a. Proposisi logis
Aristoteles adalah orang yang pertama kali mengemukakan aturan logika yang kemudian jadi tradisi dalam ilmu pengetahuan. Menurut Aristoteles
Takwin, 1997 hal yang dianggap sebagai pondasi dasar dalam menemukan pengetahuan yang benar adalah logos apophanticos, yaitu proposisi-proposisi
logis. Proposisi logis pernyataan logis adalah kalimat yang teruji kebenarannya. Kalimat ini mengandung fakta dan terbukti kebenarannya.
Proposisi logis hanya bisa dibangun dengan prinsip identitas; “Bila sesuatu itu X maka tak mungkin sekaligus bukan X”. Suatu pengetahuan baru sah
disebut episteme atau pengetahuan ilmiah atau benar-benar mewakili realita bila dibangun atas dasar proposisi-proposisi logis.
Dalam berpikir kritis penggunaan proposisi logis sangat mutlak diperlukan Takwin, 1997. Seseorang yang melakukan berpikir kritis adalah
orang yang berpikir logis, ia menggunakan proposisi logis. Tetapi tidak setiap orang yang berpikir logis adalah berpikir kritis. Ada syarat-syarat lain untuk
berpikir kritis. Proposisi logis diperoleh dan diuji dengan menggunakan penalaran induktif dan penalaran deduktif.
b. Penalaran induktif
Penalaran induktif atau induksi secara umum merupakan proses pembuatan kesimpulan umum yang berdasarkan dukungan fakta-fakta khusus
Bittie, Copi Cohen, Bierman Assali dalam Takwin, 1997. Penalaran induktif menghasilkan argumen induktif, yaitu argumen yang premis-
premisnya ditujukan untuk mendukung kesimpulan. Premis-premis itu bukan keseluruhan dari fakta pendukung yang dibutuhkan tetapi hanya beberapa.
Dalam induksi beberapa kasus khusus saja sudah bisa digunakan untuk membuat kesimpulan.
Pengambilan keputusan dengan cara induksi menggunakan prinsip probabilitas sehingga induksi terjadi dalam kondisi yang tidak pasti. Prinsip
yang mendasari penalaran ini adalah keteraturan dalam alam mengijinkan to permit penemuan hukum-hukum sebab akibat yang berlaku umum.
Meskipun demikian, penalaran induktif selalu mengandung resiko salah karena fakta yang digunakan tidak sepenuhnya mewakili hal-hal yang akan
disimpulkan Bierman Assali dalam Takwin, 1997. Oleh karena itu, penalaran induktif harus disertai pula dengan penalaran deduktif.
c. Penalaran deduktif
Penalaran deduktif atau deduksi adalah proses penalaran di mana pembuatan kesimpulan khusus berdasarkan hukum yang lebih umum
Bierman Assali dalam Takwin, 1997. Penalaran deduktif menghasilkan argumen deduktif, yaitu argumen yang premis-premisnya menyediakan
hukum umum yang memadai dan diakui kebenarannya untuk mendukung kesimpulan khusus. Dalam deduksi, hukum umum yang digunakan harus
benar-benar memadai dan diakui benar untuk bisa digunakan membuat kesimpulan.
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis
Berpikir kritis pada dasarnya merupakan suatu tugas perkembangan yang akan dihadapi oleh setiap individu. Artinya setiap individu telah memiliki bekal dasar
untuk dapat melakukannya Nugroho, 1994. Namun demikian, Piaget mengatakan dalam Nugroho, 1994, hal itu bisa muncul atau tidak dalam pribadi
individu, masih akan ditentukan oleh kualitas interaksi antara “neorological system
” dan lingkungan pendidikan dan budaya dimana individu berada. “Neorological system” yang dimaksud adalah modal dasar untuk berpikir
adalah funsi otak brain function. Menurut Clark Nugroho, 1994, otak manusia berisi lebih dari 100-200 trilyun sel otak. Setiap neural sel siap untuk
dikembangkan untuk mengaktualisasikan potensi manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Setiap neuron sel siap untuk memproses beberapa trilyun informasi yang
diterima. Cara untuk mengaktualisasikan potensi tersebut juga bergantung pada keadaan emosi dan motivasi individu untuk mengaktifkan potensi tersebut. Salah
satunya adalah memproses informasi yang masuk ke dalam otak dengan berpikir. Potensi-potensi tersebut juga tidak akan berkembang tanpa bantuan lingkungan
baik lingkungan pendidikan dan budaya di mana individu tersebut tinggal Nugroho, 1994. Sama seperti yang diungkapkan oleh ahli perkembangan
Vygotsky, yaitu bahwa lingkungan sosial mempengaruhi perkembangan kemampuan kognitif seseorang. Vygotsky mengemukakan konsep ZPD Zone of
Proximal Development yang merujuk pada rentang-rentang tugas yang terlalu sulit bagi individu untuk dikuasai sendiri, namun dapat dipelajari melalui
bimbingan dan bantuan dari orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil.
jadi, batas bawah dari ZPD adalah level keterampilan yang mampu dapat diraih anak dengan bekerja sendiri. Sementara batas atas dari ZPD adalah tingkat
tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak dengan bantuan instruktur yang mampu Santrock, 2007. Sehingga denagan kata lain, “neorological system”
dan lingkungan pendidikan dan budaya adalah faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis seseorang.
Menurut Takwin 1997, faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis dibagi menjadi faktor situasional dan faktor disposisi. Faktor situasional adalah
faktor yang dapat mempengaruhi pada saat seseorang berpikir dalam membuat penilaian terhadap informasi yang diterimanya. Sedangkan faktor disposisi adalah
faktor-faktor kebiasaan dan pengalamn masa lalu seseorang yang berpengaruh terhadap penilaiannya.
1. Faktor-faktor situasional 1 Situasi accountable yaitu situasi dimana seseorang dituntut untuk
mempetanggungjawabkan hasil keputusannya. Faktor ini sangat penting dalam menambil keputusan. Berpikir kritis adalah salah satu betuk
kegiatan pengambilan keputusan, oleh karena itu dipengaruhi pula oleh situasi accountable Fiske Taylor dalam Takwin, 1997.
2 Keterlibatan involvement
yaitu ketelibatan
seseorang dalam
permasalahan, ikut mempengaruhi proses berpikir dan pengambilan keputusan seseorang Fiske Taylor dalam Takwin, 1997.
2. Faktor-faktor disposisi 1 Pengalaman bertukar peran role-taking. Pengalaman di mana seseorang
memiliki kesempatan untuk bertukar peran atau role-taking dengan orang lain yang memiliki latar belakang berbeda , meningkatkan kemampuan
seseorang dalam menilai suatu hal dari berbagai sudut pandang. Kohlberg dalam Takwin, 1997
2 Pembiasaan dan latihan. Berpikir kritis merupakan suatu keterampilan yang bisa diajarkan dan dilatih. Semakin sering seseorang dilatih, semakin
mahir ia menggunakannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh psikologi belajar dalam Morgan dkk Takwin 1997
3 Pola asuh. Pembiasaan dan latihan tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung dengan interaksi yang baik dengan lingkungan sosial. Terutama
pembiasaan dan latihan yang diberikan oleh orang tua dan guru dengan pola asuh yang tepat. Orang tua dan guru adalah orang-orang yang paling
membantu anak dan remaja dalam mencapai tugas perkembangan kognitifnya Vygotsky dalam Santrock, 2007. Hal ini lebih lanjut akan
dibahas pada penelitian ini. 4 Ekstirimitas penilaian seseorang terhadap suatu permasalahan. Tetlock
Takwin, 1997 mengemukakan apabila dalam suatu permasalahan seseorang mempersepsikan berbagai nilai yang saling berkonflik satu sama
lainnya maka penilainnya terhadap masalah akan menjadi moderat. Sebaliknya, apabila dalam permasalahan tersebut seseorang tidak
mempersepsikan adanya konflik nilai, maka penilaiannya terhadap suatu masalah itu akan menjadi lebih ekstrim.
5 Pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, lebih banyak pengetahap perkembangan tertentu, ikut mempengaruhi kemampuan pada
tahap selanjutnya. Pendidikan yang dimaksud bisa Takwin, 1997. 6 Nilai value. Nilai menjadi standar bagi seseorang dalam menentukan apa
yang harus dia lakukan dalam menanggapi informasi. Nilai menentukan apakah perlu untuk berpikir kritis atau tidak, atau apabila perlu, seberapa
kritis yang diperlukan untuk menanggapi informasi Rokeach dan Schwartz dalam Takwin, 1997.
7 Metode pengajaran. Berpikir kritis adalah keterampilan yang bisa dilatih dan diajarkan Moore Parker, 1986; Mayer Goodchild, 1990. Cara
penyampaian materi juga berpengaruh terhadap hasil belajar Munandar dalam Takwin, 1997.
8 Usia Usia berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis. Menurut Piaget,
tahap kemampuan kognitif manusia berkembang sesuai dengan usianya. Ada perbedaan kemampuan berpikir pada tiap tahap perkembangan. Orang
yang mampu melakukan berpikir kritis adalah mereka yang sudah mencapai tahap formal operasional dimana ia sudah dapat melakukan
abstraksi, analisa sintesa dan mampu berpikir dengan menggunakan simbol yang abstrak Piaget dalam Santrock, 2007.
2.2. Persepsi
2.2.1. Pengertian persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan- hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi juga diartikan dengan memberikan makna pada stimuli inderawi Rakhmat, 1994.
Atkinson 1983 juga menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam
lingkungan. Senada dengan itu, persepsi juga diartikan sebagai suatu proses yang didahului stimulus yang diterima oleh inderawi kemudian diorganisasikan dan
dinterpretasikan, sehingga individu menyadari apa yang diinderakannya itu Davidoff, 1988
Chaplin 2002 menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Secara umum
persepsi diperlakukan sebagai variabel campur tangan intervening variable yang bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, perangkat, keadaan psikis
atau suasana hati, dan faktor-faktor motivasional. Maka arti suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun oleh faktor
organisme. Dengan alasan demikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi- pribadi yang berbeda juga akan berbeda, kaena setiap individu menanggapinya
berkenaan dengan aspek-aspek situasi tadi yang mengandung makna khusus sekali bagi dirinya.
Dari pengertian peneliti menyimpulkan bahwa apa yang dipersepsikan oleh seseorang dengan orang lain dapat berbeda dalam pemaknaannya. Hal tersebut
dapat disebabkan karena apa yang ada di sekitar kita yang ditangkap oleh panca indera tidak langsung diartikan sama dengan realitasnya. Pengertian tersebut pada
orang yang mempersepsikan, objek yang dipersepsikan serta situasi sekelilingnya. Berdasarkan persepsi atau pemberian arti dari apa yang ditangkap oleh panca
indera itulah maka seseorang melakukan aktivitas atau melakukan sikap-sikap tertentu.
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan, dapat terjadi perbedaan seseorang dalam memberikan makna terhadap informasi yang ditangkap oleh
panca inderanya. Menurut Robbins 2001 ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan persepsi seseorang, yaitu :
1. Orang yang melakukan persepsi Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, antara
lain : a. Sikap individu yang bersangkutan terhadap objek persepsi
b. Motif atau keinginan yang belum terpenuhi yang ada dalam diri seseorang akan berpengaruh terhadap persepsi yang dimunculkan
c. Interest ketertarikan. Fokus perhatian individu dipengaruhi oleh ketertarikan tentang sesuatu. Hal ini menyebabkan objek persepsi yang
sama dapat dipersepsikan berbeda oleh masing-masing individu
d. Harapan. Harapan dapat menyebabkan distorsi terhadap objek yang dipersepsikan atau dengan kata lain seseorang akan mempersepsikan
suatu objek atau kejadian sesuai dengan apa yang diharapkan.
2. Target atau objek persepsi Karakteristik dari objek yang dipersepsikan dapat mempengaruhi apa
yang dipersepsikan. Rangsang objek yang bergerak di antara objek yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang objek yang paling
besar di antara yang kecil, yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya yang paling kuat. Karakteristik orang yang
dipersepsikan baik itu karakteristik personal sikap ataupun tingkah laku dapat berpengaruh terhadap orang yang mempersepsikan karena manusia dapat
saling mempengaruhi persepsi satu sama lain. Orang tua yang berinteraksi dengan anaknya dengan penuh perhatian, hangat, selalu antusias, dan
sebagainya akan berpengaruh terhadap persepsi anak tentang orang tuanya.
Sedangkan menurut Kossen dalam Mamay, 2006 faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seperti faktor keturunan yang mempengaruhi
persepsi secara fisik seperti kognisi, indera, dan lain sebagainya; latar belakang lingkungan dan pengalaman, tekanan teman sejawat peer effect; proyeksi, yaitu
kecenderungan manusia untuk melemparkan beberapa kesalahan pada orang lain bisa menjadikan persepsi terhadap sesuatu berbeda; penilaian yang tergesa-gesa
dapat menimbulkan kecerobohan dalam persepsi yang menghasilkan sebuah
kesimpulan yang salah; serta adanya hallo effect, seperyi seseorang cakap dalam suatu hal juga dapat di anggap cakap untuk hal yang lain sehingga asumsi tersebut
akan berpengaruh terhadap pandangan persepsi diri terhadap sesuatu.
2.2.3. Proses persepsi
Mempersepsikan sesuatu tidak terjadi begitu saja, tetapi ada unsur yang dapat menciptakan sebuah persepsi atau suatu proses yang dapat membuat
terjadinya suatu persepsi. Menurut Chaplin 2002 proses persepsi dimulai dengan perhatian
attention yang merupukan proses pengamatan yang selektif. Orang terlebih dahulu menentukan apa yang akan diperhatikan. Dengan memusatkan perhatian,
akan lebih besar kemungkinan bagi individu memperoleh makna dari apa yang ditangkap, lalu menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu. Beberapa
psikolog melihat attensi sebagai suatu alat saring filter yang akan menyaring informasi pada titik-titik yang berbeda pada proses persepsi. Namun ada juga
yang menunjukkan bahwa manusia mampu memusatkan perhatiannya pada apa yang mereka kehendaki untuk dipersepsikan yang secara efektif melibatkan diri
mereka dengan pengalaman-pengalaman tanpa menutup rangsang lain yang saling bersaing. Faktor-faktor perangsang yang penting dalam perbuatan memperhatikan
seperti intensitas, perubahan, ulangan, kontras, dan gerak. Faktor-faktor organisme yang penting adalah minat, kepentingan dan kebiasaan
memperhatikan yang telah dipelajari.
Proses selanjutnya barulah terjadi persepsi yaitu tahap kedua dalam mengamati dunia mencakup pemahaman, mengenal atau mengetahui objek-objek
serta kejadian-kejadian. Proses tersebut dalam kenyataannya terjadi dalam kurang lebih serentak, karena pada dasarnya keseluruhan proses ini berjalan dalam waktu
yang relatif singkat dan segera.
2.3. Pola asuh
Interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seorang anak adalah keluarga. Dengan demikian, nyatalah bahwa keluarga khususnya orang tua
memiliki peran yang sangat penting dalam proses tumbuh kembangnya anak menuju kedewasaan fisik dan psikis. Orang tua akan selalu berupaya untuk
memenuhi segala kebutuhan anaknya, baik itu kebutuhan fisik seperti makan, minum, kesehatan, dan lain-lain, maupun kebutuhan psikisnya seperti kasih
sayang, perhatian dan lain-lain. Semua itu dilakukan orang tua dengan harapan tercapainya perkembangan yang optimal bagi anaknya sehingga ia dapat
beradaptasi dengan lingkungan luar dan dapat menggapai apa yang dicita- citakannya. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Baumrind
Conger, 1991 bahwa : “ ... the single most important external influence on the
average young person attempting to accomplish the development tasks of adolescence identity self his or her parents
”. Pengaruh eksternal utama yang paling penting bagi rata-rata remaja adalah mencoba untuk menyelesaikan tugas-
tugas perkembangan identitas diri remaja adalah orang tua. Selain itu menurut
Baumrind Dusek, 1996, pola asuh orang tua juga berpengaruh terhadap prestasi belajar dan penyesuaian psikologis anak yang lebih baik.
Semakin bertambah usia anak, terlebih lagi jika anak telah mencapai usia sekolah, akan bertambah pula pengetahuan, wawasan, dan lingkungan
pendidikannya. Pada saat seperti ini, orang tua perlu lebih memperhatikan kondisi anak mereka. Bagi Baumrind Dusek, 1996, ketika anak memasuki masa remaja
orang tua harus memberikan model tingkah laku kemandirian yang sesuai dengan usia mereka. Proses-proses interaksi seperti ini, secara umum disebut juga sebagai
proses pengasuhan.
2.3.1. Pengertian pola asuh
Keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan anak. Karena keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,
tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang
meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya dan kebutuhan psikologis afeksi atau perasaan tetapi juga
norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan Gunarsa dalam Pratiwi, 2007.
Pola asuh menurut peneliti adalah perlakuan orang tua terhadap anak yang meliputi bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan
psikologis, tetapi juga dalam memberikan pemahaman tentang norma-norma yang berlaku di lingkungan tempat anak tersebut tinggal.
2.3.2. Aspek-Aspek dalam pola asuh
Di dalam pengasuhan anak, tercakup berbagai aspek yang terdapat pada hubungan orang tua dan anak. Menurut Mussen Hurlock, 1970 ada empat aspek
dalam pengasuhan anak , yaitu : 1. Aspek kontrol, meliputi segala usaha orang tua untuk mempengaruhi aktivitas
bertujuan goal oriented activity memodifikasi ekspresi dari rasa ketergantungan anak, agresifitas atau tingkah laku bermain. Selain itu
termasuk pula mengembangkan internalisasi standar yang dimiliki orang tua pada anak.
2. Aspek demand for maturity tuntutan untuk tingkah laku dewasa atau matang, meliputi tuntutan atau penekanan pada anak agar dapat
menampilkan dengan sebaik-baiknya kemampuan dalam bidang sosial, intelektual, serta emosional. Orang tua juga menuntut kemandirian anak,
termasuk dalam membuat keputusan. 3. Aspek clarity of parent
– child communication kejelasan komunikasi antara orang tua dan anak, Orang tua memberikan penjelasan dan menanyakan
pendapat anak dalam membuat aturan-aturan bagi si anak. Orang tua juga berusaha memahami pendapat atau perasaan anak mengenai penjelasan yang
dilakukan atau ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya. 4. Aspek Parental nurturance upaya pengasuhan terhadap anak, yaitu
keterlibatan orang tua dalam pengasuhan, pengungkapan rasa kasih sayang, rasa bangga dan senang, kehangatan serta pengertian terhadap anak.
2.3.3. Jenis-jenis pola asuh
Para tokoh psikologi perkembangan banyak sekali mengadakan penelitian mengenai pengasuhan anak. Baumrind Santrock, 2003, misalnya, membagi pola
asuh dalam tiga jenis, yaitu authoritarian, authoritatif dan permisif. Para ahli perkembangan, yaitu Maccoby Martin Santrock, 2003 mengembangkan teori
Baumrind menjadi empat jenis pola asuh yaitu pola asuh permisif terdiri dari permisif memanjakan atau permissive indulgent dan permisif tidak peduli atau
permissive indifferent Santrock, 2003. 1. Pola asuh authoritarian authoritarian pattern
Pola asuh authoritarian adalah pola yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti pentun\juk orang tua
dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap anak dan
hanya sedikit melakukan komunikasi verbal. Pola asuh ini berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap.
Dapat disimpulkan karakteristik dari pengasuhan ini adalah : a. Adanya aturan yang pasti dan yang dijalankan secara kaku dan ketat
b. Tidak pernah menggunakan penjelasan dalam menerapkan aturan- aturan pada anak tidak ada komunikasi verbal
c. Sering menggunakan hukuman biasanya secara fisik untuk membatasi dan mendesak anak
2. Pola asuh authoritatif authoritative pattern Dalam pola asuh ini, komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung
dengan bebas, peraturan yang diberikan orang tua disertai dengan penjelasan dan penalaran kepada anak mengapa suatu peraturan dibuat,
dan mengapa anak diharapkan untuk bertingkah laku tertentu. Anak dapat menyampaikan pendapatnya. Terdapat saling memberi dan menerima
antara orang tua dan anak. Orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Pola asuh ini berkaitan dengan perilaku anak yang
kompeten. Dengan demikian karakteristik pola pengasuhan ini adalah :
a. Menuntut ditampilkannya tingkah laku yang sesuai dengan usia anak, dan juga memiliki aturan-aturan yang pasti. Bilamana perlu
menggunakan perintah dan sanksi b. Memiliki komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak, dimana
orang tua mendengarkan pendapat anak serta sekaligus juga mengemukakan pendapat mereka
c. Menyadari adanya hak-hak yang dimiliki kedua belah pihak, baik orang tua maupun anak
d. Orang tua bersikap hangat dan membesarkan hati anak
3. Pola asuh permisif memanjakan permissive indulgent pattern, Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola di mana orang tua
sangat terlibat dengan anak, tetapi sedikit sekali menuntut atau
mengendalikan mereka. Orang tua berada dalam posisi „lepas tangan‟, mereka membiarkan anak untuk bertingkah laku sesuai kehendaknya.
Orang tua bersikap tidak menghukum, dan menerima serta menyetujui apa saja yang dilakukan oleh anaknya. Pengawasan yang diberikan orang tua
bersifat longgar. Anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Pola asuh ini berkaitan dengan ketidakcakapan
sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri. Karakteristik dari pola pengasuhan ini adalah:
a. Tidak ada aturan ataupun batasan yang pasti b. Anak diberikan otoritas untuk mengatur dirinya sendiri
c. Hampir tidak pernah memberikan hukuman pada anak d. Orang tua bersikap hangat tetapi tidak membatasi dan mengawasi
4. Pola asuh permisif tidak peduli permissive indiffrent pattern Pola asuh dimana orang tua sangat tidak ikut campur atau tidak mau
terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua dengan tipe ini memiliki pengasuhan, tuntutan, kontrol, dan komunikasi yang rendah. Pola
pengasuhan ini menjauh bersifat memusuhi dan sangat permisif terlalu membolehkan, terlebih ketika kedua orang tuanya tidak peduli dengan
anak-anak mereka. Pola asuh ini berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri.
Sehingga dapat digambarkan bahwa pola asuh permisif tidak peduli permissive indiffrent pattern memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Melepaskan perasaan terhadap anak b. Menarik diri dari kehidupan anak
c. Komunikasi rendah d. Tidak ada peraturan yang membatasi
Berikut adalah bagan tentang keempat pola asuh tesebut berdasarkan aspek- aspek pengasuhannya :
Bagan 2.1 Jenis-jenis pola asuh berdasarkan aspek-aspeknya
PENERIMAAN DAN CARA MERESPON Tinggi
Rendah
KO NTROL
DA N TUN
T UTAN
T in
ggi AUTHORITATIVE
Adanya kontrol dan tuntutan yang wajar. Konsisten, sensitif dan
menerima anak
AUTHORITARIAN
Banyak aturan dan tuntutan, sedikit penjelasan dan memiliki sensitifitas yang
rendah terhadap kebutuhan dan perspektif anak
Re n
d ah
PERMISIF MEMANJAKAN
Sedikit aturan dan tuntutan, anak mendapatkan izin dengan banyak
kebebasan dari orang tua yang sangat sabar
PERMISIF TIDAK PEDULI
Sedikit aturan dan hukuman, orang tua tidak melibatkan diri dan tidak sadar akan
kebutuhan anak
2.3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
Baik secara sadar ataupun tidak sadar, orang tua menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya. Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pemilihan
tipe pola asuh Hurlock, 1970, yaitu : 1. Pola asuh yang diterima oleh orang tua sewaktu masih anak-anak.
Orang tua memiliki kecenderungan yang besar menerapkan pola asuh yang mereka terima dari orang tua mereka, pada anaknya.
2. Pendidikan orang tua. Pendidikan orang tua mempengaruhi pemilihan pola asuh yang diterapkan
pada anak. Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung menerapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif
dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya terbatas. Pendidikan membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan anak.
3. Kelas sosial. Perbedaan dari kelas sosial orang tua mempengaruhi pemilihan pola asuh.
Ditambahkan pula oleh Elder yang menyatakan bahwa orang tua dari kelas sosial menenagah cenderung lebih permisif dibandingkan dengan orang
tua dari kelas sosial bawah. 4. Konsep tentang peran orang tua.
Tiap orang tua memiliki konsep tentang bagaimana seharusnya ia berperan. Orang tua dengan konsep tradisional cenderung memilih pola
asuh yang ketat dibandingkan orang tua dengan konsep non tradisional. 5. Kepribadian orang tua.
Pemilihan poal asuh dipengaruhi oleh kepribadian dari orang tua. Selain itu, kepribadian dari orang tua juga mempengaruhi bagaimana mereka
menginterpretasikan pole asuh yang mereka terapkan. Orang tua yangberkepribadian
tertutup dan
konservatif cenderung
akan memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter.
6. Kepribadian anak. Tidak hanya kepribadian orang tua saja, yang mempengaruhi pemilihan
pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang ekstrovert akan bersikap lebih terbuka terhadap rangsang-rangsang yang datang padanya
dibandingkan dengan anak yang introvert. Hal ini akan memepengaruhi pemilihan pola asuh yang diberikan orang tua pada anaknya.
7. Faktor nilai yang dianut orang tua. Di barat nampaknya orang tua menganut paham „equalitarian‟, dimana
kedudukan anak sejajar dengan orang tua. Namun di negara Timur, tampaknya oang tua masih lebih cenderung menghargai kepatuhan anak.
8. Usia anak. Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi usia anak. Orang tua lebih
memberikan dukungan dan dapat menerima sikap ketergantungan anak usia pra sekolah daripada remaja.
Sedangkan menurut Triwardani 2001 dalam Pratiwi, 2007, faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu: sosial ekonomi, pendidikan, kepribadian,
nilai-nilai yang dianut orangtua, dan jumlah anak.
2.4. Attachment style
2.4.1. Pengertian attachment
Istilah Kelekatan attachment untuk pertamakalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian
formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh psikolog perkembangan Mary Ainsworth pada tahun 1969 Santrock, 2003.
Attachment adalah suatu hubungan atau interaksi antara dua individu yang merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal
untuk melanjutkan hubungan tersebut Bowlby dalam Rholes Simpson, 2004. Bowlby menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam
rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang
dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu Hetherington
dan Parke, 1999. Menurut Harre Lamb 1986 kelekatan adalah tali persaudaraan yang
terbentuk antara seorang bayi dan orang yang mengasuhnya, baik sebagai petunjuk motivasi ketergantungan, maupun sebagai bentuk organisasi dalam
pandangan perkembangan yang berteori sistem.
Menurut Flanagan Damayanti, 2010 attachment adalah “An emotional bond between two people espescially mother and infant” atau
sebuah ikatan emosional antara dua orang, utamanya ibu dan anak.
Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan
bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan
dengan figure lekat akan menimbulkan rasa aman Ainsworth dalam Ervika, 2005.
Menurut Maccoby Ervika, 2005 seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat
c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali d. Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak
memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya
Selama ini orang seringkali menyamakan kelekatan dengan ketergantungan dependency, padahal sesungguhnya kedua istilah tersebut mengandung
pengertian yang berbeda. Ketergantungan anak pada figur tertentu timbul karena tidak adanya rasa aman. Anak tidak dapat melakukan otonomi jika tidak
mendapatkan rasa aman. Hal inilah yang akan menimbulkan ketergantungan pada figur tertentu Santrock, 2003. Adapun ciri kelekatan adalah memberikan
kepercayaan pada orang lain yang dapat memberikan ketenangan rasa aman. Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kelekatan atau attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan
individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik,
bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.
2.4.2. Attachment style
Cara orang tua dalam memperlakukan anaknya akan memberikan kualitas kelekatan attachment yang berbeda-beda secara individual. Sehingga anak akan
memiliki kualitas attachment atau pola kelekatan attachment style yang berbeda- beda dengan pengasuhnya. Bukti tersebut diperoleh dari penelitian-penelitian
yang dirintis oleh Ainsworth Bowlby, 1988. Berdasarkan hasil penelitiannya, Ainsworth mengemukakan tiga pola utama dari kelekatan attachment style,
yaitu: a. Secure attachment
Anak dalam pola ini yakin bahwa orang tuanya akan muncul, responsif, dan sangat membantu saat anak membutuhkan perlindungan atau
kenyamanan atau pada saat menghadapi situasi yang menakutkan. Dengan
keyakinan itu, ia merasa yakin dalam mengeksplorasi lingkungannya. Anak akan tumbuh menjadi individu yang percaya diri, dan mudah menjalin
hubungan dekat dengan orang lain dan percaya pada orang lain. Pola ini didukung oleh orang tua pada tahun-tahun pertama, terutama oleh ibu yang
selalu siap dan peka terhadap mereka, responsif dengan kasih sayang ketika anak mencari perlindungan atau kenyamanan.
b. Anxious avoidant attachment Anak yang termasuk pola ini tidak yakin bahwa jika ia mencari perhatian
orang tua ia akan dijawab dengan bantuan, namun sebaliknya ia menduga akan ditolak. Anak berusaha untuk hidup tanpa kasih sayang dan dukungan
orang lain, ia mencoba untuk cukup secara emosional. Anak merasa canggung dan tidak nyaman dalam menjalin hubungan yang dekat dengan
orang lain dan tidak mudah percaya dengan orang lain. Selain itu, anak cenderung tumbuh sebagai individu yang lebih mementingkan dirinya sendiri.
Pola ini merupakan hasil ibu yang secara konsisten menolak dirinya ketika ia mendekati ibu untuk mencari kenyamanan atau perlindungan. Kasus yang
ekstrim dihasilkan dari penolakan yang berulang. Pada tahun-tahun pertama kehidupan anak yang termasuk pola ini, orang tua sering menunjukkan
kemarahan dan merasa jengkel pada ulah anaknya.
c. Anxious resistant attachment Anak yang tergolong pola ini tidak yakin apakah orang tuanya akan
hadir, responsif atau akan membantu saat anak membutuhkan bantuan orang tua. Karena ketidakpastian ini, anak selalu cenderung takut berpisah, tidak
dapat dilepaskan dan cemas dalam mengeksplorasi lingkungannya, hal ini membuat anak merasa tidak aman ketika berada di lingkungan sosialnya.
Tidak adanya rasa aman ini menyebabkan anak cemas dan ragu-ragu saat berhadapan dengan orang lain, dan mudah cemas dalam menjalin hubungan
yang dekat dengan orang lain. Hal ini menyebabkan anak cenderung terisolasi dari lingkungannya. Pada pola ini, saat terjadi konflik, ditunjang oleh orang
tua yang penuh pertolongan pada beberapa kejadian tetapi tidak pada kejadian yang lain. Penemuan klinis menunjukkan bahwa seringkali orang tua
memberikan ancaman perpisahan untuk mengontrol tingkah laku anak.
Bowlby dan Ainsworth Santrock, 2003 juga mengemukakan bahwa kelekatan yang aman pada masa bayi adalah pokok bagi perkembangan kecakapan
sosial. Dalam kelekatan yang aman secure attachment, bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibu, sebagai landasan rasa aman untuk mengeksplorasi
lingkungan. Kelekatan yang aman diteorikan sebagai landasan penting bagi perkembangan psikologis berikutnya pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa.
Pada kelekatan yang tidak aman insecure attachment, bayi agak menghindari pengasuhnya, atau menunjukkan perlawanan, atau keduanya, terhadap
pengasuhnya. Kelekatan tak aman diteorikan berkaitan dengan kesulitan berhubungan dan masalah-masalah perkembangan selanjutnya.
2.4.3. Internal Working Model
Untuk menjelaskan kecenderungan attachment style berkembang menjadi bagian dari diri anak, teori attachment menggunakan konsep internal working
model dari self orang tua. Internal working model dari hubungan attachment didasarkan pada representasi mental dari hubungan anak sehari-hari dengan figur
attachmentnya. Internal working model seorang anak dikembangkan dari cara ibunya berkomunikasi dan berperilaku terhadapnya, juga ayah sebagai figur lain
yang signifikan dan model komplementer lain yang saling berinteraksi dan dikembangkan selama beberapa tahun pertama kehidupan dan menetap sebagai
struktur kognitif yang berpengaruh. Hasil yang dibentuk, berdasarkan pada interaksi anak sehari-hari dengan orang tuanya. Model ini kemudian mengarahkan
bagaimana perasaan anak terhadap orang tua dan juga dirinya, bagaimana anak mengharapkan orang tua dan setiap orang memperlakukannya dan bagaimana
anak merencanakan perilakunya terhadap orang tuanya Bowlby dalam Obegi Berant, 2009.
Hal yang utama dari internal working model ini adalah internal working model dari diri self dan figur pengasuh utama. Ciri utama internal working
model diri adalah gagasan sejauh mana diterimanya diri tersebut di mata figur attachment. Sedangkan ciri penting dari internal working model figur attachment
adalah sejauh mana mudah tercapainya accessibility, sensitifitas, responsifitas,
dan dukungan emosional dari figur attachment. Selanjutnya internal working model dari diri dan figur attachment ini akan saling mengisi. Misalnya jika figur
attachment menerima anak sebagaimana adanya, peka dan memperhatikan kebutuhannya, maka anak akan membangun internal working model mengenai
orang tua sebagi figur yang menerimanya dan memberikan kasih sayang dan internal working model mengenai diri sebagai orang yang berharga dan dicintai.
Sekali dikembangkan, model orang tua dan self ini cenderung menetap dan berfungsi di luar kesadaran. Satu alasan mengapa pola yang dikembangkan
cenderung menetap dikarenakan cara orang tua memperlakukan anak cenderung tidak berubah Bowlby dalam Obegi Berant, 2009.
2.4.4. Pengukuran kualitas attachment
Pengukuran kualitas attachment pada bayi dan anak-anak kecil dapat dilakukan melalui observasi. Seperti yang dilakukan oleh Ainsworth dan kawan-
kawan dalam penelitian-penelitiannya. Namun hal ini sulit dilakukan setelah masa kanak-kanak, karena kehadiran aktual dari pengasuh, dalam hal ini ibu menjadi
kurang penting karena anak telah memiliki prediksi tentang kehadiran atau keberadaan figur attachmentnya. Selain itu pada masa anak akhir dan remaja awal,
anak sudah lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya. Sehingga pengukuran pola attachment apa anak akhir dan remaja awal dititik beratkan pada
perkembangan internal working modelnya Rholes Simpson, 2004. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa ibu berkomunikasi dan
berperilaku terhadap anak, menjadi dasar bagi anak dalam membangun internal
working model mengenai diri sendiri dan ibu sebagai pengasuhnya. Hal ini mengarahkan berkembangnya pola-pola attachment yang dikembangkan oleh
anak. Berdasarkan penelitian Ainsworth, Bell, dan Staylon Maccoby dalam Ervika, 2005 terdapat empat dimensi perlakuan ibu terhadap anaknya yang
berperan dalam mempengaruhi terbentuknya pola attachment yang dikembangkan oleh anak. Empat dimensi tersebut adalah :
1. Sensitivity – Insentivity
Skala ini berkaitan dengan respon terhadap isyarat dan komunikasi anak. Ibu yang sensitive mampu untuk melihat sesuatu dari sudut pandang
anak dan mampu menginterpretasikan isyarat anak dengan benar. Sebaliknya ibu yang insensitive mengintervensi dan mengawali interaksi
hanya berdasarkan harapan, suasana hati dan aktivitasnya sendiri. Ibu ini dapat mendistorsi komunikasi dari anaknya, bahkan sering tidak
meresponnya.
2. Acceptance – Rejection
Ibu yang accepting sewaktu-waktu dapat merasa terganggu oleh bayinya, tetapi secara umum dia menerima anaknya dengan senang hati
terikat dengan anak melalui aktivitas perawatan terhadap anak. Ibu yang accepting menikmati aktivitas yang dilakukan bersama anak pada
saat anak dalam keadaan suasana hati yang baik dan suasana hati yang jelek.
Ibu yang rejecting secara konsisten menolak anaknya, mempunyai perasaan marah yang melebihi rasa kasih sayangnya terhadap anak, serta
mudah menyatakan secara terbuka pada anak bahwa dirinya menjengkelkan atau mengganggunya, menciptakan suasana yang tidak
enak terhadap anak, sering menolak keinginan atau harapan anak, dan sering memarahi atau mengomeli anak.
3. Cooperation – Interference
Ibu yang kooperatif menaruh minat tehadap minat dan otonomi anak dan mencoba untuk menghindari situasi yang dapat menghentikan aktifitas
anak atau menggunakan kontrol secara langsung. Jika harus mengontrol secara langsung, ibu menunggu saat suasana hati anak baik sehingga
perintahnya akan tampak menyenangkan. Ibu yang interfering, memaksakan keinginan pada anak dengan sedikit
memperhatikan suasana hati dan aktifitas tertentu anak. Selain itu ibu berusaha untuk membentuk anak berdasarkan standar dirinya.
4. Accessibility – Ignoring
Ibu yang accessible mudah didekati anak dan peduli dengan anak akan mampu menangkap isyarat kebutuhan anak walaupun sedang sibuk,
mampu menangkap isyarat komunikasi anak walau sedang sibuk, memperhatikan kebutuhan anak walaupun jauh dari anak.
Sedangkan ibu yang ignoring tidak peduli pada anak sering tidak mengenali atau mempedulikan isyarat kebutuhan anak dan komunikasi
anak, kurang memperhatikan aktivitas anak, cenderung melupakan anak serta hanya memperhatikan anak pada saat saat tertentu.
Dalam hubungannya dengan pola attachment anak, berdasarkan penelitian tersebut, anak yang tergolong pola secure attachment mempunyai ibu yang
sensitive, accepting, kooperatif dan accessible. Sedangkan anak yang tergolong pola anxious avoidant attachment mempunyai ibu yang rejecting
dan insensitive, sedangkan anak yang tergolong pola anxious resistant attachment mempunyai ibu yang interfering dan ignoring.
Dalam menginterpretasikan penemuan tersebut, Ainsworth, Bell Staylon berpendapat bahwa gaya ibu yang berbeda mempunyai konsekuensi
bagi perkembangan anaknya. Dari penelitian tersebut pola-pola yang menunjukkan ibu yang baik yaitu ibu yang memungkinkan anak untuk
mengembangkan pola secure attachment dan berkembang berdasarkan tahap- tahap perkembangannya.
2.4.5. Figur attachment
Dalam menunjukkan perilaku attachmentnya, seorang anak mengarahkan perilaku attachmentnya terhadap figur tertentu, yaitu figur ibu atau ibunya.
banyak anak yang memiliki lebih dari satu figur dalam mengarahkan perilaku
attachmentnya, figur-figur ini tidak memperlakukan anak dengan cara yang sama. Peran dari figur attachment anak dapat dipenuhi oleh orang lain selain ibunya.
Pada saat anak mencapai usia dua tahun, sebagian besar mengarahkan perilaku attachmentnya pada lebih dari satu figur. Beberapa anak memilih lebih
dari satu figur attachment segera setelah mereka mulai menunjukkan diskriminasi. Namun demikian, figur attachment ini tidak diperlakukan satu sama dengan yang
lain. Anak memilih figur attachment utamanya dan figur lainnya tergantung pada
siapa yang merawatnya dan komposisi keluarga di mana ia tinggal. Dari keseluruhan figur-figur yang ada dalam keluarga tersebut anak memilih figur
attachment utama dan figur attachment tambahan. Umumnya, figur attachment utama seorang anak adalah ibunya, namun
dapat saja peran tersebut dilakukan secara efektif oleh orang lain. Terdapat bukti bahwa seorang ibu pengganti yang berperilaku seperti cara ibu memperlakukan
anaknya, anakpun akan memperlakukannya seperti pada ibunya. Namun demikian, hal ini merupakan hal yang paling sulit bagi seorang ibu pengganti,
karena bagaimanapun seorang ibu pengganti berespon kurang kuat dan kurang konsisten dibandingkan ibunya yang asli.
Selain figur attachment utama, anak mengarahkan juga perilaku attachmentnya pada figur attachment tambahan. Figur attachment tambahan ini
bisa ayah, kakak, termasuk kakek, nenek dan orang lain yang tinggal bersama di rumah, dapat juga tetangga. Dalam hal ini, baik jumlah maupun identitas dari
figur tambahan dapat berubah, bisa bertambah, bisa juga berkurang.
Ainsworth Bowlby, 1988, menjelaskan bahwa semakin anak merasa tidak aman insecure pada figur utamanya, semakin terhambat kecenderungannya
dalam mengembangkan attachment pada figur yang lain. Lebih jauh, semakin anak merasa tidak aman insecure, semakin terhambat kemampuannya dalam
mengembangkan relasi dengan orang lain.
2.4.6. Attachment pada remaja
Pada saat anak menjadi remaja, hubungan mereka dengan orang tuanya mengalami perubahan. Pada satu pihak, pada umumnya mereka masih
menginginkan agar orang tua tetap berada di dekat mereka. Tetapi di pihak lain mereka juga menginginkan lebih banyak kesempatan dan kebebasan untuk lepas
dari orang tua. Proses perkembangan yang dialami remaja menyebabkan mereka mulai melepaskan orang tua sebagi figur attachment. Weiss Kuera, 2004
mengatakan bahwa pada masa ini, remaja mengalami penyelaan interuption terhadap attachment kepada orang tua yang telah berlangsung sejak masih bayi.
Pada awalnya terjadi jarak yang semakin jauh. Lama kelamaan durasinya menjadi semakin panjang dan semakin lama sampai suatu saat interupsi ini menetap.
Attachment tidak menghilang fade secara berangsur-angsur, tetapi lebih kepada tidak munculnya attachment itu dalam jangka waktu yang lama.
Attachment does not fade in the sense of becoming progressively weaker, but rather is entirely absent for longer intervals Weiss dalam Kuera,
2004.
Keterikatan tidak lunturmemudar dalam arti tidak menjadi semakin lemah, melainkan hadir dalam interval waktu yang lebih panjang.
Sesuai dengan perkembangan yang dialaminya, hubungan attachment seorang remaja kemudian berkembang ke ruang lingkup yang lebih luas, yaitu ke
teman-teman atau sahabatnya, pacarnya, guru-gurunya, dan sebagainya. Attachment pada masa remaja mulai diarahkan pada sosok di luar orang tua
Weiss dalam Kuera, 2004. Setelah anak tumbuh menjadi remaja, orang tua dan keluarga bukanlah satu-
satunya figur attachment yang dimilikinya. Mereka mulai menjalin hubungan dengan figur-figur lain. Dalam hubungan atau attachment dengan figur baru
tersebut, dapat juga dilihat bahwa remaja ini memiliki keinginan atau hasrat untuk didampingi. Dia akan merasa nyaman dan tenang karena kehadiran figur tersebut
dan akan merasa tertekan jika terpisah dari figur itu Kuera, 2004.
2.4.7. Stabilitas attachment style
Dalam Hetherington Parke 1999, dikatakan terdapat stabilitas yang kuat dalam kualitas attachment dari satu periode waktu ke periode waktu berikutnya.
Di antara bayi yang diuji dengan strange situation, menunjukkan pola attachment yang sama pada saat usia 6 tahun dan 12 tahun Main Cassidy dalam
Hetherington Parke, 1999. Meskipun ada beberapa hal perilaku attachment tidak berkorelasi secara sempurna, secara keseluruhan diperoleh hasil perilaku
attachment relatif stabil. Dari sebuah studi di Jerman Hetherington Parke,
1999, ditemukan attachment pada saat usia satu tahun mampu memprediksikan klasifikasi attachment pada usia 6 tahun sebanyak 78. Namun tidak berarti
dengan adanya stabilitas dalam kualitas hubungan orang tua dan anak, tidak mungkin terjadi perubahan. Dalam beberapa studi, anak-anak yang menunjukkan
pola attachment yang insecure pada saat bayi mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan orang tuanya pada saat usia sekolah. Hal ini biasa terjadi ketika
orang tua dari anak mengalami sedikit stress misalnya tidak terlalu mengalami kesulitan keuangan dan dapat menyediakan waktunnya bagi anak dan
berinteraksi secara lebih responsif terhadap kebutuhan anak Thompson, Lamb, Estes dalam Hetherington Parke, 1999.
2.5. Remaja
2.5.1. Definisi remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin “adolescence”yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Dapat dikatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa.
Sependapat dengan hal tersebut, Papalia dan Olds 2009 mendefinisikan masa remaja sebagai peralihan masa perkembanagn yang berlangsung sejak usia sekitar
10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia dua puluhan awal, serta melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan
psikososial yang saling berkaitan. Secara umum masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas puberty, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan
kematangan seksual, atau fertilitas atau kemampuan untuk melakukan reproduksi.
Menurut Hurlock 1980, istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial
dan fisik. Menurut Piaget, secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi
merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak Hurlock, 1980.
Berdasarkan pengertian yang sudah disebutkan, peneliti menyimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dalam perkembangan yang berlangsung
sejak usia 10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia dua puluhan awal, masa dimana individu mengalami kematangan mental,
emosional, sosial dan fisik.
2.5.2. Batasan remaja
Meskipun rentang usia remaja dapat bervariasi terkait dengan lingkungan budaya dan historisnya, kini di Amerika Serikat dan sebagian besar budaya
lainnya, masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun, dan berakhir pada usia 18-22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional yang dialai
remaa dapat berkisar mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berpikir abstrak hingga kemandirian.
Lambat laun, para ahli perkembangan membedakan asa remaja enjadi periode awal dan periode akhir. Masa remaja awal early adolescence kurang
lebih berlangsung di masa sekolah menengah pertama atau menengah atas dan perubahan pubertas terbesar terjadi di masa ini. Masa remaja akhir late
adolescence kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari kehidupan. Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas sering kali lebih
menonjol di masa remaja akhir dibandingkan di masa remaja awal Santrock, 2007.
Berdasarkan yang telah dipaparkan, peneliti menyimpulkan bahwa batasan usia remaja adalah mulai usia 10 atau 11 sampai dengan usia 22 atau 23 tahun.
2.5.3. Karakteristik masa remaja
Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya
dengan periode sebelum dan sesudahnya. Karakteristik tersebut adalah :
Perkembangan fisik Remaja dikenal sebagai satu tahap perkembangan fisik ketika alat-alat
kelamin manusia mencapai kematangannya, karena secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh
bentuk yang sempurna dan secara faali alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula Sarwono, 2005
Perkembangan kognitif Karena berpikir kritis remaja sangat berkaitan dengan perkembangan
kognitif remaja, maka akan dibahas teori perkembangan kognitif remaja dari dua orang tokoh perkembangan, yaitu Piaget dan Vygotsky :
a. Teori Piaget Menurut teori Piaget, remaja termotivasi untuk memahami dunianya
karena hal ini merupakan suatu bentuk adaptasi biologis. Remaja mengorganisasikan pengalaman-pengalamannya, memisahkan gagasan-
gagasan penting dari gagasan-gagasan yang kurang penting, dan menggabungkan gagasan-gagasan itu satu sama lain.
Ketika mengontruksikan dunianya, remaja menggunakan skema. Skema schema adalah sebuah konsep atau kerangka kerja mental yang
diperlukan untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. Secara khusus Piaget berminat pada bagaimana anak-anak dan remaja
menggunakan skema-skema untuk mengorganisasikan dan memahami pengalamannya sekarang.
Piaget menemukan bahwa anak-anak dan remaja menggunakan dan mengadaptasikan skema-skema mereka melalui dua proses, yaitu
asimilasi dan akomodasi Piaget dalam Santrock, 2007. Asimilasi adalah memasukkan informasi-informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah
ada, sedangkan akomodasi adalah menyesuaikan sebuah skema yang sudah ada terhadap masuknya infomasi baru. Piaget juga menjelaskan
mengenai bagaimana anak-anak dan remaja mengubah pemikiran mereka dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Perubahan ini berlangsung ketika
mereka mengalami konflik kognitif atau mengalami ketidakseimbangan disequilibrium ketika remaja itu berusaha untuk memahami dunianya.
Pada akhirnya mereka dapat menyelesaikan konflik dan mencapai keseimbangan equilibrium Santrock, 2007.
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget antara lain: tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan
tahap operasional formal. Usia remaja berada pada tahap operasional formal. Karakteristik
yang paling menonjol dari pemikiran operasional formal adalah sifatnya yang lebih abstrak dibandingkan pemikiran operasional konkret. Remaja
tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya. Mereka dapat menciptakan situasi-
situasi fantasi, peristiwa-peristiwa yang murni berupa kemungkinan- kemungkinan hipotesis atau hanya berupa proposisi abstrak, dan mencoba
bernalar secara logis mengenainya. Kualitas abstrak yang diperlihatkan remaja pada tahap ini juga termasuk meningkatnya tendensi berpikir
mengenai berpikir itu sendiri. Remaja berpikir abstrak, idealistik dan logis. Remaja mulai berpikir seperti seorang ilmuwan berpikir, membuat
rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji solusi. Piaget menemai tipe pemecahan masalah itu sebagai penalaran hipotesis
deduktif hypothetical- deductive reasoning, yang berarti kemampuan untuk mengembangkan sebuah hipotesis atau dugaan, mengenai
bagaimana memecahkan masalah, seperti menyelesaikan perhitungan aljabar.
Pemikiran operasional formal adalah deskripsi terbaik untuk menggambarkan bagaimana remaja itu berpikir. Meskipun demikian,
tidak semua dapat menjadi pemikir operasional formal sepenuhnya. Sesungguhnya, para ahli perkembangan berpendapat bahwa pemikiran
operasional formal terdiri dari dua subperiode Broughton dalam Santrock, 2007 :
Operasional formal
awal. Penemuan
remaja mengenai
kemampuannya untuk berpikir secara hipotesis menghasilkan pikiran-pikran bebas, dengan kemungkinan yang tidak terbatas.
Dalam periode awal ini pelarian ke fantasi dapat menggantikan realitas sehingga dunia dipandang secara terlalu subjektif dan terlalui
idealistik. Asimilasi adalah proses yang menonjol dalam subperiode ini.
Operasional formal akhir. Ketika remaja mampu menguji penalarannya ke pengalaman, keseimbangan intelektual mengalami
perbaikan. Melalui akomodasi, remaja mulai menyesuaikan pergolakan yang dialami. Pemikiran operasional formal akhir dapat
muncul di masa remaja menengah.
b. Teori Vygotsky Bila Piaget menjelaskan perkembangan kognitif remaja dengan
konstruktif kognitif, Vygotsky menjelaskan perkembangan kognitif remaja dengan kontruktif sosial. Vygotsky tidak mengusulkan perkembangan
berdasarkan beberapa tahapan perkembangan kognitif seperti yang diusulkan oleh Piaget. Vygotsky menyatakan bahwa pengetahuan itu
terkait dengan situasi dan bersifat kolaboratif situated and collaborative Greeno, Collins, Resnick dalam Santrock, 2007. Dengan demikian,
pengetahuan didistribusikan di antara orang-orang dan lingkungan, yang meliputi benda-benda, artefak, perkakas, buku, dan komunitas di mana
orang-orang hidup. Distribusi ini memperlihatkan bahwa pengetahuan paling baik ditingkatkan melalui interaksi dengan orang lain dalam
aktivitas kooperatif Glassman dalam Santrock, 2007. Vygotsky mengemukakan konsep ZPD Zone of Proximal
Development yang merujuk pada rentang-rentang tugas yang terlalu sulit bagi individu untuk dikuasai sendiri, namun dapat dipelajari melalui
bimbingan dan bantuan dari orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. jadi, batas bawah dari ZPD adalah level keterampilan yang
mampu dapat diraih anak dengan bekerja sendiri. Sementara batas atas dari ZPD adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak
dengan bantuan instruktur yang mampu. Penekanann Vygotsky terhadap ZPD memperlihatkan keyakinannya mengenai pentingnya pengaruh sosial
terhadap perkembangan kognitif. Para orang tua, kawan sebaya, komunitas, dan orientasi teknologi budaya juga mempengaruhi pemikiran
remaja. Sebagai contoh, sikap orang tua dan kawan-kawan terhadap kompetensi intelektual mempengaruhi motivasi mereka untuk memperoleh
pengetahuan. Demikian pula sikap guru dan orang-orang dewasa lainnya di dalam komunitas tersebut.
Perkembangan emosi Masa remaja merupaka puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi
yang tinggi. Pada usia remaja awal, perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa
atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental mudah tersinggungmarah, atau mudah sedihmurung, sedangkan remaja akhir sudah
mampu mengendalikan emosinya Santrock, 2003.
Perkembangan sosial Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan
untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun
perasaannya. Pemahaman ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan orang lain terutama teman sebaya. Pada
masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran
hobby atau keinginan orang lain teman sebaya.
Perkembangan moral Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru,
teman sebaya, atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Pada masa ini, muncul
dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya memenuhi kebutuhan fisiknya,
tetapi psikologisnya rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaiannya positif dari orang lain tentang perbuatannya Santrock, 2003.
2.5.4. Perkembangan berpikir kritis pada remaja
Dalam sebuah studi yang melibatkan kelas lima, kelas delapan, dan kelas sebelas, diketahui bahwa berpikir kritis meningkat seiring dengan bertambahnya
usia; meskipun demikian, jumlah anak-anak kelas sebelas yang sudah memperlihatkan kemampuan ini hanya 43 persen Lkaczynski Narashimham
dalam Santrock, 2007. Banyak remaja memperlihatkan self-serving bias dalam penalarannya.
Masa remaja adalah sebuah periode transisi yang penting dalam perkembangan berpikir kritis Keating dalam Santrock, 2007. Di antara
perubahan-perubahan kognitif yang memungkinkan peningkatan berpikir kritis selama periode ini adalah :
a. Meningkatnya kecepatan, otomotisasi, dan kapasitas pemrosesan informasi, yang memungkinkan mereka lebih dapat menggunakan sumber
daya kognitifnya untuk mencapai berbagai tujuan lain.
b. Meningkatnya cakupan isi pengetahuan di berbagai bidang. c. Meningkatnya kemampuan untuk menyusun kombinasi-kombinasi baru
dari pengetahuan. d. Meningkatnya rentang dan spontanitas dalam menggunakan strategi-
strategi dan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan, seperti merencanakan, mempertimbangkan
berbagai alternatif, dan melakukan monitor kognitif.
Meskipun masa remaja merupakan suatu periode penting dalam perkembangan berpikir kritis, apabila individu belum mengembangkan basis yang
mantap dalam keterampilan-keterampilan dasarnya seperti membaca dan matematika selama masa kanak-kanak, maka keterampilan berpikir kritis
individu tersebut juga cenderung kurang matang di masa remaja. Untuk remaja- remaja yang kurang memiliki keterampilam dasar seperti itu, mereka kurang
dimungkinkan untuk mengembangka pemikiran kritis di masa remaja Santrock, 2007.
Akhir-akhir ini mulai muncul minat untuk mengajarkan berpikir kritis di sekolah. Psikologi kognitif Robert stenberg Santrock, 2007 berpendapat bahwa
sebagian besar program sekolah yang mengajarkan berpikir kritis itu memiliki kekurangan. Ia berpendapat bahwa sekolah terlalu banyak berfokus pada tugas-
tugas penalaran formal dan tidak cukup mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Di antara keterampilan-
keterampilan berpikir kritis yang menurut Stenberg diperlukan oleh remaja dalam
kehidupan sehari-hari adalah : mengenali bahwa masalah itu ada, mendefinisikan masalah secara lebih jelas, menangani masalah yang tidak memiliki sebuah
jawaban tunggal atau kriteria yang jelas untuk memecahkan masalahnya misalnya memilih karier yang menguntungkan, mengambil keputusan yang
memiliki relevansi pribadi seperti memutuskan apakah hendak melakukan operasi yang beresiko, memperoleh informasi, berpikir dalam kelompok, dan
mengembangkan pendekatan jangka panjang untuk masalah-masalah jangka panjang Santrock, 2007.
Salah satu cara mendorong para siswa agar berpikir kritis adalah dengan menyajikan topik-topik atau artikel-artikel yang kontroversial yang menyajikan
dua sisi dari sebuah isu , untuk kemudian didiskusikan. Kemampuan berpikir kritis akan berkembang apabila para siswa berhadapan dengan argumen yang
mengandung konflik maupun debat, yang dapat memotivasi mereka untuk mempelajari topiknya secara lebih mendalam dan berusaha menyelesaikan suatu
isu Gong dan Van Gelder dalam Santrock, 2007
2.6. Kerangka berpikir
Sejak dilahirkan, manusia mempunyai potensi kognitif yang siap dikembangkan. Potensi tersebut adalah berupa
“Neorological system” berupa brain function yaitu otak manusia berisi lebih dari 100-200 trilyun sel otak, setiap
neural sel siap untuk dikembangkan untuk mengaktualisasikan potensi manusia pada tingkat yang lebih tinggi, dan setiap neuron sel siap untuk memproses
beberapa trilyun informasi yang diterima. Potensi otak tersebut akan berkembang
seiring berjalannya waktu, kecuali bila pada saat dilahirkan otak manusia mengalami kelainan atau mengalami masalah.
Piaget menemukan bahwa anak-anak dan remaja menggunakan dan mengadaptasikan skema-skema mereka melalui dua proses, yaitu asimilasi dan
akomodasi Piaget dalam Santrock, 2007. Asimilasi adalah memasukkan informasi-informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada, sedangkan
akomodasi adalah menyesuaikan sebuah skema yang sudah ada terhadap masuknya infomasi baru. Piaget juga menjelaskan mengenai bagaimana anak-
anak dan remaja mengubah pemikiran mereka dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Perubahan ini berlangsung ketika mereka mengalami konflik kognitif atau
mengalami ketidakseimbangan disequilibrium ketika anak dan remaja itu berusaha untuk memahami dunianya. Pada akhirnya mereka dapat menyelesaikan
konflik dan mencapai keseimbangan equilibrium Santrock, 2007. Asumsi peneliti, pada saat mereka mengalami konflik untuk mencapai keseimbangan
equilibrium diperlukan interaksi dengan lingkungan sosial tempat individu tersebut berada, untuk mengoptimalkan potensi fungsi otak brain function,
serupa dengan yang disampaikan oleh Nugroho 1994 sebelumnya. Hal serupa juga dikatakan oleh Vygotsky, bahwa lingkungan sosial ikut berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif anak dan remaja. Hal itu berarti, berkembangnya kognitif anak dari satu kondisi ke kondisi yang lain atau dari satu tahap ke tahap
berikutnya, diperlukan bantuan lingkungan sosial agar brain function dapat terus aktif dan produktif. Kemampuan kognitif yang mengalami perkembangan tersebut
salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Seperti yang sudah dibahas
sebelumnya, berpikir kritis merupakan salah satu tugas perkembangan yang akan dihadapi setiap individu Nugroho, 1994. Bila kemampuan berpikir kritis pada
tahap tertentu mengalami „konflik‟ contohnya pada saat seorang individu diharuskan mengidentifikasi masalah yang ada pada informasi yang ia terima,
maka perlu ada latihan dan pendidikan yang diberikan dari lingkungan sosial contohnya orang tua untuk membimbing, sehingga individu tersebut mampu
untuk mencapai „keseimbangan‟ equilibrium, yang awalnya belum mampu, menjadi mampu untuk menentukan mana informasi yang benar dan yang salah.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa orang tua dapat membantu anaknya untuk menghadapi tugas perkembangan kognitifnya, salah satunya adalah
dalam berpikir kritis. Pada saat remaja, manusia merupakan pribadi yang egocentris maka dari itu orang tua perlu membimbing agar anak dapat mengambil
keputusan yang tepat dan tidak terjebak dalam kesalahan. Bantuan orang tua adalah melalui pemilihan pola asuh yang diterapkan dalam mendidik dan
mengasuh anak. Pemilihan pola asuh yang tepat, menentukan kemampuan anak dalam menghadapi tugas-tugas perkembangannya. Pola asuh yang tepat dapat
menghasilkan hubungan timbal balik yang baik antara orang tua dan anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh yang tepat dapat menumbuhkan ikatan emosional
atau kelekatan yang secure Rini, 2008. Ikatan ini disebut attachment. Lebih lengkapnya attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang
bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya.
Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan
memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak Bowlby dalam Obegi Berant, 2009. Perlakuan pengasuh utama figur utama
yang responsif, hangat, dan konsisten menerima anak, akan menghasilkan attachment style yang secure. Dan sebaliknya, ibu yang konsisten menolak anak,
tidak hangat dan tidak sensitif terhadap kebutuhan anak, maka akan menghasilkan attachment style yang anxious avoidant ataupun anxious resistant.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh independent variable yang diketahui terhadap dependent variable. Dalam penelitian ini dependent
variable yaitu kemampuan berpikir kritis, sedangkan variabel yang di teorikan peneliti sebagai Independent Variable adalah persepsi tentang pola asuh
authoritarian, authoritative, permisif memanjakan, permisif tidak peduli dan attachment style Secure, anxious avoidant, anxious resistant, serta faktor-faktor
demografi jenis kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan Ayah, tingkat pendidikan Ibu, status Ibu bekerja, tingkat pendapatan orang tua setiap bulan,
figur pengasuh dominan dan tingkat prestasi belajar di kelas. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel siswa kelas X SMK Karya Putra Bangsa Depok.
Jika digambarkan dengan model, maka hipotesis utama dan kerangka berpikir akan tampak seperti :
BAGAN 2.2 KERANGKA BERPIKIR
ATTACHMENT STYLE
Secure attachment style Anxious avoidant attachment style
Anxious resistant attachment
PERSEPSI TENTANG POLA ASUH
Pola asuh Authoritarian Pola asuh Authoritative
Pola asuh permisif memanjakan Pola asuh permisif tidak perduli
Kemampuan berpikir kritis
critical thinking siswa SMK Karya
Putra Bangsa Depok Jenis kelamin
Suku bangsa Tingkat pendidikan Ayah
Tingkat pendidikan Ibu Status Ibu bekerja
Tingkat pendapatan orang tua Figur pengasuh dominan
Tingkat prestasi belajar
2.7. Hipotesa penelitian