitas karena tidak memberikan informasi baru bagi mitra tutur. Akibat dari itu, penutur pun melanggar maksim hubungan karena konsekuensi c pun tidak terdukung bukti, penutur tidak yakin bahwa ayahnya sebaiknya diberi tahu bahwa hari sudah siang karena Ani mengetahui bahwa ayahnya sudah tahu. Pemberitahuan itu tidak relevan dengan tujuan yang ada pada rumusan 2. Karena konsekuensi b dan c tidak sesuai dengan bukti kontekstual, maka hipotesis 2 ditolak. Selanjutnya, disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan kontekstual atau fakta besar peluangnya untuk dapat diterima Louise Cummings, 2007: 121. 1 penutur mengatakan kepada mitra tutur bangun 2 Tujuan penutur ialah menyuruh agar mitra tutur bangun a penutur yakin bahwa perlu menyuruh mitra tutur bangun b penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui maksud bahwa penutur menyuruh mitra tutur bangun c penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui bahwa penutur menyuruh mitra tutur bangun. Hipotesis B diuji dengan membandingkan konsekuensi a, b, dan c dengan data yang ada. Setelah diuji, ternyata bahwa a didukung oleh data: Ani yang sudah bersepatu bertujuan menyuruh ayahnya segera bangun untuk bersepatu kemudian lari pagi bersama sebagaimana yang biasa mereka lakukan setiap pagi. Ani memakai satuan pragmatis menginformasikan fakta karena ia menaati prinsip commit to user sopan santun. Sebagai anak ia telah memahami bahwa tidak sopan untuk memerintah ayahnya secara langsung sehingga ia tidak mau memakai satuan pragmatis menyuruh. Konsekuensi b pun didukung data. Ani yakin bahwa ayahnya yang berada di kamar tidak mengetahui bahwa Ani sudah bersepatu sehingga menghendaki ayahnya bangun. Oleh karena. itu, cukup relevan jika, Ani menyuruh ayahnya untuk bangun sehingga, konsekuensi c pun sesuai dengan data kontekstual. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa konsekuensi a, b, dan c sesuai dengan data kontekstual. Dengan demikian, hipotesis 2 dapat diterima. Interpretasi hipotesis 2 adalah bahwa tuturan Ani, “Sudah siang, Pa”, yang diproduksi oleh Ani termasuk tuturan yang bermuatan implikatur percakapan. Tuturan itu mempunyai implikasi pragmatis menyuruh yaitu Ani menyuruh ayahnya untuk bangun. Hasil interpretasi implikatur percakapan seperti yang telah dilakukan dengan analisis heuristik itu sifatnya tidak terlalu pasti. Begitu pula tidak semua mitra tutur guru atau peserta didik dapat menginterpretasikan implikatur percakapan yang dujarkan penutur dengan tepat. Hal ini tak lain karena kekuatan ilokusi dalam ujaran yang juga dipengaruhi alasan dan kebiasaan penutur. Sifat representasi implikatur percakapan tidak jelas Thomas Holtgraves, 2008: 366. Di satu sisi, teori tindak tutur menunjukkan kekuatan ilokusi memainkan peran penting dalam pemahaman komentar percakapan. Tetapi sisi lain, relevansi teori menunjukkan bahwa pengenalan suara spesifik tindakan tidak diperlukan untuk pemahaman percakapan. Geoffrey Leech 1993:30 juga menyatakan bahwa penjelasan terhadap implikatur percakapan mengandung sifat probabilitas. Hal yang dimaksudkan oleh penutur dengan tuturan-nya tidak pernah dapat diketahui secara pasti. Faktor kondisi yang diamati, tuturan, dan konteksnya mengarahkan penutur untuk menyimpulkan interpretasi dari peluang-peluang yang paling mungkin. Menafsirkan daya proposisi sebuah tuturan sama dengan pekerjaan tebak-menebak atau dalam istilah ilmiah disebut menciptakan hipotesis-hipotesis. Seorang penafsir yang baik sekalipun tidak selalu sanggup membuat kesimpulan yang pasti mengenai maksud penutur karena sering kali terjadi suatu commit to user tuturan sengaja dikaburkan oleh penuturnya. Agaknya demikian juga, penafsiran implikatur percakapan anak usia SD yang masih berada dalam proses usaha menguasai bahasa Indonesia. Satu tuturan yang berupa bilingual bahasa Indonesia atau bahasa daerah untuk mengekspresikan suatu satuan pragmatis dimungkinkan dapat menyiratkan satu atau lebih satuan pragmatis lain sebagai implikasi pragmatis yang mewujudkan implikatur percakapan pada mitra tutur. Dengan demikian, kegiatan pemecahan implikatur percakapan dengan pragmatik yang mencakup penafsiran dari sudut pandang penutur maupun mitra tutur adalah kondisi ideal karena pada kenyataannya beberapa kondisi sudah terjalin saling pengertian sebelum hipotesis dibuat karena adanya pengenalan latar dan kebiasaan pelaku tuturan sehingga mudah mengetahui maksud penutur dan lebih konsisten jika dilakukan dengan tahap pemahaman ilokusi yang benar. Jika hal ini dapat dikuasai oleh guru dalam pembelajaran di kelas, maka guru akan dengan mudah mengarahkan arah interaksi di kelas sesuai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selain itu, peserta didik juga dapat belajar memahami ujaran implikatur percakapan melalui kebiasaan yang diterapkan guru saat kegiatan belajar mengajar di kelas.

2. Percakapan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD

Dokumen yang terkait

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

44 305 144

Implikatur Percakapan pada Novel "99 Cahaya di Langit Eropa" Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

3 19 126

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDARLAMPUNG

1 11 207

Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia studi kasus di SD negeri Pondok 03 kecamatan Nguter kabupaten Sukoharjo

0 4 317

METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SD NEGERI Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Role Playing Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Negeri Drajitan Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Tahun Pel

0 3 10

PENDAHULUAN Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 8

PENUTUP Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 5

Implikatur percakapan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5 sd Ta'mirul Islam Surakarta 1. COVER

0 0 17

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

0 2 13

Implikatur dalam Percakapan Tertulis Bahasa Inggris SMA

0 0 17