Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan

commit to user memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat. Penafsiran bahasa tuturan melalui pragmatik juga akan menjadi lebih mendalam untuk mengetahui maksud, asumsi dan tujuan pembicaraan dengan berdasar hal-hal yang penutur perlihatkan konteks saat tuturan tersebut diujarkan. Untuk itulah, terkadang semua konsep tuturan tersebut cenderung tidak konsisten dan objektif saat dianalisis karena berbeda konteks maka dimungkinkan berbeda pula maksud ujaran meskipun tuturan yang diujarkan sama. Teori ini pulalah yang kemudian melahirkan implikatur dalam subkajian pragmatik sebagai penganalisis makna terselubung dari suatu tuturan yang disampaikan penutur baik secara lisan maupun tulisan. Dan penginterpretasian dalam suatu percakapan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran fisik, sosial, dan linguistik dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran. I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi 2009: 37 mengungkapkan bahwa implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan antar preposisi tersebut bukan merupakan konsekuensi mutlak. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati penutur yang tersembunyi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan bagian dari pragmatik yang menelaah maksud penutur yang lebih banyak dari pada apa yang dituturkan oleh penutur implicature dan memahami manipulasi bahasa untuk kesopanan politeness.

b. Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan

Grice dalam Muhammad Rohmadi 2004: 55 membedakan implikatur menjadi dua jenis yaitu implikatur konvensional dan nonkonvensional. Implikatur konvensional yaitu makna ujaran yang secara umum diterima oleh masyarakat dan biasanya disebut juga dengan prinsip kerja sama yang dalam praktiknya berpegang pada empat maksim. Makna tuturan berimplikatur konvensional dapat dimengerti dengan jelas karena makna tuturan sama persis dengan makna unsur- unsur tuturan tersebut karena pemahaman suatu tuturan hanya berdasarkan unsur- unsur yang membentuk tuturan itu sendiri. Contohnya tampak pada “Muhammad Ali adalah petarung yang indah”. Kata “petarung” pada kalimat ini berarti ‘atlit commit to user tinju’. Pemaknaan ini dipastikan benar karena secara umum konvensional, orang yang sudah mengetahui bahwa Mohammad Ali adalah atlit tinju yang legendaris. Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami “petarung” dengan pengertian yang lain. Implikatur konvensional adalah implikatur yang bersifat umum dan konvensional sehingga semua orang sudah mengetahui maksud atau pengertian mengenai suatu hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah ada. Selain itu, implikatur konvesional bersifat nontemporer yaitu makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum seperti kata hubung “tetapi”, dan “bahkan” yang cara penginterpretasiannya pastilah sesuatu yang tidak sesuai harapan penutur. Sehingga, jenis implikatur ini tidak banyak dikaji dan dikembangkan oleh para peneliti wacana, karena dianggap kurang menarik. Implikatur nonkonvensional implikatur percakapan lebih menekankan pada ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya. Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan speech act. Oleh karena itu, implikatur percakapan tersebut bersifat temporer terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan, dan nonkonvesional sesuatu yang di implikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan. Dengan kata lain, ketika seseorang berbicara, sesuatu yang dikatakan atau yang dituliskan tidak selalu sama dengan yang dimaksudkan karena disesuaikan konteks. Bahkan dapat dimungkinkan sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur karena semua penafsiran implikatur tergantung pada konteks saat tuturan tersebut diujarkan. Selain itu, implikatur percakapan bukan merupakan bagian dari tuturan karena lebih mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama” antara penutur dan mitra tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Kunjana Rahardi 2008: 17 menyatakan bahwa konteks pada hakikatnya adalah latar belakang pengetahuan yang dapat dipahami penutur dan commit to user mitra tutur sehingga hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, maksud keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu, melainkan berdasarkan kebiasaan atau pengetahuan yang sudah saling dipahami antar kedua belah pihak. Perhatikan bentuk-bentuk percakapan dibawah ini. Guru : Santi, papan tulis ini penuh coretan. Santi : Sebentar Bu, penghapusnya dimana? Percakapan antara guru dengan Santi pada contoh tersebut mengandung implikatur percakapan yang bermaksud perintah menghapus coretan di papan tulis. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan guru hanyalah pemberitahuan bahwa papan tulis ini penuh coretan. Namun karena Santi dapat memahami implikatur percakapan yang disampaikan guru, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah guru tersebut meskipun dia justru kebingungan mencari penghapus untuk menghapus papan tulis. Hal ini dapat diketahui dari respon Santi dengan ujaran ”Sebentar Bu, penghapusnya dimana?”. Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis maksud yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan. Dalam implikatur maupun implikatur percakapan dapat saja bermuatan implikasi pragmatik atau implikasi sosiokultural artinya bahwa dalam satu tuturan dalam percakapan bisa saja memiliki kedua implikasi pragmatik dan implikasi sosiokultural. Seperti dalam pengungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiokultural pemakaian bahasa itu sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa implikatur konversasional percakapan merupakan salah satu gagasan terpenting dalam pragmatik. Paul Ohoiwutun 2007: 91 menyimpulkan bahwa sesingkat apapun suatu percakapan, jika terdapat satu mekanisme pemahaman yang lain di luar makna harafiah maka maksud penutur dalam implikatur tersebut dapat dimengerti. Hal ini karena wujud implikatur percakapan adalah sejumlah wujud tuturan yang realisasinya berdasarkan makna diluar bentuk linguistik atau situasi tutur baik berupa penutur, mitra tutur, konteks, waktu maupun tempat ujaran atau yang sering disebut konteks. commit to user Kegunaan konsep implikatur percakapan antara lain: 1 memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural 2 memberi penjelasan yang tegas dan eksplisif tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud 3 dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar klausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama 4 dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan Stephen C. Levinson, 1983: 97-100. Berdasarkan kegunaan implikatur percakapan di atas, dapat diketahui adanya kerja sama yang konstributif antara penutur dan mitra tutur dalam suatu percakapan. Kerjasama yang dimaksud adalah bahwa antara penutur dan mitra tutur mengharapkan sumbangan respon sesuai yang diperlukan dan tingkat penerimaan yang sesuai dengan makna yang dapat diterima dan disepakati sehingga sejumlah implikasi makna tuturan dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal ini dapat dilihat saat guru akan memulai pembelajaran di jam pertama. Guru : Ketua kelas, silahkan. Peserta didik : Siap gerak Berdoa dimulai Dengan memperhatikan kebiasaan guru yang selalu bertutur ”Ketua kelas, silakan” sebelum memulai pembelajaran jam pertama, salah satu peserta didik selaku ketua kelas langsung dapat memahami makna tuturan tersebut yaitu sebagai perintah agar dia memimpin berdoa sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Sehingga implikatur percakapan akan dengan mudah dipahami oleh penutur dan mitra tutur jika keduanya telah berbagi pengalaman dan pengetahuannya atau mengetahui kebiasaan mitra bicara. Implikatur percakapan mempunyai sifat dapat diperhitungkan, ditangguhkan, dibatalkan dan ditegaskan kembali George Yule, 2006: 78. Selain itu, Louise commit to user Cummings 2007: 20-24 juga memperjelas bahwa ada lima ciri implikatur konversasional percakapan yaitu: 1 daya batal cancellable dalam keadaan tertentu implikatur percakapan dapat dibatalkan oleh perubahan konteks, baik dengan cara eksplisit atau pun dengan cara kontekstual. A: Apakah kamu dapat belajar kelompok di rumahku malam ini? B: Kedua orang tuaku akan pergi ke rumah nenek malam ini. Tetapi aku akan kabari nanti. ujaran yang membatalkan ujaran diatas 2 ketidakterpisahan nondetachable dengan cara mengatakan sesuatu itu sehingga orang memakai tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk menyampaikannya sehingga sulit dipisahkan hanya dengan mengubah bentuk linguistik ujaran tersebut. Konteks : Diucapkan didepan seorang anak yang suka berbuat gaduh di kelas A: Betapa pendiam anak ini sebenarnya ujaran menyindir 3 implikatur percakapan mempersyaratkan penegtahuan makna konvensional dari kalimat yang dipakai terlebih dahulu, sehinggas isi implikatur percakapan tidak masuk dalam makna konvensional tuturan tersebut nonconventional. A: Pukul berapa sekarang? B: Upacara pengibaran Bendera Merah Putih akan segera selesai. Upacara pengibaran Bendera Merah Putih biasanya selesai pukul 07.30, jadi saat itu masih pukul 07.30 kurang 4 kebenaran isi implikatur percakapan tidak tergantung pada apa yang dikatakan calculable daya nalar atau hitung. Konteks: Diucapkan didepan seorang anak yang suka mengganggu temannya A: ”Betapa menyenangkannya anak ini Sehingga dia mempunyai banyak teman.” sebenarnya sedikit yang mau berteman dengannya 5 implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya indeterminate. Sehingga dengan keberadaan ini implikatur percakapan dalam suatu percakapan secara fungsional dapat diterangkan melalui keterbatasan pemahaman bahasa secara struktural. commit to user A: Di mana kamu berasal? B: Di suatu tempat di Sulawesi Tengah. si B berusaha menyembunyikan identitasnya karena sesuatu hal yang tidak pasti Dengan demikian, setiap penjelasan tentang makna suatu tuturan harus sesuai fakta yang diamati dan sesederhana atau serampat mungkin sehingga tidak menimbulkan salah tafsir. Implikatur percakapan dapat memberikan penjelasan secara fungsional mengenai sejumlah fakta kebahasaan yang berkaitan dengan konteks tuturan yang mengikatnya, ditambah prinsip-prinsip bertutur seperti Prinsip Kerjasama PK dan Prinsip Sopan Santun PS. Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik. Bahkan implikatur percakapan mampu menghadirkan sejumlah makna tuturan selain yang terungkap secara lingual berwujud tandalambang atau secara struktural. Untuk itu, meskipun membahas ujaran menggunakan pendekatan pragmatik, tetapi memerlukan sudut pandang semantik sebagai penyelaras dengan tetap menggunakan dua prinsip pragmatik sebagai berikut. 1 Prinsip Kerjasama PK Dalam komunikasi, penutur dan petutur biasanya berusaha untuk saling bekerja sama, dengan maksud agar tujuan atau pesan ujaran yang mereka tuturkan dapat dipahami oleh partisipan komunikasi. Grice dalam Sarwiji Suwandi 2008:7 menyatakan bahwa dalam memahami kaidah percakapan diperlukan dua pokok kaidah percakapan yaitu prinsip kooperatif kerjasama dan maksim percakapan. Prinsip kerjasama lebih menekankan pada penggunaan segala ujaran yang sesuai dengan tujuan percakapan yang telah disepakati atau sesuai arah percakapan yang diiikuti. Prinsip kerja sama seringkali diartikan sebagai panduan umum yang melingkupi interaksi percakapan. Prinsip kerja sama membuat kontribusi peserta tutur menjadi tepat dalam sebuah percakapan. Sedangkan maksim percakapan sebagai realisasi PK terdiri dari 4 maksim antara lain: commit to user a Maksim Kuantitas 1 Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan. 2 Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan. b Maksim Kualitas 1 Jangan mengatakan apa yang Anda yakini tidak benar 2 Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak kurang mempunyai buktinya. c Maksim Hubungan 1 Bicaralah yang relevan atau berguna d Maksim Cara 1 Hindarilah ungkapan yang membingungkan. 2 Hindarilah ambiguitas. 3 Bicaralah secara singkat. 4 Bicaralah secara khusus. Diadaptasi dari Grice dalam Geoffrey Leech, 1993: 11 Secara singkat, seorang penutur harus menyampaikan informasi kepada orang lain dengan didukung oleh data prinsip kualitas, sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang prinsip kuantitas, berkaitan dengan yang sedang dibicarakan dengan mitra tutur prinsip relevansi. Dan, yang terakhir adalah prinsip cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara menyampaikan. Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok masalah yang dibicarakan bagus dan menarik, tetapi jika cara menyampaikan justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan terasa kasar, atau cenderung melecehkan,tujuan komunikasi dapat tidak tercapai. Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah mitra tutur menganggap penutur menaati dasar atau maksim di atas. Jika terdapat tanda-tanda ada maksim dilanggar, maka mitra tutur harus memutuskan bahwa ada sesuatu dibalik yang dikatakan penutur. Maka penuturlah yang menyampaikan maksud commit to user lewat implikatur percakapan dengan melanggar satu atau lebih maksim PK, dan mitra tuturlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu. Keunggulan prinsip ini terletak pada kemampuan maksim-maksim dalam menunjukkkan pembagian kerja antara arti suatu ujaran dengan daya sekaligus pembeda antara semantik dengan pragmatik. Meskipun demikian, prinsip ini juga memiliki kelemahan seperti yang diungkapkan Louise Cummings 2007: 366 bahwa selain penggunaan PK dapat membuat proses komunikasi berjalan dengan lancar, tetapi pengunaan maksim- maksim tersebut terkadang justru menjadi kendala penggunaan pragmatik sehingga secara sadar penutur memilih melanggar maksim. Selain itu, juga terdapat beberapa kelemahan dalam prinsip ini yakni belum bisa menjelaskan alasan penutur tidak mengungkapkan secara langsung maksud ujaran melanggar beberapa maksim atau hubungan antara arti dengan maksud dalam kalimat yang bukan pernyataan. Senada dengan pendapat diatas, Geoffrey Leech 1993: 12 juga merinci kendala-kendala penggunaan prinsip kerja sama dalam pragmtik antara lain: a Maksim berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda. b Maksim berlaku dalam tingkatan yang berbeda sehingga tidak ada maksim yang berlaku secara mutlak ataupun tidak berlaku samasekali c Maksim dapat bermitraan satu dengan yang lain d Maksim dapat dilanggar tanpa meniadakan tindakan yang dikendalikannya 2 Prinsip Sopan Santun PS Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan mengatasi kelemahan PK dalam berkomunikasi perlu dipertimbangkan aspek sopan-santun berbahasa. Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan mitra tutur karena lebih bersifat sosial, estetis dan moral dalam melakukan suatu percakapan. Selain keempat maksim dalam PK, juga masih diperlukan prinsip sopan santun PS yang terjabar dalam enam maksim, antara lain: commit to user a Maksim Kearifan tact maxim 1 Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. 2 Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin b Maksim Kedermawanan generosity maxim 1 Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin. 2 Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin. c Maksim Pujian approbation maxim 1 Kecamlah orang lain sedikit mungkin. 2 Pujilah orang lain sebanyak mungkin. d Maksim Kerendahan Hati modesty maxim 1 Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin. 2 Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. e Maksim Kesepakatan agreement maxim 1 Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sedikit mungkin. 2 Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin f Maksim Simpati sympathy maxim 1 Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin 2 Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin Geoffrey Leech, 1993: 206. Inti dari prinsip sopan santun ini adalah maksim kebijaksanaan memberikan keuntungan bagi mitra tutur, maksim kedermawanan memaksimalkan kerugian pada diri sendiri, maksim pujian memaksimalkan pujian kepada mitra tutur, maksim kerendahan hati meminimalkan pujian kepada diri sendiri, maksim kesetujuan memaksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur, dan maksim simpati memaksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur. Rumusan prinsip kesantunan tersebut dapat dibagi menjadi tiga butir pokok yaitu berikan pilihan, buat perasaan mitra tutur tetap baik dan jangan memaksa mitra tutur Abdul Rani, 2006: 37. Oleh karena itu, demi kesantunan, penutur harus dapat memperlakukan mitra tutur sebagai berikut: commit to user a jangan perlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada penutur. Jangan sampai mitra tutur mengeluarkan “biaya” biaya sosial, fisik, psikologis, dsb atau agar kebebasannya menjadi terbatas; b jangan mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur; c jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur; d jangan menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya; e jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau kelebihan diri sendiri. Prinsip sopan santun dianggap sebagai “piranti” untuk menjelaskan alasan penutur sering bertutur secara tidak langsung indirect dalam mengungkapkan maksudnya. Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran terdengar lebih santun. Tetapi perlu diketahui bahwa kesopansantunan ujaran sangat bergantung kepada penafsiran mitra tutur, artinya ujaran yang dianggap santun oleh penutur belum tentu santun pula bagi mitra tutur. Paul Ohoiwutun 2007: 93 menjelaskan sifat prinsip kesopanan ada dua yaitu absolut umum dan realatif. Prinsip kesopanan absolut mengacu pada norma kesopanan yang secara umum diterima masyarakat sehingga cenderung tidak dipealajari secara khusus. Prinsip kesopanan relatif dalam berbahasa memberikan pengertian bahwa norma yang berlaku di suatu tempat tidak menutup kemungkinan berbeda dengan tempat lain karena dipengaruhi oleh faktor penentu bahasa. Hanya saja dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan memilih metode komunikasi yang tepat serta mempertimbangkan skala pragmatik maka secara tidak langsung membantu dalam pemilihan ujaran yang dianggap sopan mitra tutur. Misalnya norma bahasa Jawa yang memiliki undha usuk berbahasa dalam penerapan prinsip kesopanan. Penilaian derajat kesopanan suatu ujaran memerlukan lima skala pertimbangan yang disebut “skala pragmatik” Geoffrey Leech, 1993: 194-199. Kelima skala pragmatik itu adalah skala biaya-keuntungan cost and benefit, commit to user skala pilihan optionality, skala ketaklangsungan indirectness, skala otoritas authority, dan skala jarak sosial social distance Penerapan skala pragmatik dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan derajat kesopansantunan ujaran dapat diamati pada contoh berikut. Skala pertama, skala biaya-keuntungan atau skala untung-rugi digunakan untuk menghitung biaya yang diperlukan dan keuntungan yang diperoleh mitra tutur untuk melakukan tindakan sebagai akibat dari daya ilokusi tuturan direktif yang diperintahkan oleh penutur I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 43. Agar lebih jelas berikut contoh ujaran-ujaran direktif. Makin ke bawah ujaran ini dinilai makin santun sebab makin sedikit biaya yang diperlukan untuk melakukan tindakan tersebut dan makin banyak keuntungan yang diperoleh oleh mitra tutur. a Pergi b Buatkan secangkir kopi untukku c Makanlah sayur itu Biaya bagi Santun mitra tutur kurang Keuntungan Santun Bagi mitra tutur lebih Dari ketiga tuturan di atas tampak bahwa untuk pergi dan membuatkan secangkir kopi tuturan a dan b diperlukan biaya tenaga lebih banyak bagi mitra tutur dalam melakukan tindakan tersebut, dan sebaliknya sangat sedikit keuntungan yang diperolehnya sehingga tuturan itu bernilai kurang santun. Sementara itu, untuk makan sayur tuturan c mitra tutur hanya memerlukan biaya sangat sedikit dengan keuntungan yang sangat besar, sehingga tuturan c dinilai oleh mitra tutur lebih santun daripada tuturan a dan b. commit to user Skala kedua, skala keopsionalan digunakan untuk menghitung berapa banyak pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk melaksanakan tindakan I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 20. Berikut contoh ujaran yang makin banyak jumlah pilihan, makin santun tindak ujaran tersebut. a Nak, tutup pintu itu b Lis, silahkan tutup pintu itu c Bu, kalau berkenan silahkan tutup pintu itu Lebih sedikit Kurang santun pilihan Lebih banyak Lebih santun pilihan Berdasarkan banyak sedikitnya pilihan, mitra tutur dapat menilai suatu tuturan kurang santun atau lebih santun. Dengan demikian tuturan b dinilai lebih santun daripada tuturan a, dan tuturan c lebih santun daripada tuturan b. Tuturan a dinilai paling tidak santun dari semua tuturan yang ada sebab penutur tidak memberikan pilihan apa pun kepada mitra tutur, kecuali hanya ‘menyuruh agar mitra tutur menutup pintu itu’. Sebaliknya, tuturan c dinilai paling santun sebab penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk ‘menutup pintu itu’, yaitu bila mitra tutur berkenan tidak keberatan. Jadi, dalam hal ini derajat kesopansantunan tuturan direktif tersebut ditentukan oleh skala pragmatik keopsionalannya. Skala ketiga, yaitu skala ketaklangsungan tuturan, yakni seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ujaran itu untuk sampai pada tujuan ujaran Kunjana Rahardi, 2008: 122. Dalam hal ini, semakin langsung tuturan itu maka commit to user dipandang semakin kurang santun, dan sebaliknya, semakin tidak langsung tuturan itu semakin santun. Inilah contoh-contoh ujaran tersebut. a Bersihkan dulu meja itu b Ruangan ini akan digunakan untuk pertemuan, bersihkan dulu meja itu Lebih Kurang langsung santun Lebih tak Lebih langsung santun Di sini, tuturan a adalah tuturan yang bermodus paling langsung dan, karena itu, dianggap paling kurang santun menurut mitra tutur. Sebaliknya, tuturan-tuturan yang lain, b lebih tidak langsung akan terasa lebih santun. Skala yang keempat yaitu skala otoritas yang menunjuk hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dapat percakapan P. W. J. Nababan, 1987: 14. Sehingga semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, tuturan kesantunan yang digunakan cenderung akan berkurang. a Nggak ngerti b Aku tak mengerti maksudmu c Maaf, saya tidak mengerti maksud Bapak Lebih Kurang rendah santun Lebih Lebih tinggi santun commit to user Di sini, tuturan a adalah tuturan seorang kakaj kepada adiknya, tuturan b adalah tuturan seorang bapak kepada adik iparnya, dan tuturan c adalah tuturan mahasiswa kepada dosennya. Perbedaan jarak peringkat sosial ini membuat tuturan yang digunakan juga berbeda tingkatan kesantunannya. Tuturan a cenderung kurang santun karena mitra tutur memiliki peringkat sosial yang lebih rendah dari penutur. Sebaliknya, tuturan lain b dan c lebih santun karena mitra tutur dianggap sama atau lebih tinggi dibanding penutur. Dan skala yang terakhir yaitu skala jarak sosial yang menunjuk pada tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur Kunjana Rahardi, 2008: 128. Sehingga semakin akrab antara keduanya, tuturan yang digunakan semakin kurang santun. Sebaliknya, semakin jauh tingkat keakraban antara penutur dengan mitra tutur maka semakin santunlah tuturan yang digunakan. a Silahkan dimakan b Mari makan c Yuk, makan Kurang Lebih akrab santun Lebih Kurang akrab santun Dilihat dari ketiga tuturan di atas, dapat diketahui bahwa tuturan a meskipun penutur mempunyai tingkat sosial yang lebih tinggi, tetapi karena kurang akrab maka tuturan yang digunakan cenderung lebih sopan. Tuturan b dan c cenderung kurang santun karena penutur dan mitra utur memiliki tingkat keakraban tinggi meskipun peringkat sosial penutur lebih rendah. Sedangkan pada tuturan d lebih kurang sopan karena selain tingkat sosial antara penutur dan mitra tutur sama, tingkat kedekatan keduanya juga sangat akrab. commit to user Sedikit berbeda dengan paparan di atas, George Yule 2006: 104 menyebutkan bahwa dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa yang memiliki batasan kesantunan itu sendiri sebagai upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan wajah orang lain. Istilah kesantunan sering disebut “wajah”, dalam hubungan sebagai citra diri seseorang dalam masyarakat. Aspek wajah terdiri atas wajah positif dan wajah negatif. Wajah positif mengacu kepada kebutuhan seseorang untuk dapat diterima dan disukai oleh orang lain dalam kehidupan sosial; sedangkan wajah negatif merupakan hak seseorang untuk dapat bertindak secara independen dan tidak beroleh paksaan dari orang lain. Dalam hubungan ini, apabila penutur kurang memperhatikan hal yang menjadi keinginan wajah mitra bicara, misalnya, dengan mengatakan sesuatu berupa paksaan ataupun ancaman, penutur dipandang telah melakukan suatu tindakan mengancam wajah face threatening act. George Yule 2006: 106 menguraikan bahwa tuturan yang disampaikan mungkin saja oleh orang lain ditafsirkan sebagai sesuatu ancaman atau paksaan terhadap wajahnya; dan apabila penutur mengantisipasi dan melakukan suatu upaya untuk mengurangi yang mungkin dianggap bersifat ancaman itu, upaya demikian disebut tindakan menjaga wajah face saving action. Peristiwa inilah yang sering disebut kesenjangan ketika berinteraksi, yakni tidak semua prinsip dan norma kesantunan itu terlaksana. Yang perlu diperhatikan dalam menerapkan prinsip sopan santun untuk menyelamatkan wajah adalah hal yang menjadi keinginan wajah negatif atau yang merupakan keinginan wajah positif. Orang yang berwajah negatif tidak mau terikat dan dibebani; dia cenderung memilih bebas untuk berbuat dan tidak ingin mendapat tekanan atau paksaan dari orang lain. Orang yang berwajah positif menginginkan dirinya dapat diterima sebagai bagian integral dari kelompoknya serta keinginan-keinginannya diperhatikan orang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa wajah negatif itu ialah keinginan pribadi untuk independen. Wajah positif sebagai keinginan seseorang untuk diterima sebagai anggota kelompok masyarakat. Dengan demikian, tindak penyelamatan wajah yang commit to user orientasinya kepada orang berwajah negatif cenderung dengan penyertaan tanda hormat, menghargai waktu dan urusannya, dan terkadang malah harus disertai lebih dahulu dengan pernyataan minta maaf apabila hendak memerintahkan atau mengganggunya. Tingkat keakraban sosial dalam masyarakat dipengaruhi dua faktor untuk menentukan pemunculan tipe kesantunan yaitu pertama kesantunan bertutur yang dialamatkan kepada petutur dalam rangka menjaga keinginan wajah. Kedua, kesantunan yang baru akan sangat terasa jika penutur dan mitra tutur dalam berinteraksi terkendala oleh hubungan sosialnya yang belum cukup serasi dalam masyarakat Namsyah Hot Hasibuan, 2005: 92. Dalam hubungan interaksi sosial, partisipan yang merasa berhadapan dengan kondisi seperti itu biasanya menghendaki agar citra dirinya dalam masyarakat yang justru menjadi keinginan wajahnya terjaga dan dihormati. Hal ini karena setiap jenis wajah, di antara yang positif dan yang negatif, memiliki keinginan yang berbeda untuk disikapi melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masing-masing lazim disebut sebagai kesantunan positif dan kesantunan negatif. Orientasi kesantunan positif adalah menjaga atau menyelamatkan wajah positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang yang dimaksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa solidaritas dengan pendengarnya. Hal demikian biasanya ditandai dengan adanya penggunaan tuturan informal; misalnya dengan memunculkan ucapan yang berciri dialek ataupun bahasa slang, nama panggilan, dan meminta dengan cara tidak langsung. Selanjutnya, kesantunan negatif merujuk kepada tuturan yang orientasinya menjaga atau menyelamatkan wajah negatif orang lain. Hal semacam ini biasa terjadi pada partisipan yang belum mencapai keakraban dalam interaksi sosial di lingkungan masyarakat. Artinya, masih terdapat jarak sosial antara penutur dan petutur. Pada kesantunan negatif, orang menggunakan siasat bertutur yang menekankan adanya hormat dan menghargai petutur atau pendengarnya. Nama panggilan, bahasa slang, dan tuturan informal yang biasa digunakan dalam siasat kesantunan positif, tidak digunakan pada siasat kesantunan negatif. commit to user Contoh batasan ini terlihat dari perbedaan pemakaian bentuk tolong dan coba bukanlah kendala resmi takresmi atau kendala sintaksis, melainkan karena kendala makna pragmatik. Kalimat imperatif dengan bentuk tolong, penutur menempatkan dirinya lebih rendah daripada mitra tutur. Kalimat imperatif dengan bentuk coba menempatkan penutur lebih tinggi daripada mitra tutur. Pada kalimat imperatif dengan silakan, penutur menempatkan dirinya sejajar dengan mitra tutur. a Tolong tunggu di sini. b Coba tunggu di sini. c Silakan tunggu di sini. Pada contoh tuturan a tampak penutur menempatkan dirinya lebih rendah daripada mitra tutur; contoh b penutur lebih tinggi daripada mitra tutur, dan pada contoh c penutur sejajar dengan mitra tutur. Pemakaian silakan, dipandang lebih arif dan sangat sopan daripada pemakaian bentuk tolong dan coba karena penutur dan mitra tutur berada pada tingkat yang sama, masing- masing tidak ada yang memandang tinggi atau pun rendah. Berdasar penjelasan di atas dapat disimpulkan suatu tuturan memiliki tingkat kesantunan berbeda-beda berdasarkan batasan tertentu. Semua itu pada hakikatnya dilakukan melalui sikap sadar yang ditunjukkan dalam menjaga wajah orang lain. Tujuan sikap ini penting bagi mitra tutur yang memiliki jarak sosial dengan penutur sebagai tindakan menghargai atau hormat pada petutur atau orang lain; sedangkan sikap yang sama terhadap orang yang dirasa akrab biasanya dipandang sebagai solidaritas atau sikap bersahabat. Disinilah prinsip sopan santun penutur yang terlibat dalam interaksi perlu menyadari adanya prinsip dan norma semacam itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Prinsip sopan santun sebagaimana dinyatakan oleh Geoffrey Leech 1993:123 secara umum dapat dirumuskan seperti berikut: a. Dalam Bentuk Negatif Kurangilah tuturan-tuturan yang tidak sopan atau gunakanlah sesedikit mungkin tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat yang tidak sopan menjadi sesopan mungkin. commit to user b. Dalam Bentuk Posiitif Perbanyak atau gunakanlah sebanyak-banyaknya tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan. Pendapat senada juga diungkapkan Yeni Mulyani Supriatin 2007:57 yang mencontohkan hal tersebut berdasarkan tuturan imperatif. Penggunaan tuturan imperatif menyebabkan petutur tidak mempunyai pilihan lain kecuali menaati perintah sehingga dipandang merugikan petutur. Sedangkan bentuk kalimat imperatif yang tidak diawali dengan pemarkah kesantunan apabila satu sama lain dibandingkan akan menunjukkan kadar kesantunan berbahasa. Hal itu tergambarkan melalui skala “untung-rugi”, yaitu nilai-nilai yang dianggap menguntungkan atau merugikan mitra tutur. Perintah yang menguntungkan mitra tutur dipandang lebih sopan, sedangkan perintah-perintah yang merugikan mitra tutur dipandang kurang sopan. Penutur merasa yakin bahwa mitra tutur akan melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik dalam bentuk positif maupun negatif tuturan-tuturan yang sopan selalu berusaha menguntungkan mitra tutur, sedangkan pendapat atau tuturan yang tidak sopan selalu merugikan mitra tutur atau pihak ketiga. Pada hakikatnya pelanggaran prinsip kerjasama dan penggunaan prinsip sopan-santun berbahasa lebih terpusat agar mitra tutur mengerti maksud tersembunyi penutur. Contohnya, pemakaian bentuk interogatif dalam tuturan berimplikatur bertujuan perintah merupakan ilokusi tak langsung yang melanggar prinsip kerja sama dianggap lebih sopan karena tidak mengandung kata perintah. Dalam prinsip sopan-santun tujuan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan sopan, artinya tidak mengandung kata perintah. Namun perlu diketahui tidak semua pelanggaran prinsip kerja sama akan terkesan lebih sopan. Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan dan tidak sopan dalam tuturan biasanya dikaitkan tindak-tindak ilokusi dengan kesantunan berbahasa. commit to user

c. Hakikat Ilokusi

Dokumen yang terkait

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

44 305 144

Implikatur Percakapan pada Novel "99 Cahaya di Langit Eropa" Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

3 19 126

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDARLAMPUNG

1 11 207

Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia studi kasus di SD negeri Pondok 03 kecamatan Nguter kabupaten Sukoharjo

0 4 317

METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SD NEGERI Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Role Playing Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Negeri Drajitan Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Tahun Pel

0 3 10

PENDAHULUAN Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 8

PENUTUP Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 5

Implikatur percakapan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5 sd Ta'mirul Islam Surakarta 1. COVER

0 0 17

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

0 2 13

Implikatur dalam Percakapan Tertulis Bahasa Inggris SMA

0 0 17