commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa memiliki beragam ciri dan fungsi yang disesuaikan dengan penggunaannya dalam masyarakat. Soeparno 2002: 1 memaparkan bahwa
bahasa adalah suatu sistem tanda ujaran arbitrer manasuka yang konvensional dan bersifat sistemik terdiri dari subsistem-subsistem sekaligus sistematik
memiliki kaidah yang teratur. Empat dimensi sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa antara lain jarak sosial, status sosial, tingkat keresmian dan
fungsinya Holmes dalam Sarwiji Suwandi, 2008: 98. Sehingga dapat diketahui bahwa pemakaian bahasa sangat dipengaruhi faktor sosial penutur dan mitra tutur
saat berkomunikasi. Kajian tentang bahasa sendiri takkan lengkap tanpa mengkaji percakapan
yang merupakan bentuk penggunaan bahasa paling umum sekaligus begitu integral dalam pemahamannya. Hal ini membuat penutur secara tidak langsung
melakukan kesepakatan dengan mitra tutur dalam memilih ujaran yang akan digunakan atau menyamakan praanggapan terlebih dahulu sehingga komunikasi
menjadi lebih efektif meskipun tuturan yang digunakan tidak sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Dengan demikian konsep tuturan dalam suatu
komunikasi merupakan tataran yang sederhana, tetapi pembelajaran keterampilan berbahasa sangat dibutuhkan karena menjadi rumit saat dikaitkan dengan masalah
pragmatik cara pemakaian bahasa. Belajar
bahasa diawali
dengan memahami
bahasa, mencoba
menggunakannya, dan mempelajari bahasa saat bahasa tersebut digunakan Ahmad Rofi’uddin dan Darmayati, 2001: 143. Konsep belajar ini lebih
menitikberatkan pelaziman perilaku berbahasa dalam proses belajar mengajar bagi peserta didik sejak tingkat dasar. Dengan kata lain pembelajaran berbahasa lebih
mengarahkan agar peserta didik tidak hanya memahami tentang bahasa tetapi juga mampu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sesuai tata krama
berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Namun yang lebih menjadi perhatian 1
commit to user
guru dalam pembelajaran berbahasa adalah seberapa paham peserta didik dengan maksud yang ingin disampaikan guru melalui bahasa pengantar baik dengan
bahasa pertama dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Untuk itu, jika peserta didik tidak dapat memahami maksud penjelasan
guru karena materi pelajaran yang baru atau asing bagi peserta didik, maka interaksi pembelajaran hanya akan berjalan searah yaitu dari guru ke peserta
didik. Hal ini disebabkan kemampuan siswa untuk menyerap penjelasan guru berbeda-beda. Ada peserta didik yang cepat memahami penjelasan guru, tetapi
ada juga yang lambat. Untuk itu, guru memerlukan strategi mengajar yang lebih sesuai karakteristik peserta didik agar interaksi pembelajaran berjalan optimal dan
peserta didik benar-benar paham maksud guru. Selain itu, adanya kesempatan yang diberikan guru terhadap peserta didik
untuk menyampaikan pemikiran juga menjadi hal penting dalam pembelajaran berbahasa. Sehingga, guru tidak terlalu memegang kontrol serta “power” atas
peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dapat diidentifikasikan dari seberapa dominasinya penyampaian pemikiran yang berasal dari guru
dibandingkan penyampaian pemikiran-pemikiran dari peserta didik saat pembelajaran sedang berlangsung. Meski tak dapat dipungkiri, peserta didik
sekolah dasar masih membutuhkan lebih banyak kontrol serta pengawasan dalam bentuk perintah dari gurunya. Hanya saja adakalanya guru memerlukan kontrol
yang lebih halus terhadap perilaku maupun cara berbahasa peserta didik sehingga peserta didik tidak hanya mampu menyampaikan maksud sesuai pertanyaan atau
stimulus yang diberikan guru, tetapi juga lebih mampu berkreasi dalam berbahasa untuk bertanya dan mengutarakan hal-hal yang ada dibenaknya tentang topik
pembicaraan. Guru merupakan sosok yang menjadi panutan di masyarakat, terutama di
sekolah. Segala sesuatu yang dilakukan dan dituturkan guru saat menyampaikan sesuatu hal akan ditiru oleh peserta didik. Peserta didik mempelajari bahasa orang
lain dengan meniru cara pengungkapan pemikiran yang didengarnya, terutama apa yang didengar dari gurunya di sekolah. Jalaluddin Rakhmat 2001: 25
mengungkapkan bahwa belajar adalah peniruan imitation dan kemampuan
commit to user
meniru respon orang yang sering dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukannya merupakan penyebab utama belajar. Konsep belajar ini juga menggolongkan
ganjaran dan hukuman yang diberikan guru bukanlah faktor penting dalam belajar, melainkan justru merupakan faktor penting dalam melakukan tindakan
performance berbahasa bagi peserta didik. Sehingga guru dituntut untuk lebih menghargai dengan respon positif terhadap keberanian peserta didik dalam
mengungkapkan perasaan dan mengarahkan tanpa mencela peserta didik. Jika terjadi penyimpangan interpretasi maksud guru, hal tersebut merupakan hal yang
wajar karena percakapan dalam pembelajaran di kelas melibatkan banyak mitra tutur dengan berbagai latar pengetahuan. Di saat itulah peran guru dalam respon
hal tersebut dengan bijak untuk menjelaskan tujuan pembicaraan yang ingin disampaikan justru sangat penting dibanding sekedar menyampaikan materi. Hal
ini karena suasana kelas yang memberikan kebebasan peserta didik mengungkapkan pikiran perasaannya secara terus menerus merupakan hal dasar
dalam memaksimalkan kemahiran berbahasa peserta didik. Meskipun bahasa Indonesia secara baku belum memiliki kaidah kesantunan
secara pasti, tetapi setidaknya rambu-rambu untuk berkomunikasi secara santun sudah dapat diidentifikasi dengan memperhatikan prinsip kerjasama dan sopan
santun. Secara singkat, kompetensi inilah yang seharusnya telah dimiliki guru dan dapat dipraktikkan saat proses pembelajaran bahasa Indonesia yang dalam
masyarakat pedesaan masih dianggap sebagai bahasa kedua setelah bahasa Jawa. Salah satunya dengan menjelaskan materi dengan bahasa Indonesia yang
informatif, jujur, relevan dan tidak ambigu. Namun pada kenyataan dalam berkomunikasi guru maupun peserta didik tak jarang sengaja melanggar prinsip
percakapan untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur secara implisit atau yang sering disebut implikatur percakapan.
Kedua pendapat di atas juga sesuai dengan hasil wawancara dengan kepala SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo Munasyiroh, S.
Pd.. Dikemukakannya bahwa kelas V termasuk kelas tinggi sehingga telah menggunakan bahasa Indonesia yang baik, baku dan mengandung unsur sopan
santun. Setiap guru terutama guru yang mengajar di kelas V juga harus
commit to user
menggunakan unsur kesopanan dalam berbahasa sebagai contoh konkret teladan bagi peserta didik dalam pengaplikasian berbahasa Indonesia yang baik dan benar
sekaligus sopan. Salah satu cara berbahasa yang digunakan guru dalam pembelajaran kelas V dapat berupa penyampaian maksud secara langsung atau
tidak langsung sesuai kondisi dan tujuan tuturan. Contohnya saat guru ingin menasehati peserta didik cukup diungkapkan dengan menyindir peserta didik agar
peserta didik tidak merasa tertekan dan juga dapat belajar menjaga perasaan orang lain yang diajak berbicara.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah sebagai tempat pengajaran bahasa itu berlangsung merupakan wilayah
sosial pemakaian bahasa societal domain yang mempunyai corak tersendiri. Sekolah merupakan masyarakat tutur speech community yang berbeda dengan
masyarakat tutur yang lain, lengkap dengan perbedaan penutur speaker dan perbendaharaan tuturnya speech reportoire. Corak khas ini sangat terlihat di
sekolah pedesaan, khususnya sekolah di kecamatan Nguter yang pada umumnya merupakan masyarakat bilingual dengan menggunakan lebih dari satu bahasa
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Efek yang timbul dalam praktik bilingual ini adalah terjadinya peristiwa sentuh atau kontak antarbahasa atau antarvariasi
bahasa saat menyampaikan maksud kepada mitra tutur. Dalam peristiwa tersebut sering terjadi adanya saling pengaruh dan pencampuran antara bahasa tutur yang
satu dengan bahasa tutur yang lainnya. Akibatnya, dimungkinkan penyimpangan interpretasi maksud yang disampaikan karena perubahan bahasa resultante dan
membuat bahasa mitra tutur bersifat purposif, yaitu respon yang menggunakan bahasa yang dikuasai dan bahasa lingkungan sekaligus saat mengungkapkan
gagasan atau pikirannya secara langsung. Di samping itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam proses belajar
mengajar di sekolah dasar merupakan ragam bahasa lisan yang mempunyai maksud tergantung konteks tuturan sehingga dapat melahirkan persepsi yang
berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan komunikasi di kelas, peserta didik harus mampu menangkap maksud dari guru atau sebaliknya, sehingga tidak terjadi
“salah persepsi”. Hal ini berarti yang terpenting dalam komunikasi tidak hanya
commit to user
bentuk-bentuk bahasa lokusi, tetapi juga apa yang “terselubung” dalam satu tindak bahasa yaitu apa yang ingin disampaikan oleh seorang penutur kepada
mitra tuturnya. Pengetahuan pragmatik dalam arti praktis komunikatif saat pembelajaran menjadi hal yang penting dalam pembelajaran berbahasa bahkan
sejak tingkat sekolah dasar. Sehingga pengetahuan praktis ini patut diterapkan oleh guru untuk membekali peserta didik dengan keterampilan berbahasa menurut
situasi tertentu disamping teori bahasa sebagai landasan. Selain itu, penginterpretasian pesan tambahan dari tindak bahasa
berimplikatur percakapan tersebut tentu saja memerlukan beberapa prinsip kerjasama dan sopan santun yang harus dipahami penutur dan mitra tutur. Hanya
saja penerapan prinsip-prinsip percakapan ini menjadi lebih sulit jika bahasa yang digunakan merupakan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia yang pada dasarnya
juga masih dipelajari penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Sifat pembelajaran bahasa kedua bahasa Indonesia tentunya akan berbeda
dengan sifat pembelajaran bahasa pertama karena sangat dipengaruhi lingkungan dan fungsi pemakaian bahasa tersebut bagi masyarakat tempat peserta didik
bertempat tinggal Burhan Nurgiyantoro, 2010: 279. Dalam proses belajar mengajar di sekolah dasar, bahasa Indonesia
merupakan bahasa pengantar yang seharusnya digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi, tugas atau memberi reaksi terhadap kontribusi yang
dilakukan oleh siswa, meskipun bahasa sehari-hari yang digunakan oleh siswa dan guru adalah bahasa Jawa. Tindakan yang dilakukan guru tersebut sebenarnya
memiliki tujuan untuk membiasakan peserta didik menggunakan bahasa Indonesia saat berada di dalam lingkup sekolah. Selain itu, tindakan tersebut dapat
digunakan untuk mendukung kelancaran belajar peserta didik di tingkat satuan pendidikan yang lebih tinggi.
Namun pada kenyataannya, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi guru dengan peserta
didik untuk mempelajari suatu materi ajar justru dapat menjadi momok tuturan yang dianggap menyakiti salah satu pihak tutur karena perbedaan latar belakang
pengetahuan. Hal ini juga dapat terjadi pada proses belajar mengajar mata
commit to user
pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang tidak terlepas dari penggunaan bahasa pertama dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa sebagai bahasa
pengantar. Oleh karena itu, tidak jarang guru menggunakan implikatur percakapan yang berwujud bahasa pertama bahasa Jawa saat peserta didik dinilai belum
dapat memahami kosakata tertentu dalam bahasa Indonesia. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi kebiasaan penggunaan bahasa
Indonesia dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran bahasa Indonesia. Apalagi jika seorang guru lebih menekankan prinsip kesopanan dalam setiap
tuturan yang diucapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yaitu berbahasa yang baik dan benar sekaligus sopan. Dengan kata lain,
penggunaan bahasa pengantar dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan menimbulkan keragaman wujud tutur, fungsi dan tujuan serta alasan pemakaian
tuturan berimplikatur percakapan tersebut. Secara konkret hal ini dapat terlihat percakapan pada kelas V SD Negeri
Pondok 1 tepatnya terletak di Dukuh Bodeyan Desa Pondok Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan
bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di kehidupan sehari-hari. Namun berdasar hasil survey awal prapenelitian, peneliti menemukan ujaran yang berimplikatur
percakapan bahasa Indonesia saat pembelajaran berbahasa Indonesia di kelas V yaitu saat guru menyampaikan maksud untuk menegur peserta didik yang
dianggap bekerja sama dengan peserta didik lain saat mengerjakan tugas individu yang diberikan guru dengan tuturan “Kamu sudah selesai?”. Tuturan tersebut jika
diutarakan secara lugas yaitu “Kalau kamu sudah selesai, jangan mengganggu teman yang sedang mengerjakan”. Tetapi guru tidak menggunakan
menyampaikan maksud tersebut secara eksplisit karena dianggap terlalu keras dan membuat kondisi kelas menjadi kurang kondusif karena peserta didik merasa
takut saat guru sedang marah. Jika peserta didik tersebut tidak mengerti maksud ujaran guru maka tidak akan tercipta kerjasama yang terlihat dari respons peserta
didik terhadap ujaran tersebut, tetapi karena dia mengetahui maksud ujaran guru maka dia langsung merespons dengan respons nonverbal yaitu dengan
memperbaiki sikap duduk. Pengungkapan maksud secara implisit ini dilakukan
commit to user
guru karena mengingat situasi saat itu memerlukan konsentrasi yang tinggi maka peserta didik tidak boleh merasa tersinggung dan takut dengan teguran guru tetapi
tetap mengerti bahwa yang dilakukannya dapat mengganggu konsentrasi teman lain. Dengan demikian, tuturan dengan bahasa sopan menjadi pilihan guru dalam
proses pembelajaran melalui penyampaian tuturan dengan wujud lain, tetapi tidak mengubah maksud yang ingin disampaikan.
Alasan lain peneliti memilih pembelajaran di SD Pondok I Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagai objek penelitan karena SD ini terletak jauh
dari pusat kota dengan masyarakat sekitar sekolah yang lebih mementingkan undha usuk dalam bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari dibandingkan
menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan bahasa pengantar pembelajaran dalam SD ini juga menggunakan bahasa campuran yaitu bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa sebagai penyesuaian penggunaan bahasa guru dengan peserta didik yang masih menggunakan bahasa Jawa dalam interaksi sehari-hari. Materi
pembelajaran akan mudah dimengerti jika disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti peserta didik. Selain itu, hal ini dilakukan agar komunikasi
dalam pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun di sisi lain, penggunaan kedua bahasa tersebut saat menyampaikan maksud secara
tersembunyi juga akan mempengaruhi kebiasaan berbahasa yang diterapkan antara guru dan peserta didik karena cara berbahasa guru merupakan contoh bagi
peserta didik. Kebiasaan tersebut akan terlihat pada wujud implikatur percakapan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan fungsi tertentu.
Kelas V SD termasuk kelas tinggi yang memungkinkan interaksi pembelajaran dengan respons yang lebih beragam dari setiap peserta didik saat
mengungkapkan pendapat terhadap stimulus berimplikatur percakapan yang diberikan guru baik dengan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Hal ini secara
tidak langsung juga akan menimbulkan pola tuturan yang lebih beragam dibanding kelas dibawahnya kelas I sampai kelas IV yang dimungkinkan terjadi
pelanggaran maksim baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dan berdampak pada cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan kata lain,
commit to user
jika alasan penggunaan berbeda maka akan berbeda pula wujud tuturan berimplikatur.
Wujud, fungsi, tujuan, dan alasan penggunaan implikatur percakapan dapat menjadi masalah bertutur yang cenderung menimbulkan salah maksud bagi mitra
tutur, dan bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi konflik antara penutur dengan mitra tutur. Padahal suatu bahasa pengantar pembelajaran seharusnya
dapat memudahkan peserta didik memahami maksud guru maupun antarpeserta didik, tetapi dalam hal ini justru dapat menjadi hambatan belajar bagi peserta
didik jika implikatur percakapan yang digunakan metode pembelajaran guru justru tidak dimengerti peserta didik. Jika ketidakmengertian ini berlangsung terus
menerus akan membuat prestasi belajar menurun dan mempengaruhi cara berbicara peserta didik menjadi sulit dipahami orang lain hanya untuk memenuhi
maksim tertentu yang dianggap dapat menunjang sopan santun dalam berkomunikasi.
Berdasarkan pada pemaparan tersebut, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian yang berkaitan penggunaan implikatur percakapan guru dan peserta
didik dengan judul “Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo”.
B. Rumusan Masalah