Pengaruh persepsi tentang pola asuh dan attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK karya putra bangsa Depok
SISWA SMK KARYA PUTRA BANGSA DEPOK
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Disusun oleh : RATIH NUR SYAFITRI
105070002300
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011
(2)
ii
SISWA SMK KARYA PUTRA BANGSA DEPOK
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
RATIH NUR SYAFITRI NIM : 105070002300
Di bawah bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Rachmat Mulyono, M.Psi., Psi Yufi Adriani, M.Psi NIP.19650220 199903 1 003 NIP.19820918 200901 2006
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(3)
iii
KRITIS SISWA SMK KARYA PUTRA BANGSA DEPOK”initelah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Oktober 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) Fakultas Psikologi.
Jakarta, 11 Oktober 2011
Sidang Munaqasyah
Dekan / Ketua Pembantu Dekan/Sekretaris
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP.19561223 198303 2 001
Anggota :
Dra. Netty Hartati, M.Si Drs. Rachmat Mulyono, M.Si, Psi. NIP. 1953 10021983032 NIP. 19650220 199903 1 003
Yufi Adriani, M.Psi NIP. 19820918 200901 2006
(4)
iv NIM : 105070002300
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH PERSEPSI TENTANG POLA ASUH DAN ATTACHMENT STYLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMK KARYA PUTRA
BANGSA DEPOK” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam menyusun karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari orang lain.
Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 11 Oktober 2011 Yang Menyatakan
Ratih Nur Syafitri NIM: 105070002300
(5)
v
Dan barang siapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada
(buhul) tali yang amat kokoh.
Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan
(Q.S. Luqman : 22)
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap
(Q.S. Al-Insyirah : 5-8)
Ku Dedikasikan Skripsi ini
untuk Bapak, Ummi dan Suamiku tercinta ...
(6)
vi (C)Ratih Nur Syafitri
(D)Pengaruh persepsi tentang pola asuh dan attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
(E)Halaman : xi + 136
(F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persepsi anak tentang pola asuh orang tua (authoritarian, authoritative, permisif memanjakan dan permisif tidal peduli) dan attachment style (secure, anxious resistant, anxious avoidant) terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok. Diduga jenis-jenis pola asuh dan attachment style
memiliki pengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depoki,dikarenakan pola asuh dan
attachment style berkaitan erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan berpikir kritis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan populasi berjumlah 155 dan sampel sejumlah 94 siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok dari kelas X1-X5, sampel diambil dengan menggunakan teknik purposif sampling.
Untuk instrumen pengumpulan data, digunakan skala persepsi anak tentang pola asuh orang tua yang terdiri dari 63 item, skala attachment style
yang terdiri dari 46 item dan alat tes berpikir kritis yang merupakan adaptasi
“Cornell Class Reasoning Test Form X” terdiri dari 43 item. Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi berganda, dengan program SPSS versi 17.0. Pengujian validitas konstruk, untuk skala persepsi pola asuh dan attachment style menggunakan program SPSS versi 17.0, sedangkan uji validitas item untuk alat tes adaptasi “Cornell Class Reasoning Test Form X” menggunakan program ITEMAN versi 3.0.
Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh dan attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok. Kontribusi variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini terhadap kemampuan berpikir kritis siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok sebesar 23,2% dengan indeks signifikansi 0,001 yang berarti P < 0,05.
(7)
vii
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis memberikan saran yang dapat dijadikan bahan masukan dan informasi positif bagi siswa, orang tua, pendidik, dan instansi pendidikan yang terkait khususnya SMK Karya Putra Bangsa dalam penelitian ini. Dikarenakan hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh orang tua dan attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, peneliti merekomendasikan untuk membangun persepsi tentang pola asuh dan attachment style siswa melalui program bimbingan dan konseling bekerja sama dengan orang tua siswa sehingga persepsi tentang pola asuh dan attachment style yang dibangun oleh siswa lebih baik (positif) sehingga kemampuan berpikir kritisnya akan meningkat. Disamping itu kendala dalam penelitian ini masih ada 76,8% faktor-faktor lain yang belum diteliti dalam penelitian ini yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa. Saran metodologis dalam penelitian ini salah satunya adalah ada baiknya penelitian selanjutnya menggunakan alat tes berpikir kritis yang berbeda agar dapat dilakukan perbandingan.
(8)
viii
peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman yang gelap gulita hingga alam yang terang benderang dengan ilmu pengetahuan.
Peneliti menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Jahja Umar, Phd, Dekan Fakultas Psikologi UIN syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dra. Fadhillah Suralaga, M.Si, Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dra. Netty Hartati, M.Si, selaku penguji I atas bimbingan dan saran yang diberikan
4. Drs. Rachmat Mulyono, M.Si, Psi, Dosen pembimbing I dan penguji II yang dengan sabar dan penuh pengertian membantu, membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama penulisan skripsi
5. Yufi Adriani, M.Psi, Dosen pembimbing II yang dengan sabar dan penuh pengertian membantu, membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama penulisan skripsi
6. Ikhwan Luthfi, M.Si, Dosen pembimbing akademik yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Seluruh dosen, staff akademik dan administrasi yang telah membantu
penulis selama menempuh studi dan memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini.
(9)
ix
9. Bapak dan Ummi tercinta atas segala limpahan kasih sayang, bimbingan dan juga bantuannya selama hidup penulis. Maafkan jika persembahan ini tertunda dari waktu yang seharusnya. Semoga Allah memaafkan dosa dan menyayangi kalian berdua sebagaimana kalian menyayangi penulis sejak kecil
10.Bapak, Mamah (Alm) mertua, dan nenek atas segala limpahan kasih sayang, pengertian dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
11.Suamiku tercinta, yang telah menjadi telaga semangat dan kasih sayang yang tak pernah kering, tanpanya mungkin penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini pada waktunya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai keluarga penghuni surga
12.Kakak dan adikku, Aa Gugum, Mba Okti, Teteh Nenden, Aa Hendi, Aa Anto, Teteh Lisda, Aa Dawa, dan Opi atas semangat dan bantuannya selama ini kepada penulis
13.Saudara-saudariku di LDK KOMDA Psikologi angkatan 2005 (Rofiqo (Alm), Novi, Eva, Iyung, Arizka, Evi, Via, Nia, Yunita, Yulistin, Yunita S, Desti, Mila, Fillah, Arif, Hari, Rusydi, Didit) atas kebersamaan, kekeluargaan dan semangatnya
14.Kakak-kakak dan adik-adik seperjuangan angkatan 2003-2004 LDK KOMDA Psikologi dan keluarga Besar LDK SYAHID UIN Jakarta atas ukhuwah dan kebersamaannya
15.Keluarga Besar PIM dan DPMU (2007-2008) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya
16.Sahabat-sahabat yang telah banyak membantu, mendukung, dan berkontribusi dalam proses penyusunan skripsi ini Deby A. Suganda S.Psi,
(10)
x
18.Semua saudara, sahabat dan rekan-rekan penulis lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.
Akhir kata, peneliti berharap skripsi ini dapat memberikan menfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.
Ciputat, 11 Oktober 2011 Peneliti
(11)
xi
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR BAGAN ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Pembatasan dan perumusan masalah ... 11
1.3.1. Batasan Masalah... 11
1.3.2. Peruumusan Masalah ... 13
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 15
1.4.1. Tujuan Penelitian ... 15
1.4.2. Manfaat Penelitian ... 17
1.4. Sitematika Penulisan ... 19
BAB 2 KAJIAN TEORI ... 20
(12)
xii
dalam berpikir kritis ... 25
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis ... 28
2.2. Persepsi ... 32
2.2.1. Pengertian persepsi... 32
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ... 33
2.2.3. Proses persepsi ... 35
2.3. Pola asuh ... 36
2.3.1. Pengertian pola asuh ... 37
2.3.2. Aspek-aspek dalam pola asuh ... 38
2.3.3. Jenis-jenis pola asuh ... 39
2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh ... 43
2.4. Attachment style ... 45
2.4.1. Pengertian attachment ... 45
2.4.2. Attachment style ... 47
2.4.3. Internal working model ... 50
2.4.4. Pengukuran kualitas attachment ... 51
2.4.5. Figur attachment ... 54
2.4.6. Attachment pada remaja ... 56
2.4.7. Stabilitas attachment style ... 57
(13)
xiii
2.5.4. Perkembangan berpikir kritis pada remaja ... 66
2.6. Kerangka berpikir... 68
2.7. Hipotesa penelitian ... 73
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 76
3.1. Pendekatan dan jenis penelitian ... 76
3.2. Variabel penelitian ... 77
3.3. Definisi operasional variabel ... 78
3.4. Populasi, sampel, dan teknik sampling ... 79
3.2.1. Populasi ... 79
3.2.2. Sampel dan teknik sampling ... 80
3.5. Pengumpulan data ... 80
3.4.1. Teknik pengumpulan data... 80
3.4.2. Instrumen penelitian ... 82
3.6. Uji instrumen penelitian ... 91
3.6.1. Uji validitas ... 91
3.6.2. Uji realibilitas ... 92
3.6.3. Uji hipotesis ... 93
3.7. Hasil uji coba instrumen penelitian ... 95
3.7.1. Hasil uji coba instrumen persepsi tentang pola asuh .... 96
(14)
xiv
4.1. Gambaran subjek/objek penelitian ... 114
4.2. Presentasi data ... 119
4.2.1. Deskripsi statistik... 119
4.2.2. Deskripsi skor subjek ... 119
4.3. Deskripsi data ... 121
4.3.1. Analisis regresi berganda ... 121
4.3.2. Uji hipotesis ... 127
4.3.3. Analisis regresi sederhana dan one way ANOVA ... 129
4.4. Proporsi varians ... 135
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 140
5.1. Kesimpulan ... 140
5.2. Diskusi ... 142
5.3. Saran ... 145
5.3.1. Saran metodelogis ... 145
5.3.2. Saran praktis ... 147
DAFTAR PUSTAKA ... 148
(15)
xv
(16)
xvi
Tabel 3.2 Skala persepsi tentang pola asuh ... 83
Tabel 3.3 Skala attachment style ... 87
Tabel 3.4 Cornell Class Reasoning Test Form X ... 90
Tabel 3.5 Kriteria realibilitas ... 92
Tabel 3.6 Realibilitas skala persepsi tentang pol asuh ... 96
Tabel 3.7 Validitas skala persepsi tentang pola asuh ... 97
Tabel 3.8 Blue print skala penelitian persepsi tentang pola asuh ...100
Tabel 3.9 Realibilitas skala attachment style ...104
Tabel 3.10 Validitas skala attachment style ...104
Tabel 3.11 Blue print skala penelitian attachment style ...106
Tabel 3.12 Hasil analisis validitas item Cornell Class Reasoning Test Form X ...110
Tabel 3.13 Blue Print penelitian Cornell Class Reasoning Test Form X ...110
Tabel 3.14 Reliabilitas adaptasi Cornell Class Reasoning Test Form X ...111
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan kelas ...114
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin ...115
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan suku bangsa ...115
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan Ayah ...116
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan ibu ...117
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi responden berdasarkan perbedaan status ibu bekerja ...117
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi responden berdasarkan perbedaan tingkat pendapatan orang tua per-bulan ...118
Tabel 4.8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan perbedaan figur pengasuh dominan ...118
(17)
xvii
Tabel 4.11 ANOVAb Analisis regresi dari 7 IV ...122
Tabel 4.12 Model Summary analisis regresi dari 7 IV ...123
Tabel 4.13 Coefficientsa 7 IV terhadap DV ...124
Tabel 4.14 ANOVAb regresi sederhana tingkat prestasi belajar ...129
Tabel 4.15 Model Summary tingkat prestasi belajar di kelas ...130
Tabel 4.16 ANOVA jenis kelamin (jender) ...130
Tabel 4.17 ANOVA suku bangsa ...130
Tabel 4.18 ANOVA tingkat pendidikan Ayah ...131
Tabel 4.19 ANOVA tingkat pendidikan Ibu ...131
Tabel 4.20 ANOVA status ibu bekerja ...132
Tabel 4.21 ANOVA tingkat pendapatan orang tua ...132
Tabel 4.22 ANOVA figur pengasuh dominan ...133
Tabel 4.23 Hasil Penghitungan Proporsi Varians kemampuan berpikir kritis ...136
(18)
xviii Lampiran 2 Data uji validitas dan realibilitas Lampiran 3 Data instrumen penelitian Lampiran 4 Data input penelitian
Lampiran 5 Data hasil analisis regresi ganda
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Informasi biasanya digunakan untuk membuat kesimpulan. Setiap orang bisa salah dalam mengambil kesimpulan, karena menerima dan menggunakan informasi dari satu perspektif tertentu saja tanpa membandingkannya dengan infomasi yang lain. Para ilmuwan, psikolog dan dokter bisa memberi saran yang salah karena tidak cermat menimbang informasi. Akibatnya, para pengguna jasa mereka sering dirugikan karena terlalu cepat percaya pada informasi dari satu perspektif tertentu saja.
Manusia memerlukan informasi dalam kehidupannya untuk membantu menjalani kehidupan, terutama untuk mengenali mengetahui masalah-masalah sehari-hari. Kemudian manusia berusaha memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahannya melalui usaha kreatif dan kemampuannya memecahkan masalah (problem solving). Usaha manusia untuk bertahan hidup berkaitan langsung dengan aspek kognitif manusia yaitu kemampuan berpikir. Berpikir merupakan proses internal yang di dalamnya terjadi pengubahan informasi sehingga memungkinkan untuk diarahkan menuju pemecahan masalah yang menghasilkan gambaran mental baru. Permasalahan yang kompleks dan tingginya tuntutan kehidupan yang dihadapi manusia seiring perkembangan zaman tidak mungkin teratasi hanya dengan mengandalkan proses
(20)
berpikir yang „biasa‟ saja, yaitu suatu proses berpikir yang kurang sistematis ataupun analitis. Proses berpikir semacam ini sulit menghasilkan kesimpulan atau solusi yang mengena bagi pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan. Manusia membutuhkan suatu usaha yang lebih aktif lagi dalam menerima dan mengolah informasi baru yang masuk dalam memorinya (Prabandari, 2004).
Moore dan Parker (2007) mengemukakan satu cara untuk menghindari kerugian atau kecelakaan yang disebabkan kesalahan penggunaan informasi yaitu dengan berpikir kritis. Menurut mereka, berpikir kritis memperbesar kemungkinan manusia memperoleh informasi yang benar. Informasi yang benar sangat membantu manusia mengambil tindakan yang tepat. Inti dari berpikir kritis adalah tidak begitu saja menerima atau menolak informasi yang dihadapi. Dengan kata lain tidak begitu saja membuat keputusan tentang sesuatu. Berpikir kritis merupakan suatu perilaku yang bisa dipelajari. Dengan melatih berpikir kritis, seseorang dapat melakukan pertimbangan yang hati-hati dan cermat sebelum memberi penilaian atau judgment, seseorang bisa terhindar dari penggunaan infomasi yang menyesatkan (Moore & Parker, 2007).
Dalam perkembangan berpikir kritis, sebuah periode transisi yang penting terjadi pada masa remaja (Keating dalam Santrock, 2007). Hal itu karena pada periode ini terjadi perubahan-perubahan kognitif yang memungkinkan peningkatan berpikir kritis. Peningkatan tersebut antara lain: pertama, meningkatnya kecepatan, otomotisasi, dan kapasitas pemrosesan informasi, yang memungkinkan mereka lebih dapat menggunakan sumber daya kognitifnya untuk
(21)
mencapai berbagai tujuan lain; kedua, meningkatnya cakupan isi pengetahuan di berbagai bidang; ketiga, meningkatnya kemampuan untuk menyusun kombinasi-kombinasi baru dari pengetahuan; lalu keempat, meningkatnya rentang dan spontanitas dalam menggunakan strategi-strategi dan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan, seperti merencanakan, mempertimbangkan berbagai alternatif, dan melakukan monitor kognitif (Santrock, 2007).
Meskipun masa remaja merupakan suatu periode penting dalam perkembangan berpikir kritis, pada kenyataannya banyak fakta yang menunjukkan kurangnya kemampuan berpikir kritis pada remaja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus, salah satu di antaranya, pada masa ujian nasional, banyak siswa yang melakukan kecurangan dengan mencari „bocoran‟ soal bahkan menjualnya kepada siswa yang lain. Apabila ia mempunyai sikap kritis, ia tidak akan melakukan hal tersebut. Karena salah satu karakteristik pemikir kritis adalah mempunyai kejujuran intelektual (Bassham, 2005). Peneliti mendapati kasus tersebut dari siaran banyak televisi swasta mulai dari tahun 2005, sampai tahun ini pun peneliti masih mendengar kasus tersebut masih terjadi. Lalu kurangnya kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan banyaknya remaja yang terjerumus dengan kasus narkoba, walaupun pengaruh kawan sebaya sangat mempengaruhi masalah remaja ini, tetapi apabila ia mempunyai kemampuan untuk menentukan mana yang baik dan yang salah dengan berpikir kritis, semua masalah tersebut dapat dihindari (Santrock, 2007).
(22)
Banyak hal yang mempengaruhi rendahnya budaya kritis pada masyarakat terutama remaja. Menurut Nugroho (1994) kualitas interaksi antara “neorological system” dan lingkungan (pendidikan dan budaya) dimana individu berada,
berpengaruh terhadap perkembangan berpikir kritis seseorang. “Neorological
system” yang dimaksud adalah funsi otak (brain function). Menurut Clark (Nugroho, 1994), otak manusia berisi lebih dari 100-200 trilyun sel otak. Setiap neural sel siap untuk dikembangkan untuk mengaktualisasikan potensi manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Setiap neuron sel siap untuk memproses beberapa trilyun informasi yang diterima. Cara untuk mengaktualisasikan potensi tersebut juga bergantung pada keadaan emosi dan motivasi individu untuk mengaktifkan potensi tersebut. Salah satunya adalah memproses informasi yang masuk ke dalam otak dengan berpikir. Potensi-potensi tersebut juga tidak akan berkembang tanpa bantuan lingkungan baik lingkungan pendidikan dan budaya di mana individu tersebut tinggal (Nugroho, 1994).
Penelitian yang dilakukan oleh Chandra (dalam Prabandari, 2004) menemukan bahwa budaya Indonesia juga dapat menghambat kemampuan berpikir kritis, karena adanya keharusan untuk mengikuti budaya. Jika seseorang tidak mengikuti budayanya maka ia akan menerima sanksi yang berupa pengucilan dari masyarakat. Penelitian ini dilakukan di tiga suku bangsa (Batak Toba, Jawa dan Minangkabau) menggunakan pemuka adat dan pendidik sebagai narasumbernya. Pendidik di Indonesia juga lebih aktif sementara peserta didik hanya pasif dan membeo saja, akibatnya peserta didik tidak dapat mengaktualisasikan potensi dan bakatnya sehingga tidak memiliki kepercayaan
(23)
diri dan tidak mampu untuk mengekspresikan diri. Padahal menurut Vygotsky, seorang anak akan mencapai perkembangan kognitif yang maksimal jika ia mendapatkan bimbingan yang tepat, dalam hal ini interaksi dengan guru, yang dalam pendidikan dapat mempengaruhi kreativitas, kecerdasan, mutu dan kualitas yang dihasilkan. Hal ini juga ditekankan oleh Yumarma (dalam Prabandari, 2004) bahwa “70% keberhasilan pendidikan lebih ditentukan oleh atmosfer pendidikan daripada isi yang diajarkan “. Peserta didik mungkin tidak mampu untuk mengingat seluruh materi yang diajarkan tetapi pola pikir, metode, pola afeksi, rasa merasa dan kreativitas yang tumbuh selama masa bimbingan akan selalu melekat dalam diri anak dan lama kelamaan menyatu dengan kehidupan anak (Prabandari, 2004). Selain itu, kurangnya usaha pembentukan dan penanaman kebiasaan bersikap dan berpikir kritis sejak dini ikut mempengaruhi kemampuan berpikir kritis remaja. Keluarga dan sekolah sebagai institusi pendidikan utama dan mendasar bagi perkembangan individu kurang mengkondisikan sikap dan pemikiran kritis secara optimal sehingga lahirlah individu-individu yang pasif, tidak cepat tanggap dan tidak mampu menyelesaikan persoalan atau menyikapi kondisi aktual masyarakat secara kritis (Rini, 2008).
Kemampuan berpikir kritis, mulai tumbuh sejak kecil. Anak pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk menemukan atau membuat sebuah runtutan pengertian berdasar pengalaman hidup. Mereka ingin dapat bernalar secara baik atau paling tidak ia bisa teliti tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting, tentang apa yang benar dan apa yang salah, mana yang menenuhi syarat dan mana yang tidak. Mereka ingin berpikir dengan benar dan untuk kebenaran ini mereka
(24)
mengkonfirmasikan dengan pengalaman. Namun, anak adalah individu yang egosentris yang pertumbuhan pengertiannya tergantung padanya, meningkat secara perlahan dan tersembunyi sangat dalam (tak terlihat). “Apakah saya berpikir harus benar...”, jika belum maka orang tua yang membimbingnya untuk membenarkan arah berpikir anak itu dan ini adalah implementasi bahwa anak itu bergantung pada orang lain dalam menumbuhkan segala aspek pada diri anak itu. Mendorong anak untuk membuat dan berusaha dalam menalar, dan kita perlu mendemonstrasikan penalaran yang benar dan penalaran yang salah, tentu dalam kealamiahan. Menurut Vygotsky, dalam konsep ZPD (Zone of Proximal Development) yang ia kemukakan, ada batas kemampuan yang tidak dapat dicapai anak tanpa bantuan orang lain yang lebih terampil (Santrock, 2003). Karena orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak, maka pendidikan orang tua pun ikut mempengaruhi kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya dalam berpikir kritis. Dengan alasan tersebut, dapat dikatakan pola asuh orang tua ikut mempengaruhi kemampuan berpikir kritis anak dan remaja.
Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Gunarsa dalam Pratiwi, 2007). Terdapat 3 jenis pengasuhan, yaitu
authoritarian (otoriter), authoritative, dan permisif (Baumrind dalam Santrock, 2003). Baru-baru ini para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan bersifat permisif terdiri dari dua macam yaitu permisif memanjakan dan permisif
(25)
tidak peduli (Santrock, 2003). Sejak dilahirkan, anak sudah mulai menjalani proses berpikirnya, stimulasi-stimulasi yang diberikan seperti warna dan suara untuk merangsang respons juga salah satu upaya melatih kemampuan berpikirnya. Untuk membentuk anak mampu berpikir kritis diperlukan suasana dialogis dalam keluarga, dengan mengungkapkan pertanyaan, isi hati dan pendapat anak kepada orang tua. Pemilihan jenis mainan juga bisa berpengaruh kepada proses berpikir anak, kemampuan berpikir kritis anak tidak akan terlalu berkembang bila hanya diberikan mainan instan seperti play station. Anak sebaiknya sering diberikan permainan seperti lego atau puzzle yang merangsangnya untuk berpikir dan bekerja. Situasi dialogis keluarga dan orang tua yang selektif memilih mainan anak seperti ini, hanya dimungkinkan terjadi pada pola asuh orang tua tipe
autoritatif, dimana orang tua memberikan aturan yang jelas tetapi juga memberikan perhatian dan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan kehendak mereka (Vidiyanto, 2010). Alpay dkk dalam penelitiannya terhadap 1.026 remaja Turki (usia 12-22 tahun) dengan menggunakan metode Watson Glaser Scale of Critical Thinking Appraisal (WGSCTA) mengatakan bahwa sikap orang tua yang otoriter (terutama ibu) berpengaruh negatif terhadap kemampuan berpikir kritis anak remajanya, sedangkan perilaku ibu yang lebih toleran, empati dan lebih kooperatif memberikan kontribusi positif untuk kemampuan berpikir anak remajanya (Alpay & Ozkan, 2005). Keterampilan dasar seperti keterampilan membaca dan matematika bila dikembangkan sepanjang masa kanak-kanak dengan bantuan dan partisipasi orang tua, maka pada tahap perkembangan
(26)
selanjutnya (remaja) potensi pemikiran kritisnya akan mengalami pematangan (Santrock, 2003).
Pola asuh yang baik dapat menghasilkan hubungan timbal balik yang baik antara orang tua dan anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh yang tepat dapat menumbuhkan ikatan emosional atau kelekatan yang secure (Rini, 2008). Ikatan ini disebut attachment. Lebih lengkapnya attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak (Bowlby dalam Harre & Roger, 1996). Faktor kualitas dari pengasuhan meliputi kepekaan orang tua untuk merespon secara konsisten, tepat dan penuh dengan kehangatan, berkaitan dengan terbentuknya
secure attachment yang termasuk salah satu attachment style.Secure attachment
juga dihasilkan dari pengasuh yang membangun komunikasi penuh kenyamanan, menggunakan cara yang fleksibel yaitu dengan adanya sikap penerimaan dalam membantu mengatasi pemasalahan anak. Sedangkan insecure attachment
terbentuk dari interaksi pengasuh yang ditunjukkan dengan sedikitnya kontak fisik, mengatasi permasalahan anak dengan buruk dan kaku, menunjukkan kemarahan dan benci, serta penolakan (Berk dalam Mamay, 2006). Adanya hubungan yang positif antara kemampuan berpikir kritis anak dengan attachment
juga dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prabandari (2004). Prabandari memaparkan lebih jelas gambaran kualitas attachment yang secure
(27)
secara khusus mempengaruhi proses belajar keterampilan berpikir kritis pada anak, dan kemampuan berpikir kritis anak secara umum. Banyak jurnal yang membahas tentang attachment dan manfaatnya dalam kemampuan sosial anak tetapi tidak banyak jurnal yang membahas attachment dengan kemampuan kognitif anak. Padahal jika anak memiliki kualitas attachment yang secure dengan ibu, maka anak mampu untuk mencari jalan atau strategi-strategi untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-hari (Meins dalam Prabandari, 2004). Hal ini mungkin tidak banyak disadari oleh para ibu, sehingga ketika mereka berinteraksi dengan anak, ibu cenderung memanjakan sehingga seakan-akan „lupa‟ untuk mendidik anak, meskipun ibu menyadari bahwa keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Atau terkadang seorang ibu yang bekerja, karena terlalu sibuk, ibu menitipkan anaknya pada seorang pengasuh atau pembantu rumah tangga, sehingga pendidikan yang diberikan oleh seorang pengasuh atau pembantu rumah tangga bisa jadi tidak sama dengan pendidikan yang diberikan oleh ibu kandung, dalam hal ini bisa keluarga atau orang lain. Sementara pendidikan di sekolah, masyarakat dan pemerintah merupakan pelengkap bagi pendidikan di rumah, sehingga ketika seorang ibu melakukan interaksi, ibu tidak hanya sekedar berinteraksi saja, seperti bermain, mencium pipi dan lain sebagainya, tetapi ibu juga dapat mengarahkan anak menjadi seorang pemikir yang kritis (Prabandari, 2004).
Pengalaman penulis sebagai pengajar di salah satu sekolah dasar swasta, banyak melihat anak yang terkesan „cerewet‟, karena bertanya tentang segala sesuatu yang „aneh‟ di mata mereka, dan sesuatu yang mereka tidak mengerti,
(28)
penulis menganggap bahwa sikap anak-anak yang seperti itu menandakan bahwa anak-anak tersebut punya rasa ingin tahu yang besar, dan ketika mereka berani bertanya tentang hal-hal yang mereka ingin ketahui kepada guru mereka, atau mereka berusaha mencari tahu dengan membaca buku, maka mereka mendapatkan sebuah „ilmu‟ yang mungkin saja tidak mereka dapatkan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Dengan rasa ingin tahu, anak-anak tersebut sedang mengasah kemampuan berpikir kritis mereka, karena menurut asumsi peneliti, kemampuan berpikir kritis pada anak terlihat ketika mereka mau berusaha untuk mencari tahu kejelasan (clarity) tentang pengetahuan yang mereka dapat dalam proses pembelajaran, tidak hanya dari guru mereka, tetapi juga dari beberapa sumber yang lain, contohnya orang tua dan buku-buku perpustakaan.
Tidak semua anak terlihat „cerewet‟ atau penuh rasa ingin tahu, ada juga anak yang terlihat „cuek‟ dan tidak peduli ketika ada pelajaran yang mereka tidak pahami, penulis melihat perbedaan tersebut terjadi antara anak yang ibunya selalu bertanya tentang keadaan anaknya di sekolah atau bertanya tentang tugas sekolah serta selalu menemani ketika mengerjakan pekerjaan rumah, dengan anak yang ibunya tidak pernah berkomunikasi dengan guru di kelas dan tidak pernah menemani atau mengontrol pekerjaan rumah anaknya. Variasi „kemampuan berpikir kritis‟ juga terlihat antara anak yang ibunya selalu mengantar dan menjemputnya di sekolah (tidak bekerja) dengan anak yang diantar dan jemput oleh pembantu rumah tangga (karena ibunya bekerja). Penulis lantas bertanya, mengapa perbedaan ibu yang responsif dengan yang tidak, dibarengi dengan perbedaan kemampuan anak yang kritis dengan yang tidak? Apakah faktor
(29)
kedekatan ibu dengan anak ikut mempengaruhi hal tersebut? atau seperti apakah pola asuh orang tua yang anaknya mampu bersikap kritis di kelas tersebut? Apakah pola asuh ikut mempengaruhi variasi yang ada? peneliti sangat tertarik meneliti semua itu. Tetapi peneliti lebih tertarik meneliti bila anak-anak yang mempunyai sikap kritis itu sudah beranjak dewasa. Selain itu, berpikir kritis remaja lebih mudah untuk di teliti, karena masa remaja ada pada tahap operasional formal, di mana pada tahap ini individu mampu untuk menganalisis masalah. Penulis juga belum menemukan penelitian yang mengaitkan antara kemampuan berpikir kritis remaja di tingkat SMA/sederajat dengan pola asuh orang tua dan
attachment style. Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, penulis memfokuskan kepada kemampuan berpikir kritis remaja tingkat SMA/sederajat dan ingin meneliti apakah ada pengaruh persepsi anak tentang pola asuh orang tua dan
attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking)?
1.2. Pembatasan dan Perumusan masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan suatu yang penting, karena dengan pembatasan masalah dapat mengarahkan dalam pengumpulan data dan analisis. Selain itu pembatasan masalah dapat menghindari kesalahan dalam penafsiran judul. Oleh karena itu, agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka penulis membuat pembatasan masalah sebagai berikut:
(30)
a. Persepsi tentang pola asuh yang digunakan adalah persepsi anak terhadap empat jenis pola asuh yang diterapkan orang tuanya yaitu authoritarian,
authoritative, permisif memanjakan (permissive indulgent) dan permisif tidak peduli (permissive indifferent) dengan ukuran berdasarkan empat aspek pola asuh yaitu aspek kontrol, aspek demand for maturity (tuntutan), aspek clarity of parent – child communication, aspek parental nurturance (Baumrind dalam Santrock, 2003).
b. Attachment style yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada
attachment style antara ibu dan anak yang terbentuk berdasarkan teori
internal working model, yaitu merupakan representasi mental dari dimensi perlakuan ibu terhadap anak (sensitivity – insentivity, acceptance – rejection, cooperation – interference dan accessibility – ignoring). Dari dimensi perlakuan ibu tersebut membentuk tiga attachment style yaitu secure attachment, anxious resistant attachment, dan anxious avoidant attachment.
(Ainsworth dalam Santrock, 2003).
c. Berpikir kritis adalah pertimbangan (determination) yang dilakukan secara sengaja, sistematis dan hati-hati untuk mengevaluasi sebuah claim / pernyataan (Moore & Parker, 1986; Mayer & Goodchild, 1990).
d. Sampel penelitian ini adalah siswa siswi SMK Karya Putra Bangsa Depok kelas X.
e. Faktor demografi yang digunakan dan analisis dalam penelitian ini adalah jenis kelamin (jender), suku bangsa, tingkat pendidikan Ayah, tingkat
(31)
pendidikan Ibu, status Ibu bekerja, tingkat pendapatan orang tua setiap bulan, figur pengasuh dominan dan tingkat prestasi belajar di kelas.
1.2.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dipaparkan penulis, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh dan
attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh
authoritarian terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh
authoritative terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh permisif memanjakan (permissive indulgent) terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh permisif tidak peduli (permissive indifferent) terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
(32)
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan secure attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan pola anxious avoidant attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan pola anxious resistant attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
9. Apakah ada pengaruh yang signifikan tingkat prestasi belajar di kelas terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok?
10.Apakah ada perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan jenis kelamin?
11.Apakah ada perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan suku bangsa? 12.Apakah ada perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical
thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan tingkat pendidikan Ayah?
13.Apakah ada perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan tingkat pendidikan Ibu?
(33)
14.Apakah ada perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan perbedaan status ibu bekerja?
15.Apakah ada perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan tingkat pendapatan orang tua setiap bulan?
16.Apakah ada perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan figur pengasuh dominan?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk menguji :
1. Pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh dan attachment style
terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
2. Pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh authoritarian terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
(34)
3. Pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh authoritative terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
4. Pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh permisif memanjakan (permissive indulgent) terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
5. Pengaruh yang signifikan persepsi tentang pola asuh permisif tidak peduli (permissive indifferent) terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
6. Pengaruh yang signifikan secure attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok 7. Pengaruh yang signifikan pola anxious avoidant attachment style terhadap
kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
8. Pengaruh yang signifikan pola anxious resistant attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
9. Pengaruh yang signifikan tingkat prestasi belajar di kelas terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok
10.Perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan jenis kelamin
(35)
11.Perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan suku bangsa
12.Perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan tingkat pendidikan Ayah
13.Perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan tingkat pendidikan Ibu 14.Perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking)
siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan perbedaan status ibu bekerja
15.Perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan tingkat pendapatan orang tua setiap bulan
16.Perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) siswa SMK Karya Putra Bangsa Depok berdasarkan figur pengasuh dominan
1.3.2. Manfaat Penelitian 1.3.2.1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menemukan besaran kontribusi dari masing-masing variabel persepsi tentang pola asuh dan attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Disamping itu juga, diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan masukan aplikasi teori dibidang
(36)
psikologi bidang perkembangan remaja serta perkembangan dibidang pendidikan pada umumnya, khususnya mengenai sejauh mana pengaruh dari masing-masing variabel didalam persepsi tentang pola asuh dan attachment style terhadap kemampuan berpikir kritis (critical thinking), mengingat belum banyak penelitian yang meneliti masing-masing jenis dari persepsi tentang pola asuh maupun
attachment style kemudian diujikan dengan variabel kemampuan berpikir kritis (critical thinking).
1.3.2.2. Manfaat praktis
Bagi para orangtua, penelitian ini dapat menambah wawasan baru bagaimana seharusnya orang tua berperan sebagai pendidik utama, terutama seorang ibu yang ikatan emosional paling berpengaruh terhadap kemampuan anaknya, baik sosial maupun kognitif. Dengan bertambahnya pengetahuan ibu mengenai pentingnya attachment dengan anak diharapkan dapat memberikan dasar bagi pola pikir anak sehingga anak mulai belajar untuk berpikir secara kritis melalui hal-hal yang sifatnya lebih kompleks dan abstrak. Selain itu peneliti juga mengharapkan dengan dilaksanakan penelitian ini, maka akan menarik minat ilmuwan untuk mengembangkan teori berpikir kritis pada anak dan remaja dengan memperhatikan hubungan anak dengan ibu serta pengembangan alat untuk pengukuran berpikir kritis pada anak dan remaja.
(37)
1.4. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi latar belakang mengapa perlu dilakukan penelitian kemampuan berpikir kritis (critical thinking), persepsi tentang pola asuh dan
attachment style, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Di dalam bab ini akan dibahas sejumlah teori yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti secara sistematis, kerangka berpikir, beserta hipotesis penelitian.
BAB III : Metodelogi Penelitian
Bab ini meliputi pendekatan penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, pengumpulan data penelitian, uji instrumen, uji validitas, uji reliabilitas, metode analisis data dan prosedur penelitian. BAB IV : Hasil Penelitian
Dalam bab ini peneliti akan membahas mengenai presentasi dan analisis data. Terdiri dari gambaran umum responden, kategorisasi responden dan hasil uji hipotesis.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan hasil penelitian. Terdiri dari kesimpulan, diskusi dan saran. DAFTAR PUSTAKA
(38)
BAB II
KAJIAN TEORI 2.1. Berpikir kritis
Berpikir kritis sulit didefinisikan secara tepat. Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai teori berpikir kritis ini. Oleh karena itu, penulis akan mengemukakan terlebih dahulu kerangka teori mengenai berpikir yang kemudian akan dilanjutkan dengan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini.
2.1.1. Definisi berpikir
Kesulitan mendefinisikan berpikir disebabkan tidak adanya pembatas yang tajam antara kegiatan yang melibatkan berpikir dan tidak (Siegle, 1998). Berpikir secara nyata melibatkan proses mental yang lebih tinggi: penyelesaian masalah, penalaran, kreatiativitas, konseptualisasi, ingatan, klasifikasi, simbolisasi, perencanaan, dsb. Sedangkan contoh lain dari berpikir melibatkan proses yang lebih dasar seperti penggunaan bahasa dan penerimaan objek/peristiwa dari lingkungan eksternal secara bersamaan.
Costa (Prabandari, 2004) menyatakan bahwa berpikir merupakan proses internal dari stimulus eksternal.
“Thinking is the receiving of external stimuli throught the sense followed by internal processing”
(Berpikir adalah menerima rangsangan eksternal, berpikir arti, diikuti oleh proses internal) .
(39)
Siegel menambahkan bahwa proses tersebut bersifat aktif karena melibatkan operasi mental.
“Thinking is regarded as an active process involving a number of denotable mentall operations”
(Berpikir dianggap sebagai suatu proses aktif yang melibatkan sejumlah sistem operasi mental).
De Bono (Prabandari, 2004), seorang ahli pendidikan yang mengembangkan program melatih kemampuan berpikir, menyebutkan berpikir sebagai eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai tujuan. Tujuan itu dapat berupa pemahaman, pengambilan keputusan, perencanaan, pemecahan masalah, penilaian dan tindakan.
De Bono mengelompokkan jenis-jenis berpikir menjadi enam kelompok, yaitu:
1. Berpikir untuk mendapatkan informasi dan data
2. Berpikir mengenai perasaan terhadap sesuatu atau seseorang, termasuk juga intuisi tentang sesuatu
3. Berpikir tentang mana yang benar dan baik, bagaimana mencapainya serta konsekuensinya, jadi mengandung unsur penilaian
4. Berpikir tentang kemungkinan terjadinya sesuatu secara optimis, bahwa sesuatu baik untuk dilakukan atau dicapai
5. Berpikir secara kreatif tentang-tentang hal-hal bau: eksplorasi, saran, usul, pilihan, mencoba-coba ide baru
(40)
6. Berpikir secara kritis terhadap jenis-jenis berpikir lainnya: sudah sampai dimana, apa langkah selanjutnya, apa yang sebaiknya terjadi. Disebut juga berpikir kritis, berpikir reflektif atau metakognisi
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa berpikir merupakan suatu proses mental sebagai respon atas stimulus eksternal dimana proses tersebut memiliki suatu tujuan yang berupa hasil dari proses.
2.1.2. Definisi berpikir kritis
Dari berbagai literatur yang ada ternyata terdapat berbagai macam pengertian mengenai berpikir kritis. Ini menandakan bahwa belum terdapat pemahaman universal mengenai definisi umum berpikir.
Dalam penelitian ini, penulis memilih beberapa pandangan pakar mengenai berpikir kritis sebagai acuan dalam kerangka teori ini, yaitu Moore dan Parker (2007), Mayer dan Goodchild (1990).
Moore dan Parker (2003) mendefinisikan berpikir kritis sebagai :
“,,, the careful and deliberate determination of whether to accept, reject, or suspend judgment about a claim”
(Penentuan secara hati-hati dan disengaja, apakah menerima, menolak atau menangguhkan penilaian tentang pernyataan-pernyataan).
(41)
Mayer dan Goodchild (1990 dalam Takwin, 1997) mendefinisikan berpikir kritis sebagai :
“... an active and systematic attempt to understand and evaluate arguments”
(Usaha aktif dan sistematis untuk memahami dan mengevaluasi argumen).
Berpikir kritis menurut Moore dan Parker adalah pertimbangan (determination) yang dilakukan secara sengaja dan hati-hati untuk menentukan apakah sebuah claim diterima, ditolak, atau ditunda penilaiannya. Istilah claim
disamakan dengan istilah proposisi atau dalam bahasa Indonesia disamakan dengan isilah pernyataan. Pernyataan didefinisikan sebagai kalimat yang dapat betul atau dapat salah (Moore & Parker, 2007). Dalam pernyataan terkandung informasi tentang sesuatu yang bisa dicek dan diuji benar atau salahnya. Pertanyaan dan kalimat perintah bukan pernyataan karena tidak mengandung informasi yang bisa diuji benar atau salahnya.
Mayer dan Goodchild (1990 dalam Takwin, 1997) mendefinisikan berpikir kritis sebagai sebuah usaha yang aktif dan sistematis untuk mengerti dan mengevaluasi argumen.
Definisi ini mempunyai enan bagian :
1. Berpikir kritis sebagai proses yang aktif. Ketika seseorang yang berpikir kritis menerima informasi baik secara lisan maupun tulisan, ia tidak hanya mendengar atau membaca setiap kata. Ia juga mencari arti dari setiap kata dan keterkaitannya serta bertanya “Apakah informasi ini masuk akal?”
(42)
2. Berpikir sebagai proses yang sistematis. Dalam mencari arti, seseorang yang berpikir kritis menggunakan teknik-teknik yang logis. Ia menganalisa informasi yang diterimanya dengan menggunakan proses yang sistematis. Dalam tahap ini orang yang berpikir kritis akan bertanya “Dengan cara dan aturan apa saya bisa mengerti apa yang ingin disampaikan si pemberi informasi ini?”
3. Berpikir kritis didasarkan atas argumen. Unit dasar analisa dalam berpiki kritis adalah argumen. Sebuah argumen dimulai dengan penjelasan tentang ciri suatu objek (contohnya ingatan jangka pendek memiliki kapasitas yang terbatas) atau hubungan di antara dua objek (contohnya makin termotivasi seseorang untuk melakukan suatu tugas, makin baik kinerjanya dalam tugas itu). Argumen juga menunjukkan bukti untuk menunjang dan/memperkuat penjelasan. Orang yang berpikir kritis mampu mengenali dan menganalisa argumen sehingga ia mampu menggunakan argumen secara tepat.
4. Berpikir kritis mencakup pengertian akan argumen. Orang berpikir kritis mampu mengenali dan menganalisa argumen dari si pemberi informasi. Ia mampu menemukenali bagian-bagian dai argumen dan merumuskan argumen pemberi informasi dengan kata-kata sendiri. Ia merasa harus menanyakan “Apakah argumen dari si pemberi informasi menunjang informasi yang disampaikannya?”
5. Berpikir kritis mencakup pengevaluasian argumen. Orang yang berpikir kritis tidak hanya mengerti argumen si pemberi informasi, tetapi juga
(43)
mampu memberi kritik terhadapnya. Ia mampu menentukan apakah argumen si pemberi informasi valid atau tidak. Ia akan memberi pertanyaan “haruskah saya menyetujui argumen ini?”
6. Berpikir kritis sebagai suatu usaha. Orang yang berpikir kritis mengetahui bahwa tidak hanya ada satu cara yang benar untuk mengerti dan mengevaluasi informasi yang diterimanya. Ia juga mengerti bahwa cara yang dipilihnya tidak langsung menjamin bahwa ia akan mengerti dan mengevaluasi secara benar informasi yang diterimanya secara aktif dan sistematis. Berpikir kritis adalah pendekatan yang umum terhadap masalah, bukan prosedur khusus yang selalu menghasilkan jawaban yang benar. Orang yang berpikir kritis harus berusaha mencoba menggunakan berbagai cara untuk mengerti dan mengevaluasi informasi yang diterimanya.
Berdasarkan definisi dan pandangan dari tokoh tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah pertimbangan (determination) yang dilakukan secara sengaja, sistematis dan hati-hati untuk mengevaluasi sebuah
claim (pernyataan).
2.1.3. Hukum-hukum logika dasar yang digunakan dalam berpikir kritis Dalam bagian ini akan dikemukakan hukum-hukum logika dasar dalam berpikir kritis. Hukum-hukum itu mencakup hukum-hukum proposisi logis seta hukum-hukum yang ada pada penalaran induktif dan penalaran deduktif.
(44)
a. Proposisi logis
Aristoteles adalah orang yang pertama kali mengemukakan aturan logika yang kemudian jadi tradisi dalam ilmu pengetahuan. Menurut Aristoteles (Takwin, 1997) hal yang dianggap sebagai pondasi dasar dalam menemukan pengetahuan yang benar adalah logos apophanticos, yaitu proposisi-proposisi logis. Proposisi logis (pernyataan logis) adalah kalimat yang teruji kebenarannya. Kalimat ini mengandung fakta dan terbukti kebenarannya. Proposisi logis hanya bisa dibangun dengan prinsip identitas; “Bila sesuatu itu X maka tak mungkin sekaligus bukan X”. Suatu pengetahuan baru sah disebut episteme atau pengetahuan ilmiah atau benar-benar mewakili realita bila dibangun atas dasar proposisi-proposisi logis.
Dalam berpikir kritis penggunaan proposisi logis sangat mutlak diperlukan (Takwin, 1997). Seseorang yang melakukan berpikir kritis adalah orang yang berpikir logis, ia menggunakan proposisi logis. Tetapi tidak setiap orang yang berpikir logis adalah berpikir kritis. Ada syarat-syarat lain untuk berpikir kritis. Proposisi logis diperoleh dan diuji dengan menggunakan penalaran induktif dan penalaran deduktif.
b. Penalaran induktif
Penalaran induktif atau induksi secara umum merupakan proses pembuatan kesimpulan umum yang berdasarkan dukungan fakta-fakta khusus (Bittie, Copi & Cohen, Bierman & Assali dalam Takwin, 1997). Penalaran induktif menghasilkan argumen induktif, yaitu argumen yang
(45)
premis-premisnya ditujukan untuk mendukung kesimpulan. Premis-premis itu bukan keseluruhan dari fakta pendukung yang dibutuhkan tetapi hanya beberapa. Dalam induksi beberapa kasus khusus saja sudah bisa digunakan untuk membuat kesimpulan.
Pengambilan keputusan dengan cara induksi menggunakan prinsip
probabilitas sehingga induksi terjadi dalam kondisi yang tidak pasti. Prinsip yang mendasari penalaran ini adalah keteraturan dalam alam mengijinkan (to permit) penemuan hukum-hukum sebab akibat yang berlaku umum. Meskipun demikian, penalaran induktif selalu mengandung resiko salah karena fakta yang digunakan tidak sepenuhnya mewakili hal-hal yang akan disimpulkan (Bierman & Assali dalam Takwin, 1997). Oleh karena itu, penalaran induktif harus disertai pula dengan penalaran deduktif.
c. Penalaran deduktif
Penalaran deduktif atau deduksi adalah proses penalaran di mana pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum yang lebih umum (Bierman & Assali dalam Takwin, 1997). Penalaran deduktif menghasilkan argumen deduktif, yaitu argumen yang premis-premisnya menyediakan hukum umum yang memadai dan diakui kebenarannya untuk mendukung kesimpulan khusus. Dalam deduksi, hukum umum yang digunakan harus benar-benar memadai dan diakui benar untuk bisa digunakan membuat kesimpulan.
(46)
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis
Berpikir kritis pada dasarnya merupakan suatu tugas perkembangan yang akan dihadapi oleh setiap individu. Artinya setiap individu telah memiliki bekal dasar untuk dapat melakukannya (Nugroho, 1994). Namun demikian, Piaget mengatakan (dalam Nugroho, 1994), hal itu bisa muncul atau tidak dalam pribadi individu, masih akan ditentukan oleh kualitas interaksi antara “neorological system” dan lingkungan (pendidikan dan budaya) dimana individu berada.
“Neorological system” yang dimaksud adalah modal dasar untuk berpikir adalah funsi otak (brain function). Menurut Clark (Nugroho, 1994), otak manusia berisi lebih dari 100-200 trilyun sel otak. Setiap neural sel siap untuk dikembangkan untuk mengaktualisasikan potensi manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Setiap neuron sel siap untuk memproses beberapa trilyun informasi yang diterima. Cara untuk mengaktualisasikan potensi tersebut juga bergantung pada keadaan emosi dan motivasi individu untuk mengaktifkan potensi tersebut. Salah satunya adalah memproses informasi yang masuk ke dalam otak dengan berpikir. Potensi-potensi tersebut juga tidak akan berkembang tanpa bantuan lingkungan baik lingkungan pendidikan dan budaya di mana individu tersebut tinggal (Nugroho, 1994). Sama seperti yang diungkapkan oleh ahli perkembangan Vygotsky, yaitu bahwa lingkungan sosial mempengaruhi perkembangan kemampuan kognitif seseorang. Vygotsky mengemukakan konsep ZPD (Zone of Proximal Development) yang merujuk pada rentang-rentang tugas yang terlalu sulit bagi individu untuk dikuasai sendiri, namun dapat dipelajari melalui bimbingan dan bantuan dari orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil.
(47)
jadi, batas bawah dari ZPD adalah level keterampilan yang mampu dapat diraih anak dengan bekerja sendiri. Sementara batas atas dari ZPD adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan instruktur yang mampu (Santrock, 2007). Sehingga denagan kata lain, “neorological system”
dan lingkungan (pendidikan dan budaya) adalah faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis seseorang.
Menurut Takwin (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis dibagi menjadi faktor situasional dan faktor disposisi. Faktor situasional adalah faktor yang dapat mempengaruhi pada saat seseorang berpikir dalam membuat penilaian terhadap informasi yang diterimanya. Sedangkan faktor disposisi adalah faktor-faktor kebiasaan dan pengalamn masa lalu seseorang yang berpengaruh terhadap penilaiannya.
1. Faktor-faktor situasional
1) Situasi accountable yaitu situasi dimana seseorang dituntut untuk mempetanggungjawabkan hasil keputusannya. Faktor ini sangat penting dalam menambil keputusan. Berpikir kritis adalah salah satu betuk kegiatan pengambilan keputusan, oleh karena itu dipengaruhi pula oleh situasi accountable (Fiske & Taylor dalam Takwin, 1997).
2) Keterlibatan (involvement) yaitu ketelibatan seseorang dalam permasalahan, ikut mempengaruhi proses berpikir dan pengambilan keputusan seseorang (Fiske & Taylor dalam Takwin, 1997).
(48)
2. Faktor-faktor disposisi
1) Pengalaman bertukar peran (role-taking). Pengalaman di mana seseorang memiliki kesempatan untuk bertukar peran atau role-taking dengan orang lain yang memiliki latar belakang berbeda , meningkatkan kemampuan seseorang dalam menilai suatu hal dari berbagai sudut pandang. (Kohlberg dalam Takwin, 1997)
2) Pembiasaan dan latihan. Berpikir kritis merupakan suatu keterampilan yang bisa diajarkan dan dilatih. Semakin sering seseorang dilatih, semakin mahir ia menggunakannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh psikologi belajar dalam Morgan dkk (Takwin 1997) 3) Pola asuh. Pembiasaan dan latihan tidak akan berjalan dengan baik tanpa
didukung dengan interaksi yang baik dengan lingkungan sosial. Terutama pembiasaan dan latihan yang diberikan oleh orang tua dan guru dengan pola asuh yang tepat. Orang tua dan guru adalah orang-orang yang paling membantu anak dan remaja dalam mencapai tugas perkembangan kognitifnya (Vygotsky dalam Santrock, 2007). Hal ini lebih lanjut akan dibahas pada penelitian ini.
4) Ekstirimitas penilaian seseorang terhadap suatu permasalahan. Tetlock (Takwin, 1997) mengemukakan apabila dalam suatu permasalahan seseorang mempersepsikan berbagai nilai yang saling berkonflik satu sama lainnya maka penilainnya terhadap masalah akan menjadi moderat. Sebaliknya, apabila dalam permasalahan tersebut seseorang tidak
(49)
mempersepsikan adanya konflik nilai, maka penilaiannya terhadap suatu masalah itu akan menjadi lebih ekstrim.
5) Pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, lebih banyak pengetahap perkembangan tertentu, ikut mempengaruhi kemampuan pada tahap selanjutnya. Pendidikan yang dimaksud bisa (Takwin, 1997).
6) Nilai (value). Nilai menjadi standar bagi seseorang dalam menentukan apa yang harus dia lakukan dalam menanggapi informasi. Nilai menentukan apakah perlu untuk berpikir kritis atau tidak, atau apabila perlu, seberapa kritis yang diperlukan untuk menanggapi informasi (Rokeach dan Schwartz dalam Takwin, 1997).
7) Metode pengajaran. Berpikir kritis adalah keterampilan yang bisa dilatih dan diajarkan (Moore & Parker, 1986; Mayer & Goodchild, 1990). Cara penyampaian materi juga berpengaruh terhadap hasil belajar (Munandar dalam Takwin, 1997).
8) Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis. Menurut Piaget, tahap kemampuan kognitif manusia berkembang sesuai dengan usianya. Ada perbedaan kemampuan berpikir pada tiap tahap perkembangan. Orang yang mampu melakukan berpikir kritis adalah mereka yang sudah mencapai tahap formal operasional dimana ia sudah dapat melakukan abstraksi, analisa sintesa dan mampu berpikir dengan menggunakan simbol yang abstrak (Piaget dalam Santrock, 2007).
(50)
2.2. Persepsi
2.2.1. Pengertian persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi juga diartikan dengan memberikan makna pada stimuli inderawi (Rakhmat, 1994).
Atkinson (1983) juga menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Senada dengan itu, persepsi juga diartikan sebagai suatu proses yang didahului stimulus yang diterima oleh inderawi kemudian diorganisasikan dan dinterpretasikan, sehingga individu menyadari apa yang diinderakannya itu (Davidoff, 1988)
Chaplin (2002) menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Secara umum persepsi diperlakukan sebagai variabel campur tangan (intervening variable) yang bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, perangkat, keadaan psikis atau suasana hati, dan faktor-faktor motivasional. Maka arti suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun oleh faktor organisme. Dengan alasan demikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda, kaena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek-aspek situasi tadi yang mengandung makna khusus sekali bagi dirinya.
(51)
Dari pengertian peneliti menyimpulkan bahwa apa yang dipersepsikan oleh seseorang dengan orang lain dapat berbeda dalam pemaknaannya. Hal tersebut dapat disebabkan karena apa yang ada di sekitar kita yang ditangkap oleh panca indera tidak langsung diartikan sama dengan realitasnya. Pengertian tersebut pada orang yang mempersepsikan, objek yang dipersepsikan serta situasi sekelilingnya. Berdasarkan persepsi atau pemberian arti dari apa yang ditangkap oleh panca indera itulah maka seseorang melakukan aktivitas atau melakukan sikap-sikap tertentu.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan, dapat terjadi perbedaan seseorang dalam memberikan makna terhadap informasi yang ditangkap oleh panca inderanya. Menurut Robbins (2001) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan persepsi seseorang, yaitu :
1. Orang yang melakukan persepsi
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, antara lain :
a. Sikap individu yang bersangkutan terhadap objek persepsi
b. Motif atau keinginan yang belum terpenuhi yang ada dalam diri seseorang akan berpengaruh terhadap persepsi yang dimunculkan
c. Interest (ketertarikan). Fokus perhatian individu dipengaruhi oleh ketertarikan tentang sesuatu. Hal ini menyebabkan objek persepsi yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh masing-masing individu
(52)
d. Harapan. Harapan dapat menyebabkan distorsi terhadap objek yang dipersepsikan atau dengan kata lain seseorang akan mempersepsikan suatu objek atau kejadian sesuai dengan apa yang diharapkan.
2. Target atau objek persepsi
Karakteristik dari objek yang dipersepsikan dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Rangsang objek yang bergerak di antara objek yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang objek yang paling besar di antara yang kecil, yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya yang paling kuat. Karakteristik orang yang dipersepsikan baik itu karakteristik personal sikap ataupun tingkah laku dapat berpengaruh terhadap orang yang mempersepsikan karena manusia dapat saling mempengaruhi persepsi satu sama lain. Orang tua yang berinteraksi dengan anaknya dengan penuh perhatian, hangat, selalu antusias, dan sebagainya akan berpengaruh terhadap persepsi anak tentang orang tuanya.
Sedangkan menurut Kossen (dalam Mamay, 2006) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seperti faktor keturunan yang mempengaruhi persepsi secara fisik seperti kognisi, indera, dan lain sebagainya; latar belakang lingkungan dan pengalaman, tekanan teman sejawat (peer effect); proyeksi, yaitu kecenderungan manusia untuk melemparkan beberapa kesalahan pada orang lain bisa menjadikan persepsi terhadap sesuatu berbeda; penilaian yang tergesa-gesa dapat menimbulkan kecerobohan dalam persepsi yang menghasilkan sebuah
(53)
kesimpulan yang salah; serta adanya hallo effect, seperyi seseorang cakap dalam suatu hal juga dapat di anggap cakap untuk hal yang lain sehingga asumsi tersebut akan berpengaruh terhadap pandangan persepsi diri terhadap sesuatu.
2.2.3. Proses persepsi
Mempersepsikan sesuatu tidak terjadi begitu saja, tetapi ada unsur yang dapat menciptakan sebuah persepsi atau suatu proses yang dapat membuat terjadinya suatu persepsi.
Menurut Chaplin (2002) proses persepsi dimulai dengan perhatian (attention) yang merupukan proses pengamatan yang selektif. Orang terlebih dahulu menentukan apa yang akan diperhatikan. Dengan memusatkan perhatian, akan lebih besar kemungkinan bagi individu memperoleh makna dari apa yang ditangkap, lalu menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu. Beberapa psikolog melihat attensi sebagai suatu alat saring (filter) yang akan menyaring informasi pada titik-titik yang berbeda pada proses persepsi. Namun ada juga yang menunjukkan bahwa manusia mampu memusatkan perhatiannya pada apa yang mereka kehendaki untuk dipersepsikan yang secara efektif melibatkan diri mereka dengan pengalaman-pengalaman tanpa menutup rangsang lain yang saling bersaing. Faktor-faktor perangsang yang penting dalam perbuatan memperhatikan seperti intensitas, perubahan, ulangan, kontras, dan gerak. Faktor-faktor organisme yang penting adalah minat, kepentingan dan kebiasaan memperhatikan yang telah dipelajari.
(54)
Proses selanjutnya barulah terjadi persepsi yaitu tahap kedua dalam mengamati dunia mencakup pemahaman, mengenal atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian. Proses tersebut dalam kenyataannya terjadi dalam kurang lebih serentak, karena pada dasarnya keseluruhan proses ini berjalan dalam waktu yang relatif singkat dan segera.
2.3. Pola asuh
Interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seorang anak adalah keluarga. Dengan demikian, nyatalah bahwa keluarga khususnya orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam proses tumbuh kembangnya anak menuju kedewasaan fisik dan psikis. Orang tua akan selalu berupaya untuk memenuhi segala kebutuhan anaknya, baik itu kebutuhan fisik seperti makan, minum, kesehatan, dan lain-lain, maupun kebutuhan psikisnya seperti kasih sayang, perhatian dan lain-lain. Semua itu dilakukan orang tua dengan harapan tercapainya perkembangan yang optimal bagi anaknya sehingga ia dapat beradaptasi dengan lingkungan luar dan dapat menggapai apa yang dicita-citakannya. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Baumrind (Conger, 1991) bahwa : “ ... the single most important external influence on the average young person attempting to accomplish the development tasks of adolescence identity self his or her parents”. Pengaruh eksternal utama yang paling penting bagi rata-rata remaja adalah mencoba untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan identitas diri remaja adalah orang tua. Selain itu menurut
(55)
Baumrind (Dusek, 1996), pola asuh orang tua juga berpengaruh terhadap prestasi belajar dan penyesuaian psikologis anak yang lebih baik.
Semakin bertambah usia anak, terlebih lagi jika anak telah mencapai usia sekolah, akan bertambah pula pengetahuan, wawasan, dan lingkungan pendidikannya. Pada saat seperti ini, orang tua perlu lebih memperhatikan kondisi anak mereka. Bagi Baumrind (Dusek, 1996), ketika anak memasuki masa remaja orang tua harus memberikan model tingkah laku kemandirian yang sesuai dengan usia mereka. Proses-proses interaksi seperti ini, secara umum disebut juga sebagai proses pengasuhan.
2.3.1. Pengertian pola asuh
Keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan anak. Karena keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial.
Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Gunarsa dalam Pratiwi, 2007).
Pola asuh menurut peneliti adalah perlakuan orang tua terhadap anak yang meliputi bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis, tetapi juga dalam memberikan pemahaman tentang norma-norma yang berlaku di lingkungan tempat anak tersebut tinggal.
(56)
2.3.2. Aspek-Aspek dalam pola asuh
Di dalam pengasuhan anak, tercakup berbagai aspek yang terdapat pada hubungan orang tua dan anak. Menurut Mussen ( Hurlock, 1970) ada empat aspek dalam pengasuhan anak , yaitu :
1. Aspek kontrol, meliputi segala usaha orang tua untuk mempengaruhi aktivitas bertujuan (goal oriented activity) memodifikasi ekspresi dari rasa ketergantungan anak, agresifitas atau tingkah laku bermain. Selain itu termasuk pula mengembangkan internalisasi standar yang dimiliki orang tua pada anak.
2. Aspek demand for maturity (tuntutan untuk tingkah laku dewasa atau matang), meliputi tuntutan atau penekanan pada anak agar dapat menampilkan dengan sebaik-baiknya kemampuan dalam bidang sosial, intelektual, serta emosional. Orang tua juga menuntut kemandirian anak, termasuk dalam membuat keputusan.
3. Aspek clarity of parent – child communication (kejelasan komunikasi antara orang tua dan anak), Orang tua memberikan penjelasan dan menanyakan pendapat anak dalam membuat aturan-aturan bagi si anak. Orang tua juga berusaha memahami pendapat atau perasaan anak mengenai penjelasan yang dilakukan atau ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya.
4. Aspek Parental nurturance (upaya pengasuhan terhadap anak), yaitu keterlibatan orang tua dalam pengasuhan, pengungkapan rasa kasih sayang, rasa bangga dan senang, kehangatan serta pengertian terhadap anak.
(57)
2.3.3. Jenis-jenis pola asuh
Para tokoh psikologi perkembangan banyak sekali mengadakan penelitian mengenai pengasuhan anak. Baumrind (Santrock, 2003), misalnya, membagi pola asuh dalam tiga jenis, yaitu authoritarian, authoritatif dan permisif. Para ahli perkembangan, yaitu Maccoby & Martin (Santrock, 2003) mengembangkan teori Baumrind menjadi empat jenis pola asuh yaitu pola asuh permisif terdiri dari permisif memanjakan atau permissive indulgent dan permisif tidak peduli atau
permissive indifferent (Santrock, 2003).
1. Pola asuh authoritarian (authoritarian pattern)
Pola asuh authoritarian adalah pola yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti pentun\juk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan hanya sedikit melakukan komunikasi verbal. Pola asuh ini berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap.
Dapat disimpulkan karakteristik dari pengasuhan ini adalah :
a. Adanya aturan yang pasti dan yang dijalankan secara kaku dan ketat b. Tidak pernah menggunakan penjelasan dalam menerapkan
aturan-aturan pada anak (tidak ada komunikasi verbal)
c. Sering menggunakan hukuman (biasanya secara fisik) untuk membatasi dan mendesak anak
(58)
2. Pola asuh authoritatif (authoritative pattern)
Dalam pola asuh ini, komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, peraturan yang diberikan orang tua disertai dengan penjelasan dan penalaran kepada anak mengapa suatu peraturan dibuat, dan mengapa anak diharapkan untuk bertingkah laku tertentu. Anak dapat menyampaikan pendapatnya. Terdapat saling memberi dan menerima antara orang tua dan anak. Orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Pola asuh ini berkaitan dengan perilaku anak yang kompeten.
Dengan demikian karakteristik pola pengasuhan ini adalah :
a. Menuntut ditampilkannya tingkah laku yang sesuai dengan usia anak, dan juga memiliki aturan-aturan yang pasti. Bilamana perlu menggunakan perintah dan sanksi
b. Memiliki komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak, dimana orang tua mendengarkan pendapat anak serta sekaligus juga mengemukakan pendapat mereka
c. Menyadari adanya hak-hak yang dimiliki kedua belah pihak, baik orang tua maupun anak
d. Orang tua bersikap hangat dan membesarkan hati anak
3. Pola asuh permisif memanjakan (permissive indulgent pattern),
Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola di mana orang tua sangat terlibat dengan anak, tetapi sedikit sekali menuntut atau
(59)
mengendalikan mereka. Orang tua berada dalam posisi „lepas tangan‟, mereka membiarkan anak untuk bertingkah laku sesuai kehendaknya. Orang tua bersikap tidak menghukum, dan menerima serta menyetujui apa saja yang dilakukan oleh anaknya. Pengawasan yang diberikan orang tua bersifat longgar. Anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Pola asuh ini berkaitan dengan ketidakcakapan sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri.
Karakteristik dari pola pengasuhan ini adalah: a. Tidak ada aturan ataupun batasan yang pasti
b. Anak diberikan otoritas untuk mengatur dirinya sendiri c. Hampir tidak pernah memberikan hukuman pada anak
d. Orang tua bersikap hangat tetapi tidak membatasi dan mengawasi
4. Pola asuh permisif tidak peduli(permissive indiffrent pattern)
Pola asuh dimana orang tua sangat tidak ikut campur atau tidak mau terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua dengan tipe ini memiliki pengasuhan, tuntutan, kontrol, dan komunikasi yang rendah. Pola pengasuhan ini menjauh (bersifat memusuhi) dan sangat permisif (terlalu membolehkan), terlebih ketika kedua orang tuanya tidak peduli dengan anak-anak mereka. Pola asuh ini berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri.
Sehingga dapat digambarkan bahwa pola asuh permisif tidak peduli (permissive indiffrent pattern) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(60)
a. Melepaskan perasaan terhadap anak b. Menarik diri dari kehidupan anak c. Komunikasi rendah
d. Tidak ada peraturan yang membatasi
Berikut adalah bagan tentang keempat pola asuh tesebut berdasarkan aspek-aspek pengasuhannya :
Bagan 2.1
Jenis-jenis pola asuh berdasarkan aspek-aspeknya PENERIMAAN DAN CARA MERESPON
Tinggi Rendah
KO NTROL DA N TUN T UTAN T in ggi AUTHORITATIVE Adanya kontrol dan tuntutan yang
wajar. Konsisten, sensitif dan menerima anak
AUTHORITARIAN Banyak aturan dan tuntutan, sedikit penjelasan dan memiliki sensitifitas yang rendah terhadap kebutuhan dan perspektif
anak Re n d ah PERMISIF MEMANJAKAN Sedikit aturan dan tuntutan, anak mendapatkan izin dengan banyak kebebasan dari orang tua yang sangat
sabar
PERMISIF TIDAK PEDULI Sedikit aturan dan hukuman, orang tua tidak melibatkan diri dan tidak sadar akan
(61)
2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
Baik secara sadar ataupun tidak sadar, orang tua menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya. Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pemilihan tipe pola asuh (Hurlock, 1970), yaitu :
1. Pola asuh yang diterima oleh orang tua sewaktu masih anak-anak.
Orang tua memiliki kecenderungan yang besar menerapkan pola asuh yang mereka terima dari orang tua mereka, pada anaknya.
2. Pendidikan orang tua.
Pendidikan orang tua mempengaruhi pemilihan pola asuh yang diterapkan pada anak. Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menerapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan anak.
3. Kelas sosial.
Perbedaan dari kelas sosial orang tua mempengaruhi pemilihan pola asuh. Ditambahkan pula oleh Elder yang menyatakan bahwa orang tua dari kelas sosial menenagah cenderung lebih permisif dibandingkan dengan orang tua dari kelas sosial bawah.
4. Konsep tentang peran orang tua.
Tiap orang tua memiliki konsep tentang bagaimana seharusnya ia berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat dibandingkan orang tua dengan konsep non tradisional. 5. Kepribadian orang tua.
(1)
ANOVA
Critical Thinking
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 364.774 5 72.955 .719 .611
Within Groups 8935.226 88 101.537
Total 9300.000 93
ONEWAY CriticalThinking BY Pend.Ayah /STATISTICS DESCRIPTIVES /MISSING ANALYSIS.
Oneway
Descriptives
Critical Thinking
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
SD/sederajat 17 50.4939 10.23862 2.48323 45.2297 55.7582 25.96 68.37
SMP/sederajat 7 51.8800 6.23394 2.35621 46.1145 57.6454 42.46 58.95
SMA/sederajat 53 49.6571 10.61214 1.45769 46.7320 52.5822 28.32 70.73
Diploma 5 55.6499 10.07950 4.50769 43.1345 68.1652 40.10 68.37
S1 12 47.3639 8.78505 2.53603 41.7821 52.9456 33.03 61.30
Total 94 50.0000 10.00000 1.03142 47.9518 52.0482 25.96 70.73
ANOVA
Critical Thinking
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 278.113 4 69.528 .686 .604
Within Groups 9021.887 89 101.370
Total 9300.000 93
ONEWAY CriticalThinking BY Pend.Ibu /STATISTICS DESCRIPTIVES /MISSING ANALYSIS.
(2)
Oneway
Descriptives
Critical Thinking
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
SD/sederajat 24 48.5420 9.79941 2.00030 44.4041 52.6799 25.96 68.37
SMP/sederajat 14 52.8898 8.60601 2.30005 47.9208 57.8587 35.39 70.73
SMA/sederajat 52 50.3394 10.51540 1.45822 47.4118 53.2669 28.32 68.37
Diploma 2 49.5237 .00000 .00000 49.5237 49.5237 49.52 49.52
S1 2 38.9208 8.33045 5.89052 -35.9253 113.7669 33.03 44.81
Total 94 50.0000 10.00000 1.03142 47.9518 52.0482 25.96 70.73
ANOVA
Critical Thinking
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 419.867 4 104.967 1.052 .385
Within Groups 8880.133 89 99.777
Total 9300.000 93
ONEWAY CriticalThinking BY StatusIbu /STATISTICS DESCRIPTIVES /MISSING ANALYSIS.
Oneway
Descriptives
Critical Thinking
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Ibu bekerja 20 49.0525 8.86899 1.98317 44.9017 53.2033 33.03 68.37
Ibu tidak bekerja
74 50.2561 10.32531 1.20029 47.8639 52.6483 25.96 70.73
(3)
ANOVA
Critical Thinking
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 22.808 1 22.808 .226 .635
Within Groups 9277.192 92 100.839
Total 9300.000 93
ONEWAY CriticalThinking BY TingkatPend /STATISTICS DESCRIPTIVES /MISSING ANALYSIS.
Oneway
Descriptives
Critical Thinking
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
< 500.000 4 56.0033 2.25590 1.12795 52.4137 59.5929 54.24 58.95
500.000 - 1.500.000
48 49.0329 10.98682 1.58581 45.8426 52.2231 25.96 70.73
1.500.000 - 2.500.000
29 50.4175 9.49637 1.76343 46.8053 54.0297 33.03 68.37
> 2.500.000 13 50.7925 8.58294 2.38048 45.6059 55.9791 33.03 63.66
Total 94 50.0000 10.00000 1.03142 47.9518 52.0482 25.96 70.73
ANOVA
Critical Thinking
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 202.274 3 67.425 .667 .574
(4)
ANOVA
Critical Thinking
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 202.274 3 67.425 .667 .574
Within Groups 9097.726 90 101.086
Total 9300.000 93
ONEWAY CriticalThinking BY Pengasuh /STATISTICS DESCRIPTIVES /MISSING ANALYSIS.
Oneway
Descriptives
Critical Thinking
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Ayah 1 68.3734 . . . . 68.37 68.37
Ibu 89 49.8679 10.02522 1.06267 47.7561 51.9797 25.96 70.73
Nenek 4 48.3456 5.92966 2.96483 38.9102 57.7810 40.10 54.24
Total 94 50.0000 10.00000 1.03142 47.9518 52.0482 25.96 70.73
ANOVA
Critical Thinking
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 350.082 2 175.041 1.780 .174
Within Groups 8949.918 91 98.351
Total 9300.000 93
REGRESSION /DESCRIPTIVES MEAN STDDEV CORR SIG N /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA CHANGE /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT CriticalThinking /METHOD=ENTER Prestasi.
Regression
(5)
Mean Std. Deviation N
Critical Thinking 50.0000 10.00000 94
Tingkat prestasi belajar 73.2521 4.32638 94
Correlations
Critical Thinking Tingkat prestasi belajar
Pearson Correlation Critical Thinking 1.000 .478
Tingkat prestasi belajar .478 1.000
Sig. (1-tailed) Critical Thinking . .000
Tingkat prestasi belajar .000 .
N Critical Thinking 94 94
Tingkat prestasi belajar 94 94
Variables Entered/Removedb
Model Variables Entered
Variables
Removed Method
1 Tingkat prestasi
belajara
. Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Critical Thinking
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F Change
1 .478a .228 .220 8.83264 .228 27.207 1 92 .000
a. Predictors: (Constant), Tingkat prestasi belajar
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 2122.565 1 2122.565 27.207 .000a
Residual 7177.435 92 78.016
(6)
a. Predictors: (Constant), Tingkat prestasi belajar b. Dependent Variable: Critical Thinking
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -30.888 15.534 -1.988 .050
Tingkat prestasi belajar 1.104 .212 .478 5.216 .000