commit to user
pembelajaran bahasa yaitu sosial jenis kelamin, umur dan status sosial, ideologi agama dan kepercayaan, latar belakang kultural kebiasaan dan adat istiadat,
partisipan dan pendidikan Markhamah, 2004: 61. Guru seharusnya dapat mengarahkan peserta didik untuk menyadari adanya faktor-faktor penentu tersebut
saat tindak berbahasa. Dalam hal ini, Jack C. Richard 1995: 31 menegaskan jika terjadi kesalahan penggunaan kemampuan gramatikal, ilokusioner dan sosial
dalam komunikasi maka akan menimbulkan kesalahpahaman atau konflik komunikasi. James M. Heslin 2006: 44 juga mengungkapkan bahwa
ketidaktahuan tentang faktor penentu bahasa akan mengakibatkan penutur tidak berhasil mencapai kesederhanaan komunikasi sekaligus beresiko menyinggung
perasaan mitra tutur. Untuk itu, kemampuan mengkaji hal-hal di luar bahasa akan sangat membantu
peserta didik kelas V dalam mengaplikasikan kompetensi berbahasa yang dimiliki secara praktis dalam kondisi senyatanya. Komunikasi kelas yang terjadi saat di
sekolah dasar perlu diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat pragmatis yaitu pengguna dalam hal ini guru dan peserta didik dapat
menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian, diharapkan peserta didik akan lebih dapat mengaktualisasikan kemampuan berbahasa yang
sopan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
b. Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD
Kepentingan komunikasi, bukanlah sekedar penguasaan ketatabahasaan dan teori-teori semata sehingga mencapai suatu kemampuan berkomunikasi secara
“baik”, tidaklah mungkin dapat tercapai hanya dengan mempelajari bahasa secara struktural saja. Hal tersebut dikarenakan adanya banyak faktor di luar bahasa yang
mempengaruhi proses berkomunikasi. Cara penyampaian materi pembelajaran disertai penerimaan dan merespon masukan dari peserta didik juga mempengaruhi
kesempatan berbahasa pada peserta didik untuk menerapkan hal-hal yang dipelajari saat berkomunikasi dengan memperhatikan kesantunan Made Wena,
2009: 9. Dalam hal ini, pendekatan pragmatik komunikatif cukup membantu dalam pembelajaran bahasa kelas V yang berorientasi pada tindak komunikasi
secara praktis. Bambang Kaswanti Purwo 1990: 4 menjelaskan bahwa salah
commit to user
satu ciri yang menonjol pada pendekatan tersebut ialah beralihnya perhatian dalam pembelajaran bahasa dari guru ke peserta didik sebagai titik pusat.
Penyebab seseorang mau sopan santun berbahasa, salah satunya adalah terdorong sikap hormat kepada mitra tutur atau sering disebut efek honorifik Paul
Ohoiwutun, 2007: 88. Inilah pentingnya salah satu tugas guru yaitu sebagai penasehat untuk mengarahkan hingga menasehati peserta didik karena
kecenderungan guru yang dianggap sebagai orang kepercayaan bagi peserta didik E. Mulyasa, 2006: 43. Untuk itu, jika guru mampu memanfaatkan pola-pola
hubungan interaksional dengan peserta didik melalui percakapan dalam pembelajaran, maka tidak mustahil wibawa guru akan terbentuk. Kewibawaan ini
muncul karena peserta didik mengalami sendiri peran bimbingan guru. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan pendapat diatas, kewibawaan dalam proses
belajar-mengajar adalah sesuatu yang diperlukan bagi seorang guru untuk membelajarkan atau mempengaruhi peserta didik tanpa adanya paksaan.
Percakapan yang terjadi dapat membangun kedekatan jarak yang akan membuahkan tingkat pemahaman antara pelaku sosial dalam hal ini guru dan
peserta didik. Salah satu fungsi komunikasi percakapan adalah mempengaruhi mitra tutur
Hoveland dalam Anwar Arifin, 2003: 24. Dengan kata lain, akibat muncul pemahaman antara guru dengan peserta didik, secara tidak langsung akan
membangun suatu kesamaan praanggapan yang membuat seseorang mampu merasakan yang orang lain rasakan dalam tataran tingkat tinggi dari proses sosial
melalui interaksi sosial. Pemahaman ini hanya akan terwujud jika terjadi kontak sosial yang terus menerus dan komunikasi yang terus menerus seperti dalam
percakapan antara guru dengan peserta didik. Dalam hal ini Agus Salim 2007: 70 juga berpendapat bahwa peserta didik perlu selalu dibimbing untuk
menciptakan kesadaran sehingga dapat menangkap makna dibalik yang terlihat secara fisik, dari mulai paling kecil sampai makna paling besar dalam kehidupan
sehari-hari. Kesadaran ini akan menghasilkan kebebasan dalam berpendapat melalui tuturan yang bertanggung jawab dengan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar serta sopan.
commit to user
Adapun hal lain yang diperhatikan guru dalam perkembangan bahasa peserta didik adalah lingkungan belajar. Conny R. Semiawan 2008: 50 yang
menyatakan bahwa perkembangan bahasa terutama pembicaraan peserta didik sangat pengaruhi oleh kehidupan emosinya. Situasi percakapan serius, santai,
wajar, atau tertekan merupakan hal yang esensial dan mempengaruhi keadaan dan kelancaran berbicara peserta didik Burhan Nurgiyantoro, 2010: 400.
Sehingga aktivitas yang dilakukan pada saat mengajarkan materi harus diarahkan pada komunikasi yang sebenarnya. Materi juga harus dikaitkan dengan makna
yang mencerminkan suatu ide, konsep yang disesuaikan dengan latar belakang dan tingkat kemampuan peserta didik.
Salah satu asumsi dalam bahasa adalah lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang
dewasa Chomsky dalam Abdul Chaer, 2002: 222. Ketidakcukupan kosa kata ini akan terasa pada saat anak mulai memasuki dunia sekolah dasar yang
mengharuskannya berinteraksi dengan orang dewasa, terutama di kelas V yang telah dituntut untuk berkomunikasi dengan memperhatikan kesantunan berbahasa.
Padahal, keaktifan peserta didik belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami dan dikembangkan guru saat proses pembelajaran
Aunurrahman: 2010:119. Untuk itu, guru perlu menyesuaikan pemberian stimulus yang baik dari lingkungan kepada peserta didik agar dapat direspon
dengan berbicara yang baik pula. Selain itu, adanya rasa tenang dan bebas dari tekanan overloading akan membuat peserta didik lebih konsentrasi menyusun
ujaran sesuai maksud yang ingin disampaikan. Bahkan kepatuhan peserta didik terhadap guru bukan kepatuhan karena takut, akan tetapi kepatuhan karena
keprofesionalan guru. Hubungan sosial yang bebas dari tekanan demikian sangat diperlukan pada
dunia pendidikan terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini karena pembelajaran bahasa Indonesia yang penuh muatan interaksi sosial, menjadi
sangat positif apabila ada keseimbangan dalam pola hubungan. Pola keseimbangan yang dimaksud adalah pola percakapan yang berlaku dua arah,
dalam arti pada posisi tertentu peserta didik dapat bermitra dengan gurunya.
commit to user
Kemitraan guru dan peserta didik ini dalam pendidikan diwadahi dalam kegiatan pembelajaran yang interaktif. Hanya saja terkadang ungkapan lisan kata-kata
yang ditujukan untuk peserta didik didominasi perintah yang membuat anak menanggapinya secara fisik sebelum melakukan tanggapan verbal.
Selain itu, tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru saat proses KBM yaitu mengambil jalan pintas, menunggu peserta didik berperilaku negatif,
menggunakan destrctive discipliner, mengabaikan perbedaan negatif, merasa paling pandai, tidak adil, dan memaksa hak peserta didik Soediro Satoto, 2006:
88. Hal ini sangat terlihat dari setiap tuturan praktik berbahasa Indonesia keseharian baik lisan maupun tulisan pada dasarnya mengandung tuturan
imperatif perintah langsung maupun tidak langsung Kunjana Rahardi, 2008: 11. Kesalahan dan tuturan imperatif ini jika dilakukan guru bahasa dan sastra
Indonesia secara berlebihan akan membuat pembelajaran menjadi tidak komunikatif dan cenderung membosankan karena komunikasi yang terjadi dalam
pembelajaran hanyalah tuntutan guru pada peserta didik. Padahal hakikat dari pembelajaran berbahasa adalah kompetensi komunikatif.
Untuk mengatasi hal tersebut, guru dapat menggunakan pendekatan yang menekankan pada komunikatif dan pemahaman Comprehension perkembangan
kemampuan peserta didik sebelum pelajaran diajarkan. Hal ini sesuai dengan asumsi
pengajaran berkomunikasi Asher
dalam Fitrah
2009 yang
mengungkapkan bahwa: a.
pengajaran berbicara harus ditunda sampai kemampuan memahami terbentuk; b.
kemampuan memahami meningkatkan kemampuan produktifitas dalam mempelajari suatu bahasa;
c. kemampuan didapat melalui transfer mendengar ke kemampuan yang lain;
d. pengajaran harus menekankan arti daripada bentuk;
e. pengajaran harus meminimalis stres pada pelajar.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa suatu pembelajaran seharusnya memberikan lahan tindakan bagi guru atau peserta didik. Topik
percakapan yang disampaikan juga memungkinkan partisipan guru dan peserta didik untuk melatih keterampilan interpersonal dalam mencapai tujuan interaksi.
commit to user
Proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya proses sosialisasi seperti kerjasama dan akomodasi.
Kerjasama dalam dunia pendidikan merupakan salah satu proses untuk membangun hubungan antara guru dengan peserta didik dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Sedangkan istilah akomodasi di dunia pendidikan dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan
keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku dan nilai sosial dan menunjukan pada suatu proses usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan
suatu pertentangan. Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada akomodasi dalam bentuk proses yang dapat terjembatani oleh karena adanya
keterampilan interpersonal antara guru dengan peserta didik saat percakapan dalam pembelajaran berlangsung. Ada delapan keterampilan mengajar yang
sangat berperan meningkatkan kualitas proses pembelajaran yaitu keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan
menutup pelajaran, membimbing diskusi kecil, mengelola kelas, serta mengajar kelompok kecil dan perorangan Turney dalam E. Mulyasa, 2006: 69.
Selain itu, guru perlu memperhatikan beberapa hal untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan membuat peserta didik nyaman dalam belajar
berbahasa antara lain: a.
Guru memegang teguh pameo, “peserta didik tidak peduli seberapa banyak yang guru ketahui sampai mereka tahu seberapa jauh guru peduli”.
b. Guru dapat menyampaikan harapan atau tujuan pembelajaran dengan jelas.
c. Guru mempunyai waktu untuk mendengarkan peserta didik.
d. Mengakui, mendorong dan membantu capaian dan perilaku peserta didik.
e. Jangan menggunakan sarkasme atau mengejek saat berbicara kepada peserta
didik Rolanld Partin, 2009:13-17. Bertolak dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa seorang guru hanya akan
mendapat rasa hormat, jika ia menunjukkan rasa hormat; akan dapat mengembangkan kelas dengan cara memusatkan diri pada peserta didik daripada
memusatkan pada mata pelajaran. Tujuan pembelajaran yang jelas membuat peserta didik tidak bingung dalam mengikuti pembelajaran sekaligus peserta didik
commit to user
dan guru secara tidak langsung akan berusaha menyamakan persepsi mengenai hal yang akan dipelajari dengan hal yang telah dipelajari sebelumnya. Dan setiap
peserta didik juga ingin dihargai saat mengutarakan pendapat maupun kesulitan belajar yang mengganggu konsentrasi belajar. Jika hal tersebut tidak diselesaikan
maka percakapan dalam pembelajaran akan didominasi oleh guru. Selain itu, memperhatikan tuturan saat bercakap dengan peserta didik merupakan hal yang
terpenting dalam membangun kondisi emosi peserta didik dalam menguasai keterampilan berbahasa.
Percakapan yang terjadi di kelas baik antara guru dengan peserta didik maupun antar peserta didik secara tidak langsung juga sangat mempengaruhi
perkembangan berbahasa peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Jack C. Richard 1995: 2 yang menyimpulkan bahwa percakapan adalah suatu aktivitas
yang diatur dengan kaidah, norma, dan konvensi yang dipelajari sabagai bagian dari proses pemerolehan kompetensi berbahasa. Dengan kata lain, percakapan
merupakan salah satu peristiwa tutur yang tidak sekedar pertukaran informasi antara penutur dan mitra tutur, melainkan lebih pada saling berbagi prinsip-prinsip
umum agar dapat saling menginterpretasi ujaran yang dihasilkan. Dwi Purnanto 2003: 95 juga menambahkan bahwa setiap tuturan akan selalu
mengandung ide, sedangkan setiap peristiwa komunikasi dalam komunitas senantiasa mengandung pola kegiatan tutor yang mencerminkan kompetensi
komunikatif penutur. Hal ini juga terjadi dalam pembelajaran di kelas yang tidak hanya sekedar aktivitas dasar atau meniru dialog, tetapi memfokuskan pada
pemahaman dan pertalian percakapan pembelajaran. Peserta didik sebenarnya memerlukan contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan serta teman
untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya. Sehingga perlu adanya arahan dari guru secara nyata tanpa
menghilangkan kesempatan
peserta didik
untuk melatih
kemampuan komunikasinya.
Secara tidak langsung, guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangka memilah,lingkungan tuturan yang harus diciptakan agar menjadikan proses
pendidikan berlangsung. Proses penciptaan lingkungan tuturan sendiri sudah
commit to user
harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali. Mengelola keduanya
untuk dapat dikaitkan dengan peserta didik sehingga terjadi proses sosialisasi nilai berkomunikasi. St. Y. Slamet 2008: 35 menyebutkan bahwa peserta didik adalah
produk lingkungan, jika sering diajak berbicara dan mampu menjawab sekaligus diberi kesempatan belajar dan melatih keterampilan berbicaranya maka peserta
didik tersebut akan terampil berbicara. Oleh sebab itu, pembelajaran berbahasa yang mengaktifkan pelaku komunitas kelas baik guru maupun peserta didik
sangat menunjang dalam menjadikan hal-hal yang disampaikan dapat diterima oleh peserta didik. Wujud pengorganisiran lingkungan dalam kelas akan menjadi
bermakna secara sosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambil oleh peserta didik untuk mencapai kedewasaan berkomunikasi yang mandiri.
Hasil penelitian Baldie dalam Abdul Chaer 2002: 238 yang menyimpulkan bahwa baru sekitar 80 dari anak usia tujuh setengah sampai delapan tahun dapat
menggunakan kalimat pasif dan kesulitan dalam mengontruksi kalimat imperatif, tetapi sudah dapat menggunakan bahasa dalam konteks dengan memperhatikan
kesopanan. Hal ini hampir sama dengan pendapat Muhibbin Syah 2008: 67 yang mengungkapkan bahwa tahap ketiga setelah tahap sensory-motor dan pre-
operational adalah tahap operasional konkret pada anak usia tujuh hingga sebelas tahun yang mulai membentuk representasi simbolik benda-benda di sekitarnya
seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar dan lain- lain. Ghazali 2004: 213 berdasarkan penelitiannya juga menyimpulkan bahwa
pengembangan inti leksikal dan inti fungsional tuturan menuju proyeksi maksimal dalam bahasa Indonesia bahasa kedua siswa SD ternyata terjadi secara bertahap,
sebagaimana dapat diikuti dari perkembangan kerumitan kalimat siswa SD kelas IV, V, dan VI. Oleh karena itu, ujaran yang diterima merupakan sintesis dari
proses pengubahan konsep menjadi kode untuk direspon, sedangkan pemahaman pesan merupakan rekognisi sebagai hasil analisis terhadap kode yang diterima
sehingga terbentuklah representasi makna. Dengan penjabaran di atas, membuktikan bahwa pada periode usia sekolah
perkembangan bahasa yang paling jelas tampak adalah perkembangan semantik
commit to user
dan pragmatik, di samping mempelajari bentuk-bentuk baru, peserta didik belajar menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lebih efektif. Ada dua jenis
penambahan makna kata secara horizontal yaitu peserta didik semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun
penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat. Selain itu, terjadi pula perkembangan kemampuan
menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun secara tertulis. Penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang
bervariasi pun meningkat. Kegiatan proses belajar mengajar merupakan proses menanamkan norma
dalam jiwa peserta didik melalui peranan guru dalam pembelajaran sehingga terjalin interaksi edukatif. Syaiful Bahri Djamarah 2005:11 mengungkapkan
bahwa proses interaktif edukatif menggambarkan percakapan dua arah antara guru dan peserta didik yang mengandung norma pengantar tingkah laku yang sesuai
pengetahuan peserta didik. Oleh karena itu, percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas V seharusnya telah mengarah pada kesantunan berbahasa
sehingga tuturan guru pada peserta didik memperhatikan pencapaian interaksi edukatif dengan penggunaan bahasa yang lebih mementingkan aspek kesopanan
sesuai SK dan KD. Sopan santun dapat ditunjukkan tidak hanya dalam bentuk tindakan, tetapi
juga dalam bentuk tuturan. Membukakan pintu bagi seseorang jauh lebih sopan daripada membanting pintu di hadapan seseorang. Demikian juga dalam tuturan
“Silakan masuk” lebih sopan daripada tuturan “Masuk”. Sopan santun dalam bentuk tuturan atau kesantunan berbahasa setidaknya bukan semata-mata motivasi
utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan merupakan faktor pengatur yang menjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar, menyenangkan, dan tidak
sia-sia. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Geoffrey Leech 1993:38 bahwa manusia pada umumnya lebih senang mengungkapkan pendapat-pendapat yang
sopan daripada yang tidak sopan. Untuk itulah, penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran
berbahasa merupakan metode yang baik untuk mengarahkan interaksi kelas sesuai
commit to user
tujuan pembelajaran. Meskipun juga rawan ketidakpahaman tuturan antara penutur dengan mitra tutur jika tidak diimbangi dengan praanggapan yang sama
atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemahaman tuturan. Apalagi jika bahasa yang digunakan penutur dan mitra tutur merupakan bahasa kedua bahasa
Indonesia dan masih dalam tingkatan belajar. Peran guru dan penanaman kebiasaan dalam pembelajaran berbahasa sangat penting guna mendukung
kelancaran komunikasi antara guru dengan peserta didik yang masih menggunakan dua bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal
ini ditambah dengan SD Negeri I Pondok yang dampak globalisasi belum terlalu mengikis nilai kesopanan, membuat peserta didik sekolah ini masih menganggap
guru sebagai sosok yang disegani.
B. Penelitian yang Relevan
Hasil Penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan pada penelitian ini adalah 1 Chusni Hadiati dalam tesis yang berjudul
“Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan Tokoh Wanita dan Tokoh Laki-Laki dalam Film The Sound Of Music tahun 2007”, 2 Anina Syaifatul dalam skripsi
yang berjudul “Implikatur Percakapan dalam Wacana Humor Berbahasa Indonesia tahun 2005”, 3 Eriza Muraqin dalam skripsi yang berjudul
“Implikatur Percakapan Pada Bahasa Iklan Produk Studi Kasus Di Radio Gsm Fm tahun 2009”, dan 4 Sudirman dalam laporan penelitian yang berjudul
“Implikatur dalam Percakapan Bahasa Inggris Siswa SMA: Studi Pragmatik tahun 2005”.
Chusni Hadiati dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tindak tutur dan implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama dan
kesantunan pada wacana percakapan film The Sound of Music adalah sebagai berikut: 1 implikatur representatif 2 implikatur direktif; 3 implikatur komisif;
4 implikatur ekspresif. Alasan perbedaan tuturan tokoh wanita dan tokoh laki- laki itu disebabkan adanya kecenderungan kaum subordinat wanita untuk
berperilaku sopan termasuk dalam penggunaan bahasa dan bentuk bahasa yang sopan dalam merefleksikan asal kelas sosial penutur.